Dante sesekali melirik dari kaca spion, melihat Raveen yang begitu posesif memeluk seseorang yang tengah dililit selimut dan tertidur pulas di dekapan laki-laki bermarga Landergee itu. Perempuan yang cantik—meskipun tidak secantik aphroditenya—Dante akui perempuan itu memang sangat cantik. Dante sedikit mengernyit saat Raveen sesekali memberikan kecupan di puncak kepala Lavina. Apa yang terjadi dengan rekannya ini?
“Jangan katakan kau jatuh cinta padanya,” ucap Dante tiba-tiba.
“Hm.” sahut Raveen ala kadarnya. Masih fokus pada perempuan yang baru saja ia kecup keningnya.
“Hei! There’s no love just at the first sight, Dude.” Dante terkekeh tapi Raveen tak peduli. Yang ada di pikirannya sekarang adalah membawa Lavina pergi jauh dan menjadikannya hanya miliknya.
“Aku ingin memilikinya, Dante. Sama sepertimu keinginanmu untuk memiliki aphroditemu,” sahut Raveen yang membuat Dante bungkam. Selalu saja Dante terjebak dalam situasi yang mirip dengan Raveen, meskipun tidak sama 100%. Berawal dari sifat ayah mereka—psikopat—yang diturunkan pada mereka juga sikap obsesif dan ingin mendominasi pada apa dan siapa saja yang mereka inginkan.
“Kau benar.” Dante menyetujui. Tidak akan mendebat. Dia menambah kecepatan laju mobil itu. Memecah kawasan yang cukup sepi hingga sampailah mereka di salah satu rumah di tengah hutan.
Perlahan, Raveen menggendong Lavina menuju rumah itu.
“Kau yakin akan menyembunyikan dirinya di sini?” Tanya Dante. Raveen mengangguk.
“Setidaknya di sini tidak ada yang bisa mendekatinya,” sahutnya. Dante hanya mengangkat kedua bahunya. Ide Raveen yang menyembunyikan salah satu keturuan Dawson di tempat ini bukanlah hal yang bagus.
“Kalau begitu aku pulang.” Dante kemudian keluar dari rumah kayu dengan warna ebony itu, setelah mendapat ucapan terima kasih dari Raveen.
***
Sunyi.
Sekarang di rumah itu hanya ada Raveen dan Lavina. Kini Raveen tengah mengamati wajah Lavinanya lamat-lamat. Sungguh seperti bidadari yang tersesat di bumi. Bagaimana bisa ada makhluk sesempurna ini? Raveen membelai surai perempuan yang tengah terlelap. Dia juga menyingkirkan anak rambut yang berani menghalangi wajah seseorang yang sudah diklaim sebagai miliknya.
“Eunghhhh ....” Lavina sedikit terusik. Tubuhnya sudah peka. Meskipun dia tengah tertidur, dia akan mudah merespon jika ada yang menyentuhnya.
Lavina membuka matanya. Dia nampak terkejut kemudian menegakkan dirinya, beringsut mundur hingga punggungnya membentur headboard tempat tidur. Dirinya ketakutan. Meskpun tak bisa melihat apa pun, tapi memori tentang sentuhan-sentuhan mengerikan itu masih jelas terasa di sekujur tubuhnya.
Raveen mengernyit bingung. Lavina tampak seperti ketakutan. Tubuh gadis itu menggigil kecil. Akan tetapi kebingungan itu segera terjawab ketika teringat apa yang baru saja Lavina alami.
“Lavina,” tegur Raveen. Lavina langsung menoleh ke sumber suara, walaupun dia tak yakin jika yang coba dia ‘tatap’ adalah laki-laki yang memanggilnya.
“Lavina, ini aku Raveen. Kau ingat?” tanya Raveen sembari perlahan mendekat pada Lavina.
Lavina masih membeku. Pikirannya masih mencerna banyak hal. Apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya? Apakah laki-laki bernama Raveen yang datang menyelamatkannya memang benar ada?
“Lavina?” Raveen kembali menegur ketika perempuan itu tak kunjung membalasnya.
“R-Raveen?”
Raveen tersenyum ketika Lavina menyebutkan namanya. Walaupun suaranya lirih, perempuan itu jelas mengingatnya kan? Mengetahui kenyataan itu, Raveen merasa senang.
“Iya, ini aku, Raveen. Jangan takut!” Raveen menyentuh lengan Lavina. Perempuan itu tersentak dan spontan menepiskan tangan Raveen.
Raveen menghela napas. Dia tahu jika tak akan mudah mengurusi perempuan yang trauma setelah diperkosa.
Raveen mencoba menyentuhnya lagi, tapi kali ini di puncak kepala perempuan itu.
“Aku tak akan menyakitimu, Lavina. Percayalah!” Raveen mencoba menghilangkan perasaan terancam pada Lavina.
“Raveen ....” sekali lagi Lavina memanggilnya.
“Iya, aku Raveen,” sahut laki-laki itu kemudian perlahan membuat Lavina jatuh ke pelukannya. Lavina memejamkan matanya saat bau khas yang baru ia kenal menusuk indra penciumannya, membuat dirinya menjadi lebih tenang. Bau yang sama dengan seseorang yang menyelamatkannya dari mipi buruknya. Benar. Laki-laki ini memanglah Raveen, yang tadi menolongnya.
Pelukan yang sangat hangat dan menentramkan. Lavina baru pertama kali merasakannya setelah dulu kehilangan pelukan dari ibunya. Lavina terisak ringan karena begitu merindukan sosok yang bisa menenangkannya seperti ini. Setiap saat dia selalu memanjatkan doa agar Tuhan mengirimkannya seseorang yang bisa menolong dirinya.
Raveen menggumamkan banyak hal agar Lavina bisa tenang. Tentu saja berhasil. Maka saat Lavina selesai terisak, Raveen melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup paras cantik Lavina dan menghapus jejak air mata dari pipinya.
Senyum Raveen melengkung melihat betapa menggemaskannya perempuan yang sudah menjadi miliknya itu. Netranya benar-benar membuat dirinya mabuk kepalang. Satu kecupan mendarat di kening Lavina. Raveen membuatnya nyaman.
“Raveen,” panggil Lavina.
“Ya?”
“Apakah aku sudah keluar dari sana?” Lavina memastikan. Raveen mengubah posisi untuk menemukan kenyamanan untuk memeluk Lavina.
“Benar. Aku sudah membawamu keluar dari rumah itu,” jawab Raveen.
“Lalu ini di mana?” Lavina bertanya lagi.
“Di sebuah rumah di tengah hutan.”
Lavina mengerutkan dahi. Dia bingung. Dia kembali mendongak, meskipun pandangannya tidak tepat pada Raveen.
“Aku tahu apa itu rumah, tapi aku tidak tahu apa itu yang disebut dengan hutan,” sahut Lavina. Ah ... benar. Gadis ini sudah lama terkurung, hingga dia tidak tahu apa-apa soal kehidupan.
“Ini sudah malam, aku akan menjelaskan apa itu hutan besok siang,” balas Raveen. Mata Lavina melebar ingin tahu.
“Apa itu malam? Seperti apa siang?” Dia tampak sangat ingin tahu. Raveen terdiam sejenak sembari memandangi Lavina. Raveen menghela napas kemudian kembali merengkuh tubuh mungil yang masih berbalut selimut itu.
“Aku akan mengajarimu banyak hal, tapi tidak sekarang. Yang perlu kau ingat adalah ini ....”
Chu.
Raveen mencium bibir Lavina, memberikan lumatan pelan dan teratur. Setelah melepaskan tautan bibir mereka, Raveen berkata,
“Ini namanya ciuman. Hanya aku yang boleh melakukan ini padamu.”
