Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.
Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.
“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.
Janu tetap diam. Dia sedang berpikir.
“Apa karena pacarmu itu? Kamu tahu kan kalian beda keyakinan, hubungan mu itu tidak akan menemukan titik terang. Kalian tidak bisa bersama dalam ikatan pernikahan.”
“Bukan karena itu Ayah, Bu.”
Ibu Janu menyentuh tangan anaknya lembut. Dia harus segera mengetahui alasan anaknya menolak perjodohan, karena sore nanti keluarga dari Rahma akan datang untuk makan malam dan membicarakan tentang perjodohan ini.
“Lantas karena apa?"
Janu mengangkat kepala. Tersenyum canggung, "Nanti Janu kasih tau sama ayah dan ibu. Sekarang kita ke pernikahan Tantenya Kayla dulu."
Kedua orang tua Janu menghela napas. Kemudian mereka bangkit karena memang sudah siap untuk menghadiri pernikahan Ris dan suaminya. Kebetulan mereka juga satu komplek dengan Tante Ris dan rumah Kayla, 15 menit menggunakan kendaraan langsung sampai. Sangat dekat sekali. Wajar saja Janu dan Kayla sering ketemu dan selalu dipertemukan bahkan saat duduk di bangku kuliah.
Sesampainya di sana Janu langsung mencari Kayla, para tamu undangan sudah mulai pulang dan suasana di sana tak seramai saat penampilan artis papan atas. Kedua orang tua Janu menyalami Tante Ris yang masih stay berdiri di altar.
"Hay Kayla, pangling banget Lo pakai ginian," komentar Janu saat menghampiri Kayla yang sedang duduk menyantap makanan.
Kayla terkejut, mempersilahkan Janu untuk duduk disampingnya. Di sana ada Salma dan kedua saudara laki-laki, siapa lagi kalau bukan Nino dan Rigel.
Mereka beradu tos dengan Janu, sudah saling kenal dan akrab. Basa basi menanyakan kabar.
“Habis acara ini lo sibuk nggak?” Tanya Janu disamping Kayla.
Kayla menggeleng. “Kenapa gitu?"
“Di rumah gue ngadain acara makan gitu, syukuran. Gue ngajak lo, ya siapa tahu lo mau.”
“Boleh, kalau emang gue diundang.”
Para sepupu Kayla sudah beranjak dari 10 menit yang lalu, berpencar entah kemana. Yang masih bertahan duduk di sana sambil menikmati alunan musik yang lebih slow, cuman Janu dan Kayla.
Tak lama kemudian ada orang tua Janu menyapa mereka. Kayla berdiri, menyalami keduanya. Seperti biasa basa-basi menanyakan kabar, Kayla mendapat pujian dari ibunya Janu.
“Tante bisa aja. Tante juga nggak kalah cantik, awet muda.” Kayla memuji balik ibu Janu. Tulus. Tersenyum malu-malu.
“Tante sama Om pamit duluan ya, Janu ayo.”
Janu melirik ke Kayla. Mereka saling pandang. “Janu bareng Kayla dulu Bu, nanti nyusul.”
“Jangan lama Janu, sebentar lagi mereka datang,” ucap Pak Ahmad, ayah Janu.
Janu mengangguk mengerti.
“Kak kenapa nggak bareng aja? Aku bisa nyusul kok sama Salma atau Nino.”
Janu tersenyum kikuk. “nggak papa, gue juga belum salaman sama Tante Ris.”
“Oke. Aku ke nyokap dulu ya, biasa izin dulu.”
Janu mengiyakan. Kayla pergi meninggalkan Janu sendirian. Setelah kepergian Kayla, raut wajah Janu berubah. Beberapa kali dia menghembuskan napasnya. Berpikir. Apa ini jalan yang baik.
Tapi dia sudah merencanakan semuanya. Dia harus yakin dan mantap, jangan sampai gagal.
***
Semua mata menatap tak percaya atas apa yang telah Janu ucapkan. Benar-benar diluar dugaan, dan diluar rencana.
Rahma, perempuan yang akan dijodohkan dengan Janu tertunduk menahan tangis dan terkejutnya. Dia sudah sangat berharap dan dia sudah menaruh hati pada Janu. Dia sudah banyak mendengar cerita tentang Janu dari orang tuanya.
“Janu jangan bercanda kamu! Bagaimana bisa?!” teriak pak Ahmad. Dia tak bisa mengontrol emosinya.
Suasana semakin mencekam saat Janu hanya diam memegang tangan Kayla. Sedangkan Kayla di sampingnya berusaha melepaskan.
“Jawab Janu!”
Janu menatap satu-satu orang yang ada di sana. “Maaf, Janu harus bertanggung jawab pada Kayla.”
***
WAH KAN SI JANU EMANG NYEBELIN YA?!
GIMANA KALIAN SUKA CERITANYA? KALAU SUKA TOLONG DUKUNG TRUS YA. CARANYA YA DENGAN LIKE INI CERITA.
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc