Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.
Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.
Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.
Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebagai anggota OSIS dan Janu sebagai ketuanya. Tentu saja mereka sering mengobrol, apalagi rumah mereka di satu komplek yang sama. Membuat keduanya sering sekali bertemu.
“Pokoknya kalau Lo udah jadi mahasiswa di sini, Lo nggak boleh malas-malasan Kay. Sesekali boleh lah main, tapi ingat tujuan awal dan mimpi-mimpi Lo dan orang-orang yang menggantungkan mimpinya sama Lo itu gimana? Perasaan mereka yang berharap Lo berhasil di sini,” pesan Janu saat itu dirinya dalam serius mode on.
Kayla mengangguk-angguk saja, sebenarnya dia sedang menahan untuk tidak tertawa setiap Janu dalam sikap serius. Karena biasanya dia selalu saja bercanda, orangnya terlalu humoris.
“Heh dengerin jangan malah mesem-mesem, nanti suka sama gue kan gue yang ribet harus punya pacar dua!”
Kayla akhirnya tertawa. Ia sangat tidak kuat melihat muka serius Janu.
“Gue nggak bisa nggak ketawa liat muka kak Janu yang seserius ini.”
“Lah emang gue serius? Gue bercanda kali, ya biar keliatan keren aja. Hahaha.”
“Idih, kan mulai mode anehnya,” ledek Kayla dengan kesal.
Menduduki semester 4 ini Kayla dipusingkan dengan berbagai tugas mata kuliah, belum lagi dirinya menjabat sebagai ketua di salah satu bidang himpunan jurusan, tambah beban lagi. Pagi kuliah, siangnya rapat karena proker yang ia ajukan saat itu belum juga terlaksana.
Dia merasa sedikit menyesal telah ikut himpunan, ia pikir bisa numpang nama seperti pas zaman SMA, tapi salah.
“Pengen rebahan, nggak mau punya pikiran tugas-tugas atau organisasi apapun!” Keluh Kayla kedua temannya, mereka sedang asik makan sore sambil tipis-tipis mengerjakan jurnal yang ditugaskan di mata kuliah komunikasi persuasif.
“Gue bilang apa, jadi mahasiswa kupu-kupu aja,” komentar Dinda dengan santai, tangannya masih menari di atas keyboard laptop.
Kayla menyuap satu sendok nasi ke mulutnya, lalu kembali fokus mengetik, “Tapi kalau gue jadi kupu-kupu, nggak bakalan dapat nilai plus dong di CV gue.”
Karin melempar bekas kuaci ke arah Kayla, “Jangan ngeluh, gue capek dengerin keluhan Lo. Berisik!”
“Tetaplah mengeluh walupun pada akhirnya tugas-tugas terselesaikan.”
“Bodo amat!” Sembur ketiganya kepada Janu.
Manusia yang sering muncul tiba-tiba, datang tak diundang tapi pulang pengen diantar.
“Kak, kenapa sih sering nemuin Kayla. Nggak cemburu pacarnya?” Tanya Karin, yang ternyata dia sudah selesai mengerjakan jurnalnya.
“Lo udah Rin?”
Karin mengangguk.
“Gercep amat!” Komentar Dinda tak suka jika Karin tidak menemani dirinya menjadi Lambat dalam mengerjakan tugas.
“Tenang aja, Cecilia nggak akan tahu kok. Kan dia beda fakultas,” ujarnya sembari tertawa.
Kayla sama sekali tidak terganggu oleh celotehan Janu yang dianggapnya berisik itu, biarkan saja dia berbicara sesukanya.
“Jadi selain aneh kak Janu juga playboy ya?” Tanya Karin kembali yang sudah santai.
“Aku setia.”
“Setiap tikungan ada maksudnya,”lanjut Janu
“Ya ya ya terserah kak Janu aja.”
Mungkin Karin capek meladeni sikap Janu yang terlalu humoris, apa-apa dibuat bercanda. Tetapi gitu-gitu dia adalah ketua himpunan di fakultas. Sikapnya jika diluar kelas dan organisasi adalah tegas, dingin jika berkomentar dan bijaksana. Pemimpin sekali.
Janu memerhatikan Kayla yang masih saja serius pada laya laptopnya, sembari menopang kepalanya dengan tangan kanan.
“Sini mau dibantuin nggak?”
“Enak banget ditawarin bantuan. Tugas aku nggak mau nih kak?” Tanya Dinda yang sudah menyodorkan laptop nya ke arah Janu.
“Ya udah sini dua-duanya, siapin budget aja 1 halaman gocap!”
Kayla menanggapi ucapan Janu, “gue bilang apa jangan percaya sama manusia satu ini. Nggak ada seriusnya.”
Janu kembali tertawa.
“Ada apa sih kak?” Kayla sudah menutup laptopnya dan mengarahkan fokusnya ke Janu, sembari menyeruput es jeruk kesukaannya.
“Gue kehilangan flashdisk, dan kayaknya ketinggalan di kosan lo.”
“Nanti aku cari, sambil bawa richeese ya?
Juna mengacungkan jempolnya ke arah Kayla. “Oke kalau gitu gue balik.” Tangan Janu yang nakal, sempat-sempatnya mengusap rambut Kayla.
Karin dan Dinda yang melihat itu langsung kompak terkejut. Kayla si biasa aja, mukanya yang tegang.
“Tadi apa?” Tanya keduanya sangat kompak sekali pada Kayla.
“Kok sama deg-degannya kayak diusap Revan?”
****
Wah wah kenapa tuh kok bisa salting sama Janu?
Masih penasaran kah?
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc