I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.
“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”
“3 bulan lagi,” balas Rigel
“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.
Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.
“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.
Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”
“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.
Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebucin terus.”
Rigel menghembuskan napas kesalnya, selalu seperti ini jika sedang berkumpul. Ia hanya menyimak pertengkaran antara Nino dan Kayla atau kehebohan Kayla dengan Salma.
Para sepupunya itu tidak ada yang benar-benar dekat atau akrab dengannya. Menurut Salma, Rigel itu terlalu dingin dan pendiam dan ganteng.
“Nyenye, bacot kalian! Bilang aja syirik nggak ada yang nyariin atau ngangenin kan?”
“Karena kita punya pasangannya satu, nggak kayak kak Nino setiap tikungan ada.”
“Hey.” Satu kata yang berhasil membungkam mulut Kayla yang siap mengomeli lagi Nino.
Rigel menatap ketiga orang di depannya terutama Nino yang umurnya tak beda jauh dengan dirinya tapi masih bersikap kekanak-kanakan. “Bisa nggak kalau setiap ngumpul itu jangan pegang hp? Dan Nino, lo harus punya pasangan satu jangan dua atau lima.” Rigel kembali menghembuskan nafasnya, perlu 3-4 menit mendengar rigel berbicara satu tarikan nafas karena rigel mengidap gagap berbicara.
“Gue capek ngomong,” lanjut Rigel pelan.
Baik Nino dan Kayla terdiam, Salma tidak ikut campur soal ini. Justru ia merasa kasihan dengan Rigel, yang selalu disepelekan oleh Nino.
Benar ya, Tuhan maha adil, Rigel adalah salah satu yang diberikan ketampanan lebih oleh Tuhan. Wajahnya adalah blasteran indo jerman, selain mempunyai wajah diatas rata-rata dia juga seorang yang diberikan ekonomi lebih. Di usia nya yang masih terbilang muda, dia sudah menjadi CEO atau pimpinan di sebuah penerbitan buku terbesar di Indonesia, mempunyai satu mall terbesar juga di Indonesia, dan mempunyai 10 cabang kopi shop alias kaffe di beberapa kota besar di Indonesia.
For your information kafe yang saat ini mereka gunakan adalah kafe milik Rigel yang berada di Bandung. Dibalik kesempurnaan Rigel, Tuhan juga memberikan sebuah kekurangan agar dengan segala kelebihan yang Rigel miliki, dia tidak sombong.
Dan itu menjadi sebuah pelajaran bagi kita, agar selalu mensyukuri apa yang kita punya, tidak selalu membandingkan atau menginginkan kehidupan milik orang lain.
Setelah terdiam beberapa lama, Rigel kembali melanjutkan sesi curhatnya.
“Tapi, gue kurang suka dengan laki-laki pilihan ibu,” ucapnya dengan raut wajah sedih. Mengusap wajahnya pelan, lalu menarik nafas kasar.
“Yakali Bang Gel, mau jodohin ibunya dengan kolega bisnis bang Gel. Kan aneh,” celetuk Nino dengan santai. Salma dan Kayla langsung melototi Nino.
“Nggak gitu juga komentarnya, Ninoon!”
“Ya terus kenapa dia nggak suka? Emang bang Gel yang mau ngejalaninnya? Terserah ibunya lah.”
Kayla sangat siap melempar Nino dari lantai dua ini. Ucapannya selalu tanpa pikir dahulu.
Tangan Kayla dengan keras mencubit bibir Nino, ia sangat ingin menyulam bibir milik Nino agar laki-laki itu berhenti membacot yang tidak berfaedah!
“Udah diem aja maneh mah!”
“Anjir!”
Rigel bangkit dari tempat duduknya, kembali memakai kacamata hitam yang menambah penampilannya semakin membuat para wanita manapun terpesona. “Gue pergi.”
“Bang eh jangan, kan belum beres,” cegah Nino.
“Gara-gara kalian sih ini mah,”bisik Salma setelah lama hanya diam menyimak.
“Beresin aja permasalahan kalian berdua,” balasnya dingin. Dan yang paling parah adalah dia meninggalkan kafe tanpa memberikan uang untuk membayar makanan yang sudah dipesan. Padahal mereka semua memesan makanan dan minuman yang paling best seller.
“Mampus dia marah beneran.”
“Dan kak Rigel nggak ngasih kita uang,” ucap Salma sembari membereskan tas dan barang-barangnya.
“Kak, you ikut balik nggak?” Tanya nya kepada Kayla.
Kayla menyodorkan tangannya untuk digenggam oleh Salma, Nino diam memperhatikan interaksi aneh yang ada di depannya.
“Raih tangan aku putri Salma.” Setelah meraih tangan Kayla, mereka berdua pergi dengan menahan tawanya, berlari meninggalkan Nino yang masih belum menyadari jika semua pembayaran ditanggung olehnya.
“Woy kalian pergi nggak pamit sama gue?!”
Sedetik kemudian dia sadar jika dirinya di jebak untuk membayar semuanya!
Dia mengecek isi dompetnya, ternyata isinya tak sesuai dengan ekspektasi. Dia sangat lemas, lelah, letih, lesu melihat bagaimana kondisi dompetnya yang telah usang dan berdebu.
“Gak bisa nih dompet gue kekurangan rakyatnya.”
“Apa gue melamar kerja aja jadi waiters, terus gajinya gue bayarin deh?” Nino masih saja meracau sendiri. Dia sangat sial.
Kak Rigel selalu membayar makanan atau apapun saat bersama mereka, meskipun makannya di tempat dia sendiri tapi dia selalu membayar. Karena menurutnya itu salah satu bentuk untuk membantu para pekerja, sistem di kafe kak Rigel adalah jika penghasilan bertambah dan selalu naik setiap bulannya maka gaji untuk karyawannya akan naik. Tapi jika menurun, gajinya akan tetap sesuai kesepakatan di dalam kontrak.
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc