Zora nyaris tersedak membaca pesan yang Nevano kirimkan. Akhirnya setelah beberapa jam menghilang, pemuda itu mengiriminya pesan juga. Ada kelegaan yang menjalari hati Zora.Tanpa membuang-buang waktu, gadis itu pun dengan cepat membalas pesan tersebut.Zora:Aku masih di kantor. Lagi makan siang.Kamu di mana?Tak ada lagi balasan.Zora mengembuskan napas. Memandangi ponselnya dengan jantung berdebar tak beraturan. Ia baru saja akan mengetik pesan baru ketika tiba-tiba saja satu chat dari Nevano kembali masuk.Nevano:Aku baru sampe di parkiran. Kamu masih makan?Zora:Nggak kok, ini udah selesai.Nevano:Kita ketemu sekarang ya. Aku ke tempat kamu atau kamu ke sini?Zora:Kita ketemu di lobi aja.Zora buru-buru menyimpan kembali ponsel ke dalam saku dan membereskan peralatan makannya. Ia tak ingin sampai membuang-buang waktu."Mau ke mana, Ra?" Resi spontan bertanya kala melihat Zora tergesa-gesa berdiri dan meninggalkan meja."Aku mau balik duluan. Udah kenyang," sahut Zora, lalu s
"Tim Sar baru saja berhasil menemukan Nyonya Agnia, Tuan. Namun, Nyonya tidak selamat."Pemberitahuan yang keluar dari vokal lirih Septian membuat sekujur tubuh Rafianto lemas seketika. Pria itu nyaris ambruk jika beberapa orang yang berada di dekatnya tak buru-buru menopang tubuhnya dengan cepat.Baru saja ia tiba dari Surabaya dan ia langsung mendapat berita mengejutkan ini.Rafianto mengedarkan pandang. Jantungnya bergemuruh hebat kala menangkap sesosok tubuh sedang dibaringkan kaku di atas tandu tak jauh dari tepi pantai. Beberapa orang petugas medis terlihat mengelilinginya. Mungkin sedang membantu evakuasi yang dilakukan oleh Tim Sar. Rafianto juga melihat siluet Nevano sedang terduduk di atas pasir bersama dua orang pengasuh dan seorang petugas polisi. Separuh pakaian bocah itu sudah basah terkena air laut. Nevano terus meraung-raung tanpa henti. Menangisi sang bunda yang sudah tak bernyawa.Ya Tuhan! Rafianto semakin tak kuasa membendung perasaannya.Buru-buru pria itu berlari
Suara burung camar serta ombak yang berdebur-debur itu bagai sebuah ekspektasi yang terealisasi secara konstan di depan mata. Sudah lama Zora tak melihat birunya laut, desiran ombak serta semilir angin yang selalu berhasil merilekskan raga serta pikiran dari hiruk-pikuk suasana ibukota.Semula, Zora mengira Nevano akan membawanya pergi ke suatu tempat seperti rumahnya atau di mana pun yang membuat Zora sempat merasa gelisah. Namun, ia tak mengira kalau Nevano justru berbelok jauh dari ibukota hanya untuk mengajak Zora kemari."Kamu suka laut?" tanya Nevano saat pemuda itu menggandeng Zora meniti bebatuan menanjak yang membawa mereka ke puncak tebing.Dari atas sini, landscape yang ditampilkan begitu menakjubkan. Zora bisa melihat birunya laut yang membentang berlatar belakang langit biru cerah. Seperti sebuah lukisan di atas kanvas. Cantik sekali."Aku suka," jawab Zora. Netra bulatnya masih terus menatap pemandangan cantik di hadapannya.Laut dan pantai. Zora memang menyukai kedua h
"Jauh sebelum mereka datang, kehidupan kami dulunya baik-baik aja. Bahkan, nyaris sempurna."Jari-jemari Zora mengepal di pangkuan. Sungguh, ia baru mengetahui kenyataan ini. Meski Zora juga sudah pernah merasakan sakitnya kehilangan sang ibu. Namun, tak pernah terbayangkan kalau Nevano justru merasakan kehilangan dengan cara yang lebih mengenaskan."Kamu tahu, Zora. Papaku adalah pengusaha yang sukses dan sangat menyayangi keluarga, sementara bunda berbakat dalam menulis lagu. Banyak lagu ciptaan bunda yang sering dinyanyikan penyanyi terkenal dan selalu menjadi hits saat itu."Nevano menatap nanar gumpalan-gumpalan awan yang terlihat bergerak menutupi sebagian langit. Kepingan-kepingan berisi memori masa lalu terus berputar dalam benaknya."Kehidupan itu terlalu sempurna, sampai-sampai rasanya seperti mimpi. Sepasang suami istri yang saling menyayangi dengan seorang putra yang membanggakan, benar-benar keluarga yang ideal ...."Bibir pemuda itu melengkungkan senyum getir."Tapi, akh
Zora sedikit menelan ludah ketika matanya menatap bangunan dua lantai bernuansa pesisir tropis dengan aksen kayu dekoratif yang menjulang di hadapannya.Gemuruh guntur kembali terdengar ketika Nevano membuka pagar besi yang membatasi bangunan itu pada jalan aspal menanjak yang mereka lewati untuk mencapai tempat ini.Pemuda itu menatap Zora dan kembali menggandeng tangan gadis itu untuk mengikutinya masuk. Separuh pakaian mereka sudah basah tertimpa hujan."Ini villa milik bunda." Ia menjelaskan sementara Zora mengedarkan pandang ke segala arah.Halamannya yang kira-kira seluas delapan meter itu ditanami rerumputan Jepang serta pepohonan palem yang menambah kesan tropis dari bangunan ini. Di tengah-tengah terdapat jalan setapak kecil berbatu yang membawa mereka menuju serambi depan. Ada ayunan kecil dan sebuah kolam renang di sisi samping yang langsung menghadap ke arah pantai.Matahari sudah tampak bergulir ke arah barat sementara hujan kian mengguyur deras.Selesai menekan password
Haloo, berhubung update-an kali ini super duper molor, disarankan untuk membaca part sebelumnya biar gak lupa.Dan juga tiga bab ke depan akan menampilkan adegan flashback yaa.Terimakasih ❤Sembilan tahun lalu ketika rasa cinta itu belum bermekaran."Anjing!""Bangsat!""Mati aja lo sekarang!"Serentetan makian dan sumpah serapah mengiringi hantaman, tendangan serta pukulan bertubi-tubi pada sosok laki-laki bertubuh agak ringkih di pojokan teras rumah.Laki-laki itu adalah Gustian, ayah Zora. Ia hanya bisa mengerang serta meringkuk tak berdaya setiap kali menerima pukulan keras yang dilakukan oleh lima orang pria berwajah sangar yang mengelilinginya."Berani-beraninya lo kabur dan sembunyi setelah nipu kami semua! Lo pikir kami ini goblok, hah!?" seru pria berperawakan paling kekar di antara yang lain. Sepertinya pria itu merupakan pemimpin gerombolan preman-preman tersebut dan yang sejak tadi paling sadis menghajar Gustian."Mampus lo, anjing!"Satu tendangan lagi mendarat ke perut
"Zora, sudah berapa kali rasanya nilai ulanganmu turun drastis. Sebentar lagi kita akan ujian akhir kenaikan kelas. Kalau nilaimu begini terus, bisa-bisa beasiswamu terancam," tegur Pak Agung pada Zora yang tengah duduk di hadapannya.Saat ini sekolah sudah berakhir dan Zora secara khusus dipanggil oleh guru wali kelas XI IPA 1 itu. Membahas nilai Zora yang menurun beberapa minggu belakangan."Ini adalah nilai ulangan matematikamu kemarin. Bapak benar-benar tidak menyangka kamu bisa mendapat nilai di bawah 60 pada ulangan kali ini."Zora memandangi lembar ulangan miliknya dengan nanar. Angka 58 tertulis besar-besar di sana, membuat gadis itu menelan ludah. Ya, bila mengingat lagi ke belakang, ini adalah pertama kalinya Zora bisa mendapat nilai seburuk ini dalam sejarahnya bersekolah. Paling rendah nilai yang ia dapatkan setiap ulangan adalah 80. Jadi, kejadian ini tentu membuat wali kelasnya itu merasa kaget. "Apa terjadi sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah?" Pak Agung menatap Zora
"Lo nyari Nevano?" Kedua tangan Zora yang berada di sisi tubuh, mengepal sesaat. Gadis itu kemudian mengangguk sebagai jawaban.Laki-laki dengan tato bergambar mawar hitam di pergelangan tangan itu menilai sejenak penampilan Zora yang mungkin terlalu mencolok. Ya, mengingat gadis itu masih mengenakan seragam di hari menjelang petang dan di tempat para anak muda bermain billiard, tentu hal ini cukup menarik perhatian.Namun, laki-laki itu akhirnya mengendikkan kepala ke arah belakang punggungnya. "Dia ada di lantai dua. Masuk aja. Di meja paling ujung sebelah kiri.""Terima kasih," ucap Zora seraya menganggukkan kepala dan berjalan cepat menaiki tangga yang berada tiga meter dari laki-laki bertato itu.Hal pertama yang menyambut Zora ketika kakinya menjejak di lantai dua adalah bau asap rokok di mana-mana, dentuman keras musik punk serta gelak tawa dan suara geretakan bola-bola dipukul di atas meja pool.Pandangan Zora mengedar. Mencari sosok Nevano di antara para pengunjung yang nyar