Masalah semakin rumit karena tanpa diduga Kakeknya muncul dari balik pintu samping.Beliau memakai tongkat untuk bantuan berjalan karena beberapa hari lalu sempat terjatuh. Sesekali saat berjalan sendirian, alat itu dipakainya untuk membantu keseimbangan."Noah?"Panggilnya lagi.Sang cucu tak menggubris dan terus mengajak Tuan Martin berjalan menuju mobil. Untunglah kakeknya tak memakai kacamata."Tuan, mari segera pergi dari sini." Dengan tergesa-gesa dia membawa Tuan Martin ke mobil didampingi oleh Aliesha.Keduanya tampak khawatir apa yang akan terjadi kalau-kalau kedua musuh bebuyutan ini saling mengenali satu sama lain."Kakekmu bagaimana itu?" Aliesha berbisik."Tenang, dia tidak memakai kacamata, jadi tidak akan terlihat jelas dengan siapa kita sekarang ini. Cepat bawa ayahmu ke mobil dan kita segera pergi dari sini." Kata Noah sambil mempercepat langkahnya."Tapi, aku harus mengawasi tukang-tukang itu bekerja." Aliesha masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa dia tinggalka
"Aduuuuuh!" Jeritan Noah membuat seisi rumah terasa bergetar. Bagaimana tidak, tendangan Aliesha yang tepat mengenai sasaran seketika merobohkan gelora jiwanya yang sedang memuncak. "Aliesha, kamu sudah kelewatan!" Noah uring-uringan sendiri. Dia memegangi bagian tubuhnya yang kesakitan dan terasa ngilu luar biasa. "Apanya?" Aliesha yang tadinya sempat larut dalam keheningan dan mood untuk melakukan itu, sekarang menjadi berubah drastis dan emosi. "Kamu tega banget sama aku!" Kini ekspresi Noah seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya lalu menerima pukulan dari lawannya. "Aku tidak sengaja! Kamu sih, aku minta untuk berhenti bukannya menjauh malah megang sana-sini..." Aliesha kesal lalu dia mengambil baju yang akan dibawanya ke rumah Benedict. "Tidak sengaja apanya? Mana mungkin tidak sengaja bisa tepat gitu. Kamu banyak alasan. Kalau kamu tidak mau, cukup bilang saja nggak usah pakai menyerang segala... Aduuuh!" Bi Lastri datang mendadak ke kamar tidur Aliesha. "Noa
"Apa ini? Katakan padaku... jangan pura-pura bodoh!" Benedict sekali lagi menunjukkan bukti itu pada sepupunya.Aliesha dan Noah tampak sedang bermesraan di depan jendela kamar rumahnya.Dari bentukan foto itu, terlihat kalau foto itu diambil dari luar rumah. Entah oleh siapa."Ini sudah terjadi lama sekali." Noah berdehem lalu membantah atas apa yang terlihat jelas di foto itu."Hanya orang bodoh yang percaya kalimatmu, Noah." Lalu Ben mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.Dia melemparkannya ke wajah Noah yang masih pucat pasi karena tertangkap basah oleh sepupunya itu."Ini, ambil sekalian dan bawa ke manapun kamu pergi." Sebuah celana dalam milik wanita dia lemparkan ke muka Noah.Saat itu benda tersebut jatuh begitu saja ke lantai dan Noah sengaja menahan diri untuk diam."Kamu..." Noah ingin mengumpat tapi itu hanya akan menambah keruh suasana."Aku menemukannya di kamarmu. Kamu rupanya menyimpan itu... menjijikkan!" Ben kemudian berlalu kembali ke kamarnya.Dia ingin meneruska
"Aliesha, ini aku. Buka pintunya!" Noah mengetuk pintu kamar anak-anaknya pelan. Dia tahu kalau Aliesha bersembunyi di dalam saat Ben mencarinya tadi. Tak ada sahutan dari dalam. Entah apa yang sedang dilakukannya bersama dua bayi kembar itu. "Aliesha, ini aku. Aku... Noah!" Bisiknya lagi dari balik pintu. "Buka pintunya, cepat!" Lalu tangan Aliesha terdengar membuka knop pintunya dengan memutar perlahan. Setelah pintu terbuka sedikit, Noah menerobos masuk. "Apa maumu?" Aliesha tak menyambutnya dengan baik. Dia sudah tak ingin banyak bersinggungan dengan lelaki muda di hadapannya. Seperti dugaannya yang sudah-sudah, Noah tidak membantunya menyelesaikan masalah. Justru selalu memperkeruh keadaan. "Aliesha, dengarkan aku. Kamu harus keluar dari rumah ini." Ucap Noah sambil terlihat khawatir pada sesuatu yang mengejarnya. "Kenapa aku harus keluar dari sini?" Tanya Aliesha sinis. "Kamu dan anak-anak tidak aman berada di sini, Aliesha. Percayalah padaku! Bisa saja sewaktu-waktu Kak
Aliesha terburu-buru masuk ke dalam mobil sambil menggendong anaknya yang baru saja berhenti menangis. Mobil melaju keluar dari pelataran rumah. Aliesha tak bisa lagi berpikir jernih harus melakukan apa karena anaknya sudah dijadikan Noah sebagai alat untuk mengancam. Dia tak lagi ingat bahwa Benedict nanti bisa saja memarahinya karena dia terus menerus 'menempel' pada sosok yang dibencinya selama ini. "Noah, mau ke mana kita ini?" Aliesha khawatir karena dia tak tahu ke mana mantan suaminya akan membawanya pergi. Di matanya, sosok Noah sudah berubah drastis tak seperti saat dia kenal dulu. Dulunya Noah adalah sosok pemuda yang jinak dan sangat mudah diajak kerja sama. Sekarang, tak tahu lagi di mana Noah yang dulu. "Kamu diam saja dulu." Kata Noah sambil terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.Sepertinya jalan yang dilalui mereka ini tak asing bagi Aliesha. Dugaannya betul, sekarang mereka menuju ke area bangunan menjulang tinggi. Ini adalah area perkantoran dan perhotelan.
"Aliesha, mau ikut aku mandi sekarang?" Pertanyaan Noah ini mengejutkannya.Awalnya wanita bermata bulat itu terdiam mematung mendengarkannya, namun setelah menyadari apa maksud yang dikatakan oleh Noah, dia langsung menutupi wajahnya karena malu."Hei... kenapa kamu begitu?" Noah sama sekali tak merasa sedang dalam pelarian."Noah... aku bukan kekasihmu dan bukan lagi istrimu." Dengan sisa-sisa logika yang masih dia miliki, Aliesha mencoba menyadarkan lelaki tampan di depannya itu.Entahlah, saat Noah mengekspose tubuh dalam guyuran keringat begini, dia terlihat macho dan semakin menawan. Melihat lengannya saja tadi Aliesha seperti sudah berhenti berdetak jantung yang di dalam dirinya."Tapi..." Nafas Noah begitu dekat dan sekarang Aliesha yakin bibirnya sudah mendekati telinga kiri ke lehernya. "Kamu adalah tetap ibu dari anak-anakku sampai kapanpun."Aliesha tak kuasa menahan efek kalimat gombalan Noah yang memang sejak dulu dia pandai merayu dan membuatnya tersipu malu."Noah... k
Aliesha tak menanggapi kalimat Noah yang semakin menjurus ke arah yang tak dia inginkan. Selalu saja maunya nyerempet-nyerempet melulu."Aliesha, apa kamu marah dengan candaanku? Jangan tegang begitu, aku hanya bercanda..." Ralatnya karena melihat ekspresi Aliesha yang kurang senang dengan setiap kalimatnya yang terkesan jorok.Padahal itu semua dia lakukan untuk memberikan humor dan hiburan saja. Syukur-syukur jika Aliesha juga mau menimpali dan menyahut."Aliesha..." Panggilnya sambil menjongkokkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Aliesha yang duduk menyusui anaknya."Tidak apa-apa. Itu hakmu untuk berkata semaumu, Noah." Sahutnya sambil menepuk-nepuk punggung bayinya.Noah sekarang merasa tak lebih baik dari sebuah obat nyamuk. Aliesha begitu fokus menyayangi anaknya lantas membiarkannya mengamati kedekatan antara ibu dan anak itu.Noah seakan tak dipedulikan lagi."Kamu tidak marah padaku?" Tanya Noah memastikan kalau ibu muda itu tak marah lagi.Aliesha menggeleng dan itu suda
"Mama... kapan pulang?" Tanya Ben antusias dan seakan mendapatkan support system baru. Mamanya memang jarang berkunjung ke Indonesia karena sebenarnya dia sudah berpisah dengan Papa Benedict sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar."Aku baru landing beberapa jam lalu dan kupikir ini adalah keputusan yang baik karena akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan anakku.." Mamanya memeluk hingga tubuh Ben menekuk agar sejajar dengan ketinggian ibunya."Ma, bagaimana Mama bisa tahu tentang semua hal yang seharusnya luput dari perhatianmu?" Ben penasaran. Selam aini Mamanya tidak pernah sering berada di dekatnya, namun selalu paham pada perkembangan berita terkini di keluarga besar.“Memang apa aku harus terus menerus bersama kalian agar aku tahu apa yang sedang terjadi? Tentu tidak, Ben!” Jawab mamanya dengan bangga pada keahliannya memata-matai keluarga besarnya. Lebih tepatnya keluarga mantan suaminya.Mamanya membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit berubah karen
Beberapa tahun kemudian..."Aku sungguh bangga kepadamu!" Kakek menepuk pundak cucu kebanggaannya yang telah berhasil membuat perusahaannya menjadi semakin besar dan sukses hingga ke kancah internasional."Terima kasih, Kakek. Ini semua tak lepas dari bantuan Kakek serta Ricky juga." Ucap Noah sambil menepuk bahu sepupunya.Keduanya memang diberikan mandat untuk memegang perusahaan milik McLaren yang tak main-main asetnya kini."Sama-sama..." Ricky nampak tersenyum dan rupanya di sebelahnya sudah ada seorang wanita cantik bertubuh seksi yang menggamit lengannya."Apalagi sejak ada Cassandra, kamu semakin bersemangat bekerja, Ricky. Tidak sia-sia perjuanganku menjodohkanmu dengan dia..." Kakeknya tertawa."Kakek, terima kasih sudah memperkenalkan saya pada Ricky. Dia adalah lelaki terbaik dan sempurna yang pernah saya ketahui..." Cassandra mengucapkannya dengan tulus.Sedangkan Noah masiih nampak diam tak bereaksi saat orang di sekelilingnya menikmati perbicangan. Sudah hampir tiga tah
Masih dengan mulut yang terkunci rapat, Tuan Martin tak bisa merespon."Apa katamu?" Itu saja kalimat yang bisa dia katakan saat tahu Noah meminta maaf padanya.Dosanya terlalu banyak, dia harus memastikan Noah meminta maaf dalam hal apa dulu ini."Iya, saya minta maaf telah menuduh Om Martin sebagai penyebab Ben celaka dalam kematiannya itu. Saya mewakili keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya..." Kata Noah sambil menundukkan kepala.Tuan Martin mengamati pemuda itu. Tak ada unsur yang dibuat-buat apa lagi pura-pura. Dia terlihat sangat serius dan tidak main-main.Ini di luar ekspektasinya, jelas tak mungkin seorang searogan dan sesombong Noah mau merendahkan diri untuk meminta maaf."Aku sudah tak bisa percaya apapun yang keluar dari mulutmu, McLaren!" Bentak Tuan Martin.Anehnya, Noah tak bereaksi frontal meski Tuan Martin sudah memancing amarahnya dan bahkan menghina perilakunya saat meminta maaf begitu."Apa yang harus aku lakukan sehingga Om Martin mempercayaiku?" Noah namp
Noah mendengarkan apa yang dijelaskan oleh pihak kepolisian dengan seksama. Rasanya seperti tak percaya saja dengan apa yang mereka jelaskan.Betapa dia selama ini telah merasa bersalah karena meminjam mobil sepupunya itu sementara mobilnya dikenakan oleh Ben."Tidak ada hal yang mencurigakan selain memang proses perbaikan yang belum selesai." Kata polisi itu mengulangi penjelasannya."Lalu, apa sepupu saya tahu soal mobil yang belum selesai itu?" Noah masih penasaran. "Kata pihak bengkel mobil yang menjalankan pembenahan terhadap mobil itu, korban sudah diberi tahu soal pekerjaan yang belum selesai tapi tetap saja katanya ingin dipakai secepatnya dan dia tak bisa menunggu lebih lama lagi." Jawab polisi itu.Tuan Martin dan Noah saling berpandangan karena merasa saling tuduh satu sama lain. Mertua Ben itu masih mengira kalau Noah sengaja menjebak Ben dengan membiarkan mobil yang masih setengah selesai dikerjakan itu agar dikemudikan oleh menantunya.Padahal jelas-jelas hal itu memba
"Noah, apa yang terjadi?" Aliesha bertanya sambil merangkul sosok di depannya itu.Tangannya gemetar karena membayangkan hal yang tak diinginkan."Cepat jaga Nona Aliesha!" Noah mendengar suara beberapa orang yang berlarian di lantai dua namun dia belum berani membuka pintu."Nona Aliesha, ini kami. Jangan keluar dulu karena di luar masih berbahaya." Rupanya itu adalah pengawal ayahnya."Apa yang terjadi?" Noah bertanya dari balik pintu namun masih menjaga jarak agar tak langsung berada di depan pintu. Khawatir kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."Orang yang dulu disuruh menembak mobilmu, Noah, dia membalas akan menembak Tuan Martin. Tapi beruntunglah tembakan itu meleset dan dia sudah ditembak di tempat oleh pengawal lain..." Jelasnya."Saat kami berdua naik ke atas tadi, dia memang akan melarikan diri ke sini, jadi kami berinisiatif untuk mengamankan Nona Aliesha..." Jawab yang lain."Baik, terima kasih. Kami baik-baik saja. Tolong jaga kami selagi... kami masih di dalam
"Kesalah pahaman bagaimana?" Noah mulai terlihat menegang. Dia tak yakin akan siap dengan apa yang akan dia dengar nanti."Saat itu seingatku memang Tuan Martin sudah mengincarmu..." Bi Lastri masih menunggu reaksi Noah.Jika dia rasa nanti Noah akan bereaksi hiper, maka Bi Lastri akan berhenti bercerita."Mengincar?" Noah bertanya namun terlihat kalau dia masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya."Setidaknya itu yang bisa aku ceritakan padamu sekarang..." Bi Lastri masih belum mau menceritakan lebih lanjut.Sepertinya memang ada hal yang masih dia tutup-tutupi. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya."Kumohon ceritakan saja sekarang, Bi. Aku tidak yakin apakah setelah ini kita memiliki waktu atau tidak untuk bertemu." Noah sengaaj menakuti Bi Lastri agar dia memang membuka semua yang ia tahu saat ini juga."Apa maksudmu? Apa setelah ini kamu mau pergi dari sini?" Bi Lastri tentu terkejut."Iya..."Langit yang tadi gelap kini sudah berubah lebih mencekam karena badai yang dira
Noah berjalan keluar dari kamar Aliesha.Pikirannya masih kalut dan berkabut. Antara diri dan nafsunya saling bertarung. Tak seharusnya di saat-saat berkabung begini dia mencari-cari kesempatan untuk mendekati adik iparnya itu."Noah, kamu belum tidur rupanya..." Bi Lastri tampak kaget ketika keluar dari kamar Tuan Martin dan bertemu dengan Noah yang juga baru saja keluar dari kamar Aliesha."Aku? Aku tidak mungkin tidur jam segini. Lagipula Aliesha sudah tertidur jadi aku pikir lebih baik aku keluar dan... sebenarnya aku ingin bicara denganmu!" Kata Noah.Bi Lastri langsung meletakkan telunjuknya di antara dua bibirnya."Sebaiknya jangan di sini. Ayo, kita turun ke bawah saja!"Bi Lastri mengajaknya untuk segera mencari tempat yang lebih privat untuk bicara. Noah tentu saja menurut dan mengikutinya.Setelah mereka sampai di pavilion bawah, Bi Lastri memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka.Lalu dia membuka dan masuk ke dalamnya."Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu!" Bi
Setelah mendengar permintaan Aliesha untuk membiarkan Noah menemaninya di rumahnya, tentu saja Tuan Martin semakin meradang.Matanya melotot dan menunjuk-nunjuk anak perempuannya itu."Apa maumu? Kamu sudah memasukkan kembali racun dan duri ke dalam rumahku!" Tuan Martin tidak terima.Baginya kalau boleh memilih, hanya Benedict saja yang ia anggap sebagai menantu. Meski dia juga sama-sama berasal dari keluarga musuh bebuyutannya."Aku tidak salah dalam meminta, Ayah. Aku ingin Noah tinggal bersamaku di sini." Aliesha menyeret kopernya dan dibawanya masuk ke dalam dengan susah payah."Noah, kenapa kamu diam saja? Ikuti aku!" Noah hampir tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Baru beberapa detik yang lalu Aliesha seolah menjadi singa yang kepalaran dan hampir mati dengan tak punya tenaga melawan.Kini, tiba-tiba mantan istrinya itu sudah menjelma seperti singa wanita yang pemberani dan siap melawan apapun yang menghadangnya.Noah melihat sekilas wajah Ayah Aliesha yang mas
Aliesha mengaitkan kedua lengannya dan melipatnya di depan dada.Ada rasa berat saat dirinya meninggalkan rumah ini sekarang. Dulu, dia bersikeras ingin segera pergi dari sini dan meneruskan hidupnya di rumah yang berhasil ia bangun dengan mimpinya sambil membesarkan usaha yang dia rintis.Kini, entah sejak kapan rasa memiliki itu mulai muncul.Rasanya berat saat Ben sudah tak ada lagi. Apakah dia masih bisa menyebut sebuah bangunan itu sebagai sebuah rumah? Rasanya tidak saat Ben tak ada lagi di dalamnya.Dan tempat terakhir yang Aliesha rasakan sebagai rumah adalah rumah Kakek, yang dirinya akhrinya terusir juga untuk pergi.Memang tak ada yang abadi di dunia ini.Aliesha tahu itu."Apa kamu baik-baik saja?" Suara Noah yang lagi-lagi membuatnya kembali menjejakkan angannya ke bumi.Wanita berbaju hoodie yang ukurannya oversize itu hanya mengangguk dan sorot matanya kosong.Saat ini, Noah juga sama-sama hancur tapi satu hal yang dia pegang yaitu kalimat Ben yang menitipkan Aliesha se
"Aku tidak mau tahu, suruh perempuan itu pergi dari ini!" Suara kakek menggelegar sehari setelah Ben dimakamkan.Tangannya sampai gemetaran saat mengucapkan hal itu pada pengawal dan beberapa orang pembantunya."Tapi, Tuan..." Itu kalimat yang ingin disampaikan oleh pembantu, tapi tetap saja dia tak berani berkata apa-apa karena majikannya lah yang menggaji setiap bulan.Untuk sementara dia harus berdiam diri dan tidak menyanggah apapun yang diperintahkan oleh sang majikan."Cepat kemasi barang-barangnya dan aku tidak mau melihatnya keluyuran di sini lagi!" Kakek semakin membabi buta dan marah sejadi-jadinya."Ba-baik Tuan, kami akan membawanya pergi dari sini.""Jangan sampai ada satu barangnya yang tertinggal. Aku tidak mau di rumahku bau keringat dan jejaknya tersisa di sini. Cepat lakukan!" Kakek bertitah dan kemudian masuk kembali ke ruang kerjanya untuk menyendiri.Baginya kehilangan Ben seperti kehilangan nyawanya sendiri. Seumur hidupnya, cucu yang satu ini teramat menurut dan