Suara burung camar serta ombak yang berdebur-debur itu bagai sebuah ekspektasi yang terealisasi secara konstan di depan mata. Sudah lama Zora tak melihat birunya laut, desiran ombak serta semilir angin yang selalu berhasil merilekskan raga serta pikiran dari hiruk-pikuk suasana ibukota.Semula, Zora mengira Nevano akan membawanya pergi ke suatu tempat seperti rumahnya atau di mana pun yang membuat Zora sempat merasa gelisah. Namun, ia tak mengira kalau Nevano justru berbelok jauh dari ibukota hanya untuk mengajak Zora kemari."Kamu suka laut?" tanya Nevano saat pemuda itu menggandeng Zora meniti bebatuan menanjak yang membawa mereka ke puncak tebing.Dari atas sini, landscape yang ditampilkan begitu menakjubkan. Zora bisa melihat birunya laut yang membentang berlatar belakang langit biru cerah. Seperti sebuah lukisan di atas kanvas. Cantik sekali."Aku suka," jawab Zora. Netra bulatnya masih terus menatap pemandangan cantik di hadapannya.Laut dan pantai. Zora memang menyukai kedua h
"Jauh sebelum mereka datang, kehidupan kami dulunya baik-baik aja. Bahkan, nyaris sempurna."Jari-jemari Zora mengepal di pangkuan. Sungguh, ia baru mengetahui kenyataan ini. Meski Zora juga sudah pernah merasakan sakitnya kehilangan sang ibu. Namun, tak pernah terbayangkan kalau Nevano justru merasakan kehilangan dengan cara yang lebih mengenaskan."Kamu tahu, Zora. Papaku adalah pengusaha yang sukses dan sangat menyayangi keluarga, sementara bunda berbakat dalam menulis lagu. Banyak lagu ciptaan bunda yang sering dinyanyikan penyanyi terkenal dan selalu menjadi hits saat itu."Nevano menatap nanar gumpalan-gumpalan awan yang terlihat bergerak menutupi sebagian langit. Kepingan-kepingan berisi memori masa lalu terus berputar dalam benaknya."Kehidupan itu terlalu sempurna, sampai-sampai rasanya seperti mimpi. Sepasang suami istri yang saling menyayangi dengan seorang putra yang membanggakan, benar-benar keluarga yang ideal ...."Bibir pemuda itu melengkungkan senyum getir."Tapi, akh
Zora sedikit menelan ludah ketika matanya menatap bangunan dua lantai bernuansa pesisir tropis dengan aksen kayu dekoratif yang menjulang di hadapannya.Gemuruh guntur kembali terdengar ketika Nevano membuka pagar besi yang membatasi bangunan itu pada jalan aspal menanjak yang mereka lewati untuk mencapai tempat ini.Pemuda itu menatap Zora dan kembali menggandeng tangan gadis itu untuk mengikutinya masuk. Separuh pakaian mereka sudah basah tertimpa hujan."Ini villa milik bunda." Ia menjelaskan sementara Zora mengedarkan pandang ke segala arah.Halamannya yang kira-kira seluas delapan meter itu ditanami rerumputan Jepang serta pepohonan palem yang menambah kesan tropis dari bangunan ini. Di tengah-tengah terdapat jalan setapak kecil berbatu yang membawa mereka menuju serambi depan. Ada ayunan kecil dan sebuah kolam renang di sisi samping yang langsung menghadap ke arah pantai.Matahari sudah tampak bergulir ke arah barat sementara hujan kian mengguyur deras.Selesai menekan password
Haloo, berhubung update-an kali ini super duper molor, disarankan untuk membaca part sebelumnya biar gak lupa.Dan juga tiga bab ke depan akan menampilkan adegan flashback yaa.Terimakasih ❤Sembilan tahun lalu ketika rasa cinta itu belum bermekaran."Anjing!""Bangsat!""Mati aja lo sekarang!"Serentetan makian dan sumpah serapah mengiringi hantaman, tendangan serta pukulan bertubi-tubi pada sosok laki-laki bertubuh agak ringkih di pojokan teras rumah.Laki-laki itu adalah Gustian, ayah Zora. Ia hanya bisa mengerang serta meringkuk tak berdaya setiap kali menerima pukulan keras yang dilakukan oleh lima orang pria berwajah sangar yang mengelilinginya."Berani-beraninya lo kabur dan sembunyi setelah nipu kami semua! Lo pikir kami ini goblok, hah!?" seru pria berperawakan paling kekar di antara yang lain. Sepertinya pria itu merupakan pemimpin gerombolan preman-preman tersebut dan yang sejak tadi paling sadis menghajar Gustian."Mampus lo, anjing!"Satu tendangan lagi mendarat ke perut
"Zora, sudah berapa kali rasanya nilai ulanganmu turun drastis. Sebentar lagi kita akan ujian akhir kenaikan kelas. Kalau nilaimu begini terus, bisa-bisa beasiswamu terancam," tegur Pak Agung pada Zora yang tengah duduk di hadapannya.Saat ini sekolah sudah berakhir dan Zora secara khusus dipanggil oleh guru wali kelas XI IPA 1 itu. Membahas nilai Zora yang menurun beberapa minggu belakangan."Ini adalah nilai ulangan matematikamu kemarin. Bapak benar-benar tidak menyangka kamu bisa mendapat nilai di bawah 60 pada ulangan kali ini."Zora memandangi lembar ulangan miliknya dengan nanar. Angka 58 tertulis besar-besar di sana, membuat gadis itu menelan ludah. Ya, bila mengingat lagi ke belakang, ini adalah pertama kalinya Zora bisa mendapat nilai seburuk ini dalam sejarahnya bersekolah. Paling rendah nilai yang ia dapatkan setiap ulangan adalah 80. Jadi, kejadian ini tentu membuat wali kelasnya itu merasa kaget. "Apa terjadi sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah?" Pak Agung menatap Zora
"Lo nyari Nevano?" Kedua tangan Zora yang berada di sisi tubuh, mengepal sesaat. Gadis itu kemudian mengangguk sebagai jawaban.Laki-laki dengan tato bergambar mawar hitam di pergelangan tangan itu menilai sejenak penampilan Zora yang mungkin terlalu mencolok. Ya, mengingat gadis itu masih mengenakan seragam di hari menjelang petang dan di tempat para anak muda bermain billiard, tentu hal ini cukup menarik perhatian.Namun, laki-laki itu akhirnya mengendikkan kepala ke arah belakang punggungnya. "Dia ada di lantai dua. Masuk aja. Di meja paling ujung sebelah kiri.""Terima kasih," ucap Zora seraya menganggukkan kepala dan berjalan cepat menaiki tangga yang berada tiga meter dari laki-laki bertato itu.Hal pertama yang menyambut Zora ketika kakinya menjejak di lantai dua adalah bau asap rokok di mana-mana, dentuman keras musik punk serta gelak tawa dan suara geretakan bola-bola dipukul di atas meja pool.Pandangan Zora mengedar. Mencari sosok Nevano di antara para pengunjung yang nyar
It's so sweet, knowing that you love me.Though we don't need to say it to each other, sweet...Knowing that I love you, and running my fingers through your hair.It's so sweet...(Sweet ~ Cigarettes After Sex)❣"Ayo, kita menikah, Zora."Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Zora sepanjang hari itu. Sepanjang Zora membuka mata dan terbangun dari tidurnya.Gadis itu bahkan sudah membersihkan diri dalam bathub selama nyaris satu jam. Memasang instrumental klasik kesukaan pada speaker phone. Menghidu lilin aromatherapy yang ia bakar dan diletakkan di atas lemari nakas. Melihat bagaimana sinar mentari pagi menyusup masuk melalui jendela dan membias di langit-langit membentuk pola kristal temaram.Namun, Zora masih saja belum bisa mengenyahkan kalimat itu dari pikirannya.Oke, satu hal yang rasanya aneh.Sepanjang Zora mengenal Nevano, pemuda itu memang tipikal pribadi yang spontanitas, impulsif dan sulit ditebak. Namun, tak pernah terbayangkan Nevano bisa mengatakan kalimat ing
"Oh ya, Pak Septian mana?" tanya Zora seraya mengedarkan pandang. Baru tersadar kalau pria tangan kanan Nevano itu sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya."Pak Septian udah pergi dari subuh tadi," jawab Nevano. Kali ini ia bergerak memecah beberapa butir telur dan mengocoknya di dalam wadah kecil untuk dijadikan omelet. "Ke mana?""Ke acara peringatan kematian bunda."Kalimat itu membuat Zora tersentak. "Kamu nggak pergi?"Nevano menoleh sekilas dan menggeleng. "Nggak.""Kenapa?""That's just waste of time." Pemuda itu tersenyum miris. "Aku lebih suka ziarah ke makam bunda secara langsung daripada ikut acara seperti itu."Jeda."Karena apapun yang mereka lakukan sekarang, nggak mengubah fakta kalau mereka dulunya juga ikut andil atas kematian bunda."Zora terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tetapi, ucapan itu juga turut membuat hati Zora merasa sedih."Nanti siang kita jadi ziarah ke makam bunda kamu, 'kan?" tanya Zora kemudian, menatap Nevano lekat.Yang ditatap refl