Pukul sepuluh pagi, Ezar sudah duduk manis di sofa ruang tamu Fay. Tentu saja sambutan gadis itu sangat masam. Berbeda dengan Bisma dan Alia. Mama dan Papa Fay menyambutnya dengan antusias seakan ia adalah calon menantu idaman yang patut dibanggakan.
Ezar menjadi semakin percaya diri dengan penerimaan calon mertuanya, ia berpura-pura tidak peduli dengan sikap cuek Fay yang sebenarnya cukup menguras emosinya. Seumuran baru kali ini dicueki dan diberi senyuman masam oleh seorang cewek.
Padahal biasanya, tanpa perlu meminta atau merayu semua cewek akan mendekati dan memujinya tanpa batas walaupun terkadang ia merasa risi juga.
Sedangkan dimata Fay, Ezar tak lebih dari seorang pengecut, brengsek dan lelaki tak berakhlaq. Karena sampai detik ini ia masih meragukan kesungguhhan dan ketulusan Ezar menerima perjodohan dengannya.
Mengingat bagaimana reaksi pria gelay tersebut saat pertama mereka bertemu. Gadis bernata bening itu masih belum bisa move on dari peristiwa menjengkelkan malam itu.
Belum lagi permintaan super edan dari ezar beberapa hari lalu saat menjemputnya di kampus. Fay benar-benar muak mengingatinya.
Menyaksikan senyum dan candaan yang ia lontarkan kepada kedua orang tuanya sungguh membuat Fay semakin ingin meninjunya. Fay benar-benar merasa sebal dan jengkel menyaksikannya.
“Fay... cepet sini!” Panggil Mama setengah berteriak. Padahal jelas-jelas aku di dekatnya dan tidak budeg.
“Apaan sih Ma? Pake teriak-teriak. Fay masih denger kok!” Celoteh gadis berambut semir ungu sembur dengan warna asli rambutnya itu dengan cemberut.
Sungguh Ezar tidak menyukai gaya rambut Fay kali ini. Ia lebih menyukai Fay dengan warna rambut alaminya. Membuat Ezar teringat pada wanita yang sering ditidurinya tanpa rasa berdosa.
“Tungguin sampai elo bertekuk lutut di kaki gue, bakal gue bikin elo seperti yang gue mau!” batin Ezar dalam hati sambil menatap Fay dari ujung ke ujung.
Beruntung gadis itu tidak mempedulikannya, coba kalau Fay menyadari dirinya diperhatikan pasti gadis itu semakin jutek padanya.
“Ditungguin Ezar tuh! Kasihan kelamaan,” Ucap Mama melembut.
“Baru juga nunggu sepuluh menit udah teriak-teriak apalagi nunggu sebulan. Uwh.. dijamin gak akan tahan!” Omel putri tunggal Papa Bisma itu sengaja mengeraskan suaranya.
“Fay mgomong apaan sih!” celetuk Mama.
“Sana cepet pergi udah ditungguin Tante Sissy!” sambung Mama mengingatkan.
Tante Sissy adalah desainer gaun yang akan kami gunakan saat pesta pertunangan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan,
Namun, untuk lebih tepatnya baik Fay maupun Ezar tidak tahu. Karena para orang tua yang sengaja mengaturnya sedemikian rupa.
“Hati-hati ya Zar bawa mobilnya. Bisa diomeli Fay tujuh hari berturut-turut nanti, kalau bawa mobilnya diatas kecepatan rata-rata. Terus kalau Bidadari kamu ini cerewet-cerewet sumpal aja pake burger dijamin diem setahun,” kelakar Papa sambil tersenyum di balas senyum pula oleh Ezar.
Fay membalas ucapan Papa Bisma dengan muka masam karena sudah membocorkan rahasia dirinya kepada Ezar, calon suaminya yang gelay habis. Sebutannya untuk Ezar yang masih menduduki peringkat menjengkelkan di hatinya.
“Papa nyebelin!” pamit Fay sambil ngeluyur menuju mobil Ezar.
Papa Bisma hanya terkekeh mendengar cara pamitan putrinya yang tidak biasa itu.
Setelah bersalaman dengan Bisma, Ezar menuju mobilnya. Dimana Fay sudah duduk manis di jok penumpang dengan wajah masam.
Setelah Ezar masuk, Fay melirik pria itu tertawa lirih khas dirinya. Fay menghembuskan napas dalam-dalam menenangkan batinnya yang perang dingin. Antara menolak dan menerima kehadiran Ezar yang membuatnya selalu tidak tenang dan nyaman.
Setelah merasa tenang, Fay menoleh ke pria yang fokus mengemudi. Ada sedikit rasa was-was. Namun, saat pria tersebut membalas tatapannya tiba-tiba saja ia merasa ada yang salah dengan hatinya. Hati yang semula anteng mulai bergejolak tidak tenang.
Entah mengapa Fay merasa wajah Ezar hari ini sedikit lebih tampan dari biasanya. Senyum Ezar tiba-tiba berubah menjadi senyum menawan.
Jantung Fay, berdebar kencang tanpa kendali. Padahal wajahnya masih dipenuhi kekesalan dan kejengkelan. Senyumnya masih menampakkan kemasaman.
Namun, begitu melirik ke arah Ezar yang masih tersenyum manis, meluruhkan seluruh kekesalannya hari ini. Seketika hatinya dipenuhi kebahagiaan.
Fay sampai bingung dengan yang taerjadi pada dirinya. Gadis imut itu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini.
“Kalo ngeliatin biasa aja kelee, entar jatuh cinta looo!” tegur Ezar dengan nada datarnya tanpa melepas fokus kemudi.
Tanpa bersuara Fay menyandarkan punggungnya ke jok lalu memejamkan kedua matanya tanpa mempedulikan suara tawa Ezar yang terdengar seperti mengoloknya karena terpergok menatap pria calon suaminya itu.
Sedangkan di sisi kemudi, Ezar merasa di atas angin. Ia seakan yakin bahwa Fay mulai tertarik padanya.
“Udah nyampe!” ucap Ezar setelah mematikan mesin motornya.
“Elo mau di sini ato ikut masuk?” sambung Ezar datar tanpa ada ramah-ramahnya.
“Di sini aja kalo gak keberatan. Ntar yang fitting baju gue elo aja!” balas Fay dengan malas. Ia semakin menyamankan diri dengan jok mobil Ezar.
“Kampret elo! Turun, gih!” maki Ezar tanpa hati.
“Anjir… yang bener lo, tadi nawarin mo di sini ato masuk? Giliran gue jawab di sini elo katain gue kampret,” umpat Fay membalas makian Ezar.
Tanpa persetujuan Fay, Ezar turun dan membuka pintu penumpang di sebelahnya. Dengan cekatan dilepasnya seatbelt yang dikenakan calon tunangannya itu. Fay yang masih enggan menuruti Ezar masih berusaha abai dengan pria menjengkelkan hatinya itu.
Ezar yang mulai jengah dengan sikap Fay akhirnya membopong tubuh gadis itu, tak peduli tatapan orang di sekitarnya.
Dengan sekali lempar, Ezar menyerahkan kontak mobilnya ke seorang satpam agar mengamankan kendaraannya.
“Turun! Badan lo berat banget!” Ezar menurunkan tubuh Fay setelah sampai di dalam butik.
“Eh, sapa suruh pake acara gendong!” sanggah Fay dengan ketus.
“Elo tuh gak ada makasi-makasinya ya!” balas Ezar dengan tatapan tajamnya membuat Fay bergidik dan mundur beberapa langkah.
“Duh! Romantis sekali,” suara seorang wanita dari sebuah ruangan.
“Siang, Tan!” sahut Ezar ramah menyadari wanita cantik yang mneyapanya adalah si pemilik butik.
“Jadi ini calon istri kamu, Zar?” ucap Tante Sissy tanpa menjawab sapaan Ezar.
Tante Sissy memandang Fay dari ujung rambut sampai kaki. Membuat Fay sedikit risi dibuatnya.
