Home / Romansa / Stigma / Scared to be Alone

Share

Scared to be Alone

Author: Leafy
last update Last Updated: 2021-08-15 13:16:07

Raveen menatap Lavina yang masih bergeming di atas tempat tidur. Dia benar-benar marah rupanya karena Raveen meninggalkannya terlalu lama. Raveen mendekat.

“Lavina,” panggil Raveen lagi. Kali ini Raveen duduk di atas ranjang. Ia hendak menyentuh punggung Lavina sebelum ia mendengar isakan kecil. Raveen bergerak semakin mendekat pada Lavina lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.

Lavina buru-buru menutupi wajahnya. Raveen menghela napas berat ketika Lavina seperti itu. Sangat jelas jika perempuan ini tidak ingin menunjukkan wajahnya pada Raveen. Sepertinya dirinya sedang ketakutan atau sedih dan mungkin—oh sudah pasti—juga marah. Marah dan kesal menjadi kondisi perasaan Lavina paling memungkinkan karena ia kembali mengingkari janjinya padanya.

Dirinya memang tidak berpengalaman tentang bagaimana cara menghadapi wanita. Namun, bukan berarti dia sama sekali buta untuk memperlakukan wanita. Ayahnya adalah contoh terbaik yang bisa Raveen tiru. Perempuan itu rapuh. Bisa pecah jika salah mengenggam. Harus diperlakukan dengan lembut tak terkecuali Lavina. Raveen memutuskan untuk berbaring di samping Lavina dan memeluknya. Lavina terperanjat, sedikit menggeliat untuk melepaskan diri dan beringsut bangkit dari tidurnya lalu menjauh dari Raveen.

“Maafkan aku,” lirih Raveen, mencoba mendekatkan diri pada Lavina. Permintaan maaf Raveen bukan tanpa alasan. Jelas sekali apa kesalahan yang telah ia perbuat. “Maaf meninggalkanmu cukup lama,” lanjut Raveen memperjelas bahwa ia kembali menyesal karena telah meninggalakannya. Lantas ia merengkuh tubuh yang lebih mungil darinya. Laki-laki itu memberikan kehangatan lewat pelukannya yang erat, untuk menyalurkan rasa rindu dan penyesalannya.

Merasa tidak berdaya setelah berada di dekapan hangat Raveen, Lavina menyerah. Air matanya tidak bisa dibendung lagi. Terisak lebih keras dan menumpahkan semua yang ia tahan di pelupuk mata. Dirinya benar-benar ketakutan, kesal, sedih, rindu juga marah. Tadi selama Raveen pergi, dirinya hanya menggumamkan nama Raveen untuk segera datang. Dia sangat membutuhkan Raveen. Dia tidak ingin Raveen jauh dari sisinya. Sekarang pemilik aroma kuat yang dia rindukan sudah ada di depan mata. Dia tidak akan mengizinkan Raveen pergi jika seperti ini.

“Kau pergi terlalu lama,” protes Lavina di sela-sela isaknya. Raveen mengecup puncak kepala Lavina. Dia tahu. Dia sudah menyadarinya. Kini sekarang dia tengah menenangkan Lavina, mendekapnya erat untuk menebus rasa bersalahnya.

“Maafkan aku,” sahut Raveen kembali mengucapkan maaf.

“Jangan pergi lagi!” pinta Lavina. Raveen menghela napas pelan. Keinginannya pun sama. Siapa yang ingin pergi? Jauh dari Lavina sebentar saja nyaris membuatnya gila.

Raveen melepaskan pelukannya dan memandangi wanita di depannya itu. Netra Lavina memang sihir untuk Raveen. Ingin rasanya bibir laki-laki itu berucap iya untuk semua permintaan Lavina. Sayang sekali, semesta memiliki kenyataan yang lebih kejam.

“Lavina, aku tidak akan bisa selalu di sini menemanimu. Ada banyak urusan yang harus aku selesaikan.”

Kalimat Raveen menjadi momok baru bagi Lavina. Perasan tidak nyamannya kini terjawab. Dirinya tidak suka dengan penuturan Raveen yang seolah menunjukkan bahwa Raveen akan meninggalkannya atau memang akan meninggalkan dia? Akhirnya wanita cantik itu beranjak dari ranjang dan menjauhi Raveen.

“Kau berbohong!” Lavina sungguh sangat kesal. Padahal Raveen sudah berjanji tidak akan meninggalkannya. Dia masih ingat bagaimana Raveen membisikkan sumpahnya untuk tetap bersama dirinya. Sekarang laki-laki itu jutru berkata seolah hari ini, adalah pertemuan mereka yang terakhir.

Raveen ikut turun dari ranjang, berjalan menuju Lavina yang masih mencoba berjalan mundur menjauhi Raveen. Beberapa kali Lavina hendak terjatuh karena tersandung, sebanyak itu pula Raveen menggapai Lavina meskipun pada akhirnya, Lavina menepis tangan Raveen.

“Dengarkan aku dulu!” pinta Raveen. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Hanya saja aku tidak bisa terus terusan berada di sampingmu. Aku memiliki banyak urusan yang harus aku selesaikan”

Lavina terdiam mendengarkan. Bukan karena dia percaya, tapi perkataan Raveen menjadi sangat abu-abu untuk dijadikan pegangan. Sudah dua kali Raveen melanggar perkataannya sendiri. Katanya Lavina miliknya, bukannya seharusnya ‘miliknya’ harus tetap berada di sisi? Saat mendengar langkah kaki Raveen, dirinya beringsut mundur. Tidak mau lagi mendengar semua alasan yang coba Raveen ungkap.

“Jangan mendekat!” Lavina yang masih marah, enggan disentuh oleh pemiliknya itu. Raveen menurut. Dia berhenti dan berdiri tak jauh dari Lavina.

“Baik, tapi dengarkan aku!”

Menuruti Lavina, bukan berarti dia mengalah, tidak. Dalam dunia bisnis harus memiliki simbiosis mutualisme. Aksi-reaksi harus saling menguntungkan. Jika Raveen memberikan sesuatu, dia harus mendapatkan hasil yang pantas pula. Kini Lavina harus benar-benar mendengar perkataan Raveen.

“Aku harus kuliah,” jelas Raveen yang sudah tidak ingin mendengarkan penolakan Lavina. Sementara itu, perempuan yang hanya tiga langkah di depannya telah berhenti merengek. Dia diam dan mendengarkan.

Kuliah? Lavina bingung.

“Kau tahu, kuliah, sekolah—ah atau bisa dibilang belajar.”

Lavina mengerjabkan matanya. Mencerna semua istilah yang Raveen gunakan untuk menjelaskan alasan mengapa presensi Raveen di sisinya hanya sekejab.

“Lalu aku masih memiliki orang tua. Mereka akan mengkhawatirkan aku jika aku terlalu sering meninggalkan rumah,” tambah Raveen.

Perempuan berparas cantik ini masih bungkam sembari meremas dress yang dia pakai. Lavina membuka mulutnya, akan mengatakan sesuatu. Tapi dirinya bingung. Banyak kata yang terputar di kepalanya, namun tak tahu mana yang harus disampaikan lebih dahulu, hingga katub itu tertutup kembali. Diam tak menyahuti.

“Kau mengerti?” Raveen berusaha mendekatinya perlahan. Kali ini Lavina tidak membuat pergerakan. Raveen tersenyum. Itu artinya, Lavina sudah sudi untuk berdekatan lagi dengannya.

“Lalu bagaimana denganku? Kenapa aku tidak kau bawa saja kemana pun kau pergi?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga, membuat Raveen sedikit melebarkan matanya. Itulah yang Raveen inginkan. Mengigat Lavina, pokoknya menahan Lavina agar tetap di sisinya adalah kehendak Raveen. Akan tetapi, itu mustahil dilakukan kecuali Raveen memang ingin memicu peperangan antara dirinya dan sang ayah.

“Bawa aku!” Lavina memaksa. Itu jelas menjadi godaan tersendiri bagi Raveen. Melihat Lavina menggebu ingin selalu berada di sisinya membuat Raveen ingin melakukan kegilaan yang sudah berputar di kepalanya. Terlebih bagaimana wajah Lavina yang masih menunjukkan kekesalan pada Raveen, terlihat sangat jelas jika tidak ingin jauh dari pemiliknya.

Namun, lagi-lagi kenyataan membuatnya meredam niat sintingnya. Dia masih memikirkan keselamatannya juga Lavina. Dia tidak akan mengorbankan sesuatu yang belum jelas kemungkinannya. Apalagi ini berkatikan dengan dirinya dan Lavina, Raveen tidak boleh ceroboh.

“Bagaimana aku bisa membawamu pergi jika kau saja tidak mau mendekat padaku?” lontar Raveen. Mecoba menggoda miliknya yang masih berdiri jauh mempertahankan jarak keduanya. Apa yang pria itu katakan membuat Lavina terkesiap. Tanpa ragu, Lavina langsung berjalan menuju sumber suara Raveen. Berlari membabibuta tanpa tahu arah yang benar karena dirinya yakin bahwa Raveen akan menangkap dia.

Benar saja, laki-laki itu sigap menangkap tubuh Lavina yang berhambur memeluknya. Raveen mengembangkan senyumnya. Sungguh wanitanya benar-benar imut. Ingin sekali Raveen menelan Lavina bulat-bulat dan menjadikan dirinya milik Raveen seutuhnya. Tidak puas hanya dengan ikrar kepemilikan saja. Rasanya ingin menandai Lavina di setiap jengkal kulit. Ingin mendominasi. Menjadi superior dengan Lavina yang inferior.

“Aku sudah memelukmu, jadi bawa aku!” pinta Lavina. Senyum Raveen melembut kemudian mencangkup kedua pipi Lavina.

“Jika aku membawamu sekarang, jutsru kau akan dalam bahaya. Apakah kau mau jika kejadian di rumahmu terulang kembali padamu?”

Raveen tampaknya tahu bagaimana cara mengendalikan perempuan ini. Mengancam dengan sesuatu yang telah menjadi traumanya akan menjadi sangat efektif meskipun terlihat sangat kejam. Benar saja, Lavina langsung menggeleng, menolak pernyataan Raveen. Dirinya tidak mau mengalami hal mengerikan itu lagi. Tidak akan pernah mau.

“Jadi kau harus tetap di sini. Aku berjanji akan mengunjungimu setiap hari, hm?”

“Lalu bagaimana denganku? Aku akan sendirian.” Lavina masih tidak rela jika Raveen pergi walaupun hanya sebentar. Apa bedanya dengan hidupnya yang sebelumnya? Tanpa Raveen, Lavina tidak berarti.

Cup.

Raveen memberikan kecupan singkat di bibir ceri Lavina. Menahan diri untuk tidak melumatnya atau Raveen benar-benar akan kalah dan membuat kegilaan yang bisa mengancam keharmonisannya dengan orang tuanya.

“Aku sudah memikirkannya, kau tidak akan sendirian. Untuk itulah aku membawakan seseorang untukmu,” ucap Raveen.

Lantas Lavina mendengarkan langkah kaki yang masuk ke kamar itu. Lavina menciut dan kembali memeluk Raveen dengan erat. Ia begitu takut dengan orang asing.  Tidak ingin percaya.

“Lavina, kenalkan, dia Bibi Maria yang akan menjagamu di saat aku tidak ada,” tutur Raveen. Lavina hanya diam, menyembunyikan wajahnya di dada Raveen.

“Selamat malam, Nona Lavina. Perkenalkan saya Maria. Saya yang akan menjaga Nona.”

Begitulah orang itu memperkenalkan dirinya. Akan tetapi ada yang menarik di rungu Lavina hingga akhirnya dia menarik wajahnya dari dekapan Raveen. Perlahan dirinya menghadap ke sumber suara. Rasanya suara perempuan paruh baya itu mirip sekali dengan suara ibunya, meskipun suara ibunya tidak seserak suara barusan. Lavina bisa merasakan bagaimana kelembutan dari suara tadi.

“B-bibi Maria?” Lavina memastikan tidak salah menyebutkan namanya.

“Iya, Nona. Saya Maria,” sahut wanita paruh baya itu.

Raveen tersenyum. Sepertinya membawa Bibi Maria ke tempat ini adalah pilihan tepat. Melihat reaksi Lavina yang tampaknya telah menenggelamkan ketakutannya sendiri, membuktikan jika Lavina akan baik-baik saja bersama Bibi Maria.

“Kau akan di sini bersama Bibi Maria. Dia yang akan mengajarimu banyak hal di saat aku tidak ada. Ya?”

Lavina mengangguk pelan, membuat Raveen menghela napas lega.

“Kalau begitu berikan senyuman untukku. Jangan marah lagi denganku.” Raveen membelai pipi Lavina. Akan tetapi sang perempuan hanya diam. Banyak hal yang harus dia cerna sekarang. Semuanya terlalu mendadak. Terlalu banyak yang menyerobot ingin masuk ke kepala Lavina tapi tidak satu pun yang dimengerti.

Lagipula, dia masih marah dengan Raveen. Kenyataan tidak akan berubah. Raveen akan tetap meninggalkannya bukan? Sungguh dibandingkan dengan orang lain, Lavina lebih ingin bersama Raveen kapan pun dan di mana pun.

“Hei, ayolah tersenyum!” bujuk Raveen.

“Tidak mau!” Lavina masih merajuk. Bagaimana dia bisa dengan mudah tersenyum?

Raveen terkekeh. Entitas yang tengah direngkuhnya ini memang menggemaskan. Terlihat marah tapi tangannya masih begitu erat memeluk Raveen. Tidak ingin kehilangan.

“Kalau begitu, aku pergi.” Raveen mencoba menggoda Lavina. Ingin mengeksplorasi lebih jauh reaksi miliknya ini.

“Jangan!” Lavina merengek dan semakin mengeratkan pelukannya. Lihat! Berhasil kan? “Jangan pergi!” kini Lavina khawatir.

Lavina kembali meyembunyikan wajahnya di dada Raveen. Ia memejamkan matanya, menikmati degup jantung milik Raveen yang begitu jelas di rungunya. Menenangkan. Suara degup yang selalu Lavina rindukan. Detak yang selama ini membuat Lavina damai, yang selalu menemani Lavina saat terlelap. Dirinya tidak ingin kehilangan semua ini.

“Kau benar-benar di sini,” celutuk Lavina tiba-tiba yang membuat Raveen mengerutkan dahinya. Bingung maksudnya apa.

“Hm?”

“Detak jantungmu benar-benar membuatku tenang. Aku tidak perlu khawatir sendirian lagi. Kau hangat,” jawabnya.

Raveen bergeming. Bagaimana dia harus bereaksi sekarang? Rasanya menggelitik ingin semakin mendominasi Lavina. Rasanya perempuan ini benar-benar memasrahkan seluruh dunianya pada Raveen. Bergantung padanya seolah tak bisa hidup tanpa Raveen. Bisakah wanita ini tidak menggodanya? Raveen tahu apa yang terlontar dari bibir Lavina memang begitu adanya. Lavina hanya wanita lugu yang perlu belajar banyak hal. Tapi apa pun yang meluncur dari lisannya membuat Raveen terbuai lebih dalam.

Hingga akhirnya ...

“Lavina, kau ingin tahu afeksi apa yang lebih membuatmu tidak perlu khawatir akan sendiri dibandingkan dengan degup jantungku?” Raveen bertanya.

Lavina mengerjab, mencoba mendongak meskipun dirinya tidak mampu memandang wajah Raveen. Membuka matanya lebar meskipun tidak bisa menangkap bayangan wajah dari pemiliknya.

“Apa?” Lavina balik bertanya.

Raveen menggelap. Sudah tidak tahan untuk kembali melahap bibir perempuan di depannya ini. Bukan-bukan, dia ingin lebih dari ciuman. Ingin menyalurkan seluruh perasaannya pada Lavina sehingga dia tahu jika Raveen juga gila karenanya. Tidak ada yang lain selain Lavina di hatinya.

“Buka mulutmu dan julurkan lidahmu!”

Maka setelah Lavina melakukan apa yang diperintahkan, Raveen menyatukan bibir mereka, tanpa ragu, Raveen mengulum lidah Lavina. Menyesapnya dengan begitu liar. Sengatan luar biasa, bisa Lavina rasakan saat Raveen mencoba menginvasi rongga mulutnya. Ciuman yang Raveen ajarkan padanya kemarin, tidak semenggelitik ini. Rasanya begitu kasar namun penuh gairah. Ada sesak dan bahagia yang tersemat sekaligus.

Hingga akhirnya, Lavina bisa merasakan degup jantungnya yang semakin berdebar luar biasa kencang. Sama seperti saat dia merasa ketakutan. Namun ini lain. Rasanya benar-benar hangat. Sangat hangat. Kini Lavina tahu apa yang ingin Raveen ajarkan. Dia tak akan merasa dan takut kesepian saat kedua degup jantung mereka padu dalam satu irama. Mereka tidak akan sendiran saat mereka saling menyalurkan kehangatan dan perasaan yang membuncah untuk disampaikan. Hanya saja, ada perasaan yang sangat menyeruak. Perasaan yang membuatnya merasakan kebahagiaan dan juga pilu bersamaan. Lavina belum memahami itu.

Ketika penyatuan mereka menyisakan penghubung berupa saliva bening, mata Lavina masih terpejam menikmati sisa sensasi yang melekat di bibir dan lidahnya. Dia tak peduli dengan napas yang menderu karena nyaris kehabisan oksigen. Kemudan Raveen menutupnya dengan ciuman yang sangat lembut, tidak seliar tadi. Mencoba sedikit bermain lidah lagi meskipun tidak sebrutal tadi.

Lavina langsung memeluk Raveen kembali begitu ciuman mereka terlepas. Sekarang sangat jelas bahwa detak jantung mereka memang tengah berdentum satu frekuensi dan beresonansi hingga ke relung. Perasaan bahagia meyeruak pada Lavina maupun Raveen. Rasa ingin saling memiliki sudah sangat mendominasi. Akan tetapi, ada nyeri di ulu hati mereka. Sungguh ini lebih menyeramkan dibandingkan dengan ketakutan akan kesepian.

Netra Lavina memanas, hingga peluh bening menerobos dan membasahi pipi Lavina lagi. Jalur napasnya seperti dicekik. Hanya sebagian oksigen yang mampu diraih sehingga membuat ngilu di dadanya.

Raveen, aku takut kehilangan dirimu. Aku sangat takut jika harus kembali sendirian.

[]

Related chapters

  • Stigma   Pergi

    Raveen menatap langit yang gelap di pagi hari. Medung. Tampaknya akan turun hujan. Cuacanya sangat tidak menyenangkan. Melihat pagi yang suram seperti ini, siapa yang bisa bersemangat? Sama seperti Raveen yang hatinya begitu kelabu.Bukan tanpa sebab dirinya murung. Lima menit yang lalu, ayahnya memintanya pergi ke Jerman segera untuk menyelesaikan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang Rael kelola. Bukannya dia tidak ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Lavina? Setengah hari saja Raveen tak bertemu dengannya, bisa membuatnya gila, apa lagi jika harus pergi jauh dari sisinya?Kepalanya terasa berat. Pikirannya begitu terhimpit sehingga rasanya gelarnya sebagai seorang jenius hilang dihisap situasi yang menyebalkan. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada ide brilian yang muncul di kepalanya. Bagaimana dia bisa pergi tanpa mengkhawatirkan Lavina? Lagi pula ini bukan hanya soal hati tapi juga keselamatan perempuan itu.“Apa yang kau pikirkan Raveen?

    Last Updated : 2021-08-18
  • Stigma   Ketahuan

    Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis kelua

    Last Updated : 2021-08-18
  • Stigma   Kehilangan

    Dunia runtuh, dua kata itu yang kini menghantam Raveen. Sama seperti badai yang tiba-tiba datang menerjang lembah bunga yang begitu indah. Luluh lantah. Tidak berbekas. Menerbangkan semua kelopak. Tidak indah lagi. Begitulah gambaran Raveen sekarang. Dirinya diam seribu bahasa. Ia tak menyangka pertanyaan itu lebih cepat dilayangkan oleh sang ayah. Sekarang ayahnya tahu jika dialah yang telah menyembunyikan Lavina. Dia tidak menuntaskan misi dari ayahnya. Dia mengkhianati Rael. Dia tidak membunuh Lavina dan memilih untuk menyelamatkannya. Sekarang dia harus apa?“Apa maksud Ayah?” Raveen mencoba berkilah namun malah satu tamparan keras yang ia dapat.PLAK.Perih dan panas yang terasa di pipinya bisa menggambarkan bagaimana murkanya Rael padanya.“APAKAH KAU SEDANG BERUSAHA MENGKHIANATIKU?!” bentak sang ayah. Amarahnya pecah. Wajahnya sudah merah padam. Meledak. Ingin menghancurkan pemuda di depannya ini jika tidak mengingat bahwa R

    Last Updated : 2021-08-18
  • Stigma   Dipisahkan

    Dua pria tampan Landergee telah pulang. Urusannya di Jerman dihentikan sementara untuk mencari keberadaan Lavina. Sebagai seorang ayah, Rael tidak mungkin mengungkapkan pada koleganya bahwa putranyalah yang telah menyembunyikan perempuan itu. Jika ingin menghukum Raveen, Rael akan melakukannya sendiri.Tidak langsung menuju rumah, dari bandara mereka pergi ke sebuah tempat di tengah hutan. Keberadaan Lavina sudah diketahui. Selama perjalanan, kedua laki-laki itu saling diam. Raveen tidak bisa melakukan apa pun. Dalam diam, dia berharap Emily sudah melakukan apa yang telah dia janjikan. Raveen juga Menyusun rencana di kelapanya sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi setelah ini.Tak lama, mobil berhenti di sebuah halaman rumah kayu di tengah hutan. Rael dan anak buahnya masuk ke rumah itu untuk membawa Lavina. Akan tetapi, mereka tidak menemukan keberadaan siapa pun di rumah itu. Lagi-lagi Rael menahan amarahnya. Merasa dibodohi. Dia tengah ditipu dengan per

    Last Updated : 2021-08-18
  • Stigma   Merindu

    Lavina bergeming. Duduk diam di ranjang sembari menerawang entah ke mana. Meskipun tampak membisu, di kepalanya begitu ribut karena memikirkan Raveen. Hatinya bergemuruh, meraung-raung sebat dirinya terlampau merindukan Raveen. Ingin berjumpa, memeluk dan menghirup aroma khas yang berhasil membuatnya tenang dari laki-laki itu.Sayang sekali perkataan Emily membuatnya semakin dirundung pilu. Rindu hanya akan menjadi rindu. Sudah merenung dan paham apa yang wanita itu maksud. Sudah jelas jika dirinya tidak diizinkan untuk menemui Raveen. Dia ternyata yang menjadi sumber kekacauan. Baru tahu setelah Emily mengatakannya. Apakah Lavina telah membuat masalah yang begitu besar pada Raveen? Sebesar itukah kesalahan Lavina sehingga ia harus dipaksa hidup tanpa laki-laki itu?Akan tetapi, bukankah Lavina adalah milik Raveen dan Raveen adalah pemiliknya? Lalu bagaimana Lavina hidup tanpa dimiliki oleh pemiliknya? Bagaimana Raveen hidup tanpa memiliki miliknya?Hati gadis i

    Last Updated : 2021-08-20
  • Stigma   Keputusan Emily

    Emily menahan amarah. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghubungi Raveen. Putranya itu juga tidak beriktikad untuk menemuinya. Putranya benar-benar sudah berubah. Sejak kapan Raveen menjadi pembangkang seperti ini?Mengapa Raveen tak mengerti bagaimana cemasnya Emily padanya? Emily menyembunyikan Lavina dan memisahkan mereka, benar-benar untuk kebaikan mereka berdua. Wanita itu tahu, baik Rael ataupun Raveen sama-sama keras kepala. Apakah Raveen tak tahu jika Rael akan tetap membunuh Lavina sedalam apa pun cinta Raveen padanya? Dan itu yang Emily hindari. Raveen tentu tidak akan membiarkannya ayahnya melakukan itu bukan? Yang ada akhirnya kedua laki-laki yang dicintainya akan saling menghunuskan pedang. Sungguh Emily tak akan memihak siapa pun. Kedua laki-laki itu adalah orang yang paling Emily cintai. Dia tak ingin kehilangan keduanya.Sayangnya Emily tidak bisa berbuat apa-apa ketika Raveen merajuk. Dia tidak akan mau pulang jika Emily tidak memberi tahu di mana

    Last Updated : 2021-08-20
  • Stigma   Dilema1

    BRAKSuara keras khas barang yang dipukul memekakkan seluruh dinding rumah itu. Tidak ada yang bisa menghentikannya dari merusak barang yang ada di dalamnya untuk menyalurkan kemarahan. Tidak bisa dibendung. Tidak bisa dihadang. Dia teramat marah karena tidak berhasil menemukan Lavinanya.Matanya menatap nyalang pada dua orang yang sedari tadi berdiri sembari menatap miris pada tuan mereka. Terutama pada wanita yang sudah terlampau jauh usianya dengan Raveen. Padahal ia telah mempercayakan Lavina padanya. Tapi dia gagal menjaga nonanya.“DI MANA LAVINA!?”Dibandingkan bertanya, Raveen lebih terlihat sedang menggertak kedua orang tua itu. Membentak sesukanya. Memaksa mereka untuk mengatakan di mana Lavina atau mereka akan mendapatkan hal yang begitu buruk, hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Keduanya tertunduk dalam. Tidak berani bahkan hanya untuk sekedar menatap Raveen, apalagi mengeluarkan suara, mereka tak mampu. Takut

    Last Updated : 2021-08-30
  • Stigma   Dilema 2

    Senyum Emily mengembang saat melihat Raveen kembali ke rumah. Sangat senang karena akhirnya putranya pulang. Akan tetapi, perlahan senyumnya menghilang ketika putranya menolak untuk dia peluk. Pertama kalinya, Raveen bersikap seperti ini pada Emily. Menolak pelukan dari Emily membuat ulu hatinya berdesir ngilu. Tentu saja tanpa bertanya mengapa, wanita itu sudah tahu apa penyebabnya. Putranya ini masih marah karena Emily masih enggan memberi tahu keberadaan Lavina.“Apakah kau harus bersikap seperti ini pada Bunda, Raveen?” tanya Emily yang sendu. Raveen berhenti berjalan dan menatapnya. Tatapan Raveen terlihat sangat berbeda dari biasanya. Tampak begitu membenci Emily. Sayangnya Emily tidak bisa mengubah apa yang tengah Raveen rasakan.“Di mana lagi Bunda menyembunyikan Lavina?” tanya Raveen tanpa basa basi. Ia berani bertanya dengan lantang pada ibunya karena tahu bahwa Rael, sang ayah, tidak ada di rumah. Meskipun Raveen tahu jika Emily tidak

    Last Updated : 2021-08-30

Latest chapter

  • Stigma   Epilog

    “Bisakah kau tersenyum Altar? Tidak baik menunjukkan wajah cemberutmu pada teman-temanmu.” Lavina mengusap pipi Altar yang menggembung.Altar Landergee sudah menginjak usia lima tahun pagi ini. Mansion megah mereka sudah dihiasi banyak sekali balon dan semua pernak pernik ulang tahun. Seharusnya menjadi momen yang menyenangkan untuk Altar. Semua yang disiapkan, Lavina pastikan adalah semua yang terbaik dan yang paling disukai oleh putranya itu.“Ailee tidak datang!”Akhirnya Lavina tahu alasannya. Meskipun hadiah sudah menumpuk tinggi, tidak bisa menyembuhkan kesedihan Altar karena teman playgroup-nya yang bernama Ailee tidak datang. Gadis kecil itu memang telah menjadi teman favorit Altar.

  • Stigma   Save Me

    Lavina spontan memegang perutnya yang sudah besar ketika melihat berita yang ada di televisi. Jane dikabarkan bunuh diri, melompat dari atas gedung media milik orang tuanya. Tiba-tiba firasatnya buruk. Apakah itu perbuatan Raveen? Dia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya, tapi perasaannya benar-benar tidak nyaman, seolah mengatakan bahwa Raveen adalah dalang di balik kematian Jane. Apalagi setelah pernikahan mereka yang hancur, hidup Lavina lebih tenang. Tidak ada kejadian apapun selain pemberitaan yang terlalu berlebihan tentang keburukan Jane yang telah menghancurkan rumah tangga Raveen dan Lavina. Memang sebelumnya itu adalah bagian dari rencana Lavina, tapi kali ini beritanya sangat berlebihan. Bahkan seperti mengulik semua keburukan Jane dan orang tuanya. Rumornya mereka terlibat kasus korupsi. Pamornya jatuh dan per

  • Stigma   Kita Baik-baik Saja

    Semenjak hamil, Lavina berubah. Terutama pemikirannya. Mungkin memang masih ada rasa khawatir tentang bagaimana dia harus mengasuh anak, namun dia akan berusaha. Seiring dengan bertambahnya usia kandungan Lavina, ia merasa sangat terikat dengan sang bayi. Ada jalinan kasih yang berbeda, yang tidak bisa Lavina deskripsikan. Jika ditilik secara sains, itu wajar karena saat hamil, hormon oksitosin yang katanya adalah hormon cinta, meningkat. Itulah yang menyebabkan cinta ibu pada bayinya semakin kuat.Mungkin di awal masih belum begitu kentara. Hanya sayang saja. Belum begitu benar-benar mencintai. Hanya menyadari bahwa dia akan menjadi ibu dan harus mengasuh bayinya. Tapi kejadian tragis itu membuat Lavina menyadari betapa ia sangat ketakutan. Ketakutan yang sama seperti yang dia alami saat lampau.Apalagi melihat darah yang merembes di gaun putih yang dia pakai.

  • Stigma   Tragedi Pernikahan

    Rencana Lavina tampak berjalan dengan sangat baik. Sebuah persiapan untuk pernikahan megah telah selesai dilakukan. Hanya perlu menambah hal-hal kecil saja. Sisanya, gedung yang telah didekorasi sedemikian rupa siap untuk digunakan. Jujur saja, Lavina sedikit iri karena pesta pernikahan ini digelar lebih megah daripada pernikahan Lavina. Tentu saja karena Jane mendapatkan banyak kucuran dana dari banyak pihak.“Are you living in Disney Land or something?” tanya Lavina yang tampak takjub.Di sebelahnya Jane hanya tersenyum remeh. Terang-terangan meledek Lavina. Dia tengah menunjukkan superioritasnya karena tahu bahwa pesta pernikahannya lebih megah dibandingkan siapapun.“Tentu saja. Aku ratu di semesta Raveen. Sudah seharusnya seperti itu.”Lavina

  • Stigma   Scripted

    Lavina dan Raveen keluar dari gedung perusahaan Dawson. Di sana sudah ada banyak wartawan yang menunggu. Mereka sengaja keluar dari pintu utama. Pura-pura terkejut dengan kehadiran mereka.“Bagaimana tanggapan Anda dengan skandal Anda?”“Apakah benar bayi yang dikandung Jane adalah anak Anda?”“Nona Lavina? Bagaimana kondisi kandungan Anda? Apakah Anda baik-baik saja?”“Bagaimana tanggapan Anda soal skandal yang menimpa suami Anda?”Dan banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para reporter itu. Akan tetapi, baik Raveen dan Lavina hanya bungkam. Belum saatnya mereka membuka suara. Justru diamnya mereka memang sengaja dilakukan agar semakin menciptakan banyak asumsi publik. Akan l

  • Stigma   Manipulatif

    Berita tentang Jane yang mengandung anak Raveen semakin merebak. Bahkan gosip itu membuat harga saham perusahaan Landergee turun. Beberapa pihak mulai sedikit panik dan meminta Raveen untuk melakukan tindakan lebih lanjut.Musuh dalam selimut itu memang ada. apa yang Lavina katakan sebelumnya benar, beberapa orang terlihat menjadi pihak oposisi. Saat rapat darurat dilakukan oleh semua orang pemegang saham, Raveen dipaksa bertanggung jawab. Jane harus segera dinikahi oleh Raveen atau citra Landergee akan semakin buruk.“Kalian memintaku untuk menikahinya? Kenapa tidak memaksaku untuk melakukan tes DNA saja pada bayi itu? Apakah dia anakku?” Raveen melempar pertanyaan retoris ke dalam forum.“Bagaimana bisa itu bukan anakmu, Tuan Raveen? Beberapa kali aku melihatmu dengan wanita itu. Bahkan kau menga

  • Stigma   Rencana Lavina

    “Sayang sekali, sepertinya kita harus menundanya,” ujar Lavina. Pura-pura kecewa karena laboratorium rumah sakit tidak bisa beroperasi. Padahal kenyataannya kejadian ini adalah pancingan saja. Sudah direncanakan oleh Lavina dan Raveen hanya mengikuti alur permainan istrinya.Raveen merangkul Lavina, “Kita terpaksa harus pulang,” Raveen juga pura-pura kecewa.“Kau benar. Kita harus pulang. Lagipula aku sudah lelah, bayi kita perlu istirahat.” Jane menimbrung. Dia tidak terlihat kecewa. Wajahnya yang sebelumnya panik, berubah menjadi cerah. Seolah masalah yang menimpanya bisa diselesaikan dengan mudah.Akan tetapi, justru ini membuat dugaan Lavina semakin benar. Wanita itu memang berbohong soal anak yang sedang dikandungnya. Hanya tinggal memikirkan bagaimana membuat wanita ini terp

  • Stigma   Cheese in The Trap

    Raveen masih tidak mengerti apa yang Lavina rencanakan. Istrinya itu sama sekali tidak terlihat marah. Bahkan memberikan kursi depannya pada wanita menjijikkan itu. Yang hanya bisa Raveen lakukan adalah mempercayai Lavina.Meskipun begitu, Raveen tidak diam begitu saja. Dia meminta anak buahnya untuk menyelidiki wanita itu. Raveen bisa memastikan bahwa bayi yang dikandungnya bukanlah anak Raveen. Raveen memang pernah membawa wanita itu ke rumah dan ke pesta, sering bertemu tapi tidak untuk melakukan hubungan seksual.Sebenarnya Raveen ingin menyingkirkan wanita itu, tapi dia harus menahan diri karena mempercayai Lavina akan menyelesaikan masalah ini. Raveen menduga ada seseorang di balik semua ini. Wanita itu terlalu berani datang ke rumah dan berbohong bahwa dia hamil anak Raveen kecuali memang ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

  • Stigma   Trouble

    Di akhir pekan, Lavina dan Raveen akhirnya meninggalkan apartemen dan pindah ke mansion baru mereka. Lavina takjub sekali ketika melihat bagunan yang begitu megah di depannya. Halamannya sangat luas dengan beberapa tanaman, membuat suasana rumah lebih asri. Apalagi bagunan itu dibangun di tengah hutan, membuat kesan damai. Sejuk sekali. Lavina sangat suka. Seperti … mansion ini begitu privat hanya untuk mereka berdua.“Kau suka?” tanya Raveen.Lavina yang masih takjub mengangguk mantap. Siapa yang tidak akan menyukai mansion ini? “Cantik sekali. Aku benar-benar menyukainya.” Netra Lavina tak bisa lepas dari mansion itu. Menyisir segala sisi, mengamati segala lekukan mansion itu.“Ini seperti lukisan!” imbuh Lavina.Pria yang ter

DMCA.com Protection Status