Raveen masih menyandang sebagai mahasiswa. Dia harus kuliah. Masalahnya, dirinya tidak mungkin meninggalkan Lavina dalam waktu yang lama. Bagaimana perempuan itu akan mengurus dirinya sendiri?
Raveen menghela napas gusar. Pagi-pagi sekali dirinya sudah beranjak dari rumah kayu dan pulang menuju rumahnya. Sedari tadi kepalanya buntu karena tidak memiliki ide agar Lavina tetap terjaga meskipun dirinya tidak berada di sampingnya. Jika Raveen mengutus anak buahnya, tentu saja malah akan berbahaya bagi Lavina. Bisa saja ayahnya akan tahu bahwa ternyata dirinya menyembunyikan salah satu keturunan Dawson.
Sial! Umpatnya.
Tak lama, akhirnya Raveen sampai di rumahnya. Di sana, Emily ternyata sudah menunggunya—ibunya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit kemarin.
“Raveen kau dari mana saja? Kenapa semalam tidak di rumah, hm?” Emily bertanya sembari menggandeng putranya masuk ke mansion megah mereka.
“Maafkan aku, sudah membuat Bunda khawatir,” sesal Raveen. Emily tersenyum dan menggeleng.
“Lain kali kau bisa berpamitan pada Bunda dulu,” sahut Emily. Raveen mengangguk patuh.
“Kau dari mana?” Suara tajam yang menginterupsi obrolan antara anak dan ibu, membuat Raveen menegang.
Dirinya mendongak melihat Rael, sang ayah yang tengah turun dari lantai dua. Netra sang ayah lurus menatapnya. Apa yang harus dia katakan? Alasan apa yang harus dia ucapkan?
“Aku hanya mencari angin, Ayah,” jawabnya. Mencoba terlihat setenang mungkin.
“Mencari angin? Tidak biasanya kau seperti itu. Bahkan semalam kau tidak tidur di rumah. Kau ke mana?” Rael tidak bodoh. Dia sangat hafal dengan kebiasaan anaknya yang telah ia tunjuk untuk menjadi penerusnya.
Raveen mencoba menetralkan dirinya yang merasa tersudut. Dirinya juga tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah bisa dikelabuhi begitu saja. Raveen membuka mulutnya hendak bicara sembari memikirkan keputusan yang dibuatnya.
“Aku menemui seorang gadis, Ayah.” Jawaban yang terlontar dari mulut Raveen membuat Rael maupun Emily terkejut.
“Seorang gadis?” Rael memastikan rungunya. Maka keterkejutannya tidak salah ketika melihat putranya mengangguk. Rael bisa melihat bahwa mata Raveen tidak berbohong. Dirinya memang bersama seorang gadis semalaman.
“Jadi kau sudah memiliki orang yang kau suka?” Emily masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. Pasalnya selama ini, Raveen tidak pernah membicarakan perempuan. Terakhir kali, Raveen pernah menceritakan teman perempuannya saat dia masih kecil. Setelah itu, putranya tak pernah mengungkit-ungkit lagi.
Jujur saja, tidak satu dua kali Emily menggoda Raveen soal perempuan. Apakah Raveen tertarik dengan seseorang? Apakah dia memiliki gadis pujaan? Dan pertanyaan seputar itu selalu Emily lontarkan pada putranya. Namun, Raveen tak pernah menunjukkan tanda-tanda jika dia sedang tertarik dengan lawan jenisnya dan kali ini, Raveen benar-benar mengejutkan Emily.
“Iya, Bunda.” Jawaban Raveen membuat Emily mengembangkan senyumnya.
“Bagus! Kenalkan pada kami, bawa dia ke mari!”
Deg.
Tentu saja tidak bisa. Raveen tidak mungkin membawa Lavinanya ke rumah. Selain karena kondisinya yang buta, Lavina adalah keturuan Dawson. Lavina akan berada dalam bahaya jika ayahnya sampai mengetahuinya. Ia harus mencari alasan yang masuk akal agar mereka, terutama Emily tidak menyudutkan Raveen untuk segera membawanya ke hadapan orang tuanya.
“Aku akan membawanya saat aku sudah mengenal dirinya dengan baik,” sahut Raveen.
“Ah ... jadi itu semacam cinta pada pandangan pertama?” Emily menebak jika Raveen belum mengenal gadis itu dengan baik.
Raveen mengangguk mengiyakan agar percakapan yang membuatnya sangat tidak nyaman ini segera selesai.
“Baiklah, Bunda tunggu sampai kau siap mengenalkannya pada kami.” Emily kemudian mengajak kedua laki-laki kesayangannya ke meja makan untuk sarapan. Saat Emily berjalan lebih dahulu dibandingkan mereka, Rael menahan Raveen.
“Temui ayah selesai kuliah, kita akan bicarakan soal gadismu itu nanti.”
Deg.
Fuck! Apa yang harus aku lakukan?!
Raveen benar-benar dalam kegundahan luar biasa.
***
Sepanjang kuliah, Raveen tidak bisa fokus mendengarkan. Kepalanya masih berkutat dengan permasalahan yang jalan keluarnya tak kunjung ditemukan. Ke mana otaknya yang terkenal dengan keencerannya? Hanya masalah begini dirinya tidak bisa menyelesaikannya. Menjengkelkan! Kenapa tidak semudah melenyapkan nyawa orang lain?
Kelas usai, Raveen segera meninggalkan kelas. Dirinya masih harus memutar otak untuk memperkirakan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh ayahnya setelah ini. Dia juga harus menyusun jawaban atas kemungkinan pertanyaan dari Rael.
“Hei, Raveen!” Dante yang juga baru usai kelas, langsung menghampiri Raveen yang tampak terburu-buru. “Ada apa dengamu?” tanya Dante. Dante memang selalu tahu bagaimana kondisi partnernya itu. Peka. Melihat wajah Raveen yang dingin, Dante tahu jika partnernya ini tengah mengalami masalah serius.
“Ck! Aku dalam masalah,” jawab Raveen singkat.
“Biar aku tebak, ini soal keturunan Dawson yang kau sembunyikan bukan?”
Raveen tak memberikan jawabannya. Tidak perlu dijawab. Dante sudah tahu dengan sangat jelas. Dante terkekeh.
“Astaga! Ini tidak baik. Jadi bagaimana? Ayahmu sudah tahu jika kau menyembunyikan milikmu itu?” Dante menyeringai. “Jadi kau akan berperang dengan ayahmu sendiri?” Lanjut Dante yang membuat Raveen semakin kesal. Sangat provokatif sekali anak yang usianya lebih muda darinya ini.
“Urusi dirimu sendiri, Dante! Bukankah kau juga sedang berperang dengan ayahmu?” Raveen membalasnya dengan sinis, membuat Dante melunturkan seringainya. Mimiknya menjadi dingin dan serius. Apa yang dilontarkan Raveen sangat menusuk. Dante tersindir.
“Hei, aku hanya ingin menawarkan bantuan padamu, Bodoh!” Dante membalas dan kini atensi Raveen penuh padanya.
“Apa?” tanya Raveen tanpa basa-basi. “Kau bisa membantu apa?” Raveen memang tengah membutuhkan jalan keluar. Dari pertanyaannya jelas Raveen berharap Dante bisa membantunya.
“Aku punya pengasuh kepercayaan Mama. Kau bisa meminjamnya untuk mejaga perempuan itu saat kau tidak ada. Yah, setidaknya ini bisa mengurangi kecurigaan ayahmu karena kau terlalu sering meninggalkan rumah.”
Briliant!
Raveen menyunggingkan senyumnya. Beban di kepalanya seakan langsung terangkat. Ini yang Raveen butuhkan. Seseorang yang bisa menjaga Lavina tanpa risiko ketahuan oleh ayahnya. Hal ini sebenarnya sudah dia pikirkan. Dia membutuhkan orang lain untuk mengawasi Lavina. Akan tetapi, ia tak mungkin mencari ‘orang’ untuk menjaga Lavina tanpa diketahui oleh ayahnya. Pergerakannya terbatas dan sekarang Dante benar-benar membantunya.
“Thanks ... aku akan membayarnya nanti.” Raveen tidak mungkin menolaknya. Dante terkekeh kemudian merangkul partner-nya itu.
“Tak perlu kau pikirkan. Setidaknya kau beruntung karena bebas mengekspresikan perasaanmu pada perempuanmu itu,” ucap Dante. Raveen mengerjab dan menoleh ke arah Dante.
Yah, bisa dibilang Raveen berada di posisi yang lebih aman dibandingkan Dante. Bukan hanya karena dirinya tidak seperti Dante—belum—yang harus berperang dengan ayahnya. Akan tetapi, tetap saja Raveen harus mempersiapkan kemungkinan terburuk jika harus bersitegang dengan pemimpin Landergee itu.
“Jangan sungkan meminta bantuanku, Bung.” Raveen menepuk punggung Dante. Dia tahu bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dante mengangguk.
Maka setelah percakapan singkat dengan rekannya, Raveen melajukan mobilnya menuju kantor ayahnya. Dirinya sudah lebih tenang dibandingkan tadi pagi. Kepercayaan dirinya mulai terbangun. Hal ini cukup sebagai amunisi untuk menghadapi ayahnya setelah ini.
Benar saja, setelah bertemu dengan sang ayah, Raveen dihujani berbagai macam pertanyaan seputar perempuan yang bersemayam di hatinya itu. Raveen bisa menjawab dengan baik. Setidaknya untuk kali ini dia bisa mengelabuhi ayahnya. Raveen tidak sepenuhnya berbohong. Beberapa potongan kejadian yang dia alami dengan Lavina, secara gamblang Raveen ceritakan pada Rael. Hanya saja beberapa part termasuk nama Lavina, tidak dia diutarakan pada sang ayah.
Usai dipersilakan pergi oleh Rael, Raveen langsung bertolak untuk menemui Dante. Mereka sudah sepakat untuk bertemu di suatu tempat untuk membawa pengasuh yang Dante janjikan pada Raveen. Benar saja, selanjutnya Raveen membawa seorang wanita paruh baya menuju tempat di mana dia menyembunyikan Lavina. Dia menerangkan semua macam tugas, perjanjian dan ancaman pada pengasuh yang bernama Maria itu.
Sampai di tempat persembunyiannya, Raveen segera berlari ke dalam rumah. Tak lupa ia menghidupkan lampu karena hari sudah mulai gelap. Sungguh Raveen terlalu lama meninggalkan Lavina. Mungkin terdengar aneh bagi psikopat seperti dirinya, namun rasa bersalah benar adanya telah bersarang di benaknya.
Laki-laki itu masuk ke dalam kamar dan menjumpai Lavina tengah meringkuk di balik selimut. Mengatur napas yang memburu sebelum berjalan perlahan mendekati Lavina. Beberapa saat lalu perempuan itu bergerak gusar. Meskipun memunggungi arah Raveen datang, Raveen tahu jika Lavina tidak sedang tidur.
“Lavina ... kau sudah tidur?” Raveen memanggilnya dengan Lembut. Hening tidak ada jawaban. Melihat Lavina seperti ini, Raveen tahu bahwa Lavina kesal padanya namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya saja, semua yang Raveen lakukan adalah untuk kebaikan gadis miliknya ini.
