Di tempat lain, tepatnya di kediaman Fay.
Gadis itu terdiam di atas meja belajar yang berada di dalam kamarnya. Di depannya ada setumpuk buku dan materi diktatnya. Namun, belum ada yang ia sentuh sama sekali.
Pikiranya bergerak mundur ke waktu dimana tatkala sang Mama dan Papa mengatakan bahwa dirinya akan dijodohkan dangan anak sahabat mereka.
“Fay..!” panggil Papa waktu itu ketika mereka berkumpul di teras setelah menikmati sarapan di hari Minggu.
“Iya Pa,” sahut Fau sambil menoleh.
“Fay, nanti malam ikut Papa dan Mama menemui sahabat kita ke resto Green House,” ucap Papa dengan senyum tampannya meski usianya sudah menjelang setengah abad tapi kadar ketampanannya belum pudar sedikitpun. Mungkin ini juga yang membuat Mama semakin jatuh cinta dan lengket dengan suaminya itu.
“Harus gitu Fay iku?” tanya Fay keheranan karena keduanya jarang-jarang mengikutsertakan dirinya pada acara-acara reuni atau semacamnya setelah dirinya menginjak usia delapan tahun.
“Harus. Karena…” Papa menoleh menatap Mama seolah meminta persetujuan wanita terkasihnya itu.
“Kami berdua akan mempertemukan dengan jodohmu,” ucap Mama sejenak setelah Papa menatapnya.
“Maksud kalian?” Fay bergantian menoleh ke arah Mama dan Papanya.
“Kamu sejak kecil sudah kami jodohkan dengan putra dari sahabat kami. Dan besok adalah waktunya kalian untuk bertemu,” sambung Papa.
“Tapi Ma, Pa…”
“Gak pake tapi Fay, temuilah dia dulu!” ucap Mama tanpa mendengarkan penjelasan Fay.
Padahal Fay hanya mau bertanya, apakah lelaki yang dijodohkan dengannya itu bersedia menikah dengannya? Namun, orang tuanya seakan tidak ingin mendengarkan ucapannya.
Ya sudahlah, Fay akhirnya hanya menurut saja.
***
Malamnya di resto Green House.
Fay memilih sebuah gaun berlengan lonceng pendek warna hitam dengan melebar ke bawahn sampai lutut. Bagian atasnya berleher bulat tidak terbuka sehingga terkesan nyaman baginya.
Bagi Fay mengenakan gaun adalah sesuatu yang menyiksa. Bagaimanapun sehari-hari gadis itu memilih mengenakan celana jeans model dan warna apapun dipadu dengan atasan t-shirt atau kemeja longgar.
Jadi, saat Mama memintanya mengenakan gaun. Ia tampak bingung. Beruntung ia memiliki gaun warna hitam. Satu-satunya gaun koleksinya.
Mama dan Papa Fay terlihat begitu bangga dengan penampilan putrinya malam itu. Fay terlihat anggun dan cantik dengan balutan dress sederhananya.
Saat masuk ke dalam resto ternyata keluarga Om Guntur, sahabat Papa Mama sudah datang dan menunggu kedatangan mereka.
“Bima… Alia…” sapa Guntur begitu Mama dan papa memberi salam kepada ketiganya.
Pelukan kerinduan keempatnya secara bergantian menandakan betapa akrabnya persahabatan mereka.
“Oh iya ini Ezar!” Guntur memperkenalkan Ezar kepada Mama dan Papa.
“Ini si Fay!” Mama Fay memperkenalkan putrinya.
Auto Ezar mencium takzim punggung tangan kedua orang tua Fay, begitupun Fay melakukan ritual yang sama kepada orang tua calon suaminya. Iya, calon suami begitu kata Mama dan Papanya.
Meskipun Ezar bermental cassanova, tetapi dihadapan orang tua apalagi sahabat orang tuanya Ezar masih memiliki sopan santun. Minimal menjaga wibawa dirinya sendiri. Masa bodoh dengan kedua orang tuanya.
Setelah acara perkenalan, mereka berenam duduk bersama melingkari sbeuha meja sambil menunggu menu yang sudah dipesan keluarga Ezar. Karena keluarga menyerahkan pilihan menu kepada mereka ketika dijalan tadi.
“Bagaimana Fay kuliahnya?” tanya Guntur kepada Fay.
“Alhamdulillah lancar, Om,” balas Fay sembari melemparkan senyum kea rah calon meretuanya.
“Semester berapa?” kali ini suara Tante Shafiya yang menyambung pertanyaan suaminya.
“Semester enam, Tan.” jawab Fay tanpa ragu.
“Wah, pas dong. Tahun depan lulus?” timpal Guntur yang diamine ketiga orang dewasa lainnya.
“Benget tuh, Pa. Ezar juga sudah mapan dan siap. Bagaimana, Bim? Apa kita percepat saja pernikahan mereka?” ujar Guntur.
“Pa… Ma…” Tiba-tiba saja Ezar nyolot dengan suara tinggi kepada Mama dan Papanya.
Guntur dan Shafiya menoleh dengan cepat kea rah Ezar seolah memberi kode, ternyata tidak diacuhkan oleh Ezar.
Pemuda itu masih berusaha membantah ucapan orang tuanya.
“Ma… Pa… Ezar udah bilang dari awal gak akan mau dijodohin ama siapapun,” Netra lelaki itu terlihat memerah dan rahangnya mengeras.
“Ezar!” seru Guntur menurunkan nada suaranya, ia tampak malu dengan putranya yang sudah membuat gaduh resto tersebut.
Akibat ulah putranya itu, meja mereka menjadi pusat perhatian pengunjung lainnya. Bima dan Alia tampaknya tidak terlalu terkejut dengan sikap Ezar yang menolak mentah-mentah. Orang tua Fay tersebut hanya menyimak pembicaran ayah dan anak tersebut.
“Pa…., aku udah bilang kan di rumah. Aku mau cari istri dengan caraku sendiri. Gak kayak gini juga. Apa anakmu ini kurang ganteng. Di luar sana masih banyak cewek ngantri jadi istriku,” sembur Ezar.
“Ezar…!” Guntur ingin sekali menampar dan memaki putra sulungnya itu dengan kata-kata kasar dan membalikkan keadaan lalu mengatakan kehidupan bebasnya.
Namun, pria paruh baya itu masih memiliki perasaan tidak ingin membeberkan keburukan putranya sendiri dihadapan sahabat serta calon besannya itu.
Ezar semakin geram dengan Papanya yang masih saja berusaha menjodohkan dirinya dengan anak sahabatnya itu.
Pria muda itu menatap gadis yang akan dijodohkan dengannya itu. Ezar bahkan belum mengenal gadis itu. Hanya sekedar bertanya nama saja ia segan.
Setelah menatap Fay yang masih tertunduk, Ezar meninggalkan resto dengan wajah kesal.
Guntur dan Shafiya hanya bisa meminta maaf atas ulah putranya kepada Bima dan keluarganya, terutama pada Fay.
“Fay, maafin Ezar ya!’ ucap Shafiyah dengan wajah sedih.
“Sebetulnya dia anak yang baik, tapi mungkin karena kesalahan kami yang terlalu memanjakan dia sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga jadilah ia anak yang keras kepala,” lanjut Mama Ezar.
“Fay, gak pa-pa kok Tan,” jawab Fay dengan ramah. Padahal dalah hati ia merasa kesal juga diabaikan pertama kalinya oleh seorang pria.
Padahal selama ini ia adalah mahasiswi yang paling dicari di kampus. Tak jarang ia mendapati mahasiswa berbagai angkatan bergerombol di depan kelasnya ahanya untuk sekedar menyapa tau memberinya hadiah.
Bukan saja karena kecantikannya, tetapi karena prestasi akademiknya.
Fay benar-benar kesal. Andai ia bisa, Fay juga ingin berontak dan meninggalkan lokasi resto tersebut. Namun, ia masih menghormati kedua orang tuanya. Jadilah ia hanya menyimak pembicaraan keempat orang dewasa di sekitarnya itu tapa tahu harus berbuat apa.
***
Tiba di rumah, Guntur mencari keberadaan putra sulungnya itu dengan amarah yang meledak-ledak.
“Ezar…!" panggil Guntur begitu membuka pintu kamar anaknya dengan kasar.
Diatas Kasur tampak Ezar sedang berbaring dengan menyandarkan kepalanya di punggung ranjang dengan nyamannya. Namun, rasa nyaman itu memudar tatkala Guntur masuk kamarnya dengan wajah marah.
Plak.
Plak.
Dua tamparan di pipi kanan kiri Ezar menjadi awal pelampiasan kejengkelan dan kemarahannya atas kejadian di resto green house tadi. Belum lagi harus menanggung rasa malu kepada keluarga Bima.
“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.
“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.
***
“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.Ezar duduk dengan posisi lebih nyaman sebelum menjawab pertanyaan dari Papanya.“Biarkan Ezar mencari pasangan hidup sendiri!” jawab Ezar tanpa takut.“Apa papa harus menjadi egois hanya demi seorang menantu?” sambung Ezar. Anak sulung pasangan Guntur dan Shafiyah itu sudah memikirkan matang-matang kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan untuk membantah permintaan sang Papa.“Terus selama itu kamu akan bermain-main dengan banyak wanita di luaran sana!” geram sang Papa kembali.Pria itu sudah terlalu banyak menerima laporan bagaimana perilaku putranya di luar yang selalu berganti-ganti wanita setiap malam.“Zar, usia kamu sudah tidak muda lagi! Ikutilah perintah Papa dan Mama kali ini!” seru Guntur di tengah keputusasaannya.Ezar terd
“Bos...!” panggil Deni membuyarkan lamunan Ezar yang melanglang buana berselancar ke masa lalunya.“Gimana, Den?” balas Ezar kembali fokus kepada orang kepercayaannya itu.“Bos, ini riwayat pendidikan gadis itu!” Deni menyerahkan selembar kertas pada Ezar.Ezar menerima lembaran kertas putih yang diangsur oleh Deni. Dengan perlahan dan teliti netra pria berstatus single itu membaca kata demi kata yang sudah ditulis Deni.Di kertas tersebut tertulis bahwa Fay pernah bersekolah di Kelompk Bermain dan Taman Kanak-Kanak tepat di sebelah Sekolah Dasarnya. Namun, ketika memasuki semester kedua di kelompok B gadis itu pindah ke sekolah lain mengikuti kedua orang tuanya.Ezar menatap tanggal yang ditulis Deni. Tanggalnya sama dengan peristiwa dimana ia dan Fay bertemu pertama dan terakhir kalinya.Dari kertas laporan Deni, Ezar hanya bisa berspekulasi dengan dirinya sendiri. Kemana Fay setelahnya? Mengapa ga
Pukul sepuluh pagi, Ezar sudah duduk manis di sofa ruang tamu Fay. Tentu saja sambutan gadis itu sangat masam. Berbeda dengan Bisma dan Alia. Mama dan Papa Fay menyambutnya dengan antusias seakan ia adalah calon menantu idaman yang patut dibanggakan.Ezar menjadi semakin percaya diri dengan penerimaan calon mertuanya, ia berpura-pura tidak peduli dengan sikap cuek Fay yang sebenarnya cukup menguras emosinya. Seumuran baru kali ini dicueki dan diberi senyuman masam oleh seorang cewek.Padahal biasanya, tanpa perlu meminta atau merayu semua cewek akan mendekati dan memujinya tanpa batas walaupun terkadang ia merasa risi juga.Sedangkan dimata Fay, Ezar tak lebih dari seorang pengecut, brengsek dan lelaki tak berakhlaq. Karena sampai detik ini ia masih meragukan kesungguhhan dan ketulusan Ezar menerima perjodohan dengannya.Mengingat bagaimana reaksi pria gelay tersebut saat pertama mereka bertemu. Gadis bernata bening itu masih belum bisa move on dari peris
Ezar menarik tangan Fay masuk kembali ke dalam ruangan dimana tadi gadis itu keluar. Sampai di dalam lelaki itu sibuk mencari gaun yang sesuai dengan hatinya. Hanya dalam hitungan detik tangan Ezar menyambar sebuah gaun warna yang tertutup.“Coba, ini!” titah Ezar dengan tegas menyerahkan gaun yang ia pilih ke arah Fay.Gadis itu dengan segan menerima gaun dari Ezar.“Mau di sini?” tantang Fay sembari melambai ke seorang pegawai untuk membantunya membuka resliting gaun di punggung.Mendengar ucapan Fay, Ezar segera melangkah ke luar ruangan. Pria itu tidak ingin tergoda imannya di tempat yang salah.Fay tertawa puas setelah Ezar menghilang di balik pintu. Gadis itu merasa ada kelegaan begitu sosok pria yang menyebut dirinya calon suaminya itu keluar dengan wajah pias."Zar!" panggil Tante Sissy sembari menuntut Fay keluar dari ruang ganti.Merasa namanya dipanggil Ezar menoleh. Namun, pandangannya malah tertuju
Tante Sissy mengelus rambut panjang Fay, setelah gadis itu dipanggilnya dengan lembut.“Jangan terlalu percaya sama cowok brengsek ini!” tuduh Tante Sissy kepada Ezar.Lelaki yang merasa menjadi tertuduh itupun menatap tajam ke arah Tante Sissy. Sedangkan Fay tertawa lebar tanpa suara mendengar tuduhan teman Mamanya itu. Karena tanpa Tante Sissy menyampaikan pun dia sudah tahu belang calon suaminya.“Kita balik sekarang, Tan!” pamit Ezar yang terlihat kesal. Entah ditujukan pada siapa.“Hmmm …. Hati-hati bawa anak orang!” ingat Tante Sissy sebelum Ezar menyeret calon istrinya dari ruangan besar di tengah butik milik sahabat Mama Shafiyahnya.Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dengan sedikit suara menyaksikan tingkah anak Echa – sahabatnya yang sudah meninggalkan dunia.Ezar masih menunjukkan senyum termasamnya ketika mendudukkan Fay di jok samping kemudinya. Mendapati senyum mengerika
Fay duduk terpaku menghadap ke sebuah meja. Dibelakang meja tersebut ada seseorang bersorban lengkap dengan thawb atau thobe pakaian gamis pria khas timur tengah.Disamping Fay ada Ezar ia sudah mengganti pakaiannya dengan stelan jas yang ada di mobilnya. Sedangkan Fay masih mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kostum kebesaran kemanapun gadis itu berada.Di sebelah Ezar ada dua pria asing lagi yang tidak Fay kenal. Mereka berempat tampak bercakap sejenak. Entah apa yang mereka bahas, Fay tidak faham.“Kalian sudah siap?” ucap pria berthawb itu dengan bersahaja.Fay dan Ezar reflek mengangguk bersamaan. Dalam hati Fay mempertanyakan keputusannya ini benar atau salah. Namun, bagi Fay toh semua ini sudah ia putuskan. Resiko akan ia tanggung belakangan.Keinginannya saat ini hanya lepas dari perjodohannya dengan Ezar. Pemuda yang menantangnya bercinta semalam, sebelum menikah. Harapannya Ezar meninggalkannya setelah
Ezar menatap iba ke arah gadis yang terpejam di sebelahnya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadanya, menyaksikan kesakitan yang dialami Fay. Selama ini ia selalu berhubungan dengan gadis-gadis yang memang sudah tidak virgin sehingga tidak ada kesulitan berarti saat melakukan penetrasi. Sedangkan bersama Fay, ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kesulitan yang cukup berarti. Jiwa-jiwa petualangnya seolah tidak berarti dihadapan gadis yang ia impikan sejak kecil itu. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Fay masih meringis menahan rasa sakit di area selangkangannya. Menahan benda asing yang menerobos miliknya walaaupun sudah dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati oleh pria yang tadi sudah sah menjadi suaminya. Air matanya sudah mengering seiring suksesnya Ezar menerobos gawangnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa meski suaminya itu sudah menyelesaikan hajatnya yang ia takini tanpa ada rasa puas. Karena terganggu air matanya.
Fay menatap Ezar setengah terkejut. Ia baru menyadari mereka sudah ada di kamar mandi. “Keluarlah! Aku bisa sendiri!” usir Fay. Ezar tersenyum tipis mendengar pengusiran dari Fay. “Udah, aku tungguin di sini. Aku yakin setelah ini kamu masih kesulitan kembali ke kasur!” ucap Ezar tanpa mempedulikan Fay yang terus menatapnya sebal. Fay akhirnya melanjutkan ritual mandi besarnya dengan melirik ke arah Ezar, khawatir pria tersebut mengulang perbuatannya semalam. Apalagi di tempat yang tidak nyaman ini. Ezar yang menyadari kekhawatiran Fay, hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memberi rasa nyaman pada pasangannya semalam. “Awh ...!” pekik Fay lirih saat hendak melangkah hendak meraih handuk. Sejenak ia membenarkan ucapan Ezar. Merasakan sakit di daerah inti. “Nih!” Ezar dengan sigap menyerahkan handuk yang dimaksud Fay. Tanpa diminta, Ezar menggendong tubuh Fay ala bridal.
“Gue harus ngapain?” gumamnya lirih.Berkali-kali ia menghirup dan mengeluarkan napas berat. Rasa bimbangnya begitu besar.“Gue gak mau nikah hanya karena sebuah kesalahan,” ucapnya lirih.Tangannya sibuk mencoret-coret kertas putih yang sedianya akan ia gunakan mengerjakan tugas dari dosen. Namun, tangan mungilnya lebih lincah dan kreatif. Kertas putih tersebut sudah penuh dengan gambar abstrak karyanya.“Gue bener-bener gak bisa konsen ngerjain tugas,” serunya kesal melemopar kertas penuh coretan tersebut ke keranjang sampah.Drrt … drrt …Terdengar ponselnya bordering menandakan ada panggilan masuk.Dengan enggan, Fay meraih ponsel yang ada di atas Kasur.“Apa?” sahut Fay tanpa salam begitu tahu yang memanggil adalah Ezar – lelaki yang kemarin menikahi dan merenggut mahkota.Walaupun sebenarnya, ia yang menyerahkan dengan sadar. Karena tantangan
Fay menatap Ezar setengah terkejut. Ia baru menyadari mereka sudah ada di kamar mandi. “Keluarlah! Aku bisa sendiri!” usir Fay. Ezar tersenyum tipis mendengar pengusiran dari Fay. “Udah, aku tungguin di sini. Aku yakin setelah ini kamu masih kesulitan kembali ke kasur!” ucap Ezar tanpa mempedulikan Fay yang terus menatapnya sebal. Fay akhirnya melanjutkan ritual mandi besarnya dengan melirik ke arah Ezar, khawatir pria tersebut mengulang perbuatannya semalam. Apalagi di tempat yang tidak nyaman ini. Ezar yang menyadari kekhawatiran Fay, hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memberi rasa nyaman pada pasangannya semalam. “Awh ...!” pekik Fay lirih saat hendak melangkah hendak meraih handuk. Sejenak ia membenarkan ucapan Ezar. Merasakan sakit di daerah inti. “Nih!” Ezar dengan sigap menyerahkan handuk yang dimaksud Fay. Tanpa diminta, Ezar menggendong tubuh Fay ala bridal.
Ezar menatap iba ke arah gadis yang terpejam di sebelahnya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadanya, menyaksikan kesakitan yang dialami Fay. Selama ini ia selalu berhubungan dengan gadis-gadis yang memang sudah tidak virgin sehingga tidak ada kesulitan berarti saat melakukan penetrasi. Sedangkan bersama Fay, ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kesulitan yang cukup berarti. Jiwa-jiwa petualangnya seolah tidak berarti dihadapan gadis yang ia impikan sejak kecil itu. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Fay masih meringis menahan rasa sakit di area selangkangannya. Menahan benda asing yang menerobos miliknya walaaupun sudah dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati oleh pria yang tadi sudah sah menjadi suaminya. Air matanya sudah mengering seiring suksesnya Ezar menerobos gawangnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa meski suaminya itu sudah menyelesaikan hajatnya yang ia takini tanpa ada rasa puas. Karena terganggu air matanya.
Fay duduk terpaku menghadap ke sebuah meja. Dibelakang meja tersebut ada seseorang bersorban lengkap dengan thawb atau thobe pakaian gamis pria khas timur tengah.Disamping Fay ada Ezar ia sudah mengganti pakaiannya dengan stelan jas yang ada di mobilnya. Sedangkan Fay masih mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kostum kebesaran kemanapun gadis itu berada.Di sebelah Ezar ada dua pria asing lagi yang tidak Fay kenal. Mereka berempat tampak bercakap sejenak. Entah apa yang mereka bahas, Fay tidak faham.“Kalian sudah siap?” ucap pria berthawb itu dengan bersahaja.Fay dan Ezar reflek mengangguk bersamaan. Dalam hati Fay mempertanyakan keputusannya ini benar atau salah. Namun, bagi Fay toh semua ini sudah ia putuskan. Resiko akan ia tanggung belakangan.Keinginannya saat ini hanya lepas dari perjodohannya dengan Ezar. Pemuda yang menantangnya bercinta semalam, sebelum menikah. Harapannya Ezar meninggalkannya setelah
Tante Sissy mengelus rambut panjang Fay, setelah gadis itu dipanggilnya dengan lembut.“Jangan terlalu percaya sama cowok brengsek ini!” tuduh Tante Sissy kepada Ezar.Lelaki yang merasa menjadi tertuduh itupun menatap tajam ke arah Tante Sissy. Sedangkan Fay tertawa lebar tanpa suara mendengar tuduhan teman Mamanya itu. Karena tanpa Tante Sissy menyampaikan pun dia sudah tahu belang calon suaminya.“Kita balik sekarang, Tan!” pamit Ezar yang terlihat kesal. Entah ditujukan pada siapa.“Hmmm …. Hati-hati bawa anak orang!” ingat Tante Sissy sebelum Ezar menyeret calon istrinya dari ruangan besar di tengah butik milik sahabat Mama Shafiyahnya.Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dengan sedikit suara menyaksikan tingkah anak Echa – sahabatnya yang sudah meninggalkan dunia.Ezar masih menunjukkan senyum termasamnya ketika mendudukkan Fay di jok samping kemudinya. Mendapati senyum mengerika
Ezar menarik tangan Fay masuk kembali ke dalam ruangan dimana tadi gadis itu keluar. Sampai di dalam lelaki itu sibuk mencari gaun yang sesuai dengan hatinya. Hanya dalam hitungan detik tangan Ezar menyambar sebuah gaun warna yang tertutup.“Coba, ini!” titah Ezar dengan tegas menyerahkan gaun yang ia pilih ke arah Fay.Gadis itu dengan segan menerima gaun dari Ezar.“Mau di sini?” tantang Fay sembari melambai ke seorang pegawai untuk membantunya membuka resliting gaun di punggung.Mendengar ucapan Fay, Ezar segera melangkah ke luar ruangan. Pria itu tidak ingin tergoda imannya di tempat yang salah.Fay tertawa puas setelah Ezar menghilang di balik pintu. Gadis itu merasa ada kelegaan begitu sosok pria yang menyebut dirinya calon suaminya itu keluar dengan wajah pias."Zar!" panggil Tante Sissy sembari menuntut Fay keluar dari ruang ganti.Merasa namanya dipanggil Ezar menoleh. Namun, pandangannya malah tertuju
Pukul sepuluh pagi, Ezar sudah duduk manis di sofa ruang tamu Fay. Tentu saja sambutan gadis itu sangat masam. Berbeda dengan Bisma dan Alia. Mama dan Papa Fay menyambutnya dengan antusias seakan ia adalah calon menantu idaman yang patut dibanggakan.Ezar menjadi semakin percaya diri dengan penerimaan calon mertuanya, ia berpura-pura tidak peduli dengan sikap cuek Fay yang sebenarnya cukup menguras emosinya. Seumuran baru kali ini dicueki dan diberi senyuman masam oleh seorang cewek.Padahal biasanya, tanpa perlu meminta atau merayu semua cewek akan mendekati dan memujinya tanpa batas walaupun terkadang ia merasa risi juga.Sedangkan dimata Fay, Ezar tak lebih dari seorang pengecut, brengsek dan lelaki tak berakhlaq. Karena sampai detik ini ia masih meragukan kesungguhhan dan ketulusan Ezar menerima perjodohan dengannya.Mengingat bagaimana reaksi pria gelay tersebut saat pertama mereka bertemu. Gadis bernata bening itu masih belum bisa move on dari peris
“Bos...!” panggil Deni membuyarkan lamunan Ezar yang melanglang buana berselancar ke masa lalunya.“Gimana, Den?” balas Ezar kembali fokus kepada orang kepercayaannya itu.“Bos, ini riwayat pendidikan gadis itu!” Deni menyerahkan selembar kertas pada Ezar.Ezar menerima lembaran kertas putih yang diangsur oleh Deni. Dengan perlahan dan teliti netra pria berstatus single itu membaca kata demi kata yang sudah ditulis Deni.Di kertas tersebut tertulis bahwa Fay pernah bersekolah di Kelompk Bermain dan Taman Kanak-Kanak tepat di sebelah Sekolah Dasarnya. Namun, ketika memasuki semester kedua di kelompok B gadis itu pindah ke sekolah lain mengikuti kedua orang tuanya.Ezar menatap tanggal yang ditulis Deni. Tanggalnya sama dengan peristiwa dimana ia dan Fay bertemu pertama dan terakhir kalinya.Dari kertas laporan Deni, Ezar hanya bisa berspekulasi dengan dirinya sendiri. Kemana Fay setelahnya? Mengapa ga
“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.Ezar duduk dengan posisi lebih nyaman sebelum menjawab pertanyaan dari Papanya.“Biarkan Ezar mencari pasangan hidup sendiri!” jawab Ezar tanpa takut.“Apa papa harus menjadi egois hanya demi seorang menantu?” sambung Ezar. Anak sulung pasangan Guntur dan Shafiyah itu sudah memikirkan matang-matang kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan untuk membantah permintaan sang Papa.“Terus selama itu kamu akan bermain-main dengan banyak wanita di luaran sana!” geram sang Papa kembali.Pria itu sudah terlalu banyak menerima laporan bagaimana perilaku putranya di luar yang selalu berganti-ganti wanita setiap malam.“Zar, usia kamu sudah tidak muda lagi! Ikutilah perintah Papa dan Mama kali ini!” seru Guntur di tengah keputusasaannya.Ezar terd