Lavina mengerjab dan mengulum bibir bawahnya setelah merasakan sensasi yang ... menggelitik tapi menyenangkan. Merasa terganggu dengan Lavina karena sekarang menggigit bibirnya sendiri, Raveen lantas menjatuhkan ciumannya yang lain.
Ciuman kembali berakhir. Laki-laki itu tersenyum sejenak. Sepertinya ada yang harus dia tegaskan pada entitas tercantik di depannya ini. Raveen menggenggam tangan Lavina, mengarahkan telapak tangannya ke dada Lavina sendiri. Di sana, Lavina bisa merasakan sesuatu yang berdetak. Lavina mengerjab. Apakah di tubuhnya ada sesuatu yang berdegup seperti ini?
“Ini adalah dirimu. Lavina. Milikku ...,” tegas Raveen. Sekali lagi Lavina mengerjab. Jadi sesuatu yang bergerak dan tengah dia rasakan sekarang, menunjukkan bahwa itu drinya?
Kemudian Raveen mengarahkan telapak tangan Lavina menuju dadanya. Di sana Lavina merasakan sesuatu yang berdetak. Sama seperti Lavina, hanya saja detak milik Raveen terasa lebih teratur.
“... dan ini adalah aku. Raveen. Pemilikmu.”
Lavina mengangguk. Dia akan mengingatnya.
Lavina masih takjub. Detak jantung Raveen benar-benar teratur. Tangan kirinya yang bebas mulai meraba dadanya sendiri, mencari di mana letak degup itu ada. Lavina tersenyum ketika menyadari jika detak mereka sama. Untuk pertama kalinya, Lavina merasakan kehangatan yang luar biasa. Kesepian yang menyelimutinya selama ini mendadak sirna hanya karena bisa merasakan degup dirinya dan pemiliknya.
“Ada apa?” Tanya Raveen ketika melihat perubahan mimik perempuan yang matanya masih terbuka lebar. Takjub dan bingung.
“Aku masih tidak mengerti, tapi detak milikku dan milikmu sama, meskipun milikku lebih kencang darimu, tapi aku merasa sangat senang.” Senyum Lavina masih mengembang, membuat Raveen ikut tersenyum. Lengkungan bibir perempuan ini ternyata lebih indah dibandingkan apa pun. Sekarang Raveen sedikit mengerti mengapa Lavina disembunyikan dari dunia. Matahari pun akan cemburu melihat bagaimana memesonanya ia.
“Mengapa merasa senang?” Raveen penasaran. Begitu banyak yang ingin dia gali dari miliknya ini.
“Aku tidak merasa sendiri lagi,” jawab Lavina. Meskipun lengkungan senyum masih terlukis di wajahnya, namun Raveen tetap bisa merasakan bagaimana kesedihannya.
Raveen kembali memeluk Lavina.
“Aku akan menemanimu mulai sekarang. Kau tidak akan tersakiti atau kesepian lagi,” bisik Raveen.
“Sekarang istirahatlah, aku akan menemanimu di sini. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu,” lanjut Raveen.
Lavina hanya mengangguk. Dirinya telah memutuskan untuk mempercayakan seluruh hidupnya pada pemiliknya.
***
Raveen menghabiskan malam bersama Lavina. Berada di tepat di sampingnya dan terlelap sembari mendekap perempuan yang juga memeluknya. Pagi ini Raveen terbangun lebih dahulu. Sementara perempuan cantik itu masih terlelap di sisinya. Bibir Raveen tertarik ke atas ketika mengamati tiap inci wajah Lavina. Dia hendak menyentuh wajah Lavina namun urung saat ponsel miliknya bergetar. Dia menatap layar ponsel itu dan tertera nama sang ayah di sana. Raveen segera bangkit dan keluar dari kamar sejenak. “Halo.” “Bundamu sudah siuman. Datanglah kemari, dia mencarimu,” ucap sang ayah dari seberang. Raveen menghela napas lega. “Aku akan segera ke sana, Ayah. Sampaikan salamku untuk Bunda. Aku akan segera menemuinya,” sahut Raveen. “Raveen ...,” suara ayahnya memberat. Memanggil nama Raveen dengan penuh penekanan. Rasanya tidak nyaman. “Iya, Ayah?” “Apakah kau sudah melenyapkan semua keturuan Dawson?” Deg.
Raveen masih menyandang sebagai mahasiswa. Dia harus kuliah. Masalahnya, dirinya tidak mungkin meninggalkan Lavina dalam waktu yang lama. Bagaimana perempuan itu akan mengurus dirinya sendiri?Raveen menghela napas gusar. Pagi-pagi sekali dirinya sudah beranjak dari rumah kayu dan pulang menuju rumahnya. Sedari tadi kepalanya buntu karena tidak memiliki ide agar Lavina tetap terjaga meskipun dirinya tidak berada di sampingnya. Jika Raveen mengutus anak buahnya, tentu saja malah akan berbahaya bagi Lavina. Bisa saja ayahnya akan tahu bahwa ternyata dirinya menyembunyikan salah satu keturunan Dawson.Sial! Umpatnya.Tak lama, akhirnya Raveen sampai di rumahnya. Di sana, Emily ternyata sudah menunggunya—ibunya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit kemarin.“Raveen kau dari mana saja? Kenapa semalam tidak di rumah, hm?” Emily bertanya sembari menggandeng putranya masuk ke mansion megah mereka.“Maafkan ak
Raveen menatap Lavina yang masih bergeming di atas tempat tidur. Dia benar-benar marah rupanya karena Raveen meninggalkannya terlalu lama. Raveen mendekat.“Lavina,” panggil Raveen lagi. Kali ini Raveen duduk di atas ranjang. Ia hendak menyentuh punggung Lavina sebelum ia mendengar isakan kecil. Raveen bergerak semakin mendekat pada Lavina lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.Lavina buru-buru menutupi wajahnya. Raveen menghela napas berat ketika Lavina seperti itu. Sangat jelas jika perempuan ini tidak ingin menunjukkan wajahnya pada Raveen. Sepertinya dirinya sedang ketakutan atau sedih dan mungkin—oh sudah pasti—juga marah. Marah dan kesal menjadi kondisi perasaan Lavina paling memungkinkan karena ia kembali mengingkari janjinya padanya.Dirinya memang tidak berpengalaman tentang bagaimana cara menghadapi wanita. Namun, bukan berarti dia sama sekali buta untuk memperlakukan wanita. Ayahnya adalah contoh terbaik yang bisa Raveen
Raveen menatap langit yang gelap di pagi hari. Medung. Tampaknya akan turun hujan. Cuacanya sangat tidak menyenangkan. Melihat pagi yang suram seperti ini, siapa yang bisa bersemangat? Sama seperti Raveen yang hatinya begitu kelabu.Bukan tanpa sebab dirinya murung. Lima menit yang lalu, ayahnya memintanya pergi ke Jerman segera untuk menyelesaikan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang Rael kelola. Bukannya dia tidak ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Lavina? Setengah hari saja Raveen tak bertemu dengannya, bisa membuatnya gila, apa lagi jika harus pergi jauh dari sisinya?Kepalanya terasa berat. Pikirannya begitu terhimpit sehingga rasanya gelarnya sebagai seorang jenius hilang dihisap situasi yang menyebalkan. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada ide brilian yang muncul di kepalanya. Bagaimana dia bisa pergi tanpa mengkhawatirkan Lavina? Lagi pula ini bukan hanya soal hati tapi juga keselamatan perempuan itu.“Apa yang kau pikirkan Raveen?
Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis kelua
Dunia runtuh, dua kata itu yang kini menghantam Raveen. Sama seperti badai yang tiba-tiba datang menerjang lembah bunga yang begitu indah. Luluh lantah. Tidak berbekas. Menerbangkan semua kelopak. Tidak indah lagi. Begitulah gambaran Raveen sekarang. Dirinya diam seribu bahasa. Ia tak menyangka pertanyaan itu lebih cepat dilayangkan oleh sang ayah. Sekarang ayahnya tahu jika dialah yang telah menyembunyikan Lavina. Dia tidak menuntaskan misi dari ayahnya. Dia mengkhianati Rael. Dia tidak membunuh Lavina dan memilih untuk menyelamatkannya. Sekarang dia harus apa?“Apa maksud Ayah?” Raveen mencoba berkilah namun malah satu tamparan keras yang ia dapat.PLAK.Perih dan panas yang terasa di pipinya bisa menggambarkan bagaimana murkanya Rael padanya.“APAKAH KAU SEDANG BERUSAHA MENGKHIANATIKU?!” bentak sang ayah. Amarahnya pecah. Wajahnya sudah merah padam. Meledak. Ingin menghancurkan pemuda di depannya ini jika tidak mengingat bahwa R
Dua pria tampan Landergee telah pulang. Urusannya di Jerman dihentikan sementara untuk mencari keberadaan Lavina. Sebagai seorang ayah, Rael tidak mungkin mengungkapkan pada koleganya bahwa putranyalah yang telah menyembunyikan perempuan itu. Jika ingin menghukum Raveen, Rael akan melakukannya sendiri.Tidak langsung menuju rumah, dari bandara mereka pergi ke sebuah tempat di tengah hutan. Keberadaan Lavina sudah diketahui. Selama perjalanan, kedua laki-laki itu saling diam. Raveen tidak bisa melakukan apa pun. Dalam diam, dia berharap Emily sudah melakukan apa yang telah dia janjikan. Raveen juga Menyusun rencana di kelapanya sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi setelah ini.Tak lama, mobil berhenti di sebuah halaman rumah kayu di tengah hutan. Rael dan anak buahnya masuk ke rumah itu untuk membawa Lavina. Akan tetapi, mereka tidak menemukan keberadaan siapa pun di rumah itu. Lagi-lagi Rael menahan amarahnya. Merasa dibodohi. Dia tengah ditipu dengan per
Lavina bergeming. Duduk diam di ranjang sembari menerawang entah ke mana. Meskipun tampak membisu, di kepalanya begitu ribut karena memikirkan Raveen. Hatinya bergemuruh, meraung-raung sebat dirinya terlampau merindukan Raveen. Ingin berjumpa, memeluk dan menghirup aroma khas yang berhasil membuatnya tenang dari laki-laki itu.Sayang sekali perkataan Emily membuatnya semakin dirundung pilu. Rindu hanya akan menjadi rindu. Sudah merenung dan paham apa yang wanita itu maksud. Sudah jelas jika dirinya tidak diizinkan untuk menemui Raveen. Dia ternyata yang menjadi sumber kekacauan. Baru tahu setelah Emily mengatakannya. Apakah Lavina telah membuat masalah yang begitu besar pada Raveen? Sebesar itukah kesalahan Lavina sehingga ia harus dipaksa hidup tanpa laki-laki itu?Akan tetapi, bukankah Lavina adalah milik Raveen dan Raveen adalah pemiliknya? Lalu bagaimana Lavina hidup tanpa dimiliki oleh pemiliknya? Bagaimana Raveen hidup tanpa memiliki miliknya?Hati gadis i
“Bisakah kau tersenyum Altar? Tidak baik menunjukkan wajah cemberutmu pada teman-temanmu.” Lavina mengusap pipi Altar yang menggembung.Altar Landergee sudah menginjak usia lima tahun pagi ini. Mansion megah mereka sudah dihiasi banyak sekali balon dan semua pernak pernik ulang tahun. Seharusnya menjadi momen yang menyenangkan untuk Altar. Semua yang disiapkan, Lavina pastikan adalah semua yang terbaik dan yang paling disukai oleh putranya itu.“Ailee tidak datang!”Akhirnya Lavina tahu alasannya. Meskipun hadiah sudah menumpuk tinggi, tidak bisa menyembuhkan kesedihan Altar karena teman playgroup-nya yang bernama Ailee tidak datang. Gadis kecil itu memang telah menjadi teman favorit Altar.
Lavina spontan memegang perutnya yang sudah besar ketika melihat berita yang ada di televisi. Jane dikabarkan bunuh diri, melompat dari atas gedung media milik orang tuanya. Tiba-tiba firasatnya buruk. Apakah itu perbuatan Raveen? Dia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya, tapi perasaannya benar-benar tidak nyaman, seolah mengatakan bahwa Raveen adalah dalang di balik kematian Jane. Apalagi setelah pernikahan mereka yang hancur, hidup Lavina lebih tenang. Tidak ada kejadian apapun selain pemberitaan yang terlalu berlebihan tentang keburukan Jane yang telah menghancurkan rumah tangga Raveen dan Lavina. Memang sebelumnya itu adalah bagian dari rencana Lavina, tapi kali ini beritanya sangat berlebihan. Bahkan seperti mengulik semua keburukan Jane dan orang tuanya. Rumornya mereka terlibat kasus korupsi. Pamornya jatuh dan per
Semenjak hamil, Lavina berubah. Terutama pemikirannya. Mungkin memang masih ada rasa khawatir tentang bagaimana dia harus mengasuh anak, namun dia akan berusaha. Seiring dengan bertambahnya usia kandungan Lavina, ia merasa sangat terikat dengan sang bayi. Ada jalinan kasih yang berbeda, yang tidak bisa Lavina deskripsikan. Jika ditilik secara sains, itu wajar karena saat hamil, hormon oksitosin yang katanya adalah hormon cinta, meningkat. Itulah yang menyebabkan cinta ibu pada bayinya semakin kuat.Mungkin di awal masih belum begitu kentara. Hanya sayang saja. Belum begitu benar-benar mencintai. Hanya menyadari bahwa dia akan menjadi ibu dan harus mengasuh bayinya. Tapi kejadian tragis itu membuat Lavina menyadari betapa ia sangat ketakutan. Ketakutan yang sama seperti yang dia alami saat lampau.Apalagi melihat darah yang merembes di gaun putih yang dia pakai.
Rencana Lavina tampak berjalan dengan sangat baik. Sebuah persiapan untuk pernikahan megah telah selesai dilakukan. Hanya perlu menambah hal-hal kecil saja. Sisanya, gedung yang telah didekorasi sedemikian rupa siap untuk digunakan. Jujur saja, Lavina sedikit iri karena pesta pernikahan ini digelar lebih megah daripada pernikahan Lavina. Tentu saja karena Jane mendapatkan banyak kucuran dana dari banyak pihak.“Are you living in Disney Land or something?” tanya Lavina yang tampak takjub.Di sebelahnya Jane hanya tersenyum remeh. Terang-terangan meledek Lavina. Dia tengah menunjukkan superioritasnya karena tahu bahwa pesta pernikahannya lebih megah dibandingkan siapapun.“Tentu saja. Aku ratu di semesta Raveen. Sudah seharusnya seperti itu.”Lavina
Lavina dan Raveen keluar dari gedung perusahaan Dawson. Di sana sudah ada banyak wartawan yang menunggu. Mereka sengaja keluar dari pintu utama. Pura-pura terkejut dengan kehadiran mereka.“Bagaimana tanggapan Anda dengan skandal Anda?”“Apakah benar bayi yang dikandung Jane adalah anak Anda?”“Nona Lavina? Bagaimana kondisi kandungan Anda? Apakah Anda baik-baik saja?”“Bagaimana tanggapan Anda soal skandal yang menimpa suami Anda?”Dan banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para reporter itu. Akan tetapi, baik Raveen dan Lavina hanya bungkam. Belum saatnya mereka membuka suara. Justru diamnya mereka memang sengaja dilakukan agar semakin menciptakan banyak asumsi publik. Akan l
Berita tentang Jane yang mengandung anak Raveen semakin merebak. Bahkan gosip itu membuat harga saham perusahaan Landergee turun. Beberapa pihak mulai sedikit panik dan meminta Raveen untuk melakukan tindakan lebih lanjut.Musuh dalam selimut itu memang ada. apa yang Lavina katakan sebelumnya benar, beberapa orang terlihat menjadi pihak oposisi. Saat rapat darurat dilakukan oleh semua orang pemegang saham, Raveen dipaksa bertanggung jawab. Jane harus segera dinikahi oleh Raveen atau citra Landergee akan semakin buruk.“Kalian memintaku untuk menikahinya? Kenapa tidak memaksaku untuk melakukan tes DNA saja pada bayi itu? Apakah dia anakku?” Raveen melempar pertanyaan retoris ke dalam forum.“Bagaimana bisa itu bukan anakmu, Tuan Raveen? Beberapa kali aku melihatmu dengan wanita itu. Bahkan kau menga
“Sayang sekali, sepertinya kita harus menundanya,” ujar Lavina. Pura-pura kecewa karena laboratorium rumah sakit tidak bisa beroperasi. Padahal kenyataannya kejadian ini adalah pancingan saja. Sudah direncanakan oleh Lavina dan Raveen hanya mengikuti alur permainan istrinya.Raveen merangkul Lavina, “Kita terpaksa harus pulang,” Raveen juga pura-pura kecewa.“Kau benar. Kita harus pulang. Lagipula aku sudah lelah, bayi kita perlu istirahat.” Jane menimbrung. Dia tidak terlihat kecewa. Wajahnya yang sebelumnya panik, berubah menjadi cerah. Seolah masalah yang menimpanya bisa diselesaikan dengan mudah.Akan tetapi, justru ini membuat dugaan Lavina semakin benar. Wanita itu memang berbohong soal anak yang sedang dikandungnya. Hanya tinggal memikirkan bagaimana membuat wanita ini terp
Raveen masih tidak mengerti apa yang Lavina rencanakan. Istrinya itu sama sekali tidak terlihat marah. Bahkan memberikan kursi depannya pada wanita menjijikkan itu. Yang hanya bisa Raveen lakukan adalah mempercayai Lavina.Meskipun begitu, Raveen tidak diam begitu saja. Dia meminta anak buahnya untuk menyelidiki wanita itu. Raveen bisa memastikan bahwa bayi yang dikandungnya bukanlah anak Raveen. Raveen memang pernah membawa wanita itu ke rumah dan ke pesta, sering bertemu tapi tidak untuk melakukan hubungan seksual.Sebenarnya Raveen ingin menyingkirkan wanita itu, tapi dia harus menahan diri karena mempercayai Lavina akan menyelesaikan masalah ini. Raveen menduga ada seseorang di balik semua ini. Wanita itu terlalu berani datang ke rumah dan berbohong bahwa dia hamil anak Raveen kecuali memang ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
Di akhir pekan, Lavina dan Raveen akhirnya meninggalkan apartemen dan pindah ke mansion baru mereka. Lavina takjub sekali ketika melihat bagunan yang begitu megah di depannya. Halamannya sangat luas dengan beberapa tanaman, membuat suasana rumah lebih asri. Apalagi bagunan itu dibangun di tengah hutan, membuat kesan damai. Sejuk sekali. Lavina sangat suka. Seperti … mansion ini begitu privat hanya untuk mereka berdua.“Kau suka?” tanya Raveen.Lavina yang masih takjub mengangguk mantap. Siapa yang tidak akan menyukai mansion ini? “Cantik sekali. Aku benar-benar menyukainya.” Netra Lavina tak bisa lepas dari mansion itu. Menyisir segala sisi, mengamati segala lekukan mansion itu.“Ini seperti lukisan!” imbuh Lavina.Pria yang ter