Tante Sissy mengelus rambut panjang Fay, setelah gadis itu dipanggilnya dengan lembut.
“Jangan terlalu percaya sama cowok brengsek ini!” tuduh Tante Sissy kepada Ezar.
Lelaki yang merasa menjadi tertuduh itupun menatap tajam ke arah Tante Sissy. Sedangkan Fay tertawa lebar tanpa suara mendengar tuduhan teman Mamanya itu. Karena tanpa Tante Sissy menyampaikan pun dia sudah tahu belang calon suaminya.
“Kita balik sekarang, Tan!” pamit Ezar yang terlihat kesal. Entah ditujukan pada siapa.
“Hmmm …. Hati-hati bawa anak orang!” ingat Tante Sissy sebelum Ezar menyeret calon istrinya dari ruangan besar di tengah butik milik sahabat Mama Shafiyahnya.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dengan sedikit suara menyaksikan tingkah anak Echa – sahabatnya yang sudah meninggalkan dunia.
Ezar masih menunjukkan senyum termasamnya ketika mendudukkan Fay di jok samping kemudinya. Mendapati senyum mengerikan milik calon suaminya, Fay bergidik juga. Namun, kadar ketampanannya tidak berkurang sedikitpun. Fay, sadar siapa dia. Bisik sisi hatinya.
Fay sampai berkali-kali menutup matanya dengan kesal. Bahkan hembusan napas dalam dan panjang ia lakukan berkali-kali demi menyingkirkan bayangan wajah kesal yang selalu tampan milik Ezar.
“Anjir, kenapa sih dia lama-lama terlihat tampan?” gumamnya dalam hati.
Saat lelaki itu mengemudi, Fay tidak mengeluarkan satu suarapun. Sehingga suasana hening benar-benar tercipta di dalam mobil mewah itu.
Sesekali Ezar melirik kepada gadis di sampingnya yang terlihat menatap ke jalanan dari balik jendela. Seakan tidak ingin berinteraksi dengan penghuni mobil. Siapa lagi penghuni jika bukan dirinya.
Melihat situasi yang tidak sesuai keinginannya, Ezar membelokkan mobil ke sebuah resto. Harapannya dengan mendiamkan Fay, gadis itu akan protes atau semacamnya. Ternyata ia salah, Fay malah mendiamkan dirinya.
“Menyebalkan.” Begitu yang Ezar pikirkan.
“Kita makan dulu!” kalimat pertama yang terdengar dari keheningan setelah sekian menit.
Fay yang mendengarnya ikut lega, “ oke.” Jawab gadis itu tanpa pikir lama.
Sebetulnya ia juga kurang nyaman dengan keadaan hening. Namun, menghindari menatap wajah menakutkan Ezar adalah jalan terbaik baginya.
Setelah kendaraan Ezar terparkir sempurna, pemuda itu mematikan mesinnya.
“Ayo turun!” titah Ezar tanpa ada nada lembutnya sama sekali.
Tanpa respon apapun Fay membuka pintu mobil Ezar. Melihat reaksi kesal calon istrinya, Ezar terlihat tersenyum tipis. Ada rasa bahagia menggelitik sisi hatinya.
Ezar bergegas keluar dari mobilnya menyusul langkah Fay yang sudah berada jauh di depannya.
Tap.
Dengan sekali tarik, pemuda itu sudah membawa Fay dalam gandengannya. Fay yang tidak siap terlihat kaget dengan sikap Ezar yang tiba-tiba menjadi manis. Padahal barusan ia terlihat jutek tak bersahabat.
Ezar menatapnya dengan senyum menawan. Menggandenganya masuk resto seolah mereka adalah pasangan comel.
Gadis itu benar-benar dibikin pusing dengan kepribadian calon suaminya yang terkesan plin plan di otaknya. Sebentar manis sebentar masam sebentar jutek. Sungguh terlalu, begitu kata Bang Haji.
Ezar memilih meja dekat jendela di pojok ruangan begitu sudah di dalam resto. Sehingga posisi mereka tidak begitu terlihat banyak pengunjung. Sengaja karena Ezar berniat menuntaskan rasa penasarannya pada Fay. Gadis cilik yang bertahun-tahun lalu ia temui di halte. Namun, tiba-tiba menghilang karena pindah rumah.
Setelah dewasa, ternyata gadis itu melupakan dirinya. Perasaan Ezar sangat kesal mendapati kenyataan dirinya dilupakan gadis ciliknya dulu. Gadis yang sudah menempati singgasananya hatinya sejak dulu.
Gadis yang pernah menenangkan anak laki-laki berusia dua belas tahun tahun yang dulu menangis tersedu-sedu di halte karena kehilangan Mamanya lalu dalam waktu hampir bersamaan harus menerima kenyataan bahwa sudah ada ibu pegganti untuk dirinya.
“Duduk!” Ezar menyeret kursi untuk Fay.
Sekali lagi gadis itu semakin dibingungkan dengan sikap Ezar yang terus berubah tanpa bisa ia tebak apa maunya.
Fay menduduki kursi yang disiapkan Ezar untuknya. Bagaimanapun ia masih menghargai usaha calon suami brengseknya itu.
Setelah memesan menu yang Fay dan Ezar inginkan pada seorang wraiters, pria muda itu mendiamkan Fay untuk beberapa saat. Namun, tatapannya masih tertuju pada gadis yang senyumnya masih sama seperti lima belas tahun lalu. Begitu menyejukkan dan meneduhkan.
Yang berbeda dirinya, Ezar yang sekarang bukan lagi Ezar yang dulu. Jika dulu Ezar masih pemuda polos saat ini dirinya adalah seorang petualang cinta. Penebar benih tanpa menumbuhkannya karena ia selalu mengenakan pengaman saat melakukannya dengan pasangan semalamnya.
Fay yang merasa Ezar memperhatikannya sejak tadi , menundukkan kepalanya karena risi. Karena ia sangat mengenali tatapan tajam calon suaminya itu bisa menaklukkan lawan jenisnya tanpa terkecuali. Bisa jadi saat ini dirinya menjadi korban yang kesekian, tetapi tidak ada pengakuan di hati Fay.
“Gimana udah siap ONS?” Seringai Ezar tanpa taring begitu makanan sudah dihidangkan waiters dan siap mereka nikmati.
Pemuda itu mengingatkan kembali permintaan beberapa minggu yang lalu pada Fay. Permintaan yang membuat Fay merasa jijik dan eneg dengan calon suaminya.
Mendengar ucapan Ezar barusan wajah Fay memucat, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga seolah ingin berlari menjauh dari pria brengsek yang memikirkan soal selangkangan saja . Beberapa waktu lalu, ia memang sengaja mengulur waktu untuk berpikir bahkan berharap Ezar melupakan permintaan konyolnya.
Namun, nyatanya kali ini ia menagih. Ezar berharap Fay segera menjawab permintaan ONS dengan dirinya yang disampaikan secara jelas tanpa tendeng apapun.
Fay mencoba menahan napas dan kembali mengisi rongga dadanya dengan oksigen penuh lalu ia keluarkan perlahan kuat-kuat.
“Okay ... aku bersedia tapi ucapkan taklik ijab qobul dulu.” Fay pun memberikan syarat kepada Ezar.
“Itu masih lama, sayang!” Ezar mengerlingkan satu matanya.
Membuat Fay semakin muak dan jijik padanya. Apalagi saat Ezar memanggilnya dengan sayang, ingin rasanya mencakar mukanya yang mulus tanpa noda apapun, tetapi takut wajah gantengnya terluka terus kadar tampannya berkurang kan Fay juga yang rugi sebagai calon istrinya. (Fay menempeleng otaknya sendiri yang serasa konslet, terkena virus ketampanan Ezar)
“Aku gak mau tahu bagaimana caranya, ucapkan ijabnya. Baru aku turuti ide gilamu itu! Bagimana? fifty-fifty, kan?” ucap Fay tanpa ragu.
"Setelah itu kamu boleh memutuskan perjodohan ini!" putus Fay dengan gemetar tetapi terdengar menakutkan di telinga Ezar.
Entah dapat keberanian darimana sampai Fay bisa mengatakannya. Yang pasti setelah mengatakannya gadis itu merasa lega dan tidak ada beban. Bahkan urusan dia mau melajutkan perjodohan atau membatalkan bodoh amat.
Tentang Mama, Papa, Om Guntur dan Tante Shafiyah urusan belakangan. Lebih urgent mengalahkan sifat arogan Ezar yang suka semena-mena padanya. Gadis itu melirik Ezar yang tampak seperti berpikir. Dahinya berkerut netranya menatap ke arah yang tidak Fay tahu kemana.
“Bisa, kita ke Tretes hari ini!” ucap Ezar lebih tegas seakan tidak ingin ada penolakan.
“Hari ini?” pekik Fay kaget.
“Gak usah kaget gitu juga kali, siapkan saja dirimu untuk tetap fit melayaniku!” tuturnya tanpa ekspresi. Namun, Fay yakin ada sedikit keraguan dalam kelimat calon suaminya tersebut.
“Selesaikan makanmu, setelah ini kita berangkat!” titah Ezar tanpa bisa dibantah.
Fay kelabakan mendengar ucapan Ezar kali ini. Namun, lelaki itu mengucapkan dengan tenang seakan tidak ada beban dihatinya.
Hancur sudah dunianya.
***
Fay duduk terpaku menghadap ke sebuah meja. Dibelakang meja tersebut ada seseorang bersorban lengkap dengan thawb atau thobe pakaian gamis pria khas timur tengah.Disamping Fay ada Ezar ia sudah mengganti pakaiannya dengan stelan jas yang ada di mobilnya. Sedangkan Fay masih mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kostum kebesaran kemanapun gadis itu berada.Di sebelah Ezar ada dua pria asing lagi yang tidak Fay kenal. Mereka berempat tampak bercakap sejenak. Entah apa yang mereka bahas, Fay tidak faham.“Kalian sudah siap?” ucap pria berthawb itu dengan bersahaja.Fay dan Ezar reflek mengangguk bersamaan. Dalam hati Fay mempertanyakan keputusannya ini benar atau salah. Namun, bagi Fay toh semua ini sudah ia putuskan. Resiko akan ia tanggung belakangan.Keinginannya saat ini hanya lepas dari perjodohannya dengan Ezar. Pemuda yang menantangnya bercinta semalam, sebelum menikah. Harapannya Ezar meninggalkannya setelah
Ezar menatap iba ke arah gadis yang terpejam di sebelahnya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadanya, menyaksikan kesakitan yang dialami Fay. Selama ini ia selalu berhubungan dengan gadis-gadis yang memang sudah tidak virgin sehingga tidak ada kesulitan berarti saat melakukan penetrasi. Sedangkan bersama Fay, ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kesulitan yang cukup berarti. Jiwa-jiwa petualangnya seolah tidak berarti dihadapan gadis yang ia impikan sejak kecil itu. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Fay masih meringis menahan rasa sakit di area selangkangannya. Menahan benda asing yang menerobos miliknya walaaupun sudah dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati oleh pria yang tadi sudah sah menjadi suaminya. Air matanya sudah mengering seiring suksesnya Ezar menerobos gawangnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa meski suaminya itu sudah menyelesaikan hajatnya yang ia takini tanpa ada rasa puas. Karena terganggu air matanya.
Fay menatap Ezar setengah terkejut. Ia baru menyadari mereka sudah ada di kamar mandi. “Keluarlah! Aku bisa sendiri!” usir Fay. Ezar tersenyum tipis mendengar pengusiran dari Fay. “Udah, aku tungguin di sini. Aku yakin setelah ini kamu masih kesulitan kembali ke kasur!” ucap Ezar tanpa mempedulikan Fay yang terus menatapnya sebal. Fay akhirnya melanjutkan ritual mandi besarnya dengan melirik ke arah Ezar, khawatir pria tersebut mengulang perbuatannya semalam. Apalagi di tempat yang tidak nyaman ini. Ezar yang menyadari kekhawatiran Fay, hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memberi rasa nyaman pada pasangannya semalam. “Awh ...!” pekik Fay lirih saat hendak melangkah hendak meraih handuk. Sejenak ia membenarkan ucapan Ezar. Merasakan sakit di daerah inti. “Nih!” Ezar dengan sigap menyerahkan handuk yang dimaksud Fay. Tanpa diminta, Ezar menggendong tubuh Fay ala bridal.
“Gue harus ngapain?” gumamnya lirih.Berkali-kali ia menghirup dan mengeluarkan napas berat. Rasa bimbangnya begitu besar.“Gue gak mau nikah hanya karena sebuah kesalahan,” ucapnya lirih.Tangannya sibuk mencoret-coret kertas putih yang sedianya akan ia gunakan mengerjakan tugas dari dosen. Namun, tangan mungilnya lebih lincah dan kreatif. Kertas putih tersebut sudah penuh dengan gambar abstrak karyanya.“Gue bener-bener gak bisa konsen ngerjain tugas,” serunya kesal melemopar kertas penuh coretan tersebut ke keranjang sampah.Drrt … drrt …Terdengar ponselnya bordering menandakan ada panggilan masuk.Dengan enggan, Fay meraih ponsel yang ada di atas Kasur.“Apa?” sahut Fay tanpa salam begitu tahu yang memanggil adalah Ezar – lelaki yang kemarin menikahi dan merenggut mahkota.Walaupun sebenarnya, ia yang menyerahkan dengan sadar. Karena tantangan
"Gue bersedia nikahin elo dengan satu syarat!" ucap Ezar di pertemuan ketiganya dengan Fay. Senyum licik tercetak jelas di wajah pemuda itu."Katakan!" jawab Fay cepat seakan tak ingin membuang waktu sia-sia karena berada di dekat Ezar.Ezar sengaja menjemput Fay di kampusnya dan membawa gadis itu makan siang di sebuah café hanya untuk mengatakan keinginannya kepada Fay Amira. Gadis yang dijodohkan kedua orangnya beberapa minggu lalu.Dari tempatnya duduk Fay melihat Ezar tersenyum licik padanya. Sumpah, Fay ingin muntah dan memaki pria itu. Tapi apa daya itu hanya keinginan terdalamnya tanpa tahu kapan bisa mewujudkannya.Pria yang ia tahu hanya berpura-pura menerima perjodohan, padahal mereka sama-sama menolak mentah-mentah diawal pertemuan. Fay masih ingat bagaimana Ezar menyatakan penolakannya dengan cara yang kasar.Namun, entah mengapa? Beberapa hari yang lalu Ezar berkunjung ke rumah dan mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa &nbs
Ezar memasuki sebuah gedung dengan percaya diri. Baru selangkah masuk, berpasang-pasang mata wanita menatapnya penuh damba. Namun, lelaki itu terus saja melangkah tanpa mempedulikan siapapun. Bukan Ezar namanya jika ia peduli.Pesona lelaki tampan bermata elang itu membuat banyak wanita bertekuk lutut tanpa memandang nilai nominal yang digelontorkan Ezar. Bahkan mereka rela menemani lelaki itu meski tanpa bayaran sesenpun.Namun, pilihan kembali ke pemilik kuasa. Ezar tidak mau sembrono tidur dengan banyak wanita. Ada bodyguard terbaiknya yang siap memberikan informasi tentang gadis-gadis yang akan ia tiduri.“Hai ganteng! Apa kabar?” sapa seorang wanita dengan segelas wine di tanganya.“Hai…!” balas Ezar tanpa menyebutkan nama wanita tersebut.Ezar terus melangkah ke sebuah ruangan dimana kedua sahabatnya sudah menunggunya. Wanita itu tersenyum getir karena sapaannya diacuhkan Ezar. Pria yang terkenal sebagai b
Di tempat lain, tepatnya di kediaman Fay. Gadis itu terdiam di atas meja belajar yang berada di dalam kamarnya. Di depannya ada setumpuk buku dan materi diktatnya. Namun, belum ada yang ia sentuh sama sekali.Pikiranya bergerak mundur ke waktu dimana tatkala sang Mama dan Papa mengatakan bahwa dirinya akan dijodohkan dangan anak sahabat mereka.“Fay..!” panggil Papa waktu itu ketika mereka berkumpul di teras setelah menikmati sarapan di hari Minggu.“Iya Pa,” sahut Fau sambil menoleh.“Fay, nanti malam ikut Papa dan Mama menemui sahabat kita ke resto Green House,” ucap Papa dengan senyum tampannya meski usianya sudah menjelang setengah abad tapi kadar ketampanannya belum pudar sedikitpun. Mungkin ini juga yang membuat Mama semakin jatuh cinta dan lengket dengan suaminya itu.“Harus gitu Fay iku?” tanya Fay keheranan karena keduanya jarang-jarang mengikutsertakan dirinya pada acara-acara
“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.Ezar duduk dengan posisi lebih nyaman sebelum menjawab pertanyaan dari Papanya.“Biarkan Ezar mencari pasangan hidup sendiri!” jawab Ezar tanpa takut.“Apa papa harus menjadi egois hanya demi seorang menantu?” sambung Ezar. Anak sulung pasangan Guntur dan Shafiyah itu sudah memikirkan matang-matang kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan untuk membantah permintaan sang Papa.“Terus selama itu kamu akan bermain-main dengan banyak wanita di luaran sana!” geram sang Papa kembali.Pria itu sudah terlalu banyak menerima laporan bagaimana perilaku putranya di luar yang selalu berganti-ganti wanita setiap malam.“Zar, usia kamu sudah tidak muda lagi! Ikutilah perintah Papa dan Mama kali ini!” seru Guntur di tengah keputusasaannya.Ezar terd
“Gue harus ngapain?” gumamnya lirih.Berkali-kali ia menghirup dan mengeluarkan napas berat. Rasa bimbangnya begitu besar.“Gue gak mau nikah hanya karena sebuah kesalahan,” ucapnya lirih.Tangannya sibuk mencoret-coret kertas putih yang sedianya akan ia gunakan mengerjakan tugas dari dosen. Namun, tangan mungilnya lebih lincah dan kreatif. Kertas putih tersebut sudah penuh dengan gambar abstrak karyanya.“Gue bener-bener gak bisa konsen ngerjain tugas,” serunya kesal melemopar kertas penuh coretan tersebut ke keranjang sampah.Drrt … drrt …Terdengar ponselnya bordering menandakan ada panggilan masuk.Dengan enggan, Fay meraih ponsel yang ada di atas Kasur.“Apa?” sahut Fay tanpa salam begitu tahu yang memanggil adalah Ezar – lelaki yang kemarin menikahi dan merenggut mahkota.Walaupun sebenarnya, ia yang menyerahkan dengan sadar. Karena tantangan
Fay menatap Ezar setengah terkejut. Ia baru menyadari mereka sudah ada di kamar mandi. “Keluarlah! Aku bisa sendiri!” usir Fay. Ezar tersenyum tipis mendengar pengusiran dari Fay. “Udah, aku tungguin di sini. Aku yakin setelah ini kamu masih kesulitan kembali ke kasur!” ucap Ezar tanpa mempedulikan Fay yang terus menatapnya sebal. Fay akhirnya melanjutkan ritual mandi besarnya dengan melirik ke arah Ezar, khawatir pria tersebut mengulang perbuatannya semalam. Apalagi di tempat yang tidak nyaman ini. Ezar yang menyadari kekhawatiran Fay, hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memberi rasa nyaman pada pasangannya semalam. “Awh ...!” pekik Fay lirih saat hendak melangkah hendak meraih handuk. Sejenak ia membenarkan ucapan Ezar. Merasakan sakit di daerah inti. “Nih!” Ezar dengan sigap menyerahkan handuk yang dimaksud Fay. Tanpa diminta, Ezar menggendong tubuh Fay ala bridal.
Ezar menatap iba ke arah gadis yang terpejam di sebelahnya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadanya, menyaksikan kesakitan yang dialami Fay. Selama ini ia selalu berhubungan dengan gadis-gadis yang memang sudah tidak virgin sehingga tidak ada kesulitan berarti saat melakukan penetrasi. Sedangkan bersama Fay, ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kesulitan yang cukup berarti. Jiwa-jiwa petualangnya seolah tidak berarti dihadapan gadis yang ia impikan sejak kecil itu. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Fay masih meringis menahan rasa sakit di area selangkangannya. Menahan benda asing yang menerobos miliknya walaaupun sudah dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati oleh pria yang tadi sudah sah menjadi suaminya. Air matanya sudah mengering seiring suksesnya Ezar menerobos gawangnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa meski suaminya itu sudah menyelesaikan hajatnya yang ia takini tanpa ada rasa puas. Karena terganggu air matanya.
Fay duduk terpaku menghadap ke sebuah meja. Dibelakang meja tersebut ada seseorang bersorban lengkap dengan thawb atau thobe pakaian gamis pria khas timur tengah.Disamping Fay ada Ezar ia sudah mengganti pakaiannya dengan stelan jas yang ada di mobilnya. Sedangkan Fay masih mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kostum kebesaran kemanapun gadis itu berada.Di sebelah Ezar ada dua pria asing lagi yang tidak Fay kenal. Mereka berempat tampak bercakap sejenak. Entah apa yang mereka bahas, Fay tidak faham.“Kalian sudah siap?” ucap pria berthawb itu dengan bersahaja.Fay dan Ezar reflek mengangguk bersamaan. Dalam hati Fay mempertanyakan keputusannya ini benar atau salah. Namun, bagi Fay toh semua ini sudah ia putuskan. Resiko akan ia tanggung belakangan.Keinginannya saat ini hanya lepas dari perjodohannya dengan Ezar. Pemuda yang menantangnya bercinta semalam, sebelum menikah. Harapannya Ezar meninggalkannya setelah
Tante Sissy mengelus rambut panjang Fay, setelah gadis itu dipanggilnya dengan lembut.“Jangan terlalu percaya sama cowok brengsek ini!” tuduh Tante Sissy kepada Ezar.Lelaki yang merasa menjadi tertuduh itupun menatap tajam ke arah Tante Sissy. Sedangkan Fay tertawa lebar tanpa suara mendengar tuduhan teman Mamanya itu. Karena tanpa Tante Sissy menyampaikan pun dia sudah tahu belang calon suaminya.“Kita balik sekarang, Tan!” pamit Ezar yang terlihat kesal. Entah ditujukan pada siapa.“Hmmm …. Hati-hati bawa anak orang!” ingat Tante Sissy sebelum Ezar menyeret calon istrinya dari ruangan besar di tengah butik milik sahabat Mama Shafiyahnya.Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dengan sedikit suara menyaksikan tingkah anak Echa – sahabatnya yang sudah meninggalkan dunia.Ezar masih menunjukkan senyum termasamnya ketika mendudukkan Fay di jok samping kemudinya. Mendapati senyum mengerika
