“Saya rasa, hubungan kami tidak akan sampai di tahap itu, Pak,” jawab Vier mendengar ucapan bosnya yang sekarang menyandang status sebagai ayah mertuanya. “Setelah kontrak kami selesai, maka kami akan tetap berpisah,” tegas Vier lagi. Seandainya dia masih single, mungkin saja dia bisa mempertimbangkan untuk tetap bersama dengan Violet. Namun sayang, dia harus mampu menjaga hati seseorang agar tidak tersakiti terlalu dalam.
Rizal mengangguk menyadari sikap Vier. Lelaki itu memang sudah bersama dengan kekasihnya dalam waktu yang cukup lama. Rizal mungkin juga berpikir jika cinta Vier kepada kekasihnya cukup besar. Dan seharusnya dia memang tak mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal seperti itu. Tapi, berharap boleh, kan?
“Saya minta maaf. Anggap saja saya tidak pernah mengatakan itu,” kata Rizal mengalah. Dia tak boleh terlihat berharap dengan asistennya itu. Vier pun hanya bisa mengangguk sebelum pergi meninggalkan ruangan bosnya untuk kembali ke meja kerjanya. Meskipun Vier sudah menjadi menantu di keluarga Rizal, tapi dia masih tetap asisten Rizal. Pernikahannya dengan Violet tidak akan mengubah apa pun dalam karirnya. Begitulah pikir Vier.
Pulang dari kantor, Violet mengajak bicara Vier tentang rencana yang sudah dipikirkan seharian ini. Violet sedang memikirkan tentang kenyamanan Vier setelah bersama dengannya.
“Abang nyaman berada di rumah ini?” tanya Violet sebagai awalan, “aku punya usul yang barangkali akan membuat Abang lebih nyaman,” imbuhnya.
“Bagaimana?” tanya Vier.
“Pindah rumah.” Violet mengatakan itu dengan keyakinan yang cukup tinggi. “Aku punya rencana untuk pindah dari rumah ke apartemen. Dengan begitu, kita bisa leluasa di tempat baru.”
Vier tampak berpikir sebelum dia bertanya, “Kamu yakin Pak Rizal akan mengizinkan? Atau bahkan Ibu?”
“Kalau memang Abang mau, aku yang akan mengatakan kepada Papa. Yang terpenting sekarang adalah kesediaan Abang.” Violet memikirkan ini bukan tanpa alasan. Tapi semata agar Vier bisa leluasa bersama dengan Hara. Karena di dalam surat kontrak yang sudah ditanda tangani, ada poin yang menyatakan jika Vier tidak boleh bertemu dengan kekasihnya selama Vier masih terikat kontrak. Tentu saja itu poin tambahan dari Rizal. Tapi Violet tentu tidak akan sekejam itu.
Vier kini tampak berpikir. Apakah ini akan menjadi jalan keluar yang baik atau tidak. Tapi, lelaki itu pada akhirnya mengangguk. “Kalau begitu baiklah, aku bersedia,” putusnya pada akhirnya.
Hal itu membuat Violet segera bertindak. Dia menemui orang tuanya dan mengatakan jika mereka akan pindah ke apartemen dan menjalani kehidupan rumah tangga berdua.
“Kenapa harus pindah?” tanya ibu Violet terlihat tak setuju, “kalian bisa tinggal di sini dan tidak ada yang akan mengganggu.”
“Bukan seperti itu, Ma,” sanggah Violet, “aku tahu pernikahan ini tidak akan lama. Tapi aku juga ingin merasakan bagaimana tinggal berdua bersama dengan suami. Toh dulu rencananya aku juga akan keluar rumah setelah menikah dengan Evan. Jadi aku pikir, tidak ada salahnya aku melakukan itu juga.”
“Tentu saja itu berbeda, Violet.” Ibu Violet lagi-lagi menolak. “Pernikahanmu sekarang hanyalah pernikahan kontrak. Kalian tidak benar-benar terikat.”
“Mama tenang saja. Aku tahu apa yang akan aku lakukan.” Seperti saat dia meminta ayahnya mencarikan pengganti calon suami, sekarang pun keputusan itu seolah sudah benar-benar tidak bisa diganggu gugat. Violet membuat kedua orang tuanya pusing karena keputusan-keputusan yang diambil secara mendadak.
“Kamu yakin dengan keputusan ini, Violet?” tanya sang ayah.
“Yakin, Pa. Aku dan Bang Vier akan segera pindah ke apartemen.”
“Boleh saya berbicara?” Vier yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bersuara. Ketiga orang yang ada di hadapannya itu menatap ke arahnya secara serentak. Ayah Violet memberikan kode agar lelaki itu segera berbicara. “Kalau memang kita perlu pindah, maka pindahlah ke rumahku, Violet.” Untuk beberapa saat, Violet dan kedua orang tuanya hanya bisa terdiam tanpa kata. Violet sedikit terkejut dan mengernyitkan dahinya tajam.
“Bagaimanapun, sekarang kamu adalah istriku. Tanggung jawabku. Meskipun pernikahan ini hanya akan berjalan enam bulan, tapi kamu tetaplah istriku sampai waktu tiba untuk mengakhiri. Tinggalah di rumahku.”
Inilah yang disukai Rizal dari Vier. Lelaki itu tahu bagaimana dia harus bersikap. Meskipun pernikahan itu bisa dikatakan hanya sebuah permainan, dia paham tugasnya sebagai seorang suami.
Rizal mengangguk. “Itu akan lebih baik. Kalau memang kamu ingin tinggal berdua dengan suami kamu, maka tinggalkan di rumah Vier.” Rizal menyetujui usul Vier. Sedangkan Violet masih tampah berpikir. Bukan apa-apa, seharusnya Vier yang ikut bersamanya, bukan? Kenapa menjadi berbalik? Begitulah batin Violet.
“Violet!” panggil sang ayah, “kamu bersedia?” Violet tidak memiliki pilihan lain selain harus mengikuti Vier. Maka dia segera mengangguk dan mencoba menerima semuanya. Untuk saat ini, dia juga harus menghormati permintaan Vier. Meskipun itu berat untuk dilakukan.
“Mama tetap tidak setuju.” Ibu Violet bersikeras melarang. “Kenapa harus pindah kalau kalian bisa hidup di sini bersama kami?” Ada kekhawatiran yang menggantung di hati ibu Violet sehingga perempuan itu tak bisa membiarkan putrinya keluar dari rumah dan hanya hidup dengan Vier.
“Mama, aku akan sering pulang. Jangan khawatir,” bujuk Violet kepada ibunya. Bukan perkara mudah mengambil keputusan seperti ini. Violet juga merasa tidak nyaman pada awalnya, tapi sekali lagi. Dia juga harus membuat orang yang membantunya hidup dengan nyaman.
“Tapi, kan ...!”
“Sudah, Ma. Papa setuju.” Rizal memotong ucapan istrinya sebelum selesai menyelesaikannya. Bagi Rizal, ini adalah kesempatan untuk Violet dan Vier bisa bersama. Dia hanya tidak tahu, Violet mengusulkan itu agar kehidupan pribadinya dengan Vier tidak diketahui oleh siapa pun. Bahkan kedua orang tuanya.
“Vier, tolong jaga Violet. Bagaimanapun bentuk hubungan kalian, tetaplah menjalin hubungan baik.” pesan Rizal kepada menantu 6 bulannya itu. Dan mendapatkan anggukan Vier setelahnya.
Pasangan kontrak 6 bulan itu memutuskan pindah ke rumah Vier dua hari setelahnya. Mereka akan menempati rumah itu berdua selama mereka masih terikat pernikahan. Meskipun rumah Vier jauh lebih kecil dari rumah miliknya, tapi Violet menerimanya tanpa komentar.
“Ini kamarmu.” Vier membukakan pintu kamar yang akan ditempati oleh Violet. Kamar itu berada tepat di depan kamar Vier. Violet melihat ke dalam sebelum mengangguk.
“Dan itu kamarku, kalau kamu membutuhkan sesuatu, panggil saja.” Violet lagi-lagi mengangguk. Mendorong kopernya masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu kamarnya. Tatapannya mengarah pada seluruh ruangan untuk kemudian mendesah pasrah.
Ini adalah konsekuensi yang harus diterimanya. Mulai hari ini, dia harus bisa menyesuaikan kehidupannya dengan Vier.
***
Pagi ini, Violet menyiapkan sarapan untuknya dan Vier. Untuk pertama kalinya setelah menikah, dia memasak untuk suaminya. Setelah ini, dia harus mencari asisten rumah tangga. Violet tak mungkin memiliki waktu sebanyak itu untuk melakukan pekerjaan rumah. “Violet masak?” tanya Vier dengan sedikit kekaguman. Vier sudah terlihat rapi dengan pakaian kantornya. Kemeja berwarna navy dengan celana bahan. Tidak ada dasi yang menggantung di kerahnya, atau jas yang memeluk tubuhnya. Ya, Vier hanya seorang asisten pribadi. Bukan bos. Terkadang Vier merasa kecil di depan Violet yang adalah seorang bos. Dia bahkan terkadang bingung bagaimana dia harus memperlakukan istri 6 bulannya tersebut. Sedangkan Violet seolah tak memiliki beban apa pun berhadapan dengannya. “Iya. Ayo, kita sarapan.” Violet meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja makan sebelum ikut duduk di kursi makan. “Hanya ada sisa bahan makanan di dalam kulkas. Jadi hanya ada ini untuk sarapan.” Vier mengangguk. “Bukan masalah.” K
Semesta seolah sedang melempari Violet dengan masalah pagi ini. Baru juga dia berhadapan dengan Hara, sekarang si brengsek Evan justru datang ke kantornya entah sedang melakukan apa. Violet terdiam untuk beberapa saat tanpa menjawab ucapan Raya. Kepalanya tiba-tiba pusing.“Berapa meeting hari ini?” Alih-alih bertanya tentang kedatangan Evan, dia justru melemparkan pertanyaan lain.“Ada dua meeting, Bu. Kita akan bertemu dengan perwakilan JH Grup untuk membicarakan masalah pembangunan apartemen. Di jam 11.00 pagi. Lalu, dilanjutkan bertemu dengan perusahaan iklan ERO jam 13.00 siang.” Itu artinya, dia masih memiliki banyak waktu luang untuk menemui Evan. Menemui Evan? Hanya dalam bayangan saja. Violet tak akan pernah melakukannya. Perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Evan di saat seperti ini?“Usir saja dia. Saya banyak pekerjaan.” Akhirnya penolakan itu dia gaungkan. Mengurusi Evan akan membuat harinya semakin suram. “Dan pastikan dia tak
Vier baru saja akan pergi ke kamar ketika ketukan pintu rumahnya terdengar. Ada sedikit kernyitan di dahinya sebelum membuka pintu. Ini sudah malam dan dia tak biasa mendapatkan tamu saat larut seperti ini. “Hara?” Vier terkejut saat Haralah yang datang ke rumahnya. Perempuan itu tak seperti biasanya. Wajahnya memerah dan tatapannya tak fokus. “Vier.” Hara melemparkan tubuhnya ke pelukan suami Violet tersebut dan melingkarkan tangannya di punggung Vier dengan erat. Bau alkohol menyengat tanpa ampun memenuhi penciuman Vier setelahnya. “Apa yang kamu lakukan, Hara!”Dengan sedikit kasar, Vier menjauhkan Hara dari tubuhnya. Menatap perempuan itu dengan tajam dan kemarahan tercetak di matanya. Dia tak tahu sejak kapan Hara menjadi perempuan yang bisa mengkonsumsi alkohol. “Aku akan tidur di sini. Di mana istrimu? Aku akan menyingkirkannya!”Meskipun pikiran Hara sedang tidak waras, dia seolah masih menantang keberadaan Violet. Mendorong Vier agar terlepas dari lelaki itu, Hara masuk k
Kini di ruangan meeting hanya tersisa empat orang. Violet dengan sekretarisnya, Rizal dengan Vier. Lalu Rizal meminta agar Raya pergi lebih dulu karena dia perlu berbicara dengan anak dan menantunya. “Violet, ini daerah yang lumayan jauh. Kita bisa meminta karyawan untuk pergi ke sana. Tidak harus kamu.” Rizal mencoba bernegosiasi. “Saya akan tetap berangkat, Pak. Saya akan mengajak Raya untuk perjalanan kali ini,” jawab Violet tak mau kalah. “Kalau memang kamu ngotot, maka biarkan Vier yang menemanimu.”“Tidak.” Secepat ayahnya memberikan usul, secepat itu pula dia menjawab. Vier bahkan terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Violet.Apa Violet sedang menghindarinya? Begitulah mungkin yang sedang dipikirkan oleh Vier saat ini. Tidak ada penjelasan lainnya selain kata ‘tidak’ yang diberikan. Violet berdiri dari duduknya. Pamit kepada ayahnya untuk kembali ke ruangannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Vier. Rizal menangkap sesuatu yang aneh pada interaksi Violet dan Vier. Mesk
Hara tahu pesannya sudah dibaca oleh Violet saat centang dua berwarna biru muncul di halaman obrolan. Tidak sia-sia dia mencuri nomor Violet dari ponsel Vier. Kalau Violet berpikir dia akan diam saja, maka itu hanya kebodohan yang dipelihara oleh perempuan itu. Yang diinginkan oleh Hara adalah dia mendapatkan balasan dari Violet. Sayangnya, perempuan itu tidak menjawabnya sama sekali. Tidak masalah. Hara bahkan punya ribuan cara untuk mengusik ketenangan Violet. Satu tak berhasil, maka ada cara lainnya yang sudah dipikirkan olehnya. Senyum jahat tercetak di bibirnya. Kalau dia tak bisa mengganggu Violet, maka itu bukan Hara. “Sudah malam, Hara. Pulanglah.” Senyum yang tadinya merekah itu kini tertutup mendengar suara Vier. Hara jelas tak suka dengan ‘ide’ Vier yang mengusirnya dari rumahnya. Ini masih sangat sore baginya. Baru pukul 07.00 malam. Dan lagi, biasanya Vier yang akan mengantarnya. Sekarang lelaki itu justru mengusirnya tanpa perasaan. Apa-apaan ini. Hara tak terima. “
Violet menoleh saat suara pintu terkunci. Vier berdiri di depan pintu kamarnya sambil menatap ke arahnya. Violet tak tahu apa yang ingin dilakukan oleh suaminya di dalam kamarnya, tapi dia tahu jika lelaki itu tak bermaksud jahat.“Ada apa?” tanyanya kepada Vier setelah dia selesai memasukkan barang-barangnya yang dimasukkan ke dalam tas kerjanya. Tangannya bersedekap di depan dada, matanya balas menatap Vier. Mengikuti langkah Vier yang mendekat kepadanya. “Kita bicarakan masalah rumah,” jawab Vier tanpa basa-basi. Violet memberi kode kepada lelaki itu untuk duduk di sofa kamarnya. Dia juga mengikuti suaminya dengan keheningan yang tercipta. “Kita sudah berada di rumah yang sama. Bagaimanapun, kamu adalah istriku.” Vier menarik kartu dari saku kemejanya lalu meletakkan di atas meja. “Gunakan kartu ini untuk kebutuhan rumah.” Violet melihat kartu debit itu dengan tatapan santai. Tidak menyentuh apalagi mengambilnya. Tatapannya berpindah pada sang suami kemudian menjawab, “Aku tid
Vier menggunakan waktunya untuk melamun di sela-sela bekerja. Pikiran tentang mencari tahu masalah Violet dan Evan tidak mau hilang dari kepalanya. Rasa penasaran tiba-tiba saja mengoyak ketenangannya. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Violet dan Evan harus berakhir dengan perpisahan padahal mereka selalu terlihat bak Romeo dan Juliet. Tapi sisi lain hatinya menolak untuk tidak melakukan sesuatu yang bukan urusannya. Tidak ada untungnya bagi dirinya. Evan masih mengejar Violet dan sebagai suaminya kamu seharusnya menghalangi tingkah lelaki itu. Batinnya lagi, memberontak pada pikirannya. Vier mengacak rambutnya ketika dia diserang dengan pikiran-pikiran yang menginginkan ikut campur dalam masalah yang tidak seharusnya. Sejak kapan dia tertarik dengan urusan orang lain? Memangnya Violet orang lain? Dia istrimu, kan?Ah, sial. Kenapa hati dan pikirannya saling bertolak belakang? Menjengkelkan. “Vier!” Panggilan itu membuat Vier sedikit linglung. “Ada apa denganmu? Saya sudah mem
Vier seperti sedang berselingkuh ketika bertemu dengan Raya secara diam-diam. Di samping gedung kantornya ada sebuah kafe dan pertemuan itu dilakukan di sana. Setelah tidak mendapatkan informasi apa pun dari Evan siang tadi, maka terpaksa dia melanjutkan rencananya untuk bertanya pada Raya. “Sebenarnya apa yang ingin Bapak tanyakan kepada saya?” Raya terlihat tak tenang. Matanya tidak fokus pada Vier. Terus saja berputar menatap di sekitar mereka. Mungkin saja gadis itu takut akan ada isu-isu buruk saat ada orang yang memergokinya bersama dengan suami bosnya. “Katakan, sebenarnya apa yang terjadi pada Violet dan Evan.” Pertanyaan Vier membuat Raya terkejut. Gadis itu tersenyum garing. “Bapak ini bicara apa? Maksud saya, kenapa Bapak bertanya itu kepada saya? Harusnya Bapak tanyakan sendiri kepada Ibu.” “Karena saya tahu, kamu mengetahui sesuatu tentang mereka.” Vier mendesak. “Kamu tidak lupa saat itu saya mendengar kamu mengatakan kepada Violet kalau kamu dihubungi Evan, kan? It
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka