[POV: Kayla]
Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.
Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.
“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”
“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara halus.
“Ayo atuh kita buka bareng,” ajak aku ke mereka yang masih saja makan sambil berceloteh. Padahal katanya dilarang bersikap seperti itu di depan makanan.
“Oke bentar,” sahut Karin. Yang langsung membuka website kampus lewat laptopnya, diikuti oleh Dinda.
Karin melirik ke arah aku yang masih diam. “Apa?”
“Nggak ikutan buka laptop juga? Katanya harus barengan liat hasil IP.”
Aku tunjukan HP ku di depan wajahnya. Karin mengangguk tanda mengerti.
“Kasih tau kalau udah oke, pakai kode hitungan.”
“Oke,” ucapku kompak dengan Dinda.
Karin menghitung mundur, setelah angka ke 1 barulah kita memperlihatkan hasil nilai semester 4 ini.
“Woahh gue naik anjir, nggak nyangka.”
“Ih gue tetep segitu nggak berubah,” keluh Karin.
“Alhamdulillah naik dikit lah, aman.”
Karin menunduk lesu. Aku rangkul dia, memberikan sebuah semangat. “Bersyukur dong Rin, daripada turun kan?”
“Iya ih jangan cemberut, siapa tahu ada yang IPnya dibawah loh,” imbuh Dinda yang sudah kembali menutup laptopnya.
Karin menghela napas pelan. “Kalian naik masa gue nggak?”
Aku mengangkat bahu. “Kurang usaha kali, haha.”
Dari arah depan aku melihat Revan berjalan menuju ke arahku. Aku melambaikan tangan kepadanya. Dia tersenyum.
“Kayaknya gue nggak ikut buat ke PVJ deh, mau quality time bareng doi,” ucapku sebelum Revan benar-benar sampai.
Revan datang-datang langsung mengecup rambutku di hadapan Dinda dan Karin, membuat mereka menjulingkan matanya sebal. Aku balas tersenyum pada Revan dan memberikan juluran lidah kepada kedua temanku.
“Menghadeh kalau liat kalian berdua, pengen cepet-cepet punya pacar.”
Revan tertawa. Menyapa mereka hangat. Kemudian duduk disampingku, tangannya menyomot kentang yang masih tersisa di atas piring.
Beberapa menit ngobrol, mereka pamit duluan bilang kalau sadar diri sebelum terusir oleh aku dan Revan.
“See you ya!”
“IP mu berapa, yang?” Tanyaku sangat penasaran. Dia sudah kembali dari stand makanan untuk memesan siomay.
Revan membalas mengkode dengan menunjukan jarinya.
“3,8?!” Ulangku yang tak percaya. Dia mengangguk. Kembali menyuap siomay Bandung yang menjadi favoritnya.
“Hebat banget.”
“Kamu?”
“Di bawah kamu dikit. Eh iya, kamu kapan pulang ke Bekasi?”
“Paling lusa. Sekarang kita ke Punclut, mau nggak?”
Aku mengangguk senang.
Revan adalah laki-laki yang memacariku sejak semester 2, masih Maba banget. Ini benar-benar seperti cerita di FTV, pertemuan ku dengan Revan.
Jadi saat itu, aku diberi tugas oleh dosen matkul Pendidikan Kewarganegaraan untuk membuat makalah tentang 5 pilar negara dan referensinya harus dari buku karya beliau.
Sudah beberapa kali aku mengelilingi perpustakaan, mencari dengan teliti tapi buku itu tak kutemukan juga. Akhirnya aku menyerah. Saat hendak melangkahkan kaki keluar, aku melihat Revan yang sedang memegang buku itu.
Di salah satu lorong buku yang tadi aku lewati.
Ragu-ragu aku melangkahkan kaki ke arah laki-laki yang saat itu tidak aku kenal. “Permisi.” Dia menoleh. Aku memberikan sebuah senyuman canggung.
“Ya. Kenapa?”
“Boleh nggak aku pinjam bukunya?” tanyaku pelan dan ragu. Kembali tersenyum canggung.
“Ini?” Tunjuk dia dengan dagunya ke arah buku yang Ia pegang. Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum ramah, biasanya laki-laki akan luluh dengan senyuman.
“Maaf gue juga butuh, cari yang lain saja,” balas Revan saat itu. Cuek dan dingin.
“Gue udah cari kemana-mana tapi nggak ketemu.”
“Dosen Lo Pak. Yusuf bukan?” Dia malah menanyakan nama dosen.
Aku kembali mengangguk.
“Deadline lo kapan?”
“Besok,” balasku. Ini orang kenapa sih nanya terus, batin ku saat itu.
“CK. Lo baru mau ngerjain sekarang?”
Aku tersenyum hehe.
Revan menggeleng. “Nih gue kasih pinjam, kebetulan deadline gue masih seminggu lagi.”
Aku tersenyum lega. “Oke makasih ya. Eh gimana caranya gue kembaliin ini buku?”
Dia menyodorkan HPnya, aku mengerti. Mengetikan sederet angka lalu menyimpannya.
Dia tersenyum.
“Kayla Komunikasi A’19,” kataku. Dia mengangguk-angguk.
“Oke, gue duluan.”
Setahun kemudian, setelah hubunganku berjalan beberapa bulan dia baru memberitahuku jika semua yang dia lakukan hanyalah modus. Alias modal dusta. Dia tidak ada tugas mata kuliah itu, hanya menebak saja.
“Kay, kenapa ngelamun?” Suara Revan kembali membawaku ke alam sadar.
“Lagi mengingat masa lalu, ternyata dulu pertemuan kita kayak FTV banget, haha.” Dia ikut tertawa.
“Jijik tau nggak sih, geleuh.”
Dia merangkul aku. “Jijik-jijik gini kamu nempel banget sama aku.”
Suasana malam di Punclut sangat dingin, angin berhembus kencang. Jaket dengan dua lapis saja sepertinya tidak cukup untuk menghangatkan badan. Tapi semua itu tidak seberapa dengan pemandangan di depan, city light terbaik ada di punclut.
Mungkin sebagian orang menjadikan punclut sebagai tempat pelarian dan healing. Karena benar-benar sangat menenangkan hati saat kita melihat city light dari sini. Apalagi banyak tempat-tempat makan, kafe dan resto, kita bisa bebas menumpahkan resah di sini. Orang-orang tak ada yang ingin tahu, karena saling sibuk dengan pikiran masing-masing sambil memandang ke depan sana.
“Van, dua atau tiga tahun ke depan apa rencana kamu?”
****
See you
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc