Jovian baru saja membeli tiga botol air mineral dingin untuk Stevia, Nacita, dan dirinya sendiri. Cuaca sore ini memang cukup panas. Kini ia sudah tiba di tempat mereka berkumpul. Kedua gadis itu sedang merebahkan diri di atas tikar piknik yang dibawa oleh Stevia dari rumahnya. Di bawah sebatang pohon yang rimbun. Jovian mengambil handphonenya dari saku celananya dan segera memotret mereka. Hasilnya cukup bagus karena kedua gadis itu sepertinya tidak sadar sedang difoto.
"Enak banget ya rebahan di bawah pohon? Sedangkan aku harus beli minuman." kata Jovian pada mereka yang kini sudah mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk.
"Nggak ikhlas banget sih!" seru Nacita.
Stevia menerima sebotol minuman sambil mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum menyaksikan perdebatan kedua sahabat itu.
"Oh ya aku tadi ambil foto kalian yang lagi rebahan. Bagus lho!"
Nacita dan Stevia langsung melirik ke layar handphone Jovian.
"Betul banget. Ini sih keren!" ucap Stevia senang. "Kamu berbakat ya di bagian foto."
"Kalau dibilang berbakat sih enggak juga. Hanya sering digunakan aja sih. Lama-lama terbiasa."
Stevia mengangkat Jempolnya kepada Jovian.
"Mau kasih tahu rahasia apa sih sampai harus kumpul di sini? Padahal di sekolah kan bisa." ucap Nacita merusak suasana.
"Enggak sabaran amat sih, neng! Emang Stevia nggak tahu juga tentang ini? Mama kamu nggak kasih info?" Jovian balik bertanya.
"Info apa sih?" tanya Stevia penasaran.
"Jadi kemarin aku kan ke rumah kamu selagi kamu les matematika."
Jovian lalu menceritakan semua hal yang terjadi kemarin. Nacita dan Stevia sampai terheran-heran karena tidak menyangka Jovian akan senekat itu.
"Mamaku belum ada cerita sih. Mungkin karena semalam beliau sibuk."
Itu respons Stevia sedangkan Nacita memberikan reaksi yang berbeda.
"Tumben seorang Jovian berani menemui orang yang belum dia kenal. Sendiri pula? Jangan-jangan kamu ngarang cerita."
Jovian mendadak lemas. Kata-kata Nacita tidak sesuai dengan harapan. Anak itu selalu melihat sesuatu dari segi yang lain.
"Enggak percaya banget sama aku. Ngapain aku bohong?"
"Kamu gerak cepat juga ya, Jo. Aku masih enggan untuk berpikir. Tiba-tiba masalahnya udah selesai gitu aja. Kamu hebat!"
Jovian tersenyum kepada Stevia. Lalu ia melihat Nacita dengan ekspresi harusnya-kamu-tiru-reaksi-Stevia-bukan-malah-nggak-percayaan. Nacita langsung buat muka.
"Karena masalah kecil harus segera diselesaikan sebelum membesar dan menjadi semakin sulit untuk diatasi."
Stevia mengangguk. Lain halnya dengan Nacita yang kelihatan sedang berpikir serius. Tiba-tiba ia bertanya,
"Omong-omong, beneran kamu nggak bisa masak?" tanya Nacita pada Stevia. Sebuah pertanyaan yang sejak tadi ingin ia ajukan tapi malah tertunda akibat tercengang dengan cara Jovian yang ia akui cukup berani.
"Hahaha ... begitulah. Aneh ya?"
"Enggak sih. Aku jadi sadar setiap orang punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Seperti kemampuan memasak yang aku punya. Stevia punya kemampuan make up dan jadi foto model. Sedangkan Ojon punya kemampuan ngelawak tapi nggak lucu alias jayus."
Jovian melotot tapi seketika ia teringat sesuatu.
"Tante Audita alias mamanya Stevia juga jayus sih kayak aku."
Kini giliran Stevia yang melotot kepada Jovian yang tiba-tiba meringis karena dicubit oleh Nacita.
***
Nacita berjalan masuk ke rumah tanpa menoleh ke ruang tamu. Ada ayahnya di sana sedang duduk sembari menikmati segelas kopi. Ia sebenarnya mendengar pria itu memanggil namanya tapi ia pura-pura tidak peduli. Namun akhirnya ia berhenti dan berbalik arah.
"Duduk dulu, nak. Ayah mau bicara sebentar sama kamu."
Nacita tidak menjawab ucapan ayahnya. Ia hanya duduk di kursi plastik dengan pikiran yang entah ke mana.
"Wajahmu tidak pernah gembira saat bersama ayah. Tadi ayah perhatikan sebelum kamu masuk rumah, kamu bahagia."
Lagi-lagi Nacita tetap bungkam. Ingin sekali ia segera lari dari percakapan yang tiada gunanya ini.
"Oh ya, ayah ada sedikit uang buat kamu. Buat beli peralatan sekolah."
Ayahnya menarik beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari saku celananya. Lalu menyodorkannya pada Nacita.
"Ayah simpan saja uang itu untuk ayah sendiri. Nacita nggak mau pakai uang hasil judi."
"Ini hasil kerja ayah bukan dari judi."
Nacita tahu ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan. Sering pulang malam dengan aroma napas bau alkohol. Hasil kerja kerasnya sering kali habis untuk berjudi.
"Nacita tetap nggak mau terima uang dari ayah. Ibu pergi karena kelakuan ayah. Dan tidak juga kembali juga pasti karena tidak ingin melihat ayah lagi."
Nacita segera berlari ke kamarnya. Dia marah pada ayahnya, ibunya, dan pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya dia berkata begitu pada orang tuanya. Luka di hatinya selalu ia tutupi tapi sebenarnya itu yang membuatnya sukar sembuh. Ia tidak terima dengan kenyataan tapi tidak berani untuk sekadar mengungkapkan apa yang dia rasakan pada orang lain.
Ia terduduk di pintu kamarnya yang baru saja ia tutup dengan kasar. Setelah sekian lama ia berjanji untuk tidak menangis karena keadaan yang dialaminya, hari ini dia mengingkari apa yang telah ia ikrarkan.
Sedangkan di ruang tamu, Nenek Miriam berupaya menghibur putranya dan menerima uang yang ditolak Nacita untuk dia simpan. Karena jika tidak dalam beberapa saat lembaran-lembaran itu bisa segera sirna tak berbekas.
***
Seperti janji mereka minggu lalu, hari ini adalah episode perdana Nacita akan mengajari Stevia memasak. Setelah berembuk, mereka memutuskan rumah Jovian sebagai lokasi yang cocok untuk proses kursus tanpa sertifikat ini. Stevia turun dari mobil setelah terlebih dulu mengucapkan terima kasih pada supir yang selalu setia mengantarnya ke mana pun diminta.
Stevia memerhatikan rumah Jovian dengan antusias. Kediaman pemuda itu tidak terlalu besar tapi menampilkan kesan asri. Bunga-bunga beraneka jenis dan warna tampak memamerkan keindahannya. Rumput-rumput dipotong rapi, tidak ada sampah yang berserakan, dan semua tertata dengan baik.
Pintu pagar hanya ditutup tanpa gembok. Stevia berulang-ulang memanggil nama Jovian dan tidak ada respon. Tombol untuk menekan bel juga tidak ada. Stevia memutuskan membuka gerbang dan berjalan masuk. Pintu depan rumah itu pun tampak tertutup. Stevia segera menekan bel yang tersedia di tembok. Tidak lama kemudian seorang wanita dengan postur tubuh yang indah membukakan pintu.
"Halo tante. Saya Stevia temannya Jovian." sapa Stevia dengan bersemangat.
"Oh nak Stevia. Mari silakan masuk! Jovian dan Nacita sudah menunggu di dapur."
Stevia mengangguk dan mengikuti wanita itu ke dalam rumah.
"Tante belum sebut nama ya. Nama tante Clara. Kamu teman barunya Jovian ya? Soalnya tante tidak pernah bertemu dengan kamu sebelumnya."
"Betul sekali, tante. Senang berkenalan dengan tante."
Mereka hampir sampai di dapur karena terdengar suara dua makhluk yang Stevia hafal sekali nada berbicara mereka. Tante Clara permisi dan menyuruh Stevia untuk menemui kedua orang itu sendiri. Saat tiba di dapur, Stevia melihat Jovian mengacak rambut Nacita yang sedang duduk di sampingnya. Mereka terlihat bahagia sekali. Ia tidak ingin mengeluarkan suara karena takut mengganggu. Tapi saat berjalan, kelingking kakinya terantuk ujung tembok. Seketika ia meringis.