[]
Raveen menatap Lavina yang masih bergeming di atas tempat tidur. Dia benar-benar marah rupanya karena Raveen meninggalkannya terlalu lama. Raveen mendekat.“Lavina,” panggil Raveen lagi. Kali ini Raveen duduk di atas ranjang. Ia hendak menyentuh punggung Lavina sebelum ia mendengar isakan kecil. Raveen bergerak semakin mendekat pada Lavina lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.Lavina buru-buru menutupi wajahnya. Raveen menghela napas berat ketika Lavina seperti itu. Sangat jelas jika perempuan ini tidak ingin menunjukkan wajahnya pada Raveen. Sepertinya dirinya sedang ketakutan atau sedih dan mungkin—oh sudah pasti—juga marah. Marah dan kesal menjadi kondisi perasaan Lavina paling memungkinkan karena ia kembali mengingkari janjinya padanya.Dirinya memang tidak berpengalaman tentang bagaimana cara menghadapi wanita. Namun, bukan berarti dia sama sekali buta untuk memperlakukan wanita. Ayahnya adalah contoh terbaik yang bisa Raveen
Raveen menatap langit yang gelap di pagi hari. Medung. Tampaknya akan turun hujan. Cuacanya sangat tidak menyenangkan. Melihat pagi yang suram seperti ini, siapa yang bisa bersemangat? Sama seperti Raveen yang hatinya begitu kelabu.Bukan tanpa sebab dirinya murung. Lima menit yang lalu, ayahnya memintanya pergi ke Jerman segera untuk menyelesaikan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang Rael kelola. Bukannya dia tidak ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Lavina? Setengah hari saja Raveen tak bertemu dengannya, bisa membuatnya gila, apa lagi jika harus pergi jauh dari sisinya?Kepalanya terasa berat. Pikirannya begitu terhimpit sehingga rasanya gelarnya sebagai seorang jenius hilang dihisap situasi yang menyebalkan. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada ide brilian yang muncul di kepalanya. Bagaimana dia bisa pergi tanpa mengkhawatirkan Lavina? Lagi pula ini bukan hanya soal hati tapi juga keselamatan perempuan itu.“Apa yang kau pikirkan Raveen?
Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis kelua
Dunia runtuh, dua kata itu yang kini menghantam Raveen. Sama seperti badai yang tiba-tiba datang menerjang lembah bunga yang begitu indah. Luluh lantah. Tidak berbekas. Menerbangkan semua kelopak. Tidak indah lagi. Begitulah gambaran Raveen sekarang. Dirinya diam seribu bahasa. Ia tak menyangka pertanyaan itu lebih cepat dilayangkan oleh sang ayah. Sekarang ayahnya tahu jika dialah yang telah menyembunyikan Lavina. Dia tidak menuntaskan misi dari ayahnya. Dia mengkhianati Rael. Dia tidak membunuh Lavina dan memilih untuk menyelamatkannya. Sekarang dia harus apa?“Apa maksud Ayah?” Raveen mencoba berkilah namun malah satu tamparan keras yang ia dapat.PLAK.Perih dan panas yang terasa di pipinya bisa menggambarkan bagaimana murkanya Rael padanya.“APAKAH KAU SEDANG BERUSAHA MENGKHIANATIKU?!” bentak sang ayah. Amarahnya pecah. Wajahnya sudah merah padam. Meledak. Ingin menghancurkan pemuda di depannya ini jika tidak mengingat bahwa R
Dua pria tampan Landergee telah pulang. Urusannya di Jerman dihentikan sementara untuk mencari keberadaan Lavina. Sebagai seorang ayah, Rael tidak mungkin mengungkapkan pada koleganya bahwa putranyalah yang telah menyembunyikan perempuan itu. Jika ingin menghukum Raveen, Rael akan melakukannya sendiri.Tidak langsung menuju rumah, dari bandara mereka pergi ke sebuah tempat di tengah hutan. Keberadaan Lavina sudah diketahui. Selama perjalanan, kedua laki-laki itu saling diam. Raveen tidak bisa melakukan apa pun. Dalam diam, dia berharap Emily sudah melakukan apa yang telah dia janjikan. Raveen juga Menyusun rencana di kelapanya sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi setelah ini.Tak lama, mobil berhenti di sebuah halaman rumah kayu di tengah hutan. Rael dan anak buahnya masuk ke rumah itu untuk membawa Lavina. Akan tetapi, mereka tidak menemukan keberadaan siapa pun di rumah itu. Lagi-lagi Rael menahan amarahnya. Merasa dibodohi. Dia tengah ditipu dengan per
Lavina bergeming. Duduk diam di ranjang sembari menerawang entah ke mana. Meskipun tampak membisu, di kepalanya begitu ribut karena memikirkan Raveen. Hatinya bergemuruh, meraung-raung sebat dirinya terlampau merindukan Raveen. Ingin berjumpa, memeluk dan menghirup aroma khas yang berhasil membuatnya tenang dari laki-laki itu.Sayang sekali perkataan Emily membuatnya semakin dirundung pilu. Rindu hanya akan menjadi rindu. Sudah merenung dan paham apa yang wanita itu maksud. Sudah jelas jika dirinya tidak diizinkan untuk menemui Raveen. Dia ternyata yang menjadi sumber kekacauan. Baru tahu setelah Emily mengatakannya. Apakah Lavina telah membuat masalah yang begitu besar pada Raveen? Sebesar itukah kesalahan Lavina sehingga ia harus dipaksa hidup tanpa laki-laki itu?Akan tetapi, bukankah Lavina adalah milik Raveen dan Raveen adalah pemiliknya? Lalu bagaimana Lavina hidup tanpa dimiliki oleh pemiliknya? Bagaimana Raveen hidup tanpa memiliki miliknya?Hati gadis i
Emily menahan amarah. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghubungi Raveen. Putranya itu juga tidak beriktikad untuk menemuinya. Putranya benar-benar sudah berubah. Sejak kapan Raveen menjadi pembangkang seperti ini?Mengapa Raveen tak mengerti bagaimana cemasnya Emily padanya? Emily menyembunyikan Lavina dan memisahkan mereka, benar-benar untuk kebaikan mereka berdua. Wanita itu tahu, baik Rael ataupun Raveen sama-sama keras kepala. Apakah Raveen tak tahu jika Rael akan tetap membunuh Lavina sedalam apa pun cinta Raveen padanya? Dan itu yang Emily hindari. Raveen tentu tidak akan membiarkannya ayahnya melakukan itu bukan? Yang ada akhirnya kedua laki-laki yang dicintainya akan saling menghunuskan pedang. Sungguh Emily tak akan memihak siapa pun. Kedua laki-laki itu adalah orang yang paling Emily cintai. Dia tak ingin kehilangan keduanya.Sayangnya Emily tidak bisa berbuat apa-apa ketika Raveen merajuk. Dia tidak akan mau pulang jika Emily tidak memberi tahu di mana
BRAKSuara keras khas barang yang dipukul memekakkan seluruh dinding rumah itu. Tidak ada yang bisa menghentikannya dari merusak barang yang ada di dalamnya untuk menyalurkan kemarahan. Tidak bisa dibendung. Tidak bisa dihadang. Dia teramat marah karena tidak berhasil menemukan Lavinanya.Matanya menatap nyalang pada dua orang yang sedari tadi berdiri sembari menatap miris pada tuan mereka. Terutama pada wanita yang sudah terlampau jauh usianya dengan Raveen. Padahal ia telah mempercayakan Lavina padanya. Tapi dia gagal menjaga nonanya.“DI MANA LAVINA!?”Dibandingkan bertanya, Raveen lebih terlihat sedang menggertak kedua orang tua itu. Membentak sesukanya. Memaksa mereka untuk mengatakan di mana Lavina atau mereka akan mendapatkan hal yang begitu buruk, hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Keduanya tertunduk dalam. Tidak berani bahkan hanya untuk sekedar menatap Raveen, apalagi mengeluarkan suara, mereka tak mampu. Takut
“Bisakah kau tersenyum Altar? Tidak baik menunjukkan wajah cemberutmu pada teman-temanmu.” Lavina mengusap pipi Altar yang menggembung.Altar Landergee sudah menginjak usia lima tahun pagi ini. Mansion megah mereka sudah dihiasi banyak sekali balon dan semua pernak pernik ulang tahun. Seharusnya menjadi momen yang menyenangkan untuk Altar. Semua yang disiapkan, Lavina pastikan adalah semua yang terbaik dan yang paling disukai oleh putranya itu.“Ailee tidak datang!”Akhirnya Lavina tahu alasannya. Meskipun hadiah sudah menumpuk tinggi, tidak bisa menyembuhkan kesedihan Altar karena teman playgroup-nya yang bernama Ailee tidak datang. Gadis kecil itu memang telah menjadi teman favorit Altar.
Lavina spontan memegang perutnya yang sudah besar ketika melihat berita yang ada di televisi. Jane dikabarkan bunuh diri, melompat dari atas gedung media milik orang tuanya. Tiba-tiba firasatnya buruk. Apakah itu perbuatan Raveen? Dia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya, tapi perasaannya benar-benar tidak nyaman, seolah mengatakan bahwa Raveen adalah dalang di balik kematian Jane. Apalagi setelah pernikahan mereka yang hancur, hidup Lavina lebih tenang. Tidak ada kejadian apapun selain pemberitaan yang terlalu berlebihan tentang keburukan Jane yang telah menghancurkan rumah tangga Raveen dan Lavina. Memang sebelumnya itu adalah bagian dari rencana Lavina, tapi kali ini beritanya sangat berlebihan. Bahkan seperti mengulik semua keburukan Jane dan orang tuanya. Rumornya mereka terlibat kasus korupsi. Pamornya jatuh dan per
Semenjak hamil, Lavina berubah. Terutama pemikirannya. Mungkin memang masih ada rasa khawatir tentang bagaimana dia harus mengasuh anak, namun dia akan berusaha. Seiring dengan bertambahnya usia kandungan Lavina, ia merasa sangat terikat dengan sang bayi. Ada jalinan kasih yang berbeda, yang tidak bisa Lavina deskripsikan. Jika ditilik secara sains, itu wajar karena saat hamil, hormon oksitosin yang katanya adalah hormon cinta, meningkat. Itulah yang menyebabkan cinta ibu pada bayinya semakin kuat.Mungkin di awal masih belum begitu kentara. Hanya sayang saja. Belum begitu benar-benar mencintai. Hanya menyadari bahwa dia akan menjadi ibu dan harus mengasuh bayinya. Tapi kejadian tragis itu membuat Lavina menyadari betapa ia sangat ketakutan. Ketakutan yang sama seperti yang dia alami saat lampau.Apalagi melihat darah yang merembes di gaun putih yang dia pakai.
Rencana Lavina tampak berjalan dengan sangat baik. Sebuah persiapan untuk pernikahan megah telah selesai dilakukan. Hanya perlu menambah hal-hal kecil saja. Sisanya, gedung yang telah didekorasi sedemikian rupa siap untuk digunakan. Jujur saja, Lavina sedikit iri karena pesta pernikahan ini digelar lebih megah daripada pernikahan Lavina. Tentu saja karena Jane mendapatkan banyak kucuran dana dari banyak pihak.“Are you living in Disney Land or something?” tanya Lavina yang tampak takjub.Di sebelahnya Jane hanya tersenyum remeh. Terang-terangan meledek Lavina. Dia tengah menunjukkan superioritasnya karena tahu bahwa pesta pernikahannya lebih megah dibandingkan siapapun.“Tentu saja. Aku ratu di semesta Raveen. Sudah seharusnya seperti itu.”Lavina
Lavina dan Raveen keluar dari gedung perusahaan Dawson. Di sana sudah ada banyak wartawan yang menunggu. Mereka sengaja keluar dari pintu utama. Pura-pura terkejut dengan kehadiran mereka.“Bagaimana tanggapan Anda dengan skandal Anda?”“Apakah benar bayi yang dikandung Jane adalah anak Anda?”“Nona Lavina? Bagaimana kondisi kandungan Anda? Apakah Anda baik-baik saja?”“Bagaimana tanggapan Anda soal skandal yang menimpa suami Anda?”Dan banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para reporter itu. Akan tetapi, baik Raveen dan Lavina hanya bungkam. Belum saatnya mereka membuka suara. Justru diamnya mereka memang sengaja dilakukan agar semakin menciptakan banyak asumsi publik. Akan l
Berita tentang Jane yang mengandung anak Raveen semakin merebak. Bahkan gosip itu membuat harga saham perusahaan Landergee turun. Beberapa pihak mulai sedikit panik dan meminta Raveen untuk melakukan tindakan lebih lanjut.Musuh dalam selimut itu memang ada. apa yang Lavina katakan sebelumnya benar, beberapa orang terlihat menjadi pihak oposisi. Saat rapat darurat dilakukan oleh semua orang pemegang saham, Raveen dipaksa bertanggung jawab. Jane harus segera dinikahi oleh Raveen atau citra Landergee akan semakin buruk.“Kalian memintaku untuk menikahinya? Kenapa tidak memaksaku untuk melakukan tes DNA saja pada bayi itu? Apakah dia anakku?” Raveen melempar pertanyaan retoris ke dalam forum.“Bagaimana bisa itu bukan anakmu, Tuan Raveen? Beberapa kali aku melihatmu dengan wanita itu. Bahkan kau menga
“Sayang sekali, sepertinya kita harus menundanya,” ujar Lavina. Pura-pura kecewa karena laboratorium rumah sakit tidak bisa beroperasi. Padahal kenyataannya kejadian ini adalah pancingan saja. Sudah direncanakan oleh Lavina dan Raveen hanya mengikuti alur permainan istrinya.Raveen merangkul Lavina, “Kita terpaksa harus pulang,” Raveen juga pura-pura kecewa.“Kau benar. Kita harus pulang. Lagipula aku sudah lelah, bayi kita perlu istirahat.” Jane menimbrung. Dia tidak terlihat kecewa. Wajahnya yang sebelumnya panik, berubah menjadi cerah. Seolah masalah yang menimpanya bisa diselesaikan dengan mudah.Akan tetapi, justru ini membuat dugaan Lavina semakin benar. Wanita itu memang berbohong soal anak yang sedang dikandungnya. Hanya tinggal memikirkan bagaimana membuat wanita ini terp
Raveen masih tidak mengerti apa yang Lavina rencanakan. Istrinya itu sama sekali tidak terlihat marah. Bahkan memberikan kursi depannya pada wanita menjijikkan itu. Yang hanya bisa Raveen lakukan adalah mempercayai Lavina.Meskipun begitu, Raveen tidak diam begitu saja. Dia meminta anak buahnya untuk menyelidiki wanita itu. Raveen bisa memastikan bahwa bayi yang dikandungnya bukanlah anak Raveen. Raveen memang pernah membawa wanita itu ke rumah dan ke pesta, sering bertemu tapi tidak untuk melakukan hubungan seksual.Sebenarnya Raveen ingin menyingkirkan wanita itu, tapi dia harus menahan diri karena mempercayai Lavina akan menyelesaikan masalah ini. Raveen menduga ada seseorang di balik semua ini. Wanita itu terlalu berani datang ke rumah dan berbohong bahwa dia hamil anak Raveen kecuali memang ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
Di akhir pekan, Lavina dan Raveen akhirnya meninggalkan apartemen dan pindah ke mansion baru mereka. Lavina takjub sekali ketika melihat bagunan yang begitu megah di depannya. Halamannya sangat luas dengan beberapa tanaman, membuat suasana rumah lebih asri. Apalagi bagunan itu dibangun di tengah hutan, membuat kesan damai. Sejuk sekali. Lavina sangat suka. Seperti … mansion ini begitu privat hanya untuk mereka berdua.“Kau suka?” tanya Raveen.Lavina yang masih takjub mengangguk mantap. Siapa yang tidak akan menyukai mansion ini? “Cantik sekali. Aku benar-benar menyukainya.” Netra Lavina tak bisa lepas dari mansion itu. Menyisir segala sisi, mengamati segala lekukan mansion itu.“Ini seperti lukisan!” imbuh Lavina.Pria yang ter