Ezar menarik tangan Fay masuk kembali ke dalam ruangan dimana tadi gadis itu keluar. Sampai di dalam lelaki itu sibuk mencari gaun yang sesuai dengan hatinya. Hanya dalam hitungan detik tangan Ezar menyambar sebuah gaun warna yang tertutup.“Coba, ini!” titah Ezar dengan tegas menyerahkan gaun yang ia pilih ke arah Fay.Gadis itu dengan segan menerima gaun dari Ezar.“Mau di sini?” tantang Fay sembari melambai ke seorang pegawai untuk membantunya membuka resliting gaun di punggung.Mendengar ucapan Fay, Ezar segera melangkah ke luar ruangan. Pria itu tidak ingin tergoda imannya di tempat yang salah.Fay tertawa puas setelah Ezar menghilang di balik pintu. Gadis itu merasa ada kelegaan begitu sosok pria yang menyebut dirinya calon suaminya itu keluar dengan wajah pias."Zar!" panggil Tante Sissy sembari menuntut Fay keluar dari ruang ganti.Merasa namanya dipanggil Ezar menoleh. Namun, pandangannya malah tertuju
Pukul sepuluh pagi, Ezar sudah duduk manis di sofa ruang tamu Fay. Tentu saja sambutan gadis itu sangat masam. Berbeda dengan Bisma dan Alia. Mama dan Papa Fay menyambutnya dengan antusias seakan ia adalah calon menantu idaman yang patut dibanggakan.Ezar menjadi semakin percaya diri dengan penerimaan calon mertuanya, ia berpura-pura tidak peduli dengan sikap cuek Fay yang sebenarnya cukup menguras emosinya. Seumuran baru kali ini dicueki dan diberi senyuman masam oleh seorang cewek.Padahal biasanya, tanpa perlu meminta atau merayu semua cewek akan mendekati dan memujinya tanpa batas walaupun terkadang ia merasa risi juga.Sedangkan dimata Fay, Ezar tak lebih dari seorang pengecut, brengsek dan lelaki tak berakhlaq. Karena sampai detik ini ia masih meragukan kesungguhhan dan ketulusan Ezar menerima perjodohan dengannya.Mengingat bagaimana reaksi pria gelay tersebut saat pertama mereka bertemu. Gadis bernata bening itu masih belum bisa move on dari peris
“Bos...!” panggil Deni membuyarkan lamunan Ezar yang melanglang buana berselancar ke masa lalunya.“Gimana, Den?” balas Ezar kembali fokus kepada orang kepercayaannya itu.“Bos, ini riwayat pendidikan gadis itu!” Deni menyerahkan selembar kertas pada Ezar.Ezar menerima lembaran kertas putih yang diangsur oleh Deni. Dengan perlahan dan teliti netra pria berstatus single itu membaca kata demi kata yang sudah ditulis Deni.Di kertas tersebut tertulis bahwa Fay pernah bersekolah di Kelompk Bermain dan Taman Kanak-Kanak tepat di sebelah Sekolah Dasarnya. Namun, ketika memasuki semester kedua di kelompok B gadis itu pindah ke sekolah lain mengikuti kedua orang tuanya.Ezar menatap tanggal yang ditulis Deni. Tanggalnya sama dengan peristiwa dimana ia dan Fay bertemu pertama dan terakhir kalinya.Dari kertas laporan Deni, Ezar hanya bisa berspekulasi dengan dirinya sendiri. Kemana Fay setelahnya? Mengapa ga
“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.Ezar duduk dengan posisi lebih nyaman sebelum menjawab pertanyaan dari Papanya.“Biarkan Ezar mencari pasangan hidup sendiri!” jawab Ezar tanpa takut.“Apa papa harus menjadi egois hanya demi seorang menantu?” sambung Ezar. Anak sulung pasangan Guntur dan Shafiyah itu sudah memikirkan matang-matang kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan untuk membantah permintaan sang Papa.“Terus selama itu kamu akan bermain-main dengan banyak wanita di luaran sana!” geram sang Papa kembali.Pria itu sudah terlalu banyak menerima laporan bagaimana perilaku putranya di luar yang selalu berganti-ganti wanita setiap malam.“Zar, usia kamu sudah tidak muda lagi! Ikutilah perintah Papa dan Mama kali ini!” seru Guntur di tengah keputusasaannya.Ezar terd