"Benar, Pangeran." Salah satu bicara diantara nafas terengah. "Gerakan pemberontak telah bermalam diperbatasan, tuan. Tak lama lagi pasti akan datang kemari," Jawaban mereka membuat Bagas tak mampu bereaksi apapun.Ia hanya mengerjap, antara tak percaya, dan beberapa perasaan kaget yang lain. Mungkin akan biasa saja, jika musuh dalam peperangan ini adalah negara lain. Namun ini, mereka harus melawan bangsa sendiri.Yang dampaknya bisa menghilangkan citra diri, di mata bangsa lain. Bisa saja mereka bersorak kegirangan atas peperangan dengan sesama sendiri seperti ini."Tuan Bagas," Sapa salah satu, karena Bagas telah beberapa detik tak menjawab apapun. "Bagaimana ini?""Ah, iya." Mendadak Bagas menjawab kikuk, arah tatapannya tak menentu. Pada tempat berlatih tanpa pelatih, juga ke arah tempat pertemuan. Yang di sana, Baginda telah turun dari singgasana. Berjalan kemari, mungkin melihat dirinya yang berbicara serius dengan penjaga perbatasan."Baginda harus tau secepatnya. Ayo, ikut ak
"Melarikan diri?" Gumam Panglima dan Baginda serentak, keduanya menatap serius ke arah Bagas."Melarikan diri bagaimana maksudmu, Bagas?" Baginda mengulang pertanyaan, karena Bagas tak segera memberikan jawaban. Malah menatapnya, juga Panglima dengan sorot mata penuh kekecewaan. Baginda sebenarnya paham sang putra sedang kecewa, hanya saja tidak mengerti apa yang membuatnya kecewa."Dugaanku pasti tidak salah. Mereka pasti melarikan diri, setelah membuat kekacauan pada pasukan istana," Bagas berucap dengan mata menerawang."Maksudmu, mereka adalah ...""Benar." Bagas kembali menatap sang Ayah yang bertanya bingung. "Mereka pasti mata-mata dari musuh. Datang kemari dan berpura-pura untuk mencari pekerjaan. Padahal tujuan utama mereka di sini pasti untuk mengacaukan pasukan. Agar mereka bisa mengalahkan kita.""Apa? Lalu, bagaimana ini?" Baginda panik, diikuti Panglima yang mungkin tak percaya bahwa dirinya selama ini telah dikelabuhi dua orang pegawai itu."Semua sudah terjadi. Musuh p
Malam ini belum mencapai puncak, tetapi suasananya lebih sunyi. Tak seperti biasanya. Di luar, hanya ada puluhan pasukan berjaga-jaga tanpa bicara pada yang lain. Masing-masing dari mereka seperti sedang menyiapkan mental untuk berperang, yang entah lusa, esok hari. Atau bahkan malam ini jugaWajah tegang nan khawatir nampak jelas pada mereka. Tiap kali mendengar suara tak biasa, semuanya akan bersiap di tempat penjagaan masing-masing.Dari arah kamar, Marta dapat melihatnya dengan jelas. Sisi egoisnya merasa senang dengan kondisi mencekam ini, tetapi sebagai pendekar yang juga dibekali ilmu kemanusiaan, hatinya trenyuh.Pergolakan batin membuatnya enggan untuk menanggapi apapun. Merespon apapun yang terjadi di tempat ini. Ia hanya ingin menjadi penonton, ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Siapa yang akan tumbang dan tetap berdiri tegak.Cukup lama ia termenung di dalam kamar, Marta tersentak saat ada seseorang mengetuk pintu. "Siapa?" Tanyanya menatap awas."Buka pintunya
"Katanya Baginda telah menyerahkan peperangan ini padamu. Jadi, kau harus memberikan kemenangan untuk Baginda. Benar, tidak?" Bagas tak sempat menjawab, mereka kemudian memandang ke arah yang sama. Ke arah suara riuh para penjaga di belakang istana. "Ayo kita lihat." Bagas serta merta menarik lengan Marta, mengajaknya menuju ke arah sana. Sang gadis pun tak sempat menolak, mau tak mau, ia harus mengikuti kemana langkah pemuda itu. Mereka menuju tempat prajurit berkerumun memamerkan kepanikan entah kenapa. Dan hal itu tentu saja membuat Bagas makin mempercepat langkah, yang didorong oleh rasa penasaran. "Ada apa ini?" Tanyanya menyibak belasan prajurit, lalu tanpa mereka jawab, ia telah melihat seorang penjaga menggelepar. Darah segar menyembur di dada yang tertancap kuat ujung panah, hingga hampir setengahnya. Bagas tercengang, Marta lebih dari itu. Melihat darah segar, memorinya kembali mengingatkan akan kematian Ibu dan Bapak yang dibunuh secara tak manusiawi. Dalam hati, ia mem
"Baginda, pakaian Anda sudah siap," Ucap Marta membuyarkan lamunan sang Raja. Baginda menoleh dengan tatapan sayu. "Selagi aku makan, kau di sini saja. Menyiapkan baju perangku," Titah Baginda kemudian menatap serius. Sepeninggal Raja itu dari kamarnya, Marta tetap berada di sini, sesuai perintah dari Baginda. Setumpuk pakaian berlapis baja berada dalam pangkuan. Gadis itu mengamatinya, dengan sesekali mengusap permukaan baja.Terus terang, baru kali ini ia melihat baju perang seorang Raja. Dalam benaknya, mendadak terdengar desingan pedang beradu, dilumuri darah segar. Membuat hati siapapun berdesir. Dalam benaknya juga bertanya, akankah pedang tajam mampu menembus lapisan baja ini. Tanpa disadari, telah cukup lama ia termenung sendiri di kamar ini. Hingga Baginda kembali datang dan berdiri di depannya. Marta mendongak kaget. "Bantu aku memasangkan baju ini," Pinta Baginda. Marta mengangguk gemetar, segera melakukan apa yang diinginkan sang Raja. Tangannya pun bergetar entah ken
"Memang tidak, Bi. Tapi ini demi kemanusiaan, mereka sedang membutuhkan bantuan kita, kan?"Tak ada jawaban, Marta kembali mengayunkan langkah, dan tak ada lagi panggilan dari Bibi Ratih. Langkahnya terayun tegas menuju pondok prajurit yang sialnya harus melewati kamar Pangeran Mahesa. Tiba di depan kamar putra mahkota itu, Marta harus berpura-pura tuli, sebab terdengar suara desahan saling bersahut antara lelaki dan perempuan. Suara itu makin kencang saja, hingga membuat Marta menutup kedua telinganya. Tak dipungkiri, sebagai wanita normal, badannya meremang dihadapkan dengan suara sensitif seperti itu. Apalagi ia adalah gadis yang belum pernah melakukannya. Dalam hati ia mengumpat kesal, bisa-bisanya putra mahkota melajur nafsu di siang hari seperti ini. Sementara yang lain sedang berjuang di medan peperangan. Pangeran macam apa itu? Gumamnya dalam hati. Bahkan tak peduli ada beberapa pasukan yang masih meregang nyawa di pondokan. Sudah beberapa langkah lebih jauh dari kamar sang
Saling menyerang dan menendang. Dari sini, Marta nyaris tak bisa mengetahui, mana kawan dan mana lawan. Ia mengernyit, melihat Panglima kewalahan menghadapi empat orang. Dua diantaranya adalah, Bara dan Dirga. Beberapa kali bisa mengimbangi serangan musuh, kemudian Panglima ambruk karena tendangan keras dari Bara. Marta tercengang, di antara orang istana, baru satu itu yang nampak di pandangan. Yang lain entah berada di mana. Ia tak bisa berdiam diri saat melihat bara tengah menarik anak panah dalam busurnya, dari jarak beberapa meter. Marta melenting, nekat menendang tangan bara dari arah samping. Hingga tangan yang sedang melakukan ancang-ancang itu, panahnya terlepas ke sembarang arah, busurnya jatuh. Pemiliknya mengumpat, kemudian kaget saat Marta menjejakkan kaki di depannya. "Kau rupanya?" Gumam Bara tersenyum menyeringai. Sementara Marta dengan cepat di tarik seseorang untuk menjauh. Rupanya Panglima. "Marta, apa yang kau lakukan di sini? Kau harus tetap di istana, bukan
Bagas kembali menarik lengan Marta, untuk berlari lebih cepat. