Raveen menghabiskan malam bersama Lavina. Berada di tepat di sampingnya dan terlelap sembari mendekap perempuan yang juga memeluknya. Pagi ini Raveen terbangun lebih dahulu. Sementara perempuan cantik itu masih terlelap di sisinya. Bibir Raveen tertarik ke atas ketika mengamati tiap inci wajah Lavina.
Dia hendak menyentuh wajah Lavina namun urung saat ponsel miliknya bergetar. Dia menatap layar ponsel itu dan tertera nama sang ayah di sana. Raveen segera bangkit dan keluar dari kamar sejenak.
“Halo.”
“Bundamu sudah siuman. Datanglah kemari, dia mencarimu,” ucap sang ayah dari seberang. Raveen menghela napas lega.
“Aku akan segera ke sana, Ayah. Sampaikan salamku untuk Bunda. Aku akan segera menemuinya,” sahut Raveen.
“Raveen ...,” suara ayahnya memberat. Memanggil nama Raveen dengan penuh penekanan. Rasanya tidak nyaman.
“Iya, Ayah?”
“Apakah kau sudah melenyapkan semua keturuan Dawson?”
Deg.
Pertanyaan ayahnya itu membuat Raveen sedikit tidak nyaman
“Tentu,” sahutnya singkat. Kecuali Lavina. Raveen sudah membuat keputusan dan telah melangkah sejauh ini. Dia tidak akan mengalah pada sang ayah. Menyembunyikan Lavina satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan saat ini.
“Baguslah. Aku sendiri yang akan membunuhnya jika masih ada keturunan Dawson yang hidup.”
Deg.
Raveen jelas tahu jika apa yang diakatakan oleh ayahnya bukan sebuah joke.
“Kau tak perlu mencemaskan itu, Ayah. Mereka sudah habis.” Raveen berbohong pada ayahnya.
Maka setelah sambungan panggilan itu terputus, Raveen memejamkan mata sejenak. Dia benar-benar harus memutar otak agar ayahnya tidak tahu keberadaan Lavina. Ayahnya tidak boleh tahu jika Lavina masih hidup. Jika dia hanya menyembunyikan Lavina tanpa melakukan sesuatu yang lain, kebohongannya akan segera tercium oleh sang ayah.
Selanjutnya dia kembali ke kamar untuk menemui perempuan yang sudah berhasil mencuri jiwanya. Di saat itulah, Raveen melihat pemandangan yang sangat menguji imannya. Lavina terbangun. Perempuan itu tengah duduk di atas ranjang dengan salah satu tangan yang mengusap mata kirinya.
“Raveen?” Hidung Lavina tajam. Dia bisa membaui parfum Raveen. Meskipun jaraknya cukup jauh, Lavina masih bisa menangkap aroma yang dia kenal sebagai aroma Raveen.
“Kau sudah bangun?” Raveen masih mematung melihat Lavina.
“Hm.” Lavina mengangguk meskipun sebenarnya dia masih mengantuk dan tetap mencoba beranjak dari ranjang, berdiri sembari mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Tangannya terjulur ke depan tubuhnya, berjaga-jaga jika ada sesuatu di depannya. Dia berjalan mendekat pada arah suara Raveen datang.
Raveen terkesiap. Berhasil mengembalikan kesadaran koordinasinya. Tubuhnya langsung berlari ke arah Lavina dan merengkuh wanita itu.
“Raveen!” Lavina kaget.
“Kau benar-benar berbahaya!” Lirih Raveen.
“Bahaya apa?” Polos, Lavina bertanya.
Raveen tidak berani mengedarkan matanya lebih jauh. Dia menenggak salivanya ketika mengingat pemandangan ‘mengenakkan’ yang baru saja ia lihat. Bagaimana tidak berbahaya? Lavina yang bugil mampu mengundang libido Raveen dan menggodanya agar menjamah Lavina.
“Bukan apa-apa,” sahutnya sembari menetralkan hasratnya.
Raveen meraih selimut yang terjatuh itu dan mengenakannya pada Lavina untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Raveen berdecih merutuki kebodohannya. Kenapa dia tak membawa pakaian Lavina saat membawanya kabur?
“Raveen?” Lavina kembali memanggil laki-laki yang masih sibuk memastikan selimut melingkupi tubuhnya dengan benar.
“Hm?”
“Kau jadi mengenalkanku pada hutan, malam dan siang kan?” Lavina mengingat janji Raveen semalam. Perempuan itu terlihat antusias, terpancar dari binaran matanya. Laki-laki di depannya tertegun sejenak. Rupanya gadis ini masih ingat.
“Tentu, tapi setelah aku membelikan pakaian untukmu,” jawab Raveen setelah mengecup kening Lavina sekilas.
Lavina baru menyadari jika tidak ada kain yang bernama pakaian, menutupi tubuhnya. Pipinya memanas ketika dirinya menyadari bahwa selimut yang baru saja Raveen pakaikan padanya adalah satu-satunya kain yang menutupinya. Raveen terkekeh kecil melihat perempuan di hadapannya ini malu.
“Tidak perlu malu, Lavina. Kau milikku, jadi kau boleh memperlihatkan semua kecantikanmu padaku. Hanya padaku,” tegas Raveen.
Lavina menunduk kemudian mengangguk malu-malu. Raveen benar. Meskipun Lavina tidak sepenuhnya mengerti apa arti memiliki dan dimiliki, tapi apa pun yang ada pada diri Lavina, Raveen berhak mengetahuinya karena dia telah memilih Raveen sebagai tempatnya bergantung.
Selanjutnya, Raveen pergi meninggalkan Lavina. Dia harus ke rumah sakit dan membawa beberapa pakaian untuk Lavina. Sebenarnya Raveen enggan untuk pergi, namun dia harus cepat sampai di rumah sakit dan memastikan keadaan ibunya.
Selepas Raveen meninggalkannya, Lavina meringkuk di atas tempat tidur. Setelah kepergian Raveen hanya sunyi yang menemaninya. Dalam hati dia hanya berharap Raveen tidak meninggalkannya terlalu lama. Dia tak punya siapa pun selain dirinya sekarang. Terlebih lagi ada satu hal yang harus dia penuhi. Lavina menyentuh perutnya, merasakan sesuatu yang sangat tidak nyaman.
“Uh ... Aku lapar,” lirihnya “Cepatlah kembali Raveen ....”
Di tempat lain, laki-laki itu tergopoh berlari di rumah sakit. Dia sudah merindukan Emily. Maka setelah membuka kamar pasien yang megah itu, Raveen berhambur memeluk sang ibu.
“Bunda baik-baik saja?” Tanya anak tunggalnya, khawatir. Emily mengelus pipi Raveen dengan sayang.
“Bunda baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir,” sahutnya.
“Lain kali Bunda harus lebih hati-hati. Musuh Ayah ada di mana-mana.” Raveen memeriksa seluruh tubuh Emily, barang kali ada yang terlewat oleh pengawasan dokter. Emily terkekeh kemudian mengacak surai putranya.
“Ayahmu menjadi kelewat proterktif sekarang. Asal kau tahu jika anak buah ayahmu sudah mengepung rumah sakit. Padahal Bunda baik-baik saja.”
Raveen mengangguk singkat. Itu bagus. Justru dirinya sangat menyetujui dan mendukung sikap Rael, ayahnya untuk lebih protektif terhadap bundanya.
“Aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku menjadi ayah. Menjaga seseorang yang dicintai memang menjadi sebuah kewajiban. Apa pun akan dikorbankan,” balas Raveen.
Emily tertegun dengan ucapan Raveen. Ada yang berbeda dengan sikapnya.
“Kau ini, memangnya sudah mempunyai seseorang yang ingin kau jaga?” goda Emily. Raveen terdiam. Tentu saja, sekarang—selain Emily—ada satu lagi wanita yang ingin dan harus dia lindungi.
“Ah ... Bunda, Aku harus segera pergi. Ada urusan yang harus aku kerjakan.” Raveen teringat harus membeli pakaian untuk Lavina. Dia juga harus membeli beberapa makanan untuk dirinya dan perempuan itu.
“Kenapa buru-buru? Tetaplah di sini sampai ayahmu datang, hm?”
Maka apa yang bundanya ucapkan tidak bisa Raveen tolak. Dengan sangat terpaksa Raveen menunggu Emily sampai ayahnya datang.
***
Raveen bergegas masuk ke dalam rumah di tengah hutan itu sembari membawa beberapa kantung belanjaan. Dia khawatir karena telah meninggalkan Lavina cukup lama—lebih lama daripada yang dia kira.
Sementara itu, gadis yang dia tinggalkan pagi tadi, masih berada di tempat tidur. Sedikit kesal karena Raveen meninggalkannya sangat lama. Padahal sebelumnya laki-laki itu berjanji untuk datang lebih cepat.
“Lavina,” tegur Raveen. Lavina sontak bangun. Dia memutar tubuhnya ke arah suara Raveen. Dia cemberut.
“Lama sekali,” rengek Lavina sedih. Dibanding merengek, dia lebih terlihat sedang melontarkan protes.
“Maafkan aku, aku harus membeli beberapa barang dan makanan untukmu,” sahut Raveen kemudian mengeluarkan satu dress dari kantung belanjaannya.
Raveen mendekati Lavina, meraih tangannya dan memintanya untuk turun dari ranjang. Lavina menurut. Dia membiarkan Raveen menuntunnya. Raveen meraih tangan lain Lavina yang masih mempertahankan selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Lepaskan saja, aku sudah membelikan pakaian untukmu,” pinta Raveen.
Sebenarnya bukan itu yang ingin dia katakan. Hendak meralat tapi Lavina lebih dulu membiarkan kain itu terjatuh menuruni tubuhnya. Sekali lagi Raveen menelan ludah. Tubuh Lavina benar-benar mengundang birahinya. Tapi Raveen menepiskan hasrat liarnya. Saat ini bukan saatnya mengajari hal yang tidak-tidak pada perempuan yang masih lugu ini—meskipun mungkin Lavina pernah merasakan kenikmatan itu saat diperkosa—sial! Raveen menjadi kesal saat mengingat apa yang telah laki-laki bejat itu lakukan pada miliknya.
Dengan cepat dan hati-hati, Raveen memakaikan dress itu pada Lavina. Dia tak bisa membiarkan pikiran liarnya mendominasi. Belum saatnya Raveen menyentuh Lavina lebih jauh.
“Cantik,” puji Raveen setelah melihat Lavina yang berbalut dress itu.
“Nah, sekarang ayo kita keluar. Sesuai janji, aku akan mengenalkanmu pada hutan, malam dan siang,” ucap Raveen membuat Lavina mengukir senyumnya.
Raveen meraih tangan Lavina, menuntunnya dengan lembut keluar dari rumah itu. Hari memang sudah siang, tapi terik matahari tidak sampai menyengat kulit karena kanopi hutan yang melindungi mereka.
Sampai di luar rumah, Lavina memejamkan matanya. Dia menghirup kuat-kuat aroma yang asing tapi menyegarkan. Aroma khas hutan.
“Raveen, ini aroma apa?” Lavina bertana.
“Inilah aroma hutan,” jawab Raveen. Laki-laki itu mencoba memejamkan mata kemudian ikut menghirup udara segar itu. “Aroma pinus,” lanjutnya.
Sekali lagi Lavina menghirup aroma yang baru dia kenal. Rasanya memang menyegarkan. Aroma yang sama dengan Raveen. Senyum Lavina semakin mengembang.
Meskipun tidak banyak, Raveen mencoba mengajarkan Lavina untuk mengenal dunia. Membiarkannya menyentuh daun, pohon, rumput, pasir, tanah dan batu. Meski terlihat sederhana, bahagia Lavina membuncah hanya karena mengenal benda mati itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lavina kembali merasakan menjadi seorang manusia.
“Lavina,” tegur Raveen.
“Hm?” dirinya masih asik meraba-raba benda tipis, kecil, yang di permukannya halus, tapi di sisinya sedikit kasar.
“Coba kau cium aroma daun itu.”
Lavina menurut. Dia mendekatkan daun yang dia pegang pada indra penciumannya. Memejamkan mata dan memroses aroma yang baru baginya.
“Meskipun samar, tapi baunya sangat segar. Lebih segar dari aroma pinus.” Lavina selesai menganalisa. Lantas, Raveen menyobek sedikit daun itu.
“Sekarang coba kau cium lagi!”
Lavina kembali mencium daun itu. Matanya melebar.
“Wah! Benar-benar harum. Harumnya kuat dan sangat segar.” pekiknya. Terlihat begitu sangat senang. Senyumnya mengembang lebih lebar. Matanya terlihat semakin berbinar. Raveen terkekeh.
“Itu daun citrus” ajarnya.
Lavina mengangguk mendengarkan. Aroma citrus akan menjadi salah satu favoritnya sekarang. Aroma yang sama seperti laki-laki yang menjadi pemiliknya ini.
Selanjutnya Raveen meminta Lavina istrirahat. Dia harus kembali mengisi perutnya dengan makanan. Mereka berdua menyantap hidangan. Lavina tampak antusias dengan makanan yang baru ia kunyah. Lidahnya mengenali nasi, tapi dia tidak mengenali makanan lain yang terasa gurih, lembut dan manis di mulutnya.
“Ini makanan apa?” Lavina benar-benar banyak bertanya. Raveen tidak keberatan jika gadis ini terus bertanya. Sebelum menjawab pertanyaan dari perempuan yang sudah sangat dia cintai, jemarinya terjulur untuk membersihkan noda makanan di sudut bibirnya.
“Itu daging. Kau menyukainya?” Raveen menjawab dan balas bertanya. Lavina mengangguk kemudian melahap makanan itu lagi. Sangat suka. Rasa baru yang sangat lezat.
Lavina menghirup aroma lain yang juga terasa segar. Berbeda dengan aroma pinus dan sitrus. Tapi Ini masih mirip seperti aroma Raveen.
“Raveen ini bau apa?” Lavina masih tidak puas untuk bertanya. Raveen mengernyit dan menjauhkan cangkir teh mint dari bibirnya.
“Apa?”
“Segar, tapi berbeda dengan pinus dan citrus,” ucap Lavina. Raveen menatap tehnya sejenak.
“Ini aroma mint,” kemudian Raveen mendekatkan tehnya pada Lavina. “Aromanya datang dari teh yang aku minum,” susul Raveen.
Lavina mengangguk. Dia senang dengan pelajaran baru yang dia dapat. Raveen benar-benar seorang malaikat yang Tuhan kirimkan padanya. Maka Lavina beranjak dari kursinya. Dia berdiri, mencoba berjalan mendekat pada Raveen. Laki-laki itu langsung sigap dan ikut berdiri.
“Ingin ke mana?” Raveen menangkap Lavina. Lavina yang tangannya sudah diraih oleh Raveen, langsung menghamburkan diri ke tubuhnya. Raveen sedikit terkejut.
“Terima kasih,” lirih Lavina. “Terima kasih mengenalkanku pada dunia,” lanjutnya.
Raveen melepas pelukan Lavina kemudian mengangkat dagu Lavina. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengecup bibirnya. Miliknya ini begitu menggemaskan.
“Terlalu awal untuk mengucapkan kata itu, masih banyak yang harus kau pelajari,” timpal Raveen.
Lavina tersenyum. Dia kembali menempelkan kepalanya ke dada Raveen. Ia memejamkan mata ketika aroma menyenangkan kembali menyapa. Penciumannya semakin mengenali aroma ini. Rasanya, aroma Raveen menguar hingga kelingkungannya.
Lavina nyaman di posisi itu. Ia menghirupnya dalam-dalam.
“Pinus, citrus, dan mint,” ucap Lavina setelah menghirup aroma yang menguar dari Raveen.
“Hm?”
“Aku suka ... aku suka aroma pemilikku.” Lavina membuka matanya dan mendongak. Menatap lurus pada kegelapan pandangannya dengan lebih berani karena dia tahu apa yang tengah ia tatap adalah penjamin hidup Lavina.
Raveen tertegun. Laki-laki itu menatap Lavina lamat-lamat. Dia sedikit memiringkan kepalanya, memastikan keanehan yang dia rasakan. Maka potensial aksi jantungnya memberikan jawaban tegas bahwa dia memang benar-benar sudah jatuh terlampau dalam pada Lavina.
Raveen masih menyandang sebagai mahasiswa. Dia harus kuliah. Masalahnya, dirinya tidak mungkin meninggalkan Lavina dalam waktu yang lama. Bagaimana perempuan itu akan mengurus dirinya sendiri?Raveen menghela napas gusar. Pagi-pagi sekali dirinya sudah beranjak dari rumah kayu dan pulang menuju rumahnya. Sedari tadi kepalanya buntu karena tidak memiliki ide agar Lavina tetap terjaga meskipun dirinya tidak berada di sampingnya. Jika Raveen mengutus anak buahnya, tentu saja malah akan berbahaya bagi Lavina. Bisa saja ayahnya akan tahu bahwa ternyata dirinya menyembunyikan salah satu keturunan Dawson.Sial! Umpatnya.Tak lama, akhirnya Raveen sampai di rumahnya. Di sana, Emily ternyata sudah menunggunya—ibunya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit kemarin.“Raveen kau dari mana saja? Kenapa semalam tidak di rumah, hm?” Emily bertanya sembari menggandeng putranya masuk ke mansion megah mereka.“Maafkan ak
Raveen menatap Lavina yang masih bergeming di atas tempat tidur. Dia benar-benar marah rupanya karena Raveen meninggalkannya terlalu lama. Raveen mendekat.“Lavina,” panggil Raveen lagi. Kali ini Raveen duduk di atas ranjang. Ia hendak menyentuh punggung Lavina sebelum ia mendengar isakan kecil. Raveen bergerak semakin mendekat pada Lavina lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.Lavina buru-buru menutupi wajahnya. Raveen menghela napas berat ketika Lavina seperti itu. Sangat jelas jika perempuan ini tidak ingin menunjukkan wajahnya pada Raveen. Sepertinya dirinya sedang ketakutan atau sedih dan mungkin—oh sudah pasti—juga marah. Marah dan kesal menjadi kondisi perasaan Lavina paling memungkinkan karena ia kembali mengingkari janjinya padanya.Dirinya memang tidak berpengalaman tentang bagaimana cara menghadapi wanita. Namun, bukan berarti dia sama sekali buta untuk memperlakukan wanita. Ayahnya adalah contoh terbaik yang bisa Raveen
Raveen menatap langit yang gelap di pagi hari. Medung. Tampaknya akan turun hujan. Cuacanya sangat tidak menyenangkan. Melihat pagi yang suram seperti ini, siapa yang bisa bersemangat? Sama seperti Raveen yang hatinya begitu kelabu.Bukan tanpa sebab dirinya murung. Lima menit yang lalu, ayahnya memintanya pergi ke Jerman segera untuk menyelesaikan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang Rael kelola. Bukannya dia tidak ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Lavina? Setengah hari saja Raveen tak bertemu dengannya, bisa membuatnya gila, apa lagi jika harus pergi jauh dari sisinya?Kepalanya terasa berat. Pikirannya begitu terhimpit sehingga rasanya gelarnya sebagai seorang jenius hilang dihisap situasi yang menyebalkan. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada ide brilian yang muncul di kepalanya. Bagaimana dia bisa pergi tanpa mengkhawatirkan Lavina? Lagi pula ini bukan hanya soal hati tapi juga keselamatan perempuan itu.“Apa yang kau pikirkan Raveen?
Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis kelua
Dunia runtuh, dua kata itu yang kini menghantam Raveen. Sama seperti badai yang tiba-tiba datang menerjang lembah bunga yang begitu indah. Luluh lantah. Tidak berbekas. Menerbangkan semua kelopak. Tidak indah lagi. Begitulah gambaran Raveen sekarang. Dirinya diam seribu bahasa. Ia tak menyangka pertanyaan itu lebih cepat dilayangkan oleh sang ayah. Sekarang ayahnya tahu jika dialah yang telah menyembunyikan Lavina. Dia tidak menuntaskan misi dari ayahnya. Dia mengkhianati Rael. Dia tidak membunuh Lavina dan memilih untuk menyelamatkannya. Sekarang dia harus apa?“Apa maksud Ayah?” Raveen mencoba berkilah namun malah satu tamparan keras yang ia dapat.PLAK.Perih dan panas yang terasa di pipinya bisa menggambarkan bagaimana murkanya Rael padanya.“APAKAH KAU SEDANG BERUSAHA MENGKHIANATIKU?!” bentak sang ayah. Amarahnya pecah. Wajahnya sudah merah padam. Meledak. Ingin menghancurkan pemuda di depannya ini jika tidak mengingat bahwa R
Dua pria tampan Landergee telah pulang. Urusannya di Jerman dihentikan sementara untuk mencari keberadaan Lavina. Sebagai seorang ayah, Rael tidak mungkin mengungkapkan pada koleganya bahwa putranyalah yang telah menyembunyikan perempuan itu. Jika ingin menghukum Raveen, Rael akan melakukannya sendiri.Tidak langsung menuju rumah, dari bandara mereka pergi ke sebuah tempat di tengah hutan. Keberadaan Lavina sudah diketahui. Selama perjalanan, kedua laki-laki itu saling diam. Raveen tidak bisa melakukan apa pun. Dalam diam, dia berharap Emily sudah melakukan apa yang telah dia janjikan. Raveen juga Menyusun rencana di kelapanya sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi setelah ini.Tak lama, mobil berhenti di sebuah halaman rumah kayu di tengah hutan. Rael dan anak buahnya masuk ke rumah itu untuk membawa Lavina. Akan tetapi, mereka tidak menemukan keberadaan siapa pun di rumah itu. Lagi-lagi Rael menahan amarahnya. Merasa dibodohi. Dia tengah ditipu dengan per
Lavina bergeming. Duduk diam di ranjang sembari menerawang entah ke mana. Meskipun tampak membisu, di kepalanya begitu ribut karena memikirkan Raveen. Hatinya bergemuruh, meraung-raung sebat dirinya terlampau merindukan Raveen. Ingin berjumpa, memeluk dan menghirup aroma khas yang berhasil membuatnya tenang dari laki-laki itu.Sayang sekali perkataan Emily membuatnya semakin dirundung pilu. Rindu hanya akan menjadi rindu. Sudah merenung dan paham apa yang wanita itu maksud. Sudah jelas jika dirinya tidak diizinkan untuk menemui Raveen. Dia ternyata yang menjadi sumber kekacauan. Baru tahu setelah Emily mengatakannya. Apakah Lavina telah membuat masalah yang begitu besar pada Raveen? Sebesar itukah kesalahan Lavina sehingga ia harus dipaksa hidup tanpa laki-laki itu?Akan tetapi, bukankah Lavina adalah milik Raveen dan Raveen adalah pemiliknya? Lalu bagaimana Lavina hidup tanpa dimiliki oleh pemiliknya? Bagaimana Raveen hidup tanpa memiliki miliknya?Hati gadis i
Emily menahan amarah. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghubungi Raveen. Putranya itu juga tidak beriktikad untuk menemuinya. Putranya benar-benar sudah berubah. Sejak kapan Raveen menjadi pembangkang seperti ini?Mengapa Raveen tak mengerti bagaimana cemasnya Emily padanya? Emily menyembunyikan Lavina dan memisahkan mereka, benar-benar untuk kebaikan mereka berdua. Wanita itu tahu, baik Rael ataupun Raveen sama-sama keras kepala. Apakah Raveen tak tahu jika Rael akan tetap membunuh Lavina sedalam apa pun cinta Raveen padanya? Dan itu yang Emily hindari. Raveen tentu tidak akan membiarkannya ayahnya melakukan itu bukan? Yang ada akhirnya kedua laki-laki yang dicintainya akan saling menghunuskan pedang. Sungguh Emily tak akan memihak siapa pun. Kedua laki-laki itu adalah orang yang paling Emily cintai. Dia tak ingin kehilangan keduanya.Sayangnya Emily tidak bisa berbuat apa-apa ketika Raveen merajuk. Dia tidak akan mau pulang jika Emily tidak memberi tahu di mana
“Bisakah kau tersenyum Altar? Tidak baik menunjukkan wajah cemberutmu pada teman-temanmu.” Lavina mengusap pipi Altar yang menggembung.Altar Landergee sudah menginjak usia lima tahun pagi ini. Mansion megah mereka sudah dihiasi banyak sekali balon dan semua pernak pernik ulang tahun. Seharusnya menjadi momen yang menyenangkan untuk Altar. Semua yang disiapkan, Lavina pastikan adalah semua yang terbaik dan yang paling disukai oleh putranya itu.“Ailee tidak datang!”Akhirnya Lavina tahu alasannya. Meskipun hadiah sudah menumpuk tinggi, tidak bisa menyembuhkan kesedihan Altar karena teman playgroup-nya yang bernama Ailee tidak datang. Gadis kecil itu memang telah menjadi teman favorit Altar.
Lavina spontan memegang perutnya yang sudah besar ketika melihat berita yang ada di televisi. Jane dikabarkan bunuh diri, melompat dari atas gedung media milik orang tuanya. Tiba-tiba firasatnya buruk. Apakah itu perbuatan Raveen? Dia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya, tapi perasaannya benar-benar tidak nyaman, seolah mengatakan bahwa Raveen adalah dalang di balik kematian Jane. Apalagi setelah pernikahan mereka yang hancur, hidup Lavina lebih tenang. Tidak ada kejadian apapun selain pemberitaan yang terlalu berlebihan tentang keburukan Jane yang telah menghancurkan rumah tangga Raveen dan Lavina. Memang sebelumnya itu adalah bagian dari rencana Lavina, tapi kali ini beritanya sangat berlebihan. Bahkan seperti mengulik semua keburukan Jane dan orang tuanya. Rumornya mereka terlibat kasus korupsi. Pamornya jatuh dan per
Semenjak hamil, Lavina berubah. Terutama pemikirannya. Mungkin memang masih ada rasa khawatir tentang bagaimana dia harus mengasuh anak, namun dia akan berusaha. Seiring dengan bertambahnya usia kandungan Lavina, ia merasa sangat terikat dengan sang bayi. Ada jalinan kasih yang berbeda, yang tidak bisa Lavina deskripsikan. Jika ditilik secara sains, itu wajar karena saat hamil, hormon oksitosin yang katanya adalah hormon cinta, meningkat. Itulah yang menyebabkan cinta ibu pada bayinya semakin kuat.Mungkin di awal masih belum begitu kentara. Hanya sayang saja. Belum begitu benar-benar mencintai. Hanya menyadari bahwa dia akan menjadi ibu dan harus mengasuh bayinya. Tapi kejadian tragis itu membuat Lavina menyadari betapa ia sangat ketakutan. Ketakutan yang sama seperti yang dia alami saat lampau.Apalagi melihat darah yang merembes di gaun putih yang dia pakai.
Rencana Lavina tampak berjalan dengan sangat baik. Sebuah persiapan untuk pernikahan megah telah selesai dilakukan. Hanya perlu menambah hal-hal kecil saja. Sisanya, gedung yang telah didekorasi sedemikian rupa siap untuk digunakan. Jujur saja, Lavina sedikit iri karena pesta pernikahan ini digelar lebih megah daripada pernikahan Lavina. Tentu saja karena Jane mendapatkan banyak kucuran dana dari banyak pihak.“Are you living in Disney Land or something?” tanya Lavina yang tampak takjub.Di sebelahnya Jane hanya tersenyum remeh. Terang-terangan meledek Lavina. Dia tengah menunjukkan superioritasnya karena tahu bahwa pesta pernikahannya lebih megah dibandingkan siapapun.“Tentu saja. Aku ratu di semesta Raveen. Sudah seharusnya seperti itu.”Lavina
Lavina dan Raveen keluar dari gedung perusahaan Dawson. Di sana sudah ada banyak wartawan yang menunggu. Mereka sengaja keluar dari pintu utama. Pura-pura terkejut dengan kehadiran mereka.“Bagaimana tanggapan Anda dengan skandal Anda?”“Apakah benar bayi yang dikandung Jane adalah anak Anda?”“Nona Lavina? Bagaimana kondisi kandungan Anda? Apakah Anda baik-baik saja?”“Bagaimana tanggapan Anda soal skandal yang menimpa suami Anda?”Dan banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para reporter itu. Akan tetapi, baik Raveen dan Lavina hanya bungkam. Belum saatnya mereka membuka suara. Justru diamnya mereka memang sengaja dilakukan agar semakin menciptakan banyak asumsi publik. Akan l
Berita tentang Jane yang mengandung anak Raveen semakin merebak. Bahkan gosip itu membuat harga saham perusahaan Landergee turun. Beberapa pihak mulai sedikit panik dan meminta Raveen untuk melakukan tindakan lebih lanjut.Musuh dalam selimut itu memang ada. apa yang Lavina katakan sebelumnya benar, beberapa orang terlihat menjadi pihak oposisi. Saat rapat darurat dilakukan oleh semua orang pemegang saham, Raveen dipaksa bertanggung jawab. Jane harus segera dinikahi oleh Raveen atau citra Landergee akan semakin buruk.“Kalian memintaku untuk menikahinya? Kenapa tidak memaksaku untuk melakukan tes DNA saja pada bayi itu? Apakah dia anakku?” Raveen melempar pertanyaan retoris ke dalam forum.“Bagaimana bisa itu bukan anakmu, Tuan Raveen? Beberapa kali aku melihatmu dengan wanita itu. Bahkan kau menga
“Sayang sekali, sepertinya kita harus menundanya,” ujar Lavina. Pura-pura kecewa karena laboratorium rumah sakit tidak bisa beroperasi. Padahal kenyataannya kejadian ini adalah pancingan saja. Sudah direncanakan oleh Lavina dan Raveen hanya mengikuti alur permainan istrinya.Raveen merangkul Lavina, “Kita terpaksa harus pulang,” Raveen juga pura-pura kecewa.“Kau benar. Kita harus pulang. Lagipula aku sudah lelah, bayi kita perlu istirahat.” Jane menimbrung. Dia tidak terlihat kecewa. Wajahnya yang sebelumnya panik, berubah menjadi cerah. Seolah masalah yang menimpanya bisa diselesaikan dengan mudah.Akan tetapi, justru ini membuat dugaan Lavina semakin benar. Wanita itu memang berbohong soal anak yang sedang dikandungnya. Hanya tinggal memikirkan bagaimana membuat wanita ini terp
Raveen masih tidak mengerti apa yang Lavina rencanakan. Istrinya itu sama sekali tidak terlihat marah. Bahkan memberikan kursi depannya pada wanita menjijikkan itu. Yang hanya bisa Raveen lakukan adalah mempercayai Lavina.Meskipun begitu, Raveen tidak diam begitu saja. Dia meminta anak buahnya untuk menyelidiki wanita itu. Raveen bisa memastikan bahwa bayi yang dikandungnya bukanlah anak Raveen. Raveen memang pernah membawa wanita itu ke rumah dan ke pesta, sering bertemu tapi tidak untuk melakukan hubungan seksual.Sebenarnya Raveen ingin menyingkirkan wanita itu, tapi dia harus menahan diri karena mempercayai Lavina akan menyelesaikan masalah ini. Raveen menduga ada seseorang di balik semua ini. Wanita itu terlalu berani datang ke rumah dan berbohong bahwa dia hamil anak Raveen kecuali memang ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
Di akhir pekan, Lavina dan Raveen akhirnya meninggalkan apartemen dan pindah ke mansion baru mereka. Lavina takjub sekali ketika melihat bagunan yang begitu megah di depannya. Halamannya sangat luas dengan beberapa tanaman, membuat suasana rumah lebih asri. Apalagi bagunan itu dibangun di tengah hutan, membuat kesan damai. Sejuk sekali. Lavina sangat suka. Seperti … mansion ini begitu privat hanya untuk mereka berdua.“Kau suka?” tanya Raveen.Lavina yang masih takjub mengangguk mantap. Siapa yang tidak akan menyukai mansion ini? “Cantik sekali. Aku benar-benar menyukainya.” Netra Lavina tak bisa lepas dari mansion itu. Menyisir segala sisi, mengamati segala lekukan mansion itu.“Ini seperti lukisan!” imbuh Lavina.Pria yang ter