“Cantik,” komentar Tante Sissy.
“Mas.. ini kunci mobilnya!” satpam yang tadi dimintai tolong Ezar mengamankan kendaraannya menyerahkan kunci otomatisnya.
“Makasih ya, Mas!” ucap Ezar dengan ramah, satpam tersebut membalas dengan tersenyum dan pamit kembali ke depan.
Sedangkan Fay sudah dibawa Tante Sissy ke sebuah ruangan.
“Zar, gimana dengan gaun ini?” Tante membawa Fay keluar dari ruangan di balik kaca besar sudah mengenakan gaun putih selutut dengan dada terbuka.
Netra Ezar melotot sempurna mendapatkan pemandangan empuk di hadapannya. Apalagi dengan bagian tubuh Fay yang begitu terbuka.
“Tan, ganti deh!” oceh Ezar.
“kenapa? Kan cantik tuh si Fay pakai begitu. Pas ama rambutnya yang disemir highlight bawah gitu,” bantah Tante Sissy menyakinkan Ezar.
“Aduuh, ini Tante kagak tau apa? Liat Fay kayak gitu bikin asetku nyesek di dalam sana! Lha gimana pas acara ntar bisa-bisa aku gak jadi tunangan,” umpat ezar dalam hati yang sudah merasakan asset tergokilnya sudah mengeras tanpa kendali.
“Tan… segera deh! Gantiin gaunnya dia! Atau kalau tidak….”
“kalau tidak, kamu mau apa?” tantang Tante Sissy yang sebetulnya tahu apa yang terjadi pada Ezar dan Fay sebelum menerima perjodohan tersebut.
“Aku yang gantiin dia!”
Ezar menarik tangan Fay masuk kembali ke dalam ruangan dimana tadi gadis itu keluar. Sampai di dalam lelaki itu sibuk mencari gaun yang sesuai dengan hatinya. Hanya dalam hitungan detik tangan Ezar menyambar sebuah gaun warna yang tertutup.“Coba, ini!” titah Ezar dengan tegas menyerahkan gaun yang ia pilih ke arah Fay.Gadis itu dengan segan menerima gaun dari Ezar.“Mau di sini?” tantang Fay sembari melambai ke seorang pegawai untuk membantunya membuka resliting gaun di punggung.Mendengar ucapan Fay, Ezar segera melangkah ke luar ruangan. Pria itu tidak ingin tergoda imannya di tempat yang salah.Fay tertawa puas setelah Ezar menghilang di balik pintu. Gadis itu merasa ada kelegaan begitu sosok pria yang menyebut dirinya calon suaminya itu keluar dengan wajah pias."Zar!" panggil Tante Sissy sembari menuntut Fay keluar dari ruang ganti.Merasa namanya dipanggil Ezar menoleh. Namun, pandangannya malah tertuju
Tante Sissy mengelus rambut panjang Fay, setelah gadis itu dipanggilnya dengan lembut.“Jangan terlalu percaya sama cowok brengsek ini!” tuduh Tante Sissy kepada Ezar.Lelaki yang merasa menjadi tertuduh itupun menatap tajam ke arah Tante Sissy. Sedangkan Fay tertawa lebar tanpa suara mendengar tuduhan teman Mamanya itu. Karena tanpa Tante Sissy menyampaikan pun dia sudah tahu belang calon suaminya.“Kita balik sekarang, Tan!” pamit Ezar yang terlihat kesal. Entah ditujukan pada siapa.“Hmmm …. Hati-hati bawa anak orang!” ingat Tante Sissy sebelum Ezar menyeret calon istrinya dari ruangan besar di tengah butik milik sahabat Mama Shafiyahnya.Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dengan sedikit suara menyaksikan tingkah anak Echa – sahabatnya yang sudah meninggalkan dunia.Ezar masih menunjukkan senyum termasamnya ketika mendudukkan Fay di jok samping kemudinya. Mendapati senyum mengerika
Fay duduk terpaku menghadap ke sebuah meja. Dibelakang meja tersebut ada seseorang bersorban lengkap dengan thawb atau thobe pakaian gamis pria khas timur tengah.Disamping Fay ada Ezar ia sudah mengganti pakaiannya dengan stelan jas yang ada di mobilnya. Sedangkan Fay masih mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kostum kebesaran kemanapun gadis itu berada.Di sebelah Ezar ada dua pria asing lagi yang tidak Fay kenal. Mereka berempat tampak bercakap sejenak. Entah apa yang mereka bahas, Fay tidak faham.“Kalian sudah siap?” ucap pria berthawb itu dengan bersahaja.Fay dan Ezar reflek mengangguk bersamaan. Dalam hati Fay mempertanyakan keputusannya ini benar atau salah. Namun, bagi Fay toh semua ini sudah ia putuskan. Resiko akan ia tanggung belakangan.Keinginannya saat ini hanya lepas dari perjodohannya dengan Ezar. Pemuda yang menantangnya bercinta semalam, sebelum menikah. Harapannya Ezar meninggalkannya setelah
Ezar menatap iba ke arah gadis yang terpejam di sebelahnya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadanya, menyaksikan kesakitan yang dialami Fay. Selama ini ia selalu berhubungan dengan gadis-gadis yang memang sudah tidak virgin sehingga tidak ada kesulitan berarti saat melakukan penetrasi. Sedangkan bersama Fay, ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kesulitan yang cukup berarti. Jiwa-jiwa petualangnya seolah tidak berarti dihadapan gadis yang ia impikan sejak kecil itu. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Fay masih meringis menahan rasa sakit di area selangkangannya. Menahan benda asing yang menerobos miliknya walaaupun sudah dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati oleh pria yang tadi sudah sah menjadi suaminya. Air matanya sudah mengering seiring suksesnya Ezar menerobos gawangnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa meski suaminya itu sudah menyelesaikan hajatnya yang ia takini tanpa ada rasa puas. Karena terganggu air matanya.
Fay menatap Ezar setengah terkejut. Ia baru menyadari mereka sudah ada di kamar mandi. “Keluarlah! Aku bisa sendiri!” usir Fay. Ezar tersenyum tipis mendengar pengusiran dari Fay. “Udah, aku tungguin di sini. Aku yakin setelah ini kamu masih kesulitan kembali ke kasur!” ucap Ezar tanpa mempedulikan Fay yang terus menatapnya sebal. Fay akhirnya melanjutkan ritual mandi besarnya dengan melirik ke arah Ezar, khawatir pria tersebut mengulang perbuatannya semalam. Apalagi di tempat yang tidak nyaman ini. Ezar yang menyadari kekhawatiran Fay, hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memberi rasa nyaman pada pasangannya semalam. “Awh ...!” pekik Fay lirih saat hendak melangkah hendak meraih handuk. Sejenak ia membenarkan ucapan Ezar. Merasakan sakit di daerah inti. “Nih!” Ezar dengan sigap menyerahkan handuk yang dimaksud Fay. Tanpa diminta, Ezar menggendong tubuh Fay ala bridal.
“Gue harus ngapain?” gumamnya lirih.Berkali-kali ia menghirup dan mengeluarkan napas berat. Rasa bimbangnya begitu besar.“Gue gak mau nikah hanya karena sebuah kesalahan,” ucapnya lirih.Tangannya sibuk mencoret-coret kertas putih yang sedianya akan ia gunakan mengerjakan tugas dari dosen. Namun, tangan mungilnya lebih lincah dan kreatif. Kertas putih tersebut sudah penuh dengan gambar abstrak karyanya.“Gue bener-bener gak bisa konsen ngerjain tugas,” serunya kesal melemopar kertas penuh coretan tersebut ke keranjang sampah.Drrt … drrt …Terdengar ponselnya bordering menandakan ada panggilan masuk.Dengan enggan, Fay meraih ponsel yang ada di atas Kasur.“Apa?” sahut Fay tanpa salam begitu tahu yang memanggil adalah Ezar – lelaki yang kemarin menikahi dan merenggut mahkota.Walaupun sebenarnya, ia yang menyerahkan dengan sadar. Karena tantangan
"Gue bersedia nikahin elo dengan satu syarat!" ucap Ezar di pertemuan ketiganya dengan Fay. Senyum licik tercetak jelas di wajah pemuda itu."Katakan!" jawab Fay cepat seakan tak ingin membuang waktu sia-sia karena berada di dekat Ezar.Ezar sengaja menjemput Fay di kampusnya dan membawa gadis itu makan siang di sebuah café hanya untuk mengatakan keinginannya kepada Fay Amira. Gadis yang dijodohkan kedua orangnya beberapa minggu lalu.Dari tempatnya duduk Fay melihat Ezar tersenyum licik padanya. Sumpah, Fay ingin muntah dan memaki pria itu. Tapi apa daya itu hanya keinginan terdalamnya tanpa tahu kapan bisa mewujudkannya.Pria yang ia tahu hanya berpura-pura menerima perjodohan, padahal mereka sama-sama menolak mentah-mentah diawal pertemuan. Fay masih ingat bagaimana Ezar menyatakan penolakannya dengan cara yang kasar.Namun, entah mengapa? Beberapa hari yang lalu Ezar berkunjung ke rumah dan mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa &nbs
Ezar memasuki sebuah gedung dengan percaya diri. Baru selangkah masuk, berpasang-pasang mata wanita menatapnya penuh damba. Namun, lelaki itu terus saja melangkah tanpa mempedulikan siapapun. Bukan Ezar namanya jika ia peduli.Pesona lelaki tampan bermata elang itu membuat banyak wanita bertekuk lutut tanpa memandang nilai nominal yang digelontorkan Ezar. Bahkan mereka rela menemani lelaki itu meski tanpa bayaran sesenpun.Namun, pilihan kembali ke pemilik kuasa. Ezar tidak mau sembrono tidur dengan banyak wanita. Ada bodyguard terbaiknya yang siap memberikan informasi tentang gadis-gadis yang akan ia tiduri.“Hai ganteng! Apa kabar?” sapa seorang wanita dengan segelas wine di tanganya.“Hai…!” balas Ezar tanpa menyebutkan nama wanita tersebut.Ezar terus melangkah ke sebuah ruangan dimana kedua sahabatnya sudah menunggunya. Wanita itu tersenyum getir karena sapaannya diacuhkan Ezar. Pria yang terkenal sebagai b
“Gue harus ngapain?” gumamnya lirih.Berkali-kali ia menghirup dan mengeluarkan napas berat. Rasa bimbangnya begitu besar.“Gue gak mau nikah hanya karena sebuah kesalahan,” ucapnya lirih.Tangannya sibuk mencoret-coret kertas putih yang sedianya akan ia gunakan mengerjakan tugas dari dosen. Namun, tangan mungilnya lebih lincah dan kreatif. Kertas putih tersebut sudah penuh dengan gambar abstrak karyanya.“Gue bener-bener gak bisa konsen ngerjain tugas,” serunya kesal melemopar kertas penuh coretan tersebut ke keranjang sampah.Drrt … drrt …Terdengar ponselnya bordering menandakan ada panggilan masuk.Dengan enggan, Fay meraih ponsel yang ada di atas Kasur.“Apa?” sahut Fay tanpa salam begitu tahu yang memanggil adalah Ezar – lelaki yang kemarin menikahi dan merenggut mahkota.Walaupun sebenarnya, ia yang menyerahkan dengan sadar. Karena tantangan
Fay menatap Ezar setengah terkejut. Ia baru menyadari mereka sudah ada di kamar mandi. “Keluarlah! Aku bisa sendiri!” usir Fay. Ezar tersenyum tipis mendengar pengusiran dari Fay. “Udah, aku tungguin di sini. Aku yakin setelah ini kamu masih kesulitan kembali ke kasur!” ucap Ezar tanpa mempedulikan Fay yang terus menatapnya sebal. Fay akhirnya melanjutkan ritual mandi besarnya dengan melirik ke arah Ezar, khawatir pria tersebut mengulang perbuatannya semalam. Apalagi di tempat yang tidak nyaman ini. Ezar yang menyadari kekhawatiran Fay, hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memberi rasa nyaman pada pasangannya semalam. “Awh ...!” pekik Fay lirih saat hendak melangkah hendak meraih handuk. Sejenak ia membenarkan ucapan Ezar. Merasakan sakit di daerah inti. “Nih!” Ezar dengan sigap menyerahkan handuk yang dimaksud Fay. Tanpa diminta, Ezar menggendong tubuh Fay ala bridal.
Ezar menatap iba ke arah gadis yang terpejam di sebelahnya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadanya, menyaksikan kesakitan yang dialami Fay. Selama ini ia selalu berhubungan dengan gadis-gadis yang memang sudah tidak virgin sehingga tidak ada kesulitan berarti saat melakukan penetrasi. Sedangkan bersama Fay, ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami kesulitan yang cukup berarti. Jiwa-jiwa petualangnya seolah tidak berarti dihadapan gadis yang ia impikan sejak kecil itu. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Fay masih meringis menahan rasa sakit di area selangkangannya. Menahan benda asing yang menerobos miliknya walaaupun sudah dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati oleh pria yang tadi sudah sah menjadi suaminya. Air matanya sudah mengering seiring suksesnya Ezar menerobos gawangnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa meski suaminya itu sudah menyelesaikan hajatnya yang ia takini tanpa ada rasa puas. Karena terganggu air matanya.
Fay duduk terpaku menghadap ke sebuah meja. Dibelakang meja tersebut ada seseorang bersorban lengkap dengan thawb atau thobe pakaian gamis pria khas timur tengah.Disamping Fay ada Ezar ia sudah mengganti pakaiannya dengan stelan jas yang ada di mobilnya. Sedangkan Fay masih mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Kostum kebesaran kemanapun gadis itu berada.Di sebelah Ezar ada dua pria asing lagi yang tidak Fay kenal. Mereka berempat tampak bercakap sejenak. Entah apa yang mereka bahas, Fay tidak faham.“Kalian sudah siap?” ucap pria berthawb itu dengan bersahaja.Fay dan Ezar reflek mengangguk bersamaan. Dalam hati Fay mempertanyakan keputusannya ini benar atau salah. Namun, bagi Fay toh semua ini sudah ia putuskan. Resiko akan ia tanggung belakangan.Keinginannya saat ini hanya lepas dari perjodohannya dengan Ezar. Pemuda yang menantangnya bercinta semalam, sebelum menikah. Harapannya Ezar meninggalkannya setelah
Tante Sissy mengelus rambut panjang Fay, setelah gadis itu dipanggilnya dengan lembut.“Jangan terlalu percaya sama cowok brengsek ini!” tuduh Tante Sissy kepada Ezar.Lelaki yang merasa menjadi tertuduh itupun menatap tajam ke arah Tante Sissy. Sedangkan Fay tertawa lebar tanpa suara mendengar tuduhan teman Mamanya itu. Karena tanpa Tante Sissy menyampaikan pun dia sudah tahu belang calon suaminya.“Kita balik sekarang, Tan!” pamit Ezar yang terlihat kesal. Entah ditujukan pada siapa.“Hmmm …. Hati-hati bawa anak orang!” ingat Tante Sissy sebelum Ezar menyeret calon istrinya dari ruangan besar di tengah butik milik sahabat Mama Shafiyahnya.Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lebar dengan sedikit suara menyaksikan tingkah anak Echa – sahabatnya yang sudah meninggalkan dunia.Ezar masih menunjukkan senyum termasamnya ketika mendudukkan Fay di jok samping kemudinya. Mendapati senyum mengerika
Ezar menarik tangan Fay masuk kembali ke dalam ruangan dimana tadi gadis itu keluar. Sampai di dalam lelaki itu sibuk mencari gaun yang sesuai dengan hatinya. Hanya dalam hitungan detik tangan Ezar menyambar sebuah gaun warna yang tertutup.“Coba, ini!” titah Ezar dengan tegas menyerahkan gaun yang ia pilih ke arah Fay.Gadis itu dengan segan menerima gaun dari Ezar.“Mau di sini?” tantang Fay sembari melambai ke seorang pegawai untuk membantunya membuka resliting gaun di punggung.Mendengar ucapan Fay, Ezar segera melangkah ke luar ruangan. Pria itu tidak ingin tergoda imannya di tempat yang salah.Fay tertawa puas setelah Ezar menghilang di balik pintu. Gadis itu merasa ada kelegaan begitu sosok pria yang menyebut dirinya calon suaminya itu keluar dengan wajah pias."Zar!" panggil Tante Sissy sembari menuntut Fay keluar dari ruang ganti.Merasa namanya dipanggil Ezar menoleh. Namun, pandangannya malah tertuju
Pukul sepuluh pagi, Ezar sudah duduk manis di sofa ruang tamu Fay. Tentu saja sambutan gadis itu sangat masam. Berbeda dengan Bisma dan Alia. Mama dan Papa Fay menyambutnya dengan antusias seakan ia adalah calon menantu idaman yang patut dibanggakan.Ezar menjadi semakin percaya diri dengan penerimaan calon mertuanya, ia berpura-pura tidak peduli dengan sikap cuek Fay yang sebenarnya cukup menguras emosinya. Seumuran baru kali ini dicueki dan diberi senyuman masam oleh seorang cewek.Padahal biasanya, tanpa perlu meminta atau merayu semua cewek akan mendekati dan memujinya tanpa batas walaupun terkadang ia merasa risi juga.Sedangkan dimata Fay, Ezar tak lebih dari seorang pengecut, brengsek dan lelaki tak berakhlaq. Karena sampai detik ini ia masih meragukan kesungguhhan dan ketulusan Ezar menerima perjodohan dengannya.Mengingat bagaimana reaksi pria gelay tersebut saat pertama mereka bertemu. Gadis bernata bening itu masih belum bisa move on dari peris
“Bos...!” panggil Deni membuyarkan lamunan Ezar yang melanglang buana berselancar ke masa lalunya.“Gimana, Den?” balas Ezar kembali fokus kepada orang kepercayaannya itu.“Bos, ini riwayat pendidikan gadis itu!” Deni menyerahkan selembar kertas pada Ezar.Ezar menerima lembaran kertas putih yang diangsur oleh Deni. Dengan perlahan dan teliti netra pria berstatus single itu membaca kata demi kata yang sudah ditulis Deni.Di kertas tersebut tertulis bahwa Fay pernah bersekolah di Kelompk Bermain dan Taman Kanak-Kanak tepat di sebelah Sekolah Dasarnya. Namun, ketika memasuki semester kedua di kelompok B gadis itu pindah ke sekolah lain mengikuti kedua orang tuanya.Ezar menatap tanggal yang ditulis Deni. Tanggalnya sama dengan peristiwa dimana ia dan Fay bertemu pertama dan terakhir kalinya.Dari kertas laporan Deni, Ezar hanya bisa berspekulasi dengan dirinya sendiri. Kemana Fay setelahnya? Mengapa ga
“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.Ezar duduk dengan posisi lebih nyaman sebelum menjawab pertanyaan dari Papanya.“Biarkan Ezar mencari pasangan hidup sendiri!” jawab Ezar tanpa takut.“Apa papa harus menjadi egois hanya demi seorang menantu?” sambung Ezar. Anak sulung pasangan Guntur dan Shafiyah itu sudah memikirkan matang-matang kalimat demi kalimat yang akan ia ucapkan untuk membantah permintaan sang Papa.“Terus selama itu kamu akan bermain-main dengan banyak wanita di luaran sana!” geram sang Papa kembali.Pria itu sudah terlalu banyak menerima laporan bagaimana perilaku putranya di luar yang selalu berganti-ganti wanita setiap malam.“Zar, usia kamu sudah tidak muda lagi! Ikutilah perintah Papa dan Mama kali ini!” seru Guntur di tengah keputusasaannya.Ezar terd