Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.
“Lo mau kemana dulu, kak?”
“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”
Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.
“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.
Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.
Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau karya Eyang Sapardi?”
Salma mengambil kedua buku itu dan membaca bagian belakangnya, “dua-duanya bagus, beli semuanya aja,” komentar Salma.
“Gue mau, tapi dompet gue nggak cukup, entar gue makan apa? Mana tanggal muda masih seminggu lagi,” keluh Kayla. Wajahnya sangat memelas, matanya nanar menatap kedua buku itu.
“Nanti gue bayarin, mau yang mana?” Tiba-tiba saja Januar dan kekasihnya ada di hadapan mereka berdua, membuat Salma ataupun Kayla terkejut.
“Eh Kak Janu?” Kayla terkejut dan menunjuk ke arah muka Janu, lalu dia sadar akan kehadiran kekasih Janu itu.
“Hay Kak Cecilia,” sapanya penuh kesopanan.
Wanita yang dipanggil Cecilia hanya mengangguk dan tersenyum, memang kekasih Januar itu sangat anggun dan pendiam.
“Mau beli yang mana? Gue bayarin deh, sini.” Janu mengambil dua buku puisi yang sedang dipegang oleh Salma.
Dengan cepat tangan Kayla kembali mengambil buku itu. “Eh nggak! Aku nggak akan beli buku apapun.”
“Ih nggak papa dong Kay, mumpung baru dapat project baru,” ucap Cecilia dengan sedikit meledek kepada Januar.
“Iya kah? Cuan nya gede dong?” Tanya Kayla dengan sedikit tertawa.
“Bisa borong seisi toko buku ini.” Sikap sombongnya keluar.
“Pret!”
Mereka semua tertawa, kecuali Salma yang hanya senyum kecil.
Janu melirik ke arah Salma yang masih diam, sesekali melihat ke arah hpnya. “Eh Salma, sejak kapan di sini?” Tanyanya dengan sedikit bercanda.
“Ih kak Juna, ya dari tadi atuh.”
“Ya aku kira kamu teleportasi gitu, karena saking pengen liat muka aku jadi nyusul Kayla ke sini?”
Kayla dan Cecilia tertawa melihat Salma yang diroasting oleh Juna. Salma manyun saja, dia sudah tahu tabiat lelaki tampan di depannya ini. Ia pikir Janu itu pendiam atau dingin, kayak cerita di W*****d. Tapi ternyata tidak sama sekali.
“Mau nggak nih dibayarin? Kalau nolak sih bersyukur banget, uangnya mau aku pakai buat ngasih makan Cecilia.”
Kayla menggeleng. “Nggak usah lah, aku mampu beli. Takutnya nanti malah dikejar-kejar buat bayar hutang ini buku. Kan kak Janu itu aneh banget orangnya.”
“Lah kok tau sih niat awal gue emang gitu. Tapi bagus lah, Lo makin pintar.” Kekehnya. Kayla siap menimpuk Janu jika tidak ada Cecilia sekarang.
“Oke deh, kita duluan ya Salma, Kay lo jangan nyesel keluar dari sini nggak bawa buku. Bye!”
Pamit mereka berdua pada Kayla dan Salma.
Setelah beberapa menit Juna dan Cecilia pergi, Kayla masih stuck di situ memandangi kedua buku yang membuat dia bimbang.
“Kenapa sih tadi nggak terima aja buat dibayarin kak Janu?”
Kayla menggeleng lemah.
“Eh, Kak Janu tambah ganteng ya? Badannya jadi keliatan berotot gitu. Mahasiswa tingkat akhir biasanya kurus kerempeng karena mikirin skripsi, beda banget sama kak Janu yang makin ganteng,” kelakar Salma dengan semangatnya.
Kayla mengomentari perkataan Salma dengan mata yang masih melihat-lihat buku lain, melupakan dua buku yang membuatnya bimbang, “Nggak. Biasa aja, gitu-gitu aja nggak berubah.”
“Kak, Lo nggak pernah apa suka sama kak Janu? Secara Lo sering bareng-bareng sama dia?”
Pertanyaan dari Salma membuat perhatian Kayla kepada buku teralihkan.
“Pernah, tapi dulu,” jawabnya dengan santai.
“Udah gue dugong, terus kenapa nggak jadian?”
“Gue suka aja atau lebih tepatnya kagum sama ketegasan dia saat memimpin rapat, belum ketahap cinta atau sayang. Lagian dianya juga nggak suka kayaknya sama gue.”
“Lo suka bayangin nggak sih kalau di masa depan nih, ternyata kak Juna yang jadi jodoh Lo bukan si Revan?”
“Kagaklah, gue udah yakin sama Revan. Kak Janu udah punya Cecilia, gue juga udah punya Revan.”
Salma kembali berbicara dengan nada yang seolah-olah Kayla harus mengiyakan perkataannya. “ Kan siapa yang tahu, secara rumah Lo deketan, terus sekarang se-universitas, terus lagi Lo sering ketemu.”
“Ngaco Lo, dah ah, gue mau bayar ini buku. Setelah itu kita liat baju ke atas.”
***
See you di episode selanjutnya.
Jangan lupa follow akun I*******m aku ya @nissaulia.d
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc
Berbeda dengan suasana di pernikahan Tante Ris dan Om Bubun. Suasana di meja makan di kediaman Janu hening, euphoria ketegangan sedang menyelimuti ruangan tersebut. Janu duduk disebelah kanan ayahnya yang sedang menatap tajam, ibunya yang berada di depan sana ikut menatap Janu tetapi dengan tatapan yang memelas. Memohon agar Janu mau dijodohkan dengan anak rekan orang tuanya.Ini masalah yang serius jika sampai Janu tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya itu. Perjodohan batal maka kekeluargaan mereka hancur. Persahabatan yang telah terjalin antara ayah Janu dengan sahabatnya bisa putus. Ini perjanjian lama, sebagai sahabat sejati perjanjian itu haruslah ditepati.“Apa alasan kamu enggan menerima perjodohan ini Janu?” Tanya ayah Janu untuk kesekian kalinya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa anaknya menolak gadis baik-baik seperti Rahma, yang jelas-jelas lulusan pondok pesantren ternama sudah pasti ahlak dan agamanya terjaga.Janu teta
Jangan heran jika aku sering bertanya duluan, karena Revan ini benar-benar pendiam yang menghanyutkan. Dibalik sikap pendiamnya, ada sisi romantis yang sering ia berikan kepadaku.“Berarti kita sudah lulus ya?” Aku mengangguk. Merapatkan jaket, meneguk kembali segelas susu hangat yang dipesan dari warung.“Aku sih pengen kerja di salah satu penerbit, pengen jadi editor. Terus lamar kamu boleh?” Tanyanya. Aku tersipu.“Mau sekarang juga nggak papa,” balasku terkikik. Lagi, dia memegang tanganku. Memberikan kehangatan.“Sama-sama terus ya?”Aku mengangguk. Menyenderkan kepalaku di dada bidangnya.“Sama-sama terus.”Tengah malam aku dan Revan baru kembali ke daerah Jatinangor. Dia mengantarku pulang ke kosan. Bandung walaupun tengah malam masih tetap ramai, di beberapa tempat memang sudah sepi. Selebihnya adalah kota yang tak pernah tidur.“Hati-hati, besok aku pula
[POV: Kayla]Satu bulan sebelum libur semester benar-benar membuat aku kewalahan. Tugas-tugas dari dosen tidak habisnya berdatangan, selesai satu tumbuh lagi dua mata kuliah. Dan kenapa dosen-dosen itu memberikan tugas yang tidak masuk akal di kepala? Contohnya harus membuat jurnal yang dikasih waktu 24 jam. Atau menyuruh mengisi quiz yang nggak kenal waktu siang,malam atau sore.Aku tahu dosen mah bebas kan? Ya sebebasnya dosen jangan terlalu menyiksa. Oke, lupakan soal dosen-dosen yang menyebalkan, karena itu sudah berlalu. Sekarang adalah hari pengumuman keluar nilai IP.“Gue harap IPnya naik, minimal 1 atau dua aja.”“Nyerah gue sama semester sekarang,” keluh Dinda. Bangku di pojokan kantin menjadi tempat favorit kita bertiga sejak awal masuk kuliah, orang-orang seolah sudah tahu kalau ini adalah tempat ‘milik’ kita. Makanya jarang ada yang menempati saat kita datang ke kantin, juga kita nggak pernah mengusir secara
“Kay, gue ke sana sekarang,” kata Janu di seberang sana.Saat ini Kayla sedang bersama Revan di salah satu tempat makan, Revan bertanya dengan gerakan bibirnya.Siapa?Kak Janu- balas Kayla juga dengan gerakan bibir secara pelan. Revan mengangguk saja, dia sudah kenal dengan Janu-lebih tepatnya dikenalkan oleh Kayla.“Aku masih di luar sama Revan kak, gimana dong?”“Gue tunggu aja,” ucapnya. Setelah beberapa detik berbicara hal lain, panggilan itu diakhir.Revan berhenti mengunyah, dia memandang Kayla dan menanyakan ada keperluan apa Juna menelpon nya.“Kak Janu mau ngambil flashdisk yang ketinggalan,” balas Kayla.Revan mengangguk, “ya udahdah cepat makannya, kasihan Bang Janu kalau nunggu lama.”“Iya iya sabar dong, santai aja. Kamu bantu habisin punya aku masih banyak.”“Kebiasaan.” Kayla tertawa mendengarnya.Revan kemba
Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebag
Kayla dengan Salma langsung cabut menuju PVJ, walaupun hanya mampu melihat barang-barang di tanggal tua ini setidaknya itu membuat mata mereka menjadi sehat, tapi batin tertekan.“Lo mau kemana dulu, kak?”“Seperti biasa, Gramedia dulu dong.”Gramedia merupakan surganya bagi Kayla, dia sangat tergila-gila dengan buku-buku yang dipajang, wanginya buku baru, atau saat melihat jajaran rak buku puisi dan penulis favoritnya.“Gue nggak bisa pulang kalau nggak bawa buku satu aja. Harus beli,” ucap Kayla sembari melihat satu persatu buku dengan sangat antusias.Salma dari tadi hanya mengikuti kegiatan Kayla yang yang berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Sebenarnya Salma malas masuk ke dalam toko buku, karena dia tidak suka membaca buku seperti Kayla.Kayla menunjukkan dua buku puisi kepada Salma untuk memilihkan buku yang ia beli hari ini, “Mending yang Joko Pinurbo atau kar
I-ibu gue a-akan menikah….” Rigel menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan ucapannya. Mendengar hal itu membuat ketiga orang yang ada di sana mengucapkan puji syukur.“Alhamdulillah, aku seneng kak mendengarnya. Kapan itu?”“3 bulan lagi,” balas Rigel“Sama siapa nikahnya?” tanya Salma dengan antusias.Saat Rigel mau menjawab pertanyaan dari Salma, seorang manusia yang paling tidak tahu sopan santun memotong.“Hallo sayang, iya ini kakak lagi di kafe kumpul sama keluarga.” Kayla menggeplak kepala Nino dengan keras, hal itu membuat Nino mengaduh dengan mata yang melotot tajam kepada Kayla.Mata Kayla balas melotot ke arah Nino, seolah menjawab dengan perkataan, “Apa gue nggak takut.”“Lagi serius juga! Bisa-bisanya teleponan. Simpan hpnya!” Tegas Kayla.Salma ikutan berkomentar, membantu mengomeli sepupunya itu. ”Iya ih kak nino ngebuc