Mengeluh, mendengus dan mengerutu di sepanjang jalan. Mobil berhenti di perkarangan rumah, Robert beranjak keluar dari dalamnya dengan membanting pintu kembali sampai tertutup. Rumah yang Robert singgahi adalah milik Bianca, namun dia memiliki kunci untuk membukanya. Tentu Robert punya, rumah dua tingkat itu adalah hadiah darinya.
Lagi-lagi pintu dihempas sangat kasar. Pintu rumah menuju pintu kamar, sang empu yang tinggal sendirian itu sukses dikejutkan. “Arrghh-siapa itu?!” Bianca mengerutu. Mata bahkan belum bisa terbuka dan seseorang sudah menarik selimutnya kasar sampai terlepas. Sejuknya AC menerpa kulit, menyebabkan perempuan itu tidak nyaman.
“Pergi!” usir Bianca, menyentuh bagian kepala sang serasa sakit. “Aku tidak mau makan.” Lagi-lagi Bianca meracu, lelah meraba-raba selimut yang entah lari ke mana. Bianca berpikir, siapa yang mengambil kain itu adalah salah seorang maid.
Namun, tidak mungkin seorang maid seberani
Bukan terpancing, mata Robert malah memicing tajam. “Moodku sedang buruk, kau ingin aku remukkan tulangmu?” Dia pergi begitu saja memasuki kamar mandi dalam ruangan, pintu yang dihempas kuat lagi-lagi sukses mengejutkan Bianca.“Moodmu sedang buruk?” Bianca mencibir, “Lalu kau datang untuk melampiaskannya padaku, huh? Betapa menyebalkan, bersikap manis pas ada maunya doang!” Lagipula apa yang bisa Bianca eluhkan? Hidup mewah dan memusingkan seperti ini juga adalah pilihannya sendiri.“Handuk!!” jerit Robert dari dalam kamar mandi, suaranya begitu besar menusuk gedang telinga Bianca.“Sabar!” ketus Bianca yang mau tidak mau beranjak turun dari atas ranjang. “Kau bahkan belum mandi, tidak tahu apa itu sabar?”Sementara itu, Viola baru saja terbangun dari tidur nyenyak dan hal pertama yang dia lihat adalah senyuman Candy. Betapa indah senyuman itu sampai-sampai dia ikut tersenyum. &ldquo
Ekpresi wajah Putra kecut, sudah bagaikan menelan asamnya lemon sebelum memperlihatkan ekpresi penuh tanya dan kebinggungan. “Kau serius dengan pertanyaanmu?” tanya lelaki itu, berpikir bahwa ia tidak harus menjawab jika candy hanya berguyon.“Serius atau tidak tergantung dari jawabanmu,” kelit Candy, belum apa-apa sudah malu akan pikiran dicibir oleh Putra.Betapa aneh jawaban yang diterima, Putra mendengus sebel dibuatnya. “Aku berpacaran dengan Bianca,” tegasnya, tidak membiarkan Candy melihat dusta yang bersembunyi di balik bola mata. “Jawaban itu cukup jelas?”Sangat jelas sampai Candy dapat merasakannya di bagian hati, tapi … Candy masih memikirkan pertemuan di club tadi malam. Sungguhkah Robert hanya tanpa sengaja bertemu dengan Bianca dan … sungguhkah Putra sering pergi ke tempat itu bersama Bianca?Putra yang Candy tahu tidak menyukai tempat bising dan bau rokok seperti itu. Sudah seja
Pintu tertutup begitu saja setelahnya, menyisakan Candy seorang yang terdiam dengan tatapan tak percaya. “Aku tahu dia memang ular,” cibir Candy. “Tapi … kenapa dia tampak buru-buru?” Candy entah mengapa cemas, berharap untuk bisa tahu ke mana Putra pergi.“Tidak, tidak!” Candy bergegas menggeleng, membuang segala hal tak berguna dari dalam kepala untuk melanjutkan pekerjaan. “Aku sibuk, tidak ada waktu untuk memikirkan dua orang itu.”Namun, seandainya praktek semudah bicara. Siang berubah malam, Putra masih belum kembali dan tidak ada kabarnya.“Robert, kau mau makan?” tawar Candy pada sang suami yang baru saja memasuki wilayah rumah. Candy menutup pintu yang Robert tinggalkan sebelum menyusul, mengulurkan tangan untuk mengambil tas hitam yang mengantung di tangan kanannya.Robert menyadari niat sang istri, dia melepas pegangan dan membiarkan tas pipihnya jatuh ke atas lantai. Persetan d
“Sepertinya aku masuk angin,” jawab Bianca. “Perjalanannya jauh.”Putra mendengus sebel menanggapi, “Jauh? Katamu dekat!” Betapa kesal pemuda itu, tapi apa yang harus dilakukan? Hari juga sudah gelap, mustahil untuk kembali ke Jakarta.“Ayo,” ajak Putra sembari mengulurkan tangan. Bianca meraih tangannya, berjalan dengan menyandar di bagian samping tubuh Putra. Diam-diam Bianca bernafas lega, secarik senyuman hadir di wajah secara singkat. Kini, apa yang ia butuhkan hanyalah menahan Putra selama mungkin sampai Robert merasa senang dan melupakan amarah yang disebabkan entah oleh apa.Memikirkan Robert membuat Bianca memutar bola mata, bosan. ‘Bisa-bisanya dia terus membuat aku melakukan hal seperti ini,’ eluhnya di dalam pikiran.Sementara itu, Candy menyimpan ponselnya kembali untuk menuju kamar. Gadis itu berharap untuk bisa berinteraksi dengan sang suami, tapi ternyata Robert sedang berada di d
Candy ingin segera bangkit, tapi tubuh Robert sudah terlebih berpindah di atasnya. Candy memalingkan wajah ke samping, memejamkan mata erat-erat demi menghindari kontak mata. Kedua tangannya yang tidak berani menahan sang suami terkepal erat di samping badan.Robert tidak tahu mengapa ia terdiam, tapi netra mengamati jeli wajah Candy tanpa perintah. Alisnya yang rapi, hidung mancung sampai pipi yang putih. Robert seharusnya sangat marah sampai ingin memukul, tapi apa yang berbesit di dalam benak adalah, ‘Aku ingin menggigitnya.’Wajah Robert mendekat, Candy dapat merasakan hembusan nafasnya di area leher. Dua bola mata Candy melebar kala merasakan gigitan. Dia spontan mendorong, beruntungnya berhasil menjauhkan sang suami.“Apa yang kau lakukan!” Candy menatap sang suami, menutup bagian leher yang terasa dingin dan hangat di saat yang bersamaan. Panik, jantung berdetak sangat kencang seolah-olah akan terlepas. Darah mendesir, otak belum s
“Bagaimana cara menutupinya?” Bekas merah itu menyebabkan Candy malu, terlalu malu sampai dia tidak berani kembali ke kamarnya. Candy berbalik, teringat pada Viola yang sudah terlelap. Gadis itu menghampiri dan duduk di pinggir ranjang, sangat pelan agar tidak menggangu.“Robert akan marah jika aku di sini,” gumam Candy, tapi lagi-lagi rasa malu mengalahkan semuanya. Niat Candy hanya berbaring dan kembali ke kamar setelah satu jam, sekiranya setelah Robert tidur. Namun, Candy malah terlelap.Berbagi selimut dan bantal dengan Viola, nyenyaknya mereka tidur sampai tidak sadar pada ruangan gelap yang sudah berubah terang karena ulah cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela.Jam menunjuk pukul enam pagi saat Robert mencari tahu, dia menyibak selimut sebelum bangkit dari atas ranjang. Menuju kamar mandi, Robert keluar dari ruangan dalam keadaan rapi berbalut setelan jas.Karena bangun terlalu awal, Robert tidak langsung menuju ka
Tangan Robert dengan kokoh memegangi pinggang ramping Candy sementara Candy dengan sigap menarik bagian jas sang suami karena takut akan dilepas. Apa yang ada di dalam pikiran Robert? Diam-diam dia baru saja memuji betapa cantik istrinya yang tidak pernah ia perhatikan.Bulu mata lentik, matanya bulat. Hidung kecilnya mancung dan bibir berwarna peach alami. Kulitnya putih dan bersih, terlalu cantik sampai Robert lupa untuk berkedip.“Oh, astaga!” Candy bergegas menyadarkan diri, merontak keluar dari pegangan sang suami dan menciptakan jarak. “Ma-maaf, maafkan aku!” Candy gelagapan, tangannya terangkat untuk menyelip surai hitam yang mengganggu pipi. “Terima kasih.”Robert tidak merespon. Puas melototi Candy, dia pergi begitu saja. “Akan aku masakan sarapan!” seru Candy, tapi tidak ada tanggapan. “Akan aku antar,” katanya lagi, kali ini berhasil menghentikan langkah kaki Robert.Robert berbalik un
Kedua sudut bibir tertarik naik, Candy menampilkan senyuman terbaik yang sanggup dia keluarkan untuk sang suami yang menatap. Entah mengapa, tapi Robert punya firasat bahwa apa yang Viola katakan adalah ide sang istri. Lihat wajah cantiknya yang seolah-olah mencoba menyembunyikan sesuatu, dia tidak pandai berdrama.“Ayo, Vio, kita temani papah makan.” Viola mengulurkan kedua tangan, membiarkan Candy mengangkat tubuhnya ke atas meja lebar. Viola duduk dengan posisi kaki terlipat. Candy mengambil duduk di salah satu kursi biru yang terletak di depan meja sebelum menyusun rantang di hadapan Robert.“Aku tidak pernah bilang mau makan,” celetuk Robert, sebel dibuat sikap sok lugu sang istri. Robert merasa diri ini lebih baik dibiarkan mati kelaparan dari pada harus menyentuh makanan Candy!Candy tersenyum menanggapi, “Tapi Viola ingin menemanimu makan.” Candy menatap Viola bertanya, “Betul tidak, Vio?” Lihat mata Candy