"Kenapa Stev?" Jovian segera menghampiri Stevia.
"Enggak apa-apa kok, kelingkingku kepentok."
"Sering terjadi tuh. Aku jadi mau bikin AKKSI" celetuk Nacita.
"Apa itu?" tanya Jovian dan Stevia berbarengan. Mereka akhirnya tertawa.
"Kompak banget sih kayak paduan suara. AKKSI itu asosiasi kelingking kepentok seluruh Indonesia."
"Jawabanmu diluar ekspektasi." ujar Jovian kesal. Sedangkan Stevia tertawa kecil.
"Omong-omong, mama kamu ramah ya Jo. Cantik pula."
Nacita mengangguk sambil menambahkan, "Jovian ini yang kayaknya ada masalah dengan penglihatannya. Tante Clara itu baik banget, dia masih aja jaga jarak. Udah kayak nanam jagung aja mesti pakai jarak."
"Jadi kapan mulai masak-masaknya nih?"
"Kebiasaan! Selalu mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin tersudut." ucap Nacita. Kali ini Stevia tersenyum.
"Pelajaran pertama kita kali ini menghidupkan kompor."
"Hah!" Lagi-lagi Jovian dan Stevia mengucapkan kata yang sama dengan waktu bersamaan. Stevia langsung buang muka karena malu.
"Kenapa hah? Emangnya aneh? Kan itu adalah satu hal yang penting. Kalau kompornya nggak nyala, mana bisa masak. Emangnya bisa masak pakai api cemburu?"
Kata-kata Nacita sukses membuat dua orang di depannya tertawa terbahak-bahak. Mau tidak mau Nacita juga ikut tertawa.
"Tapi benar juga sih kata Nacita. Kompor adalah hardware penting dalam memasak." kata Jovian.
"Hardware? Anda pikir ini komputer. Sebenarnya kompor bukan satu-satunya. Kan bisa pakai tungku kayu bakar, api unggun, atau api asmara. Yang terakhir bohong. Hahaha ..."
Stevia dan Jovian pura-pura tidak mendengar.
"Kamu bisa nyalain kompor kan Stevia?"
"Enggak. Lebih ke arah enggak pernah coba sih." Stevia spontan menjawab.
"Tuh kan apa kubilang. Pelajaran level satu ini tidak pernah ada dalam bagian kurikulum kursus memasak." ujar Nacita seolah ia adalah guru les memasak yang andal dan punya jam terbang tinggi.
Jovian sejak tadi merekam kejadian demi kejadian dengan saksama. Kameranya diletakkan di tripod agak ia tidak perlu capek-capek memegang benda itu.
"Terkadang aku heran kenapa hal-hal kecil bahkan aneh diberitakan dengan heboh oleh media. Biasanya oknumnya adalah para selebritis."
Jovian dan Stevia saling berpandangan karena tidak paham ke mana arah pembicaraan Nacita.
"Ada artis yang tidak bisa ngupas salak lalu diekspos seolah itu bagian dari keajaiban dunia. Ada artis yang nggak bisa nyalain kompor, diberitakan juga. Berlebihan nggak sih?"
Stevia dan Jovian mengangguk sambil tertawa mendengar ucapan Nacita.
"Aku aja yang bisa bikin bom molotov nggak pernah tuh ditayangin di tv."
Tiba-tiba Jovian menarik tangan Stevia. Tentu saja gadis itu kaget.
"Ayo kita pergi! Sebentar lagi wartawan datang ke sini beserta pasukan dari Densus 88. Aku udah rekam videonya. Ternyata teman kita selama ini sudah menjadi bagian dari jaringan teroris."
Sontak hal itu membuat Stevia dan Nacita tertawa. Kata-kata dan ekspresi Jovian sungguh menggelikan.
"Tapi yang dibilang Jovian benar juga sih." ucap Nacita setelah berhasil menghentikan tawanya.
"Benar kamu bagian dari jaringan teroris?"
Nacita melotot sedangkan Stevia masih tetap tertawa.
"Benar bisa ditangkap petugas kalau bikin bom. Maaf pemirsa tadi hanya intermeso! Itu cuma buat perbandingan, kalau orang-orang biasa kayak kita, nggak akan dipedulikan orang-orang sedangkan artis-artis sejuta sensasi bikin hal-hal remeh aja kisahnya dianggap menarik oleh khayalak ramai."
"Betul banget, Na. Eh jadi praktik nggak nih?"
Nacita lalu mempersilakan Stevia menyalakan kompor dan langsung berhasil. Jovian dan Nacita bertepuk tangan seolah Stevia telah berhasil memenangkan nobel.
"Haus banget ya, nggak ada minuman nih."
Jovian langsung mengambil jus buah dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas untuk mereka bertiga.
"Aku udah kayak pembantu tahu nggak!" ujar Jovian kesal. Tapi Nacita malah tertawa.
"Oh ya, Jo. Foto minggu lalu belum kamu kirim juga."
"Wah aku lupa. Sekarang aku kirim deh fotomu dan nona yang suka nyuruh-nyuruh ini."
Stevia mengucapkan terima kasih dengan senyum terkembang di wajahnya saat melihat foto itu sudah ada di ponselnya.
"Aku unggah ke instagram, ah. Omong-omong nama instagram Nacita apa ya?"
"Boro-boro punya instagram, handphonenya aja keluaran tahun jebot. Handphone kayak punya dia udah nggak ada lagi di pasaran." ledek Jovian.
"Kalau ada yang mau belikan aku smartphone aku terima tapi pulsa sama internet tiap bulan dia juga yang nanggung."
"Mirip lintah darat nggak sih? Padahal bukan rentenir." kata Jovian. Tapi Stevia jadi punya sebuah ide menarik dalam pikirannya.
"Usai sudah sesi istirahat. Saatnya masuk ke pelajaran berikut memasang tabung gas ke kompornya."
"Apa?"
Tiba di sekolah lebih awal adalah hal yang bagus. Pikiran jauh lebih siap untuk mengikuti pelajaran yang akan dimulai. Bagi Jovian ada alasan lain lagi. Tentu saja agar ia bisa keluar rumah lebih dulu ketimbang papanya. Ia tidak ingin momen awkward terjadi saat bersama ibu tirinya jika papanya lebih dulu pergi.Jovian tiba lima belas menit sebelum bel apel pagi berbunyi. Saat ia baru selesai memarkirkan sepeda motornya, ia melihat seorang siswi berjalan cepat ke arahnya. Jovian menebak gadis berbando kuning itu sama-sama kelas X seperti dirinya. Mungkin salah satu murid kelas sebelah. Gadis itu terengah-engah ketika tiba di depan Jovian."Ada kabar buruk Jo. Tentang Nacita." kata gadis itu dengan napas yang masih tidak teratur.Jovian tentu saja kaget."Kabar buruk apa?" tanya Jovian tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya."Sebelum aku kasih tahu, follback instagramku dulu dong!"Saat itu Jovian ingin segera lari meninggalkan siswi
Nacita memandangi handphone tua miliknya dengan perasaan bimbang. Sejak insiden donatnya dirampas dan diinjak-injak hingga saat ini, ia belum juga berbicara dengan Stevia. Gadis itu sepertinya benar-benar marah atas ucapannya yang tanpa dipikir waktu itu. Biasanya Stevia-lah yang terlebih dahulu memulai pembicaraan. Namun, kali ini sepertinya pemilik wajah dengan lesung pipi itu sudah bosan.Nacita malu sekaligus ragu. Sudah lama ia tidak punya sahabat selain Jovian. Dan bisa dibilang ia tidak pernah saling mendiamkan walaupun mereka sering sekali berdebat dan mengejek satu sama lain. Akhirnya ia bulatkan tekad sebelum masalahnya menjadi semakin rumit.Ia menekan tombol panggilan setelah nama Stevia muncul di kontaknya. Nacita mengembuskan napas lega karena terdengar suara dering dari handphonenya. Itu berarti gadis itu tidak memblokir nomornya."Halo!""Halo Stevia. Lagi sibuk?""Enggak, kok.""Boleh bicara sebentar?""Boleh. Mau ngomong ap
"Hahaha... Hahaha... "Itu suara tawa Nacita dan Jovian, lain hal dengan Stevia yang cemberut melihat reaksi mereka."Kalian ngetawain aku ya?" tanyanya kesal."Bukan. Kami ngetawain kakak-kakak kelas itu." jawab Jovian spontan karena tidak enak melihat ekspresi Stevia yang membuat hati iba.Beberapa menit yang lalu Stevia baru saja menceritakan apa yang ia alami kemarin saat istirahat pertama di sekolah. Siswi-siswi yang mendatanginya dengan wajah penuh amarah itu sebenarnya tidak semuanya punya urusan dengan dia. Hanya satu di antara mereka, Stevia tidak tahu namanya karena ia tidak sempat melihat papan nama di seragam sekolah gadis itu.Ia marah pada Stevia karena tidak suka postingan instagram Stevia disukai dan dikomentari oleh kekasihnya. Ia juga bilang ia muak dengan Stevia yang sok cantik di sekolah padahal masih kelas X. Tentu saja kenyataannya tidak seperti itu. Stevia merasa dirinya biasa-biasa saja, ia tidak pernah merasa lebih cantik daripa
"Aku suka dengan kondisi rumahmu, Na. Walaupun sederhana tapi bersih dan rapi," puji Stevia.Saat ini ia sedang serius memerhatikan Nacita yang sedang mengambil pepaya muda dengan galah."Makasih, Stev. Karena kemiskinan tidak bermusuhan dengan kebersihan," sahut Nacita. Ia sudah berhasil menjatuhkan sebuah pepaya. Getahnya masih menjalir dari tangkai buah."Keren juga kata-katamu, Na! Tapi aku nggak bilang kamu miskin, kok," terang Stevia. Ia tidak ingin sahabatnya itu merasa direndahkan dengan kata-katanya. Sebab yang ia maksud adalah kekagumannya pada kerapian rumah ini."Ya, aku tahu, kok. Kamu nggak mengejek, tapi kami memang miskin. Itulah kebenarannya. Omong-omong soal istilah tadi, itu sebenarnya peribahasa Spanyol. Bagus kan?" ucap Nacita sembari meletakkan galah dan mengambil pepaya yang berhasil ia dapatkan."Bagus. Aku suka dengan kalimat-kalimat yang tiba-tiba kamu ucapkan. Cewek yang dikenal jutek ini ternyata bisa mengucapkan kosakata yan
Pagi ini mentari bersinar kembali. Meski kita tidak pernah berpikir apakah matahari akan muncul atau tidak di esok hari. Bagi Jovian bintang kerdil ini adalah simbol kesetiaan dan keteraturan. Bahkan juga lambang dari keadilan karena tidak pernah pilih kasih. Baik orang jahat atau baik bisa menikmati hangatnya tanpa perlu membayar tagihan setiap bulan. Ia tidak pernah terlambat atau lupa akan tugasnya.Dulu Jovian pernah berharap saat tertidur di malam hati, esoknya ia tidak usah bangun lagi, tidak perlu melihat matahari, atau menghirup udara pagi. Ia bosan dengan kehidupan beserta penderitaannya. Namun, belakangan ia mengubah cara berpikirnya. Dan Nacita adalah orang yang berjasa menyadarkannya. Karena gadis itu menjalani kehidupan yang lebih sulit daripada dirinya.Pagi ini ia memulai hari dengan pikiran kalut. Pembicaraan mereka di ruang makan kemarin malam membuat ia takut. Terlebih yang bercerita adalah ibu tirinya. Sebenarnya itu berita bagus, tapi rasanya ia tidak
Kedua gadis di depannya itu tampak memandangnya dengan serius. Mereka menunjukkan ekspresi layaknya anak kecil yang minta dibacakan dongeng, seolah apa yang baru disampaikannya sangat menarik perhatian. Ia ingin membatalkan kata-katanya tadi tapi melihat wajah penuh rasa ingin tahu Stevia dan Nacita, sepertinya ia tidak bisa mengalihkan pembicaraan."Aku harap kalian tidak memberikan ekspresi berlebihan."Mereka mengangguk bersama-sama tanpa mengalihkan pandangan darinya."Ini tentang Tante Clara," ucapnya menggantung."Kenapa dengan Tante Clara? Beliau mengidap penyakit mematikan?" tanya Nacita dengan nada cukup tinggi.Jovian melihat ke arah Stevia yang tampak ingin berbicara, tapi gadis itu tidak juga mengeluarkan suara."Bukan, Nat. Nggak usah sampai histeris gitu!" ucap Jovian."Makanya kalau ngomong itu jangan dipotong. Kamu itu kayak pembawa acara yang selalu memotong acara dengan jeda iklan di saat yang tidak tepat," ledek Nacita.
Gadis itu belum juga pulang dan ia tidak mau mengingatkan hal itu. Nacita sudah pulang lima belas menit yang lalu tapi Stevia masih terlihat serius memandang ke taman belakang rumah.Sebenarnya Jovian menawarkan diri untuk mengantar Nacita pulang, tapi gadis itu memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki. Cuaca masih gerimis tapi tidak terdengar guntur lagi. Jovian paham betul, Nacita sering membawa payung lipat di tasnya. Gadis itu memang selalu membuat persiapan saat ke luar rumah.Jovian ingin pergi ke kamarnya, tapi ia tidak mungkin meninggalkan Stevia sendirian di dapur ini. Mengajak gadis itu malah merupakan ide yang lebih buruk lagi. Tiba-tiba Tante Clara datang ke dapur sepertinya ingin mengambil air minum. Saat itulah Jovian pamit kepada Stevia, setidaknya pemilik rambut bergelombang itu punya teman untuk diajak bicara.***"Ternyata ada yang nginap di rumah calon mertua tanpa bilang-bilang ya!"Gadis di seberang sana tertawa mendengar ucapan
Kenapa, Na?Setelah berpikir lama hanya kalimat itu yang berhasil Stevia tulis di bagian komentar status facebook Nacita. Dua menit berlalu belum juga ada balasan atau setidaknya chat yang dikirim Nacita. Stevia melihat kronologi akun Nacita dan ternyata gadis itu tidak membuka facebook sejak sepuluh menit yang lalu. Ia beralih ke whatsapp dan hasilnya sama saja. Akhirnya ia putuskan untuk menelpon gadis itu ketimbang menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Dan kenyataannya juga mengecewakan, nomornya sedang tidak aktif.Hanya tersisa satu pilihan, menelepon Jovian. Hanya saja saat ini sudah malam, tidak sopan rasanya menelepon teman cowok. Tapi, daripada dirinya tidak bisa tidur nyenyak, langkah terbaik memang hanya itu. Toh dia juga pernah menghubungi Jovian dalam kondisi yang sama seperti saat ini.Stevia menghembuskan napas lega karena nomor pemuda itu masih aktif. Jovian kemungkinan besar belum tidur. Suara Jovian terdengar dari speaker handphone Stevia.
Stevia terlihat duduk santai di kursi kayu dengan Leonard di sebuah ruangan kecil yang terpisah dengan cafe. Di depan bangunan kecil ini ada sebuah kolam ikan berukuran kecil yang bisa dilihat dari dalam karena ruangan ini tidak sepenuhnya tertutup. Stevia tampak sangat senang dengan kehadiran Nacita dan Jovian."Kamu nggak diculik, Stev?" tanya Jovian sambil memastikan kalau tangan Stevia tidak terikat."Seperti yang kamu lihat aku baik-baik saja. Lucu banget ngeliat ekspresi Nacita yang khawatir banget aku diculik. Keliatan banget dia sayang sama aku," jawab Stevia sambil tertawa."Jadi kami ditipu? Ojon, ayo kita pulang!" kata Navita sambil menarik lengan Jovian."Eh tunggu dulu! Kalian udah baikan ya?" tanya Stevia.Nacita langsung melepaskan genggaman tangannya dan tampak malu karena ia sadar dia dan Jovian sudah lama tidak akrab."Aduh... Kamu nggemesin banget dengan raut muka kayak gitu, Na," tambah Stevia.Muka Nacita berubah cemberu
Jovian turun dari lantai dua menuju ke arah dapur. Ia ingin mengambil cemilan untuk menemaninya membaca buku. Saat hendak sampai ke tujuan, ia mendengar ibu tirinya sedang mengobrol dengan seseorang, tapi ia yakin itu bukan Mbak Evi. Ternyata tebakan benar. Namun, ia tak menyangka yang sedang ada di sana adalah Stevia.Ia langsung mengubah haluan menuju ruang tengah, tapi ada yang sadar dengan tingkahnya. Tante Clara yang sejak beberapa hari yang lalu dipanggilnya mama itu, memintanya untuk bergabung bersama mereka.Stevia memamerkan senyumannya tampak bahagia dan seolah tidak sedang ada masalah dengan dirinya."Boleh minta waktumu sebentar, Jo? Ada yang mau aku bicarakan," ucap Stevia."Boleh.""Kamu mau Tante Clara dengar apa yang kita bicarakan?"Jovian melirik ke arah Stevia yang sedang serius, sedangkan mamanya hanya tersenyum.***Mereka kini sudah ada di balkon lantai dua kediaman Jovian. Keputusan Jovian
Gadis itu kelihatannya akan menuju ke mejanya. Leonard merasa senang sekaligus heran. Mungkin saja gadis itu akan marah kepadanya. Dan sejak kejadian video youtube berisi masa lalu Jovian itu, Leonard bisa melihat kalau Stevia memang menyimpan rasa marah kepadanya. Whatsappnya diblokir sehingga tidak bisa mengirim chat kepada gadis itu, begitu pula dengan instagramnya.Leonard merasa bersalah karena tahu akibatnya akan seperti ini. Ia pikir hanya Jovian yang akan berhenti berteman dengan Stevia tapi ternyata ia ikut kena akibatnya. Belum lagi ia sangat sedih sekaligus kecewa karena minggu lalu Stevia membagikan hasil masakannya yaitu matcha cookies ke teman-teman sekelas tapi hanya ia yang tidak kebagian. Kelihatan sekali kalau Stevia memang sudah menganggapnya tidak ada. Dan Leonard hari ini siap menerima apa pun yang akan Stevia katakan."Selamat ya Leonard tujuanmu sukses bahkan memberikan efek ganda. Persahabatan kami retak dan mungkin minggu depan aku sudah pindah s
Waktu ibarat kuda liar, ia berlari begitu cepat tanpa kita sadari. Dan hari ini sudah lebih sebulan berlalu sejak insiden video memasak Steviana yang disabotase oleh Leonard. Suatu hal yang tidak pernah disangka, tapi beginilah akhirnya, hubungan Jovian, Nacita, dan Stevia tampaknya tidak bisa diperbaiki lagi.Nacita memutuskan sibuk belajar bersama Kak Kayla yang juga menang olimpiade matematika. Terkadang sepulang sekolah ia membantu ibunya berjualan di kedai makan sederhana miliknya. Hari-harinya berjalan hanya rutinitas saja tidak ada kejutan dan keceriaan sewaktu ia bersama Jovian dan juga Stevia.Semua bisa dilewati tapi tidak begitu ia nikmati. Yang paling ia sesali sering kali rasa rindu itu muncul sendiri. Ketika memasak di dapur, saat memandang pohon pepaya di belakang rumah, saat membuat kue, atau bahkan menonton adegan sekelompok sahabat di televisi.Nacita pikir ini akan dilewati dengan mudah, tapi pada kenyataannya ia hanya mencoba mengobati hat
CARAMU KEREN SEKALI! Sekarang semua yang kita sembunyikan sejak lama sudah diketahui orang. Bedanya bukan aku yang menyebarkan video aibmu itu, tapi di video pembalasanmu wajah dan suaramu sendiri yang terpampang nyata. Terang-terangan kamu bilang sebegitu menyedihkannya keluargaku. Dan betapa durhakanya aku karena belum memaafkan orang tuaku. Kamu bilang kecewa dan menyesal kenal denganku, tapi asal kamu tahu, aku lebih MALU punya teman kayak kamu. Kamu lebih parah ketimbang ibu-ibu komplek tukang gosip. Memang sudah sebaiknya pertemanan kita diakhiri. Semoga kamu bahagia selalu, Jovian Tarendra!Jovian tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Sewaktu itu meletakkan ranselnya di laci ia menemukan selembar kertas berwarna putih yang dilipat. Awalnya ia berpikir untuk mengabaikannya karena mungkin saja itu surat dari siswi-siswi yang sering mengirimkan surat untuknya. Tapi biasanya surat mereka dimasukkan ke loker miliknya.Tidak ada nama pengirimannya, mes
Ia pikir dirinya tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari toilet tadi. Siswa-siswa yang mengobrol dengan Stevia tadi,ternyata sudah pergi. Jovian tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka masih ada di sana siang tadi. Sejauh ini tidak ada yang menghinanya akibat video youtube kemarin. Siswi-siswi masih ada yang tersenyum kepadanya entah karena belum sempat melihat video itu atau karena isi video itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap penilaian mereka padanya.Hanya saja beberapa siswa-siswa tampak tersenyum mengejek kepadanya. Sejauh ini, hal itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Dan sepertinya murid-murid di sekolah ini tidak akan melakukan tindakan perundungan alias bully. Karena sepengetahuan Jovian, sekolah ini akan menindak tegas orang-orang yang ketahuan membully orang lain seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.Sesampainya di rumah Jovian segera menghubungi Salmira dengan panggilan video. Tidak lama kemudian mereka sudah tersamb
Nacita seperti malam-malam sebelum sedang serius mengerjakan soal-soal untuk olimpiade matematika beberapa hari lagi saat ponselnya berdering. Ia tersenyum karena yang meneleponnya adalah Jovian."Halo, Ojon! Tumben malam-malam nelpon. Padahal tadi di sekolah ketemu, udah kangen aja."Seandainya yang menelponnya bukan Jovian, ia tidak akan mungkin berkata seperti itu. Mendengarnya saja sudah bikin jijik."Maaf ya, Nat bercandaanmu nggak lucu sama sekali."Nacita kaget mendengar ucapan sinis Jovian. Jangan-jangan handphonenya sedang dibajak orang lain walaupun ia tahu itu adalah suara Jovian."Kamu kenapa sih?""Kalian yang kenapa? Kamu jangan pura-pura nggak tahu ya, Nat. Apa yang kalian unggah di video youtube terbaru sungguh keterlaluan. Aku nggak ngerti kenapa kalian sejahat itu. Kalian lebih jahat daripada yang membully aku waktu SMP."Belum pernah Nacita mendengar ucapan sedih Jovian sepanjang itu. Ia benar-benar tidak paham apa yang sa
Ia menatap Stevia dengan ekspresi tidak terima saat mengetahui Leonard yang menjadi kameramen untuk syuting mereka kali ini. Gadis yang dimaksud malah asyik merapikan meja dan bahan-bahan memasak mereka kali ini. Ketika Leonard beranjak ke toilet, Nacita langsung bertanya pada Stevia dengan nada suara rendah."Kenapa harus dia sih, Stev?""Kemarin aku posting kiriman di instagram, yang respons lumayan banyak sih. Tapi rumahnya jauh dan mereka masih sekolah. Pasti repot kalau disuruh ke mari. Kebetulan dia komen dan aku liat di feed ig-nya, hasil editannya bagus-bagus.""Siswa di sekolah kita nggak ada yang komen selain dia?""Ada sih, tapi bisa aja Jovian nggak kasih izin karena nggak kenal.""Kalau Leonard memangnya Jovian izinkan?""Nggak tahu ya. Tapi aku sudah izin ke Tante Clara. Jadi aman.""Semoga nggak terjadi apa-apa deh."Stevia mengangkat jempolnya tanda setuju. Meski begitu, Nacita merasa tidak tenang dalam hatinya. Mudah-m
Salmira sempat ragu menerima ajakan Jovian untuk berkunjung ke rumahnya. Namun, setelah menyakinkan diri, ia pun setuju ikut. Apalagi Jovian baru saja mendapat adik baru. Tak lupa ia membawa hadiah kecil sebagai ucapan selamat sekaligus tanda perkenalan.Salmira diberi tahu kalau hari ini Jovian ada syuting dengan kedua temannya. Itu menjadi alasan tambahan ia menyetujui ajakan Jovian. Ia sekalian ingin berkenalan dengan Stevia dan Nacita. Gadis yang sejauh ini hanya dilihatnya lewat youtube.Jovian senang belajar memainkan gitar dengan Salmira karena gadis itu penyabar dan termasuk jago mengajar. Itu yang membuat Jovian akrab dengan Salmira. Jadi ia ingin juga kedua sahabatnya mengenal Salmira. Gadis itu juga sepertinya berminat pada Stevia dan Nacita karena gadis itu sering bertanya tentang mereka berdua. Kini mereka berdua sudah sampai di rumahnya.Salmira terlebih dahulu berkenalan dengan Tante Clara sedangkan Jovian sibuk menyiapkan peralatan untuk syuting. Se