Violet berdiri dari duduknya ketika melihat sosok lelaki yang dicintai tengah masuk ke dalam hotel bersama dengan seorang perempuan. Caranya memeluk pinggang si perempuan, lalu sesekali memberikan kecupan di pelipisnya, menandakan hubungan mereka bukan sekedar teman. Apalagi ketika lelaki itu menerima sebuah kunci dari petugas resepsionis dengan senyum lebar, sudah bisa dipastikan, calon suaminya selingkuh.
“Ibu, ada apa?” Sekretaris Violet bertanya dengan raut wajah bingung melihat bosnya seperti terkejut akan sesuatu. Violet yang tak kunjung duduk itu hanya terdiam dengan tatapan kosong.
Namun, untuk selanjutnya Violet bertanya, “Kamu tidak melihat itu tadi, Raya?”
“Ibu melihat apa? Apa klien kita sudah sampai?” Pertanyaan itu tentu saja wajar dilontarkan oleh Raya yang tidak mengetahui apa pun. Terlebih lagi, mereka datang ke hotel tersebut untuk pertemuan bisnis dan sejak tadi mereka sedang menunggu klien.
“Batalkan pertemuannya!” titah Violet kepada Raya. Tanpa mengulur waktu lagi, Violet pergi meninggalkan Raya tanpa basa-basi. Violet tak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan tentang sikapnya. Baginya sekarang, dia hanya perlu melihat apa yang sedang dilakukan oleh calon suami dengan perempuan lain di hotel ini.
“Berikan saya kunci kamar Evan Adhyaksa!” gertak Violet kepada petugas resepsionis. Tatapannya tajam menusuk, memberikan tanda jika permintaannya tidak bisa diganggu gugat. Sayangnya, hal tersebut tidak begitu saja dikabulkan oleh petugas resepsionis. Pasalnya, kedatangan lelaki itu diminta untuk dirahasiakan.
“Saya istrinya.” Violet segera mengimbuhkan agar usahanya untuk segera bertemu dengan Evan dimudahkan. “Katakan atau saya akan membuat kekacauan di tempat ini!” Violet tak sabar.
Seorang perempuan tinggi bernama Hesti itu menoleh ke arah temannya yang ada di sampingnya, seolah meminta bantuan. Tapi Violet tidak memiliki waktu sebanyak itu untuk menunggu. Maka dia mengangguk dan bergerak menjauh.
“Baiklah kalau itu yang Anda mau,” tegasnya dengan dingin. Berjalan ke arah dinding sebelah kanan untuk mengambil APAR pemadam api dan bersiap melemparkan benda itu ke guci tinggi yang berdiri sebagai pajangan. Beberapa orang yang melihat itu membelalakkan matanya. Bahkan Raya yang masih berada di kursi tamu terkejut melihatnya. Gadis itu segera saja mendekat pada Violet untuk menghentikan perempuan itu.
“Ibu, tolong jangan lakukan ini.” Raya memegangi tangan Violet dengan raut wajah tegang luar biasa. Seorang satpam mendekat untuk menghentikan kerusuhan yang dilakukan Violet, tapi mereka segera berhenti ketika suara Violet memenuhi ruangan.
“Berikan kuncinya!” titah Violet lagi kepada petugas resepsionis. Karena takut akan terjadi masalah besar, maka perempuan itu segera pergi mengambilkan kunci dan memberikan kepada Violet. Violet menyerahkan APAR yang dipegangnya kepada satpam sebelum dia pergi dari lobby dan meninggalkan orang-orang yang sejak tadi terlihat ketakutan karena ulahnya.
Raya tak tinggal diam. Dia segera menyusul Violet untuk memastikan bosnya itu tidak melakukan sesuatu yang membahayakan.
“Ibu. Ibu kenapa? Siapa yang akan Ibu temui?” Raya bertanya saat mereka sudah masuk di dalam lift. Gadis itu menahan ketakutannya melihat Violet yang terlihat mengeluarkan emosinya begitu besar. Sayangnya, pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban dari Violet. Violet hanya menutup bibirnya rapat.
Keluar dari lift, mereka menyusuri koridor dengan langkah lebar, Violet tak sabar ingin segera melihat apa yang dilakukan oleh Evan di dalam kamar hotel bersama seorang perempuan.
Violet membaca nomor yang terpasang di pintu dengan tatapan keji miliknya. Violet menggedor dengan seluruh tenaganya sampai pintu kokoh itu terbuka lebar. Memunculkan Evan yang tampak emosi pada awalnya, sebelum raut wajahnya berubah pucat pasi.
“Violet,” katanya dengan suara rendah. Getaran suaranya bahkan bisa Violet rasakan. Violet tak banyak kata ketika kakinya melangkah mendekati lelaki itu. Menatap dari atas sampai bawah apa yang dikenakan oleh calon suaminya tersebut. Hanya sebuah jubah mandi berwarna putih milik pihak hotel.
Kemerahan di leher Evan membuktikan jika lelaki itu baru saja melakukan kegiatan tak bermoral. Raya yang sejak tadi mengikuti Violet hanya membeku diam di tempatnya. Terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya.
“Violet, kita bisa membicarakan ini.” Kepanikan Evan tak bisa disembunyikan. Tapi Violet tak sudi mengakhirinya dengan mudah. Violet lebih mendekat lagi untuk meneliti kemerahan yang bukan hanya tercetak satu atau dua saja. Tangan Violet membuka jubah di bagian dada dan kemerahan itu juga tercetak di sana. Di pundak Evan juga menampilkan bukti yang sama. Seringaian tercetak jelas di bibir Violet.
“Bersenang-senang hari ini, Evan?” pertanyaan yang cukup santai. Tapi mampu menggetarkan jiwa Evan.
Lelaki itu gagap tak bisa menjawab. Mulutnya terbuka kemudian tertutup kembali bak seekor ikan kekurangan air. Violet mendorong lelaki itu dengan kasar sampai terhuyung. Kakinya melangkah maju untuk masuk sepenuhnya ke dalam kamar. Evan menghalangi Violet dengan cekalannya, tapi sayang tak cukup mampu membuat gadis itu mengurungkan niatnya.
Benar saja, saat Violet melihat di atas ranjang, seonggok manusia tengah berbaring memunggunginya tanpa busana. Hanya mengenakan satu set dalaman berwarna merah terang. Bagus. Bagus sekali.
“Siapa, Sayang? Mengganggu saja.” Perempuan itu berbalik dan matanya terbuka lebar ketika melihat bukan hanya Evan yang berdiri di sana. Buru-buru mengambil selimut tebal untuk menutupi tubuh telanjangnya. Violet kini menatap Evan berdiri di sampingnya. Keringat dingin muncul dari pori-pori kulit lelaki itu padahal AC menyala dengan baik.
“Violet, aku akan menjelaskan semuanya. Kamu harus mendengarkanku.” Evan membuka suara agar Violet bisa mengerti posisinya. Mungkin Evan menyangka kalau Violet adalah perempuan bodoh yang bersedia disakiti. Memang benar, hati Violet sudah terasa porak-poranda tak karuan akibat ulahnya. Tapi lihatlah sosok itu. Dia bahkan tidak mengeluarkan air matanya sedikitpun.
Violet kuat menahan rasa sesak yang terasa membakar jiwanya. Violet mampu bertahan dalam rasa sakit yang dirasakan. Menangis di depan orang yang menyakitinya hanya akan memberikan kemenangan kepada orang itu dengan cara yang mudah.
Satu tamparan keras melayang di pipi Evan sampai lelaki itu terhuyung. Tidak ada kata yang dikeluarkan oleh Violet sejak dia tahu teman kencan Evan ada di atas kasur.
“Bersenang-senanglah. Kalian memang pasangan yang serasi.” Setelah mengatakan itu, Violet akan berlalu dari sana. Tapi dia melihat dua ponsel berada di atas nakas dengan satu lampu tidur. Violet mengambil dua ponsel itu dan melemparkannya ke arah dinding secara bergantian sampai ponsel itu hancur. Yang terakhir, dia mengangkat lampu tidur, lalu melemparkannya di dinding. Jeritan wanita Evan itu memenuhi ruangan ketika bunyi pecahan lampu terdengar nyaring.
“Apa yang kamu lakukan!” Evan melotot marah tapi Violet sama sekali tak peduli.
Pergi dari tempat itu dengan langkah pasti, meskipun kakinya terasa lemas setelah berada di luar kamar. Jantungnya terasa ingin meledak karena menahan amarah yang begitu dahsyat. Tapi, tugasnya masih satu lagi yang perlu dilakukan. Mencari cara agar pernikahannya tidak gagal atau itu akan mempermalukan dirinya dan orang tuanya.
***
“Di kamar 503, saya baru saja memecahkan lampu tidur. Ambil ini sebagai tanggung jawab saja dan ganti rugi.” Violet meletakkan satu bundel uang pecahan seratus ribu di atas meja resepsionis sebelum dia pergi. Tak memberi kesempatan kepada petugas resepsionis untuk menjawab ucapannya. Violet tidak memiliki banyak waktu berdiam diri di sana. Bahkan dia tak menghiraukan Raya. Kini dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tidak peduli jika barangkali dia akan mendapatkan sumpah serapah dari pengguna jalan lainnya. Yang terpenting baginya adalah dia harus segera sampai di kantor dan mengatakan semua ini kepada ayahnya. Violet adalah putri satu-satunya dan tentu kesayangan keluarganya. Entah bagaimana reaksi ayahnya saat tahu Evan mengkhianati Violet. Sedikit berlari untuk masuk ke dalam gedung kantor, Violet mengabaikan siapa pun yang menyapanya. Raut wajahnya lebih dingin dari biasa. Perasaan kalut yang ditutupi rapat di dalam hatinya seolah membakar jiwa dan pikiran. “Bapak se
Malam itu juga, Rizal meminta Vier untuk datang ke rumahnya. Tidak ada lagi waktu untuk menunda. Semuanya harus diselesaikan segera. Mengambil keputusan seperti ini memang tidak mudah, tapi mereka harus tetap melakukannya. Ini demi nama baik keluarga, begitulah yang dikatakan oleh Violet. Menunggu hampir dua jam ketika Vier pada akhirnya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah cukup malam untuk membahas masalah pekerjaan jika itu yang dipikirkan oleh Vier. Tapi, Vier tetap harus datang karena itu panggilan dari bosnya. “Menikahlah dengan Violet.” Lima menit setelah duduk di sofa ruang keluarga Rizal, Vier segera mendapatkan tembakan kalimat yang membuatnya sulit percaya dengan pendengarannya. Ini bukan tentang kalimat tersebut yang susah untuk dipahami. Tapi ini tentang situasi yang tak bisa diprediksi. Siang tadi, Vier masih menjadi lelaki dengan status sekretaris, asisten pribadi, atau apa pun itu sebutannya untuk seorang Rizal Bimantara. Lalu sekarang, secara t
Violet tak pernah menyangka kalau pengkhianatan akan menimpa hidupnya. Anggapan tentang Evan yang setia selalu mengaung di dalam kepalanya. Kepercayaannya kepada lelaki itu begitu besar. Seandainya Violet tak melihatnya sendiri, maka dia mungkin tidak akan percaya jika kekasihnya berkencan dengan perempuan lain di belakangnya. Violet kini semakin terlihat tak tersentuh. Pengkhianatan itu seolah menutup hatinya sepenuhnya. Tapi tentu, pengkhianatan itu tak akan membuatnya memberikan penilaian buruk kepada semua lelaki. Dia tahu, masih ada lelaki baik di luar sana. “Besok, Hara ingin bertemu dengan Ibu.” Vier menyampaikan itu setelah acara pernikahan berakhir. Hara adalah kekasih Vier. Perempuan yang sudah rela ‘meminjamkan’ Vier untuk menikah dengan Violet. Violet tak tahu bagaimana Vier mengatasi amukan dari Hara saat meminta izin untuk menikahi dirinya. Tapi, dia beranggapan, Hara mungkin perempuan yang sangat baik sehingga membiarkan kekasihnya membantunya. Violet lantas menjaw
Setelah ucapan Violet tersebut terlontar, bukan hanya Hara yang terkejut, tapi Vier pun sama. Bagaimana bisa, perempuan yang sudah mengambil kekasih orang lain masih berbicara begitu sombong. Ya, karena dia adalah Violet. Perempuan yang tidak bersedia kalah dari siapa pun. “Saya bersedia datang menemui Anda adalah untuk mengatakan dua poin penting. Meminta maaf dan berterima kasih. Saya bukan orang tak tahu diri yang akan bertindak seenaknya ketika ada orang berbaik hati membantu saya. Tapi tampaknya saya harus menarik kembali niat saya untuk melakukannya. Bukan saya yang melewati batas tapi Anda yang sudah mengatakan sesuatu yang tidak saya sukai,” jawab Violet dengan nada santai. Vier paham betul jika Violet adalah perempuan yang tidak bisa disinggung dalam bentuk apa pun. Lelaki itu juga sudah mengatakan kepada kekasihnya bagaimana tabiat Violet agar Hara tidak mengatakan sesuatu yang bisa menyentil amarah Violet. Sayangnya, mungkin karena hati perempuan itu sedang tersakiti, mak
“Saya rasa, hubungan kami tidak akan sampai di tahap itu, Pak,” jawab Vier mendengar ucapan bosnya yang sekarang menyandang status sebagai ayah mertuanya. “Setelah kontrak kami selesai, maka kami akan tetap berpisah,” tegas Vier lagi. Seandainya dia masih single, mungkin saja dia bisa mempertimbangkan untuk tetap bersama dengan Violet. Namun sayang, dia harus mampu menjaga hati seseorang agar tidak tersakiti terlalu dalam. Rizal mengangguk menyadari sikap Vier. Lelaki itu memang sudah bersama dengan kekasihnya dalam waktu yang cukup lama. Rizal mungkin juga berpikir jika cinta Vier kepada kekasihnya cukup besar. Dan seharusnya dia memang tak mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal seperti itu. Tapi, berharap boleh, kan?“Saya minta maaf. Anggap saja saya tidak pernah mengatakan itu,” kata Rizal mengalah. Dia tak boleh terlihat berharap dengan asistennya itu. Vier pun hanya bisa mengangguk sebelum pergi meninggalkan ruangan bosnya untuk kembali ke meja kerjanya. Meskipun Vier sudah m
Pagi ini, Violet menyiapkan sarapan untuknya dan Vier. Untuk pertama kalinya setelah menikah, dia memasak untuk suaminya. Setelah ini, dia harus mencari asisten rumah tangga. Violet tak mungkin memiliki waktu sebanyak itu untuk melakukan pekerjaan rumah. “Violet masak?” tanya Vier dengan sedikit kekaguman. Vier sudah terlihat rapi dengan pakaian kantornya. Kemeja berwarna navy dengan celana bahan. Tidak ada dasi yang menggantung di kerahnya, atau jas yang memeluk tubuhnya. Ya, Vier hanya seorang asisten pribadi. Bukan bos. Terkadang Vier merasa kecil di depan Violet yang adalah seorang bos. Dia bahkan terkadang bingung bagaimana dia harus memperlakukan istri 6 bulannya tersebut. Sedangkan Violet seolah tak memiliki beban apa pun berhadapan dengannya. “Iya. Ayo, kita sarapan.” Violet meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja makan sebelum ikut duduk di kursi makan. “Hanya ada sisa bahan makanan di dalam kulkas. Jadi hanya ada ini untuk sarapan.” Vier mengangguk. “Bukan masalah.” K
Semesta seolah sedang melempari Violet dengan masalah pagi ini. Baru juga dia berhadapan dengan Hara, sekarang si brengsek Evan justru datang ke kantornya entah sedang melakukan apa. Violet terdiam untuk beberapa saat tanpa menjawab ucapan Raya. Kepalanya tiba-tiba pusing.“Berapa meeting hari ini?” Alih-alih bertanya tentang kedatangan Evan, dia justru melemparkan pertanyaan lain.“Ada dua meeting, Bu. Kita akan bertemu dengan perwakilan JH Grup untuk membicarakan masalah pembangunan apartemen. Di jam 11.00 pagi. Lalu, dilanjutkan bertemu dengan perusahaan iklan ERO jam 13.00 siang.” Itu artinya, dia masih memiliki banyak waktu luang untuk menemui Evan. Menemui Evan? Hanya dalam bayangan saja. Violet tak akan pernah melakukannya. Perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Evan di saat seperti ini?“Usir saja dia. Saya banyak pekerjaan.” Akhirnya penolakan itu dia gaungkan. Mengurusi Evan akan membuat harinya semakin suram. “Dan pastikan dia tak
Vier baru saja akan pergi ke kamar ketika ketukan pintu rumahnya terdengar. Ada sedikit kernyitan di dahinya sebelum membuka pintu. Ini sudah malam dan dia tak biasa mendapatkan tamu saat larut seperti ini. “Hara?” Vier terkejut saat Haralah yang datang ke rumahnya. Perempuan itu tak seperti biasanya. Wajahnya memerah dan tatapannya tak fokus. “Vier.” Hara melemparkan tubuhnya ke pelukan suami Violet tersebut dan melingkarkan tangannya di punggung Vier dengan erat. Bau alkohol menyengat tanpa ampun memenuhi penciuman Vier setelahnya. “Apa yang kamu lakukan, Hara!”Dengan sedikit kasar, Vier menjauhkan Hara dari tubuhnya. Menatap perempuan itu dengan tajam dan kemarahan tercetak di matanya. Dia tak tahu sejak kapan Hara menjadi perempuan yang bisa mengkonsumsi alkohol. “Aku akan tidur di sini. Di mana istrimu? Aku akan menyingkirkannya!”Meskipun pikiran Hara sedang tidak waras, dia seolah masih menantang keberadaan Violet. Mendorong Vier agar terlepas dari lelaki itu, Hara masuk k
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka