“Seorang petarung harus memiliki senjata rahasia. Gunakan ini saat keadaan sudah mendesakmu. Sembunyikan di tempat yang tak seorang pun bisa menebaknya. Dengan begitu lawan pun tak akan menyadarinya,” balas Casper dengan sorot manik elangnya.Tangan kanan Logan itu tahu, Lewis belum handal menghadapi situasi seperti ini. Dirinya yang sedikit cemas, tak bisa membiarkan anak didiknya tersebut gugur dalam perang.“Habisi pasukan Geng Ceko sampai tak ada yang tersisa!”Kedua orang itu pun lekas menyusul anggota lainnya. Langkah penuh lahar panas seolah menambangi setiap tapak kaki mereka. Antek-antek beringas tersebut sungguh mirip malaikat pencabut nyawa yang bangkit dari neraka.Pekik histeris terdengar bersahut-sahutan begitu para Blackhole melihat pasukan lawan menerjang lapangan perbatasan. Derap kaki bak gerombolan kuda itu berlari kencang membaur di tengah kawanan.“Matilah kalian semua!” jerit lelaki gempal dari geng Blackhole.“Blackhole akan lenyap malam ini!”Sementara dari ara
Pion EmasKabut hitam seperti membelenggu sekitar Lewis. Rasa perih yang semula tak ada, kini seakan merobek jiwanya.Gelenyar anyir berlumur mengitari belakang kepala sampai sekeliling tengkuknya. Rasa perih pun kian lama kian membuat pandangan matanya meremang.“Hey, Lewis!”Casper berteriak sambari menopang tubuh Lewis yang sempoyongan.Pria berjambang tebal itu melotot tajam. Tangannya mencengkeram kuat kedua sisi lengan Lewis, coba membuat anak didiknya itu tetap sadar.Orang yang diajak bincangnya itu seolah akan ambruk. Namun tanpa Casper duga, seringai miring malah terukir di bibir Lewis.“Lewis?” gumam tangan kanan Logan tersebut ragu-ragu.Seketika Casper pun ikut merayapkan mulutnya ke atas. Dia mengangkat sebelah alisnya kala menyadari bahwa Lewis tidak selemah itu.‘Dasar gila, cecunguk ini benar-benar kebal, ya? Sepertinya aku tidak salah mengambil mainan dari kotaknya. Lewis akan menjadi pion emas geng Blackhole!’Pikiran Casper malah belingsatan senang.Dia pun lekas b
Suara gubrakan terdengar keras saat truk itu menghantam mobil hitam yang mengejar Annelies. Kendaraan itu terseret beberapa meter, hingga akhirnya terjungkal di tengah persimpangan lampu lalu lintas.Sejumlah mobil lainnya berhenti, termasuk Frans yang berhasil lolos dari lampu merah sebelumnya.Lelaki itu melirik kaca spion untuk melihat keadaan di belakang. Alisnya mendapuk saat mendapati mobil hitam yang mengejarnya terbalik disertai asap. Karena hantaman yang keras, kaca samping dan depan mobil itu remuk. Bisa dipastikan pengemudinya luka berat jika tidak meninggal.‘Baguslah! Si brengsek itu mendapat karmanya!’ batin Frans dengan leher mengeras. Tatapannya menggulir pada Annelies di sebelahnya. Dia menyelipkan rambut basah wanita itu ke balik telinga.‘Aku akan membawamu ke tempat yang aman sekarang,’ Frans bergeming dan lantas melajukan mobilnya lagi.Setelah cukup lama berkendara, Frans pun berhenti di depan mansion mewah. Beberapa penjaga keamanan yang bersiaga pun menunduk h
“Kau tidak perlu tahu sekarang,” kata Frans yang lantas bangkit dari duduknya.Dia berjalan ke arah Blair, lalu meraih lengannya agar wanita itu bangun juga.“Ehei, apa yang Kakak lakukan?” tukas Blair protes.“Kau sangat berisik. Ayo pergi dari sini dan jangan ganggu orang yang sedang istirahat,” sahut Frans membawa adik sepupunya pergi.Hingga esok harinya, Annelies baru sadarkan diri. Dia bangun dengan kening mengernyit, bingung karena berada di tempat asing.‘Di mana ini? Apa yang terjadi padaku?’ batinnya dalam hati.Dia coba memutar memori. Jarinya menekan pelipis saat mengingat insiden kemarin malam di penthousenya.‘Hah … benar. Saat itu aku meminta bantuan Frans. Apa sekarang aku ada di tempatnya?’ batin Annelies menerka.Detik berikutnya pintu kamar itu terbuka. Sosok lelaki tinggi tegap muncul di sana. Itu Frans yang sudah rapi dengan setelan jas hitamnya.“Annelies, kau sudah bangun?” kata pria tersebut mendekat.Sang wanita bangkit dan bersandar di badan ranjang. Saat sel
Saya Tidak Ingin Wanita Lain Melihat Tubuh Anda***“Saat ini waktunya Anda ganti perban,” tutur Cloe meletakkan beberapa alat medis di nakas.Kaelus yang duduk bersandar di brankar, tak langsung menjawab. Dirinya mengernyit heran, lantas menilik ke arah pintu. Dia mencari perawat yang mungkin datang, tapi nyatanya tidak ada siapapun yang masuk.“Kenapa kau yang membawanya?” Kaelus bertanya heran.“Karena saya yang akan membantu Anda mengganti perbannya,” sahut Cloe tanpa ragu.Dahi Kaelus semakin mengerut. Dia benar-benar tak mengerti dengan sikap wanita ini.Ya, dia tak tahu saja bahwa Cloe telah menghadang suster perempuan yang hendak masuk ke ruang rawat Kaelus. Perhatian Cloe tertuju pada perban dan beberapa alat kesehatan yang dibawa tenaga medis itu, di semacam nampan alumunium. Belum sampai suster tadi masuk, Cloe sudah menawarkan diri untuk jadi wali yang akan mengganti perban Kaelus.“Mengapa kau? Harusnya Perawat yang melakukannya!” Kaelus menyambar acuh tak acuh.Cloe mel
Kaelus menahan bahu Cloe, seraya berkata, “bertingkah seperti jalang, sangat tidak cocok untukmu!”Cloe terdiam. Sebelah bibirnya tersenyum selaras dengan tangan kanannya yang kini melangkup di pipi pria tersebut.“Tuan Kaelus, saya sudah mengambil keputusan. Saya ingin hidup bersama Anda. Tidak pedulii jika Anda berpikir saya gila, karena saya menyerahkan hidup ini pada Anda!” tukasnya amat serius.“Kau tidak tahu siapa aku, Cloe. Kau tidak akan bisa menerimaku!”“Kalau begitu beritahu saya!” sahut wanita itu tegas. “Katakan pada saya siapa diri Anda dan biarkan saya yang memutuskan!”Kaelus tak tahu apa yang merasuki wanita ini. Dirinya juga tak bisa menunda lebih lama lagi. Mungkin Cloe harus tahu sosoknya yang sebenarnya agar wanita itu menyerah terhadapnya.Sorot mata pria itu tampak lebih tajam. Dia mencekal tangan Cloe dan menjauhkan dari wajahnya.“Kau mau tahu?” ujarnya pelan, tapi nadanya penuh tekanan.Dirinya semakin merapatkan tubuh Cloe padanya, seiring wajahnya yang men
“A-apa yang kau katakan? Itu tidak mungkin!” Velos berujar dengan wajah tegang.“Ka-kami juga tidak tahu, Tuan. Tiba-tiba saja, Big Boss mengalami henti jantung. Lalu kami segera memanggil Dokter untuk memeriksanya,” tutur antek Caligo yang bertugas menjaga ruang rawat itu.Ini di luar dugaan Velos. Pasalnya tadi malam reaksi Dan Theo cukup baik terhadap penawar yang dia berikan. Namun, jika jantungnya tiba-tiba berhenti, ini bisa berbahaya!Pria itu menekan belakang kepalanya dengan sebelah tangan, lalu bertanya, “sudah berapa lama Dokter di dalam?”“Sekitar sepuluh menit, Tuan,” sahut antek Caligo tampak gelisah juga.Sensasi pening menyerang Velos. Untuk sesaat, dirinya menyesal telah memberikan penawar tersebut. Dengan tatapan kalutnya, lelaki itu pun menonjok dinding dengan keras. Tangan kirinya gemetar seiring gelenyar merah yang mengalir dari tangannya.Akan tetapi, Velos sama sekali tak merasa sakit pada tangan itu. Justru dadanya sangat sesak, resah karena dokter tak kunjung
‘Aku akan menelepon Annelies!’ batin Kaelus yang kini merogoh ponsel dari saku celananya.Belum sampai menekan nomor wanita tersebut, tiba-tiba perhatian pria itu langsung tersita pada bunyi pekak beling yang pecah. Kaelus seketika berpaling ke sumber suara. Agaknya itu berasal dari lantai atas.Namun, tanpa Kaelus tahu, rupanya di sana Annelies sedang berhadapan dengan pemuda yang menatapnya amat sinis.“Hah! Maaf, gelasnya licin. Saya tidak sengaja menjatuhkannya, Bibi!” tukas Lewis dengan raut wajah datarnya.Ya, dia memang Lewis Langford. Entang mengapa tiba-tiba pemuda itu mendatangi Annelies. Mereka tidak pernah akrab, kedatangan Lewis tentunya membuat Annelies curiga.Wanita itu menatap pecahan cangkir minuman yang baru saja dia sodorkan pada Lewis.Dirinya mengangkat pandangan, lalu bertanya dingin. “Kenapa kau mendatangiku?”“Sudah saya bilang, saya merindukan Bibi!” sahut Lewis menatapnya lekat.Sial, kalimat singkat itu malah membuat Annelies merinding. Pasalnya, yang dia t
“Aku yang akan membawa keranjang ini untuk Bibi Cloe!” Gadis kecil itu berujar tegas. Dia berbalik, bermaksud pergi. Tapi Ditrian langsung menahan bahunya, hingga anak perempuan tadi berhenti. “Aku yang melihatnya lebih dulu. Jadi berikan padaku!” tukas Ditrian dengan tekanan di akhir katanya. Lawan bincangnya menoleh dan lantas membantah, “kau tidak dengar? Keranjang bunga untuk anak perempuan. Memang kau perempuan?!”Tangannya menepis pegangan Ditrian, lalu mengamati anak laki-laki itu sambil tersenyum miring. “Yah … karena kau merengek terus, kau memang mirip anak perempuan,” ujarnya yang lantas menyodorkan keranjang bunga itu. “Ambillah kalau kau mau!”Alih-alih meraihnya, Ditrian justru bungkam seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ya, dia pernah melihat Dan Theo melakukan itu saat bicara dengan bodyguardnya.“Anak kecil, siapa namamu?” Ditrian bertanya penasaran.“Hah! Anak kecil?!” Gadis tadi menyahut sambil merapatkan alis. “Aku saja lebih tinggi darimu. Beraninya
“Hah!” Annelies bergegas mendorong Dan Theo agar menjauh darinya. Meski gerakan itu tiba-tiba, tapi Dan Theo bisa menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tak sampai terhuyung. ‘Aish!’ Pria tersebut mendesis dalam batin sambil mengusap dagunya. “Ada apa dengan wajah Mommy? Apa Mommy sakit?” Ditrian bertanya dengan polosnya saat mengamati ekspresi buncah sang ibu. Annelies seketika mengubah iras mukanya. Dia tersenyum, sambil membenarkan posisi dasi kupu-kupu kecil yang berada di kerah putranya. “Mommy tidak apa-apa, Ian,” tukas Annelies yang kini berjongkok setinggi putranya. “Oho … putra Mommy sangat tampan dengan pakaian ini!” Ya, bocah lima tahun itu memang tampak menawan. Terlebih caranya melirik dan berucap sangat mirip Dan Theo. Sungguh menggemaskan. Tangan mungil Ditrian menjulur, coba memeriksa kening Annelies di hadapannya. “Tubuh Mommy tidak panas. Mommy tidak demam,” katanya. Sial, tindakan anak laki-laki itu benar-benar di luar bayangan Dan Theo. Dia yang sejak tadi me
***San Carlo, musim semi.“Dan Theo, lihat aku. Apa gaun ini cocok untukku?” Annelies bertanya sambil menyelipkan anakan rambut ke telinga.Sang suami yang tengah menata dasi di depan cermin, lantas mengangkat pandangan. Dari pantulan kaca, jelas sekali istrinya tampak memesona. Tapi perhatian pria itu seketika terganggu, saat mengamati belahan dada Annelies yang terpampang jelas.“Ini gaun karya Fashion Designer terkenal Jenny Shu. Aku beruntung bisa mendapatkan edisi terbatas dari koleksi ‘Cinta Musim Panas’ ini!” sambung Annelies masih menantikan pendapat suaminya.Dan Theo menarik seringai tipis, lalu menimpali pelan. “Jenny Shu, ya? Sepertinya aku harus mendatangi Fashion Designer itu dan mengajarinya cara membuat pakaian dengan benar!”“Heuh? Kau bilang apa?” Annelies mengernyit karena tak mendengar kata-kata Dan Theo dengan jelas.Sang suami kini berbalik. Dia mendekati Annelies dengan raut wajah datar. Irisnya mengamati Annelies dari atas sampai bawah dengan serius.“Gaunnya
Dan Theo meraih tangan Annelies sembari berujar, “kau akan tau setelah melihatnya, istriku.”Dia pun menarik Annelies mangkir dari belakang vila Serena itu. Annelies jadi kian penasaran sebab Dan Theo membawanya keluar area vila.“Dan Theo, sebenarnya kita mau ke mana?” Annelies bertanya sambil membenarkan cardigannya yang melorot.Sang suami yang melihatnya jadi menghentikan langkah. Dia membantu wanita itu merapikan pakaiannya yang tipis. Dia menilik sampai ke kaki istrinya dan menyadari bahwa Annelies hanya mengenakan sandal rumah.Tanpa menjelaskan tempat tujuannya, Dan Theo malah berbalik lalu berjongkok di depan Annelies.“Naiklah, istriku,” katanya yang bermaksud menggendong Annelies ke punggungnya.“Aku bukan anak kecil!” sahut sang wanita tersenyum miring.Akan tetapi Dan Theo tetap mempertahankan posisi itu, hingga membuat Annelies naik ke punggungnya.“Jangan bilang aku berat!” Annelies mendecak sebelum suaminya tersebut protes.Dan Theo tersenyum miring, lalu menimpali, “si
“Istriku.” Dan Theo memanggil selaras dengan langkahnya yang kini mendekati Annelies.Tangannya merengkuh pinggang wanita itu, lalu bertanya, “kau menyukainya? Karena waktunya singkat, kami hanya menata lampu-lampu yang sudah ada.”Annelies memindai sekitar, sepasang manik hazelnya berbinar melihat beberapa lampion berbentuk panjang khas Ceko yang terpajang di beberapa pagar. Ada juga yang menggantung di dekat taman. Sungguh, tempat itu semakin memukau dan suasana pun berubah hangat.“Sangat indah, suamiku.” Annelies membalas saat menoleh pada Dan Theo.“Setiap akhir musim panas, ada festival delle Lanterne. Orang-orang Ceko akan menerbangkan lampion seperti itu di pinggir pantai.” Serena yang berada di belakang, kini buka suara.Annelies beralih menatapnya, sembari bertanya, “benarkah? Aku baru mendengarnya, Ibu.”“Ya, sebab itu Ibu selalu menyiapkan banyak lampion saat mendekati hari festival. Kalian beruntung datang sebelum akhir musim panas. Nanti kita semua bisa datang ke festiv
“Kaelus? Apa yang terjadi pada wajahnya?” Cloe berujar dengan alis bertaut. Annelies yang mengerti kecemasannya pun mundur, seraya berkata, “kalian bicaralah, kami akan masuk dulu.”Begitu lawan bincangnya mengangguk, Annelies dan yang lainnya beranjak ke dalam vila. Serena berjalan di depan sambil menggendong Ditrian.Tapi saat tiba di dekat pintu, dia lantas bicara pada anak buahnya, “tambah penjagaan di vila ini, terutama malam hari!”“Baik, Ketua!” balas anteknya sigap. Sementara di luar, Cloe menghampiri Kaelus dengan iras muka cemasnya. “Kau terluka?” katanya saat berhenti di hadapan pria tersebut.Bukannya menimpali dengan ucapan, Kaelus justru memeluk Cloe dengan hangat. Dekapannya semakin erat seakan menyalurkan seluruh rindu yang tertahan berbulan-bulan.“Kaelus, kau dengar aku? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa wajahmu jadi seperti ini?” tukas Cloe lagi.“Ehei … kita baru bertemu, tapi kau sudah mengomeliku?” sahut pria itu protes.Cloe mengembuskan napas panjang, tang
“Dan Theo ….” Annelies berpaling pada sang suami.Maniknya yang gemetar seakan meminta kepastian pria itu bahwa dirinya tidak salah lihat.“Ya, istriku. Bukankah kau merindukan beliau?” tutur Dan Theo menaikkan kedua alisnya.Annelies mengerjap. Dia nyaris tak percaya, tapi pengelihatan dan ucapan Dan Theo benar-benar nyata.“Mari kita temui Ibu mertua!” Pria itu melanjutkan katanya sambil memandu sang istri melangkah ke depan.Mereka pun berjalan mendekati Serena yang kini berada di antara antek-antek geng Ceko. Wanita itu berdiri dengan suit putih tulang dan syal elegan yang melingkari lehernya.Benar, setelah berbulan-bulan menghilang akibat insiden penembakan di dermaga De Forte, akhirnya Serena kembali. Semua orang berpikir dirinya sudah tiada, tapi anak buah Velos berhasil menemukannya. Dan selama Annelies di Sociolla, Serena telah menerima perawatan hingga berhasil pulih.Serena menarik sudut bibirnya tipis begitu Annelies dan sang suami berhenti di hadapannya.“Lama tidak bert
“Menurutlah selagi aku belum berubah pikiran, Theodore!” Anthony berujar dengan tatapan tegas.Dan Theo tahu, mustahil jika melawan. Bahkan mungkin akan membuat posisinya dan Annelies dalam bahaya karena hal ini memang perjanjian awal.Dengan rahang berubah ketat, Dan Theo pun berujar, “baiklah, aku akan pergi bersama Annelies. Tapi Ayah harus menepati janji. Jangan pernah mengganggu kami lagi!”“Apa kau pernah melihatku berkhianat?!” sambar Anthony yang lantas meraih cerutunya.Tangan Dan Theo mengepal geram, sampai kapan pun dia tak rela meninggalkan satu putranya bersama Anthony.‘Tunggu Daddy, Dylan. Suatu hari, Daddy pasti menjemputmu!’ batin pria itu penuh tekad. Dirinya lantas menunduk hormat di hadapan sang ayah. Tanpa bertukar suara lagi, Dan Theo pun mangkir dari ruangan tersebut.Sialnya, Eugen masih menunggu di luar. Rasanya Dan Theo ingin menghajarnya, tapi Annelies pasti sudah menunggu. Dia tak akan membuang waktu untuk hal yang sia-sia.Namun, bukannya membiarkan Dan T
“Mohon maaf, Tuan Theodore. Tuan Eugen sudah membawa pergi bayi pertama Anda!” tukas sang Perawat menunduk.Dan Theo yang mendengarnya pun mengernyit geram. Belum juga Annelies dan dirinya menggendong bayi itu, tapi sang ayah sudah buru-buru mengambilnya. Bukankah bayi itu butuh Annelies untuk menyusu?‘Sial! Kenapa Ayah sampai bertindak seperti ini? Anak itu masih bayi dan butuh ibunya!’ batin Dan Theo meradang dalam dada.Dirinya tak sanggup menyampaikan perkara ini pada sang istri. Terlebih kondisi Annelies masih lemas. Dia tak mau wanita itu cemas, bahkan kesehatannya menurun jika memikirkan bayi pertamanya.‘Sebaiknya aku tidak membahas bayi dulu,’ geming Dan Theo dengan alis berkedut.Dia akhirnya kembali mendekati Annelies dan berupaya mengalihkan perhatian.“Istriku, para Perawat akan memandikan bayi-bayi kita dulu. Kau tenang saja, bayi-bayi kita sangat tampan dan memiliki mata yang indah sepertimu,” tutur Dan Theo merengkuh tangan Annelies.Sang wanita tersenyum binar, semba