Setelah ucapan Violet tersebut terlontar, bukan hanya Hara yang terkejut, tapi Vier pun sama. Bagaimana bisa, perempuan yang sudah mengambil kekasih orang lain masih berbicara begitu sombong. Ya, karena dia adalah Violet. Perempuan yang tidak bersedia kalah dari siapa pun.
“Saya bersedia datang menemui Anda adalah untuk mengatakan dua poin penting. Meminta maaf dan berterima kasih. Saya bukan orang tak tahu diri yang akan bertindak seenaknya ketika ada orang berbaik hati membantu saya. Tapi tampaknya saya harus menarik kembali niat saya untuk melakukannya. Bukan saya yang melewati batas tapi Anda yang sudah mengatakan sesuatu yang tidak saya sukai,” jawab Violet dengan nada santai.
Vier paham betul jika Violet adalah perempuan yang tidak bisa disinggung dalam bentuk apa pun. Lelaki itu juga sudah mengatakan kepada kekasihnya bagaimana tabiat Violet agar Hara tidak mengatakan sesuatu yang bisa menyentil amarah Violet. Sayangnya, mungkin karena hati perempuan itu sedang tersakiti, maka dia tak bisa menahan ucapannya.
“Saya sudah mengatakan kepada Vier tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di antara kami selama kami bersama,” imbuh Violet, “jadi seharusnya Anda tidak perlu mengajari saya bagaimana saya harus bertindak.”
“Jadi Anda merasa tersakiti sekarang?” tanya Hara sinis, “bukan Anda yang seharusnya merasa tersakiti, melainkan saya.” Hara tak segera melanjutkan. Menenggak minumannya hanya untuk sekedar membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Karena berbicara dengan Violet sepertinya membuatnya kehilangan banyak tenaga. “Dengarkan saya, Ibu Violet. Yang Anda lakukan ini adalah sesuatu hal yang sangat menyakitkan buat saya. Bagaimana kalau semua ini saya beberkan ke media? Bukankah Anda akan malu? Bukan hanya itu, Anda pasti tidak akan bersikap sombong seperti ini.”
“Anda bisa melakukannya.” Violet menantang. “Tapi Anda juga harus tahu, saya tidak akan pernah tinggal diam. Saya akan membalasnya seratus kali lipat dengan apa yang Anda lakukan. Mencari informasi tentang keluarga Anda bukan sesuatu yang sulit bagi saya. Tertarik melakukannya?”
“Sudah!” Vier yang sejak tadi hanya menjadi pihak pendengar dari perdebatan antara Hara dan Violet itu menengahi. Mereka berdua akan terus saling beradu argumen jika tidak dihentikan. “Ibu, kita kembali saja ke kantor. Ada banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Dan Hara, kamu juga kembalilah ke kantor. Aku akan menghubungimu nanti.” Semakin lama mereka saling berhadapan, maka akan ada banyak ucapan buruk dari keduanya yang saling terlontar. Memisahkan mereka sekarang akan lebih baik.
“Kamu akan benar-benar meninggalkanku?” Hara menarik tangan Vier yang ada di atas meja. “Seharusnya di saat seperti ini, kamu memberikan banyak waktumu untukku sebagai penebus kesalahan.” Hara kini sudah menangis, membuat Vier harus menarik nafasnya panjang. Violet yang tak sudi melihat drama yang tercipta di depannya itu berdiri.
“Saya akan tunggu di mobil.” Menyahut kunci mobil Vier yang tergeletak di atas meja, Violet berlalu begitu saja. Perasaannya kesal luar biasa. Pertemuan yang seharusnya digunakan dirinya untuk mengakui kesalahannya itu pada akhirnya berakhir dengan perdebatan.
Setelah kepergian Violet, Hara segera menatap Vier dengan tatapan yang sangat tidak bersahabat. Meskipun air mata semakin lama semakin deras keluar dari netranya, amarah masih memancar dari tatapan perempuan itu.
“Kamu dengar, kan apa yang dikatakan oleh perempuan itu? Dia itu perempuan jahat. Bisa saja ini adalah tak-tiknya untuk menekan kamu agar kamu bisa bersama dengannya.”
“Hara, tolong tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang, Vier!” Hara membentak kekasihnya dengan suara tinggi sampai membuat orang-orang yang ada di sekeliling meja mereka menatap ke arahnya. Tidak. Vier tidak malu karena mereka menjadi pusat perhatian. Tapi baginya, ini sangat menjengkelkan.
“Kamu tidak percaya denganku?” tanya Vier. Mereka sudah menjalani hubungan ini cukup lama. Dia tak pernah melakukan hal-hal yang tidak-tidak selama ini. Jadi seharusnya, Hara bisa mempercayainya sampai akhir.
“Aku percaya denganmu. Tapi tidak dengan bosmu itu,” ungkap Hara. Tidak ada satu wanita pun yang akan merasa baik-baik saja ketika kekasihnya yang sudah dijaga begitu lama pada akhirnya menikah dengan perempuan lain. Pernikahan itu memang hanya sebuah kontrak yang akan berakhir sesuai isi kontrak tersebut. Tapi selama waktu kontrak, apa saja bisa terjadi. Kekhawatiran itu merambat di dalam otak Hara. Tangis tak bisa berhenti untuk mengalir.
“Yang terpenting sekarang adalah aku. Aku akan menjaga hatiku buat kamu.” Vier menarik tangan kekasihnya. “Hara. Kita sudah saling mengenal begitu lama. Kamu tahu aku tidak akan melakukan sesuatu di luar batas.” Vier mencoba terus meyakinkan kekasihnya tersebut dengan lembut dan sabar. “Sekarang aku pergi dulu.” Vier akan bangkit ketika Hara lagi-lagi mencegahnya.
“Tapi kamu nggak mau berjanji sama aku untuk tidak jatuh cinta sama dia.” Vier terpaku sejenak. Cinta dan janji. Vier tak bisa memprediksi atau memperkirakan bagaimana keadaan hatinya kedepannya. Ini bukan matematika yang memiliki rumus pasti. Hati bisa berubah. “Kamu hanya mengatakan untuk menjaga hatimu.” Hara menatap Vier. “Hampir sebelas tahun, tapi kamu tidak pernah mengatakan cinta kepadaku.”
“Bukankah yang terpenting aku bersama denganmu? Aku ada di sisimu? Apakah itu tidak cukup?” Vier menunduk untuk menatap Hara. Vier tahu kekasihnya sedang dalam masa krisis. Krisis percaya diri dan menjadi sensitif. “Tenangkan dulu hatimu. Aku akan menelponmu nanti. Aku pergi sekarang.” Vier mengelus puncak kepala Hara dengan lembut sebelum benar-benar pergi meninggalkan kekasihnya.
Vier masuk ke dalam mobilnya dan Violet sudah berada di sana menunggu. Tidak ada hal apa pun yang dikatakan oleh Vier. Dia tahu Violet tak suka basa-basi. Mereka hanya menikmati kebekuan selama berada di perjalanan menuju kantor.
Violet keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam gedung kantornya setelah sampai. Bahkan tanpa pamit kepada Vier. Ketukan sepatunya terdengar mengalun dalam keheningan. Beberapa orang yang bersisipan dengannya menyapa dan hanya dijawab dengan anggukan kaku. Sedangkan Vier, dia masih berada di dalam mobil mencoba untuk tetap tenang dengan segala masalah yang merundungnya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri. Belum lagi orang-orang di kantor yang melihatnya terlihat menilainya. Bagaimana tidak jika dia tiba-tiba menikah dan menjadi suami bosnya.
“Saya tahu mungkin kamu sekarang tertekan dengan pernikahan ini, Vier. Tapi saya minta tolong kepadamu agar kamu bisa bertahan.” Saat Vier baru saja sampai ke dalam ruangan, Rizal sudah menghadangnya agar mereka bisa berbicara berdua. Setelah acara pernikahan itu, Rizal dan Vier belum sempat berbicara. “Violet adalah harta kami yang paling berharga. Setidaknya kalau kamu sekarang yang berada di sisinya dan kemudian di masa yang akan datang, keadaan berbalik dan kalian saling memiliki rasa, saya akan dengan senang hati memberikan harta kami itu untukmu.”
***
“Saya rasa, hubungan kami tidak akan sampai di tahap itu, Pak,” jawab Vier mendengar ucapan bosnya yang sekarang menyandang status sebagai ayah mertuanya. “Setelah kontrak kami selesai, maka kami akan tetap berpisah,” tegas Vier lagi. Seandainya dia masih single, mungkin saja dia bisa mempertimbangkan untuk tetap bersama dengan Violet. Namun sayang, dia harus mampu menjaga hati seseorang agar tidak tersakiti terlalu dalam. Rizal mengangguk menyadari sikap Vier. Lelaki itu memang sudah bersama dengan kekasihnya dalam waktu yang cukup lama. Rizal mungkin juga berpikir jika cinta Vier kepada kekasihnya cukup besar. Dan seharusnya dia memang tak mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal seperti itu. Tapi, berharap boleh, kan?“Saya minta maaf. Anggap saja saya tidak pernah mengatakan itu,” kata Rizal mengalah. Dia tak boleh terlihat berharap dengan asistennya itu. Vier pun hanya bisa mengangguk sebelum pergi meninggalkan ruangan bosnya untuk kembali ke meja kerjanya. Meskipun Vier sudah m
Pagi ini, Violet menyiapkan sarapan untuknya dan Vier. Untuk pertama kalinya setelah menikah, dia memasak untuk suaminya. Setelah ini, dia harus mencari asisten rumah tangga. Violet tak mungkin memiliki waktu sebanyak itu untuk melakukan pekerjaan rumah. “Violet masak?” tanya Vier dengan sedikit kekaguman. Vier sudah terlihat rapi dengan pakaian kantornya. Kemeja berwarna navy dengan celana bahan. Tidak ada dasi yang menggantung di kerahnya, atau jas yang memeluk tubuhnya. Ya, Vier hanya seorang asisten pribadi. Bukan bos. Terkadang Vier merasa kecil di depan Violet yang adalah seorang bos. Dia bahkan terkadang bingung bagaimana dia harus memperlakukan istri 6 bulannya tersebut. Sedangkan Violet seolah tak memiliki beban apa pun berhadapan dengannya. “Iya. Ayo, kita sarapan.” Violet meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja makan sebelum ikut duduk di kursi makan. “Hanya ada sisa bahan makanan di dalam kulkas. Jadi hanya ada ini untuk sarapan.” Vier mengangguk. “Bukan masalah.” K
Semesta seolah sedang melempari Violet dengan masalah pagi ini. Baru juga dia berhadapan dengan Hara, sekarang si brengsek Evan justru datang ke kantornya entah sedang melakukan apa. Violet terdiam untuk beberapa saat tanpa menjawab ucapan Raya. Kepalanya tiba-tiba pusing.“Berapa meeting hari ini?” Alih-alih bertanya tentang kedatangan Evan, dia justru melemparkan pertanyaan lain.“Ada dua meeting, Bu. Kita akan bertemu dengan perwakilan JH Grup untuk membicarakan masalah pembangunan apartemen. Di jam 11.00 pagi. Lalu, dilanjutkan bertemu dengan perusahaan iklan ERO jam 13.00 siang.” Itu artinya, dia masih memiliki banyak waktu luang untuk menemui Evan. Menemui Evan? Hanya dalam bayangan saja. Violet tak akan pernah melakukannya. Perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Evan di saat seperti ini?“Usir saja dia. Saya banyak pekerjaan.” Akhirnya penolakan itu dia gaungkan. Mengurusi Evan akan membuat harinya semakin suram. “Dan pastikan dia tak
Vier baru saja akan pergi ke kamar ketika ketukan pintu rumahnya terdengar. Ada sedikit kernyitan di dahinya sebelum membuka pintu. Ini sudah malam dan dia tak biasa mendapatkan tamu saat larut seperti ini. “Hara?” Vier terkejut saat Haralah yang datang ke rumahnya. Perempuan itu tak seperti biasanya. Wajahnya memerah dan tatapannya tak fokus. “Vier.” Hara melemparkan tubuhnya ke pelukan suami Violet tersebut dan melingkarkan tangannya di punggung Vier dengan erat. Bau alkohol menyengat tanpa ampun memenuhi penciuman Vier setelahnya. “Apa yang kamu lakukan, Hara!”Dengan sedikit kasar, Vier menjauhkan Hara dari tubuhnya. Menatap perempuan itu dengan tajam dan kemarahan tercetak di matanya. Dia tak tahu sejak kapan Hara menjadi perempuan yang bisa mengkonsumsi alkohol. “Aku akan tidur di sini. Di mana istrimu? Aku akan menyingkirkannya!”Meskipun pikiran Hara sedang tidak waras, dia seolah masih menantang keberadaan Violet. Mendorong Vier agar terlepas dari lelaki itu, Hara masuk k
Kini di ruangan meeting hanya tersisa empat orang. Violet dengan sekretarisnya, Rizal dengan Vier. Lalu Rizal meminta agar Raya pergi lebih dulu karena dia perlu berbicara dengan anak dan menantunya. “Violet, ini daerah yang lumayan jauh. Kita bisa meminta karyawan untuk pergi ke sana. Tidak harus kamu.” Rizal mencoba bernegosiasi. “Saya akan tetap berangkat, Pak. Saya akan mengajak Raya untuk perjalanan kali ini,” jawab Violet tak mau kalah. “Kalau memang kamu ngotot, maka biarkan Vier yang menemanimu.”“Tidak.” Secepat ayahnya memberikan usul, secepat itu pula dia menjawab. Vier bahkan terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Violet.Apa Violet sedang menghindarinya? Begitulah mungkin yang sedang dipikirkan oleh Vier saat ini. Tidak ada penjelasan lainnya selain kata ‘tidak’ yang diberikan. Violet berdiri dari duduknya. Pamit kepada ayahnya untuk kembali ke ruangannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Vier. Rizal menangkap sesuatu yang aneh pada interaksi Violet dan Vier. Mesk
Hara tahu pesannya sudah dibaca oleh Violet saat centang dua berwarna biru muncul di halaman obrolan. Tidak sia-sia dia mencuri nomor Violet dari ponsel Vier. Kalau Violet berpikir dia akan diam saja, maka itu hanya kebodohan yang dipelihara oleh perempuan itu. Yang diinginkan oleh Hara adalah dia mendapatkan balasan dari Violet. Sayangnya, perempuan itu tidak menjawabnya sama sekali. Tidak masalah. Hara bahkan punya ribuan cara untuk mengusik ketenangan Violet. Satu tak berhasil, maka ada cara lainnya yang sudah dipikirkan olehnya. Senyum jahat tercetak di bibirnya. Kalau dia tak bisa mengganggu Violet, maka itu bukan Hara. “Sudah malam, Hara. Pulanglah.” Senyum yang tadinya merekah itu kini tertutup mendengar suara Vier. Hara jelas tak suka dengan ‘ide’ Vier yang mengusirnya dari rumahnya. Ini masih sangat sore baginya. Baru pukul 07.00 malam. Dan lagi, biasanya Vier yang akan mengantarnya. Sekarang lelaki itu justru mengusirnya tanpa perasaan. Apa-apaan ini. Hara tak terima. “
Violet menoleh saat suara pintu terkunci. Vier berdiri di depan pintu kamarnya sambil menatap ke arahnya. Violet tak tahu apa yang ingin dilakukan oleh suaminya di dalam kamarnya, tapi dia tahu jika lelaki itu tak bermaksud jahat.“Ada apa?” tanyanya kepada Vier setelah dia selesai memasukkan barang-barangnya yang dimasukkan ke dalam tas kerjanya. Tangannya bersedekap di depan dada, matanya balas menatap Vier. Mengikuti langkah Vier yang mendekat kepadanya. “Kita bicarakan masalah rumah,” jawab Vier tanpa basa-basi. Violet memberi kode kepada lelaki itu untuk duduk di sofa kamarnya. Dia juga mengikuti suaminya dengan keheningan yang tercipta. “Kita sudah berada di rumah yang sama. Bagaimanapun, kamu adalah istriku.” Vier menarik kartu dari saku kemejanya lalu meletakkan di atas meja. “Gunakan kartu ini untuk kebutuhan rumah.” Violet melihat kartu debit itu dengan tatapan santai. Tidak menyentuh apalagi mengambilnya. Tatapannya berpindah pada sang suami kemudian menjawab, “Aku tid
Vier menggunakan waktunya untuk melamun di sela-sela bekerja. Pikiran tentang mencari tahu masalah Violet dan Evan tidak mau hilang dari kepalanya. Rasa penasaran tiba-tiba saja mengoyak ketenangannya. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Violet dan Evan harus berakhir dengan perpisahan padahal mereka selalu terlihat bak Romeo dan Juliet. Tapi sisi lain hatinya menolak untuk tidak melakukan sesuatu yang bukan urusannya. Tidak ada untungnya bagi dirinya. Evan masih mengejar Violet dan sebagai suaminya kamu seharusnya menghalangi tingkah lelaki itu. Batinnya lagi, memberontak pada pikirannya. Vier mengacak rambutnya ketika dia diserang dengan pikiran-pikiran yang menginginkan ikut campur dalam masalah yang tidak seharusnya. Sejak kapan dia tertarik dengan urusan orang lain? Memangnya Violet orang lain? Dia istrimu, kan?Ah, sial. Kenapa hati dan pikirannya saling bertolak belakang? Menjengkelkan. “Vier!” Panggilan itu membuat Vier sedikit linglung. “Ada apa denganmu? Saya sudah mem
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka