Ia merasa detak jantungnya bisa terdengar dari jarak 5 meter saking kencangnya. Nacita kini semakin mendekat ke arahnya. Namun, setelah sampai di depan Stevia, gadis itu malah segera masuk tanpa berkata apa-apa. Stevia kecewa, baginya lebih baik mendengar celotehan atau bahkan kemarahan Nacita ketimbang dicuekin begini. Gadis itu seperti kehilangan pita suara saat bertemu dengan Stevia.
"Nacita, sapa temanmu dulu! Kamu seperti tidak punya sopan-santun."
Yang ditegur malah duduk santai di kursi seolah tidak mendengar ucapan neneknya.
"Maaf ya, nak Stevia! Nacita memang sering begjtu."
"Nggak apa-apa, nek. Stevia pulang dulu ya. Hari sudah mulai gelap."
Jovian ternyata belum pulang, ia masih berdiri di dekat sepeda motornya. Saat Stevia hendak mengayuh sepedanya, pemuda itu mengeluarkan suara.
"Hati-hati ya!"
Stevia mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa ia merasa senang mendengar sebuah kalimat pendek yang biasa-biasa saja.
***
Jovian sudah ada di dalam rumah dan kini asyik mengunyah keripik singkong.
"Ngapain nanya sama nenek? Harusnya kamu tanya sama dia tadi." Neneknya tak mau kalah.
"Itu sih bukan jawaban, nek. Lagian dia tahu darimana aku tinggal di sini?"
"Sok jual mahal sih kamu. Pura-pura nggak peduli padahal pertanyaannya banyak. Dasar aneh!" Jovian menimpali tapi mata fokus melihat ke kaleng kerupuk.
Nacita menarik benda yang sejak tadi diamati Jovian. Tiba-tiba Jovian melirik ke arahnya.
"Kembaliin nggak? Pasti tersinggung sama kata-kataku tadi. Tapi bener kan?"
Setelah aksi rebut-rebutan kaleng kerupuk yang dimenangkan oleh Jovian, Nek Miriam, neneknya Nacita akhirnya berbicara.
"Sikap cuekmu itu yang malah bikin orang jadi penasaran sama kamu, Ta. Waktu kalian pertama kali bertemu, kamu nggak jawab pertanyaan Stevia tentang siapa namamu. Jadinya dia mencari tahu."
"Betul itu, nek. Andaikan aku jadi Stevia sudah pasti aku nggak mau lihat muka Nacita lagi. Udah nggak cantik, sok pula."
Jovian menghindar karena Nacita ingin mencubitnya. Meski begitu tetap kena juga. Jovian meringis,
"Tambah satu lagi cubitannya ekstra pedas. Itu tangan apa tang? Ekstrem banget."
Jovian kembali menghindar dengan bangkit dari kursinya sebelum dipukul oleh Nacita.
"Mungkin kamu harus bersikap ramah Nat. Stevia kelihatannya tulus mau berteman denganmu."
"Iya, Ta. Nenek juga berharap kamu punya teman selain Jovian. Dan doa nenek dijawab dengan hadirnya Stevia. Kamu mau jutek terus sama orang?"
"Aku bikin adonan donat dulu ya."
Lalu, Nacita kabur ke dapur tanpa memedulikan ucapan nenek dan sahabatnya itu. Jovian dan Nenek Miriam hanaya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Nacita.
***
Jovian dan Nacita segera menoleh ke sumber suara. Tentu saja itu suara Stevia. Siapa lagi yang berani dan ramah pada mereka berdua. Hanya saat diperlukan saja Nacita dan Jovian mau berkomunikasi dengan siswa-siswi lain di sekolah ini.
"Ya habis nongkrong di mana lagi. Nggak ada jembatan layang di sekolah ini."
Stevia tertawa mendengar ucapan Jovian, sedangkan Nacita malah melotot. Baginya kata-kata Jovian tadi bukannya lucu tapi malah garing.
"Kenapa sih kamu mau dekat-dekat sama kami berdua? Teman sekelas kami aja ogah berhubungan dengan kami."
Stevia malah senang dengan pertanyaan aneh yang Nacita lontarkan. Ketimbang hari minggu lalu, ia dicuekin seolah hanya angin lalu.
"Aku mau jadi sahabat kalian berdua. Kira-kira apa syaratnya?"
"Kayak mau ngelamar kerja aja." kata Jovian sambil tertawa. Stevia juga ikut tertawa sembari duduk di samping Nacita. Lokasinya sama saat pertama kali Stevia menyapa mereka berdua dan di jam istirahat juga.
"Nggak ada syaratnya tapi kamu nggak boleh gabung sama kami."
"Jadi anggotanya cuma kalian berdua aja, Na? Pelit amat!"
Nacita mengangguk tapi kemudian dia berkata, "Namaku dipanggil sesuka hati ya? Nenek panggil aku, Ta. Ojon panggil aku Nat. Kamu, Na. Dan ayahku, Ci. Luar biasa!"
"Daripada dipanggil Da."
Sontak Stevia dan Nacita memandang ke arah Jovian. Dengan tatapan maksud-kamu-da-itu-apa.
"Da kepanjangan dari kuda. Rambutmu kan sering dikuncir kuda, lho."
Nacita langsung menyubit Jovian dengan sekuat tenaga.
"KDRT nih!" seru Jovian. Stevia mengernyit, kekerasan dalam rumah tangga?
"Heh maksudmu apa?"
"Kekerasan di ruang terbuka."
Lalu mereka bertiga tertawa. Setelah itu ada jeda beberapa detik.
"Kalian lucu ya. Aku nggak punya teman yang bisa diajak bercanda kayak gitu. Mereka cuma mikirin berat badan, lingkar pinggang, wajah mulus, rambut bagus, dan hal visual soal tubuh lainnya."
"Ternyata cewek cantik punya masalah juga ya?"
Perkataan Nacita terdengar tulus walau kelihatannya seperti menghina.
"Makasih sudah bilang aku cantik. Namanya manusia, masalahnya beda-beda. Walau seringnya terkesan remeh. Tapi bisa bikin mood terjun bebas."
"Aku nggak ngerti kenapa postur tubuh dan berat badan ideal selalu dipermasalahkan. Padahal kan metabolisme orang beda-beda. Meski yang berat badannya berlebihan nggak bagus juga sih buat kesehatan."
Stevia menatap Nacita dengan takjub bukan karena perkataannya tapi dari banyaknya kalimat yang ia ucapkan. Ternyata gadis itu bisa ngomong panjang lebar juga.
"Ya itu masih jadi masalahku. Aku kegendutan deh kayaknya."
"Emang berat badanmu berapa?" tanya Jovian yang sejak tadi hanya menyimak.
"Beratku 55 kg. Tinggiku 165 cm."
"Itu kan ideal!" seru Nacita.
"Tapi aku maunya cuma 50 kg."
"Menurut yang aku baca dan tonton penyebab kita memiliki berat badan adalah karena Bumi memiliki gravitasi. Gravitasi planet membuat semua makhluk hidup dan benda bisa memiliki berat. Jadi kalau kita di Venus nih yang punya gravitasi sebesar 0.91 berat badan kita bisa beda sama di bumi. Misalnya kita punya berat 50 kg, maka berat tubuh kita akan turun menjadi 45,3 kg di sana. Jadi saranku kamu pindah ke Venus aja biar bisa jadi 50 kg."
Stevia dan Jovian hanya bisa tertawa. Sungguh sebuah saran yang aneh.
"Profesor fisika baru saja mengucaokan teorinya." ejek Jovian.
"Omong-omong berat badanmu berapa, Na?"
"Nggak tahu. Terakhir kali nimbang berat badan pas SD."
"Gimana kalau syarat aku gabung sama kalian itu dengan cara nebak berat dan tinggi badan kamu, Nacita?"
Kini giliran Nacita dan Jovian yang tertawa.
***
Nacita duduk di bangku depan rumahnya bersama Stevia. Sebuah timbangan berat badan ada di dekat kaki kursi di sebelah posisi Stevia duduk. Sebuah pengukur tinggi badan juga ada di sebelah Stevia. Stevia sengaja membawanya dari rumah. Oleh karena itu dia minta diantarkan supir keluarganya ke rumah Nacita.
Mereka sedang menunggu Jovian yang belum juga muncul. Setelah menunggu lima belas menit, Jovian akhirnya tiba.
"Santai amat. Lagi nungguin siapa sih?" tanya Jovian pura-pura tidak tahu.
"Nunggu hujan duit dari langit." ucap Nacita kesal. "Darimana aja sih, lama amat? Nungguin pejabat juga nggak begini lamanya."
Jovian cuma cengengesan. "Gimana nih. Kita mulai aja ya? Aku tebak Nacita tingginya 160 cm. Beratnya 50 kg." ucap Jovian mantap.
"Menurutku tingginya 163 cm. Beratnya 53 kg." Stevia yakin sekali dengan jawabannya.
Mereka pun menyuruh Nacita menimbang berat badannya dan mengukur tingginya. Hasilnya, tingginya 162 cm dan beratnya 53 kg. Stevia bersorak karena tebakannya paling mendekati.
"Nebak gini aja kamu nggak bisa. Dasar Ojon!" seru Nacita.
"Kan nggak semudah nebak isi buah manggis. Beda tipis juga." Jovian membela diri karena tidak mau disalahkan.
"Berarti aku boleh jadi teman kalian kan? Senyum dong, Nacita!"
Mereka bertiga akhirnya tertawa.
"Ya okelah. Walaupun lawanmu sebenarnya tidak seimbang ya." kata Nacita meledek Jovian.
Jovian pura-pura tidak mendengar. Nacita lalu mengajak mereka berdua membuat donat untuk dijual esok hari.
Tak disangka ada yang memperhatikan mereka dari jauh. Stevia juga lupa membawa telepon genggam karena buru-buru untuk berangkat ke rumah Nacita. Sebenarnya tidak masalah, hanya saja Stevia lupa waktu sementara malam sudah mulai menyapa.
"Jadi aku harus nunggu setengah jam ya, pak? Oke. Terima kasih!"Stevia menutup telepon dengan lemas. Sebuah pemberitahuan yang tidak menyenangkan, ia tidak bisa langsung dijemput karena ada masalah pada mobilnya. Sekolah sudah mulai sepi karena bel terakhir berbunyi sepuluh menit yang lalu.Stevia kini duduk di kursi yang dekat dengan tempat parkir. Enggan rasanya menuju kantin, toh ia tidak lapar ataupun haus. Hanya saja seperti yang semua orang rasakan, menunggu itu benar-benar tidak mengasyikkan. Solusi terbaik adalah berselancar di internet. Tiba-tiba ada sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah tidak asing lagi baginya."Kenapa belum pulang?"Ternyata Jovian. Pemuda itu kini duduk di sebelahnya."Mobil jemputanku lagi ada masalah jadi mesti ke bengkel dulu. Omong-omong Nacita mana?""Kami udah kayak kembar siam ya? Kalau pisah langsung pada ditanyain orang-orang."
Rekaman telepon itu sudah dimatikan namun Nacita masih tetap bungkam. Ia tampak menimbang-nimbang dan menganalisis apakah kata-kata Stevia benar."Direspon kek. Ini malah diam aja."Nacita menoleh ke arah Jovian lalu tersenyum."Dijawab woi bukan disuruh senyum!""Berisik amat sih! Apa benar gitu ya, Ojon?""Kenapa? Ragu? Kayaknya Stevia benar deh ini ulah Leonard.""Tapi kenapa dia gitu ya?""Naksir kali sama Stevia. Kamu nggak dengar tadi di rekaman itu dia bilang mereka sering komunikasi lewat media sosial?""Naksir kok nggak bilang langsung ya? Aneh! Biasanya cewek yang susah dimengerti. Ini malah kebalikannya.""Mungkin dia berjiwa cewek. Hahaha ... "Nacita ikut tertawa mendengar ucapan Jovian. Tiba-tiba dua botol minuman dingin diletakkan di dekat kursi mereka."Minum dulu, jangan ngobrol-ngobrol aja!""Hai Stev! Mantap banget nih, mumpung lagi panas kayaknya sore nanti ujan. Makasih ya!" Jovian lan
Jovian baru saja membeli tiga botol air mineral dingin untuk Stevia, Nacita, dan dirinya sendiri. Cuaca sore ini memang cukup panas. Kini ia sudah tiba di tempat mereka berkumpul. Kedua gadis itu sedang merebahkan diri di atas tikar piknik yang dibawa oleh Stevia dari rumahnya. Di bawah sebatang pohon yang rimbun. Jovian mengambil handphonenya dari saku celananya dan segera memotret mereka. Hasilnya cukup bagus karena kedua gadis itu sepertinya tidak sadar sedang difoto."Enak banget ya rebahan di bawah pohon? Sedangkan aku harus beli minuman." kata Jovian pada mereka yang kini sudah mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk."Nggak ikhlas banget sih!" seru Nacita.Stevia menerima sebotol minuman sambil mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum menyaksikan perdebatan kedua sahabat itu."Oh ya aku tadi ambil foto kalian yang lagi rebahan. Bagus lho!"Nacita dan Stevia langsung melirik ke layar handphone Jovian."Betul banget. Ini sih keren!" ucap S
Tiba di sekolah lebih awal adalah hal yang bagus. Pikiran jauh lebih siap untuk mengikuti pelajaran yang akan dimulai. Bagi Jovian ada alasan lain lagi. Tentu saja agar ia bisa keluar rumah lebih dulu ketimbang papanya. Ia tidak ingin momen awkward terjadi saat bersama ibu tirinya jika papanya lebih dulu pergi.Jovian tiba lima belas menit sebelum bel apel pagi berbunyi. Saat ia baru selesai memarkirkan sepeda motornya, ia melihat seorang siswi berjalan cepat ke arahnya. Jovian menebak gadis berbando kuning itu sama-sama kelas X seperti dirinya. Mungkin salah satu murid kelas sebelah. Gadis itu terengah-engah ketika tiba di depan Jovian."Ada kabar buruk Jo. Tentang Nacita." kata gadis itu dengan napas yang masih tidak teratur.Jovian tentu saja kaget."Kabar buruk apa?" tanya Jovian tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya."Sebelum aku kasih tahu, follback instagramku dulu dong!"Saat itu Jovian ingin segera lari meninggalkan siswi
Nacita memandangi handphone tua miliknya dengan perasaan bimbang. Sejak insiden donatnya dirampas dan diinjak-injak hingga saat ini, ia belum juga berbicara dengan Stevia. Gadis itu sepertinya benar-benar marah atas ucapannya yang tanpa dipikir waktu itu. Biasanya Stevia-lah yang terlebih dahulu memulai pembicaraan. Namun, kali ini sepertinya pemilik wajah dengan lesung pipi itu sudah bosan.Nacita malu sekaligus ragu. Sudah lama ia tidak punya sahabat selain Jovian. Dan bisa dibilang ia tidak pernah saling mendiamkan walaupun mereka sering sekali berdebat dan mengejek satu sama lain. Akhirnya ia bulatkan tekad sebelum masalahnya menjadi semakin rumit.Ia menekan tombol panggilan setelah nama Stevia muncul di kontaknya. Nacita mengembuskan napas lega karena terdengar suara dering dari handphonenya. Itu berarti gadis itu tidak memblokir nomornya."Halo!""Halo Stevia. Lagi sibuk?""Enggak, kok.""Boleh bicara sebentar?""Boleh. Mau ngomong ap
"Hahaha... Hahaha... "Itu suara tawa Nacita dan Jovian, lain hal dengan Stevia yang cemberut melihat reaksi mereka."Kalian ngetawain aku ya?" tanyanya kesal."Bukan. Kami ngetawain kakak-kakak kelas itu." jawab Jovian spontan karena tidak enak melihat ekspresi Stevia yang membuat hati iba.Beberapa menit yang lalu Stevia baru saja menceritakan apa yang ia alami kemarin saat istirahat pertama di sekolah. Siswi-siswi yang mendatanginya dengan wajah penuh amarah itu sebenarnya tidak semuanya punya urusan dengan dia. Hanya satu di antara mereka, Stevia tidak tahu namanya karena ia tidak sempat melihat papan nama di seragam sekolah gadis itu.Ia marah pada Stevia karena tidak suka postingan instagram Stevia disukai dan dikomentari oleh kekasihnya. Ia juga bilang ia muak dengan Stevia yang sok cantik di sekolah padahal masih kelas X. Tentu saja kenyataannya tidak seperti itu. Stevia merasa dirinya biasa-biasa saja, ia tidak pernah merasa lebih cantik daripa
"Aku suka dengan kondisi rumahmu, Na. Walaupun sederhana tapi bersih dan rapi," puji Stevia.Saat ini ia sedang serius memerhatikan Nacita yang sedang mengambil pepaya muda dengan galah."Makasih, Stev. Karena kemiskinan tidak bermusuhan dengan kebersihan," sahut Nacita. Ia sudah berhasil menjatuhkan sebuah pepaya. Getahnya masih menjalir dari tangkai buah."Keren juga kata-katamu, Na! Tapi aku nggak bilang kamu miskin, kok," terang Stevia. Ia tidak ingin sahabatnya itu merasa direndahkan dengan kata-katanya. Sebab yang ia maksud adalah kekagumannya pada kerapian rumah ini."Ya, aku tahu, kok. Kamu nggak mengejek, tapi kami memang miskin. Itulah kebenarannya. Omong-omong soal istilah tadi, itu sebenarnya peribahasa Spanyol. Bagus kan?" ucap Nacita sembari meletakkan galah dan mengambil pepaya yang berhasil ia dapatkan."Bagus. Aku suka dengan kalimat-kalimat yang tiba-tiba kamu ucapkan. Cewek yang dikenal jutek ini ternyata bisa mengucapkan kosakata yan
Pagi ini mentari bersinar kembali. Meski kita tidak pernah berpikir apakah matahari akan muncul atau tidak di esok hari. Bagi Jovian bintang kerdil ini adalah simbol kesetiaan dan keteraturan. Bahkan juga lambang dari keadilan karena tidak pernah pilih kasih. Baik orang jahat atau baik bisa menikmati hangatnya tanpa perlu membayar tagihan setiap bulan. Ia tidak pernah terlambat atau lupa akan tugasnya.Dulu Jovian pernah berharap saat tertidur di malam hati, esoknya ia tidak usah bangun lagi, tidak perlu melihat matahari, atau menghirup udara pagi. Ia bosan dengan kehidupan beserta penderitaannya. Namun, belakangan ia mengubah cara berpikirnya. Dan Nacita adalah orang yang berjasa menyadarkannya. Karena gadis itu menjalani kehidupan yang lebih sulit daripada dirinya.Pagi ini ia memulai hari dengan pikiran kalut. Pembicaraan mereka di ruang makan kemarin malam membuat ia takut. Terlebih yang bercerita adalah ibu tirinya. Sebenarnya itu berita bagus, tapi rasanya ia tidak
Stevia terlihat duduk santai di kursi kayu dengan Leonard di sebuah ruangan kecil yang terpisah dengan cafe. Di depan bangunan kecil ini ada sebuah kolam ikan berukuran kecil yang bisa dilihat dari dalam karena ruangan ini tidak sepenuhnya tertutup. Stevia tampak sangat senang dengan kehadiran Nacita dan Jovian."Kamu nggak diculik, Stev?" tanya Jovian sambil memastikan kalau tangan Stevia tidak terikat."Seperti yang kamu lihat aku baik-baik saja. Lucu banget ngeliat ekspresi Nacita yang khawatir banget aku diculik. Keliatan banget dia sayang sama aku," jawab Stevia sambil tertawa."Jadi kami ditipu? Ojon, ayo kita pulang!" kata Navita sambil menarik lengan Jovian."Eh tunggu dulu! Kalian udah baikan ya?" tanya Stevia.Nacita langsung melepaskan genggaman tangannya dan tampak malu karena ia sadar dia dan Jovian sudah lama tidak akrab."Aduh... Kamu nggemesin banget dengan raut muka kayak gitu, Na," tambah Stevia.Muka Nacita berubah cemberu
Jovian turun dari lantai dua menuju ke arah dapur. Ia ingin mengambil cemilan untuk menemaninya membaca buku. Saat hendak sampai ke tujuan, ia mendengar ibu tirinya sedang mengobrol dengan seseorang, tapi ia yakin itu bukan Mbak Evi. Ternyata tebakan benar. Namun, ia tak menyangka yang sedang ada di sana adalah Stevia.Ia langsung mengubah haluan menuju ruang tengah, tapi ada yang sadar dengan tingkahnya. Tante Clara yang sejak beberapa hari yang lalu dipanggilnya mama itu, memintanya untuk bergabung bersama mereka.Stevia memamerkan senyumannya tampak bahagia dan seolah tidak sedang ada masalah dengan dirinya."Boleh minta waktumu sebentar, Jo? Ada yang mau aku bicarakan," ucap Stevia."Boleh.""Kamu mau Tante Clara dengar apa yang kita bicarakan?"Jovian melirik ke arah Stevia yang sedang serius, sedangkan mamanya hanya tersenyum.***Mereka kini sudah ada di balkon lantai dua kediaman Jovian. Keputusan Jovian
Gadis itu kelihatannya akan menuju ke mejanya. Leonard merasa senang sekaligus heran. Mungkin saja gadis itu akan marah kepadanya. Dan sejak kejadian video youtube berisi masa lalu Jovian itu, Leonard bisa melihat kalau Stevia memang menyimpan rasa marah kepadanya. Whatsappnya diblokir sehingga tidak bisa mengirim chat kepada gadis itu, begitu pula dengan instagramnya.Leonard merasa bersalah karena tahu akibatnya akan seperti ini. Ia pikir hanya Jovian yang akan berhenti berteman dengan Stevia tapi ternyata ia ikut kena akibatnya. Belum lagi ia sangat sedih sekaligus kecewa karena minggu lalu Stevia membagikan hasil masakannya yaitu matcha cookies ke teman-teman sekelas tapi hanya ia yang tidak kebagian. Kelihatan sekali kalau Stevia memang sudah menganggapnya tidak ada. Dan Leonard hari ini siap menerima apa pun yang akan Stevia katakan."Selamat ya Leonard tujuanmu sukses bahkan memberikan efek ganda. Persahabatan kami retak dan mungkin minggu depan aku sudah pindah s
Waktu ibarat kuda liar, ia berlari begitu cepat tanpa kita sadari. Dan hari ini sudah lebih sebulan berlalu sejak insiden video memasak Steviana yang disabotase oleh Leonard. Suatu hal yang tidak pernah disangka, tapi beginilah akhirnya, hubungan Jovian, Nacita, dan Stevia tampaknya tidak bisa diperbaiki lagi.Nacita memutuskan sibuk belajar bersama Kak Kayla yang juga menang olimpiade matematika. Terkadang sepulang sekolah ia membantu ibunya berjualan di kedai makan sederhana miliknya. Hari-harinya berjalan hanya rutinitas saja tidak ada kejutan dan keceriaan sewaktu ia bersama Jovian dan juga Stevia.Semua bisa dilewati tapi tidak begitu ia nikmati. Yang paling ia sesali sering kali rasa rindu itu muncul sendiri. Ketika memasak di dapur, saat memandang pohon pepaya di belakang rumah, saat membuat kue, atau bahkan menonton adegan sekelompok sahabat di televisi.Nacita pikir ini akan dilewati dengan mudah, tapi pada kenyataannya ia hanya mencoba mengobati hat
CARAMU KEREN SEKALI! Sekarang semua yang kita sembunyikan sejak lama sudah diketahui orang. Bedanya bukan aku yang menyebarkan video aibmu itu, tapi di video pembalasanmu wajah dan suaramu sendiri yang terpampang nyata. Terang-terangan kamu bilang sebegitu menyedihkannya keluargaku. Dan betapa durhakanya aku karena belum memaafkan orang tuaku. Kamu bilang kecewa dan menyesal kenal denganku, tapi asal kamu tahu, aku lebih MALU punya teman kayak kamu. Kamu lebih parah ketimbang ibu-ibu komplek tukang gosip. Memang sudah sebaiknya pertemanan kita diakhiri. Semoga kamu bahagia selalu, Jovian Tarendra!Jovian tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Sewaktu itu meletakkan ranselnya di laci ia menemukan selembar kertas berwarna putih yang dilipat. Awalnya ia berpikir untuk mengabaikannya karena mungkin saja itu surat dari siswi-siswi yang sering mengirimkan surat untuknya. Tapi biasanya surat mereka dimasukkan ke loker miliknya.Tidak ada nama pengirimannya, mes
Ia pikir dirinya tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari toilet tadi. Siswa-siswa yang mengobrol dengan Stevia tadi,ternyata sudah pergi. Jovian tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka masih ada di sana siang tadi. Sejauh ini tidak ada yang menghinanya akibat video youtube kemarin. Siswi-siswi masih ada yang tersenyum kepadanya entah karena belum sempat melihat video itu atau karena isi video itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap penilaian mereka padanya.Hanya saja beberapa siswa-siswa tampak tersenyum mengejek kepadanya. Sejauh ini, hal itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Dan sepertinya murid-murid di sekolah ini tidak akan melakukan tindakan perundungan alias bully. Karena sepengetahuan Jovian, sekolah ini akan menindak tegas orang-orang yang ketahuan membully orang lain seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.Sesampainya di rumah Jovian segera menghubungi Salmira dengan panggilan video. Tidak lama kemudian mereka sudah tersamb
Nacita seperti malam-malam sebelum sedang serius mengerjakan soal-soal untuk olimpiade matematika beberapa hari lagi saat ponselnya berdering. Ia tersenyum karena yang meneleponnya adalah Jovian."Halo, Ojon! Tumben malam-malam nelpon. Padahal tadi di sekolah ketemu, udah kangen aja."Seandainya yang menelponnya bukan Jovian, ia tidak akan mungkin berkata seperti itu. Mendengarnya saja sudah bikin jijik."Maaf ya, Nat bercandaanmu nggak lucu sama sekali."Nacita kaget mendengar ucapan sinis Jovian. Jangan-jangan handphonenya sedang dibajak orang lain walaupun ia tahu itu adalah suara Jovian."Kamu kenapa sih?""Kalian yang kenapa? Kamu jangan pura-pura nggak tahu ya, Nat. Apa yang kalian unggah di video youtube terbaru sungguh keterlaluan. Aku nggak ngerti kenapa kalian sejahat itu. Kalian lebih jahat daripada yang membully aku waktu SMP."Belum pernah Nacita mendengar ucapan sedih Jovian sepanjang itu. Ia benar-benar tidak paham apa yang sa
Ia menatap Stevia dengan ekspresi tidak terima saat mengetahui Leonard yang menjadi kameramen untuk syuting mereka kali ini. Gadis yang dimaksud malah asyik merapikan meja dan bahan-bahan memasak mereka kali ini. Ketika Leonard beranjak ke toilet, Nacita langsung bertanya pada Stevia dengan nada suara rendah."Kenapa harus dia sih, Stev?""Kemarin aku posting kiriman di instagram, yang respons lumayan banyak sih. Tapi rumahnya jauh dan mereka masih sekolah. Pasti repot kalau disuruh ke mari. Kebetulan dia komen dan aku liat di feed ig-nya, hasil editannya bagus-bagus.""Siswa di sekolah kita nggak ada yang komen selain dia?""Ada sih, tapi bisa aja Jovian nggak kasih izin karena nggak kenal.""Kalau Leonard memangnya Jovian izinkan?""Nggak tahu ya. Tapi aku sudah izin ke Tante Clara. Jadi aman.""Semoga nggak terjadi apa-apa deh."Stevia mengangkat jempolnya tanda setuju. Meski begitu, Nacita merasa tidak tenang dalam hatinya. Mudah-m
Salmira sempat ragu menerima ajakan Jovian untuk berkunjung ke rumahnya. Namun, setelah menyakinkan diri, ia pun setuju ikut. Apalagi Jovian baru saja mendapat adik baru. Tak lupa ia membawa hadiah kecil sebagai ucapan selamat sekaligus tanda perkenalan.Salmira diberi tahu kalau hari ini Jovian ada syuting dengan kedua temannya. Itu menjadi alasan tambahan ia menyetujui ajakan Jovian. Ia sekalian ingin berkenalan dengan Stevia dan Nacita. Gadis yang sejauh ini hanya dilihatnya lewat youtube.Jovian senang belajar memainkan gitar dengan Salmira karena gadis itu penyabar dan termasuk jago mengajar. Itu yang membuat Jovian akrab dengan Salmira. Jadi ia ingin juga kedua sahabatnya mengenal Salmira. Gadis itu juga sepertinya berminat pada Stevia dan Nacita karena gadis itu sering bertanya tentang mereka berdua. Kini mereka berdua sudah sampai di rumahnya.Salmira terlebih dahulu berkenalan dengan Tante Clara sedangkan Jovian sibuk menyiapkan peralatan untuk syuting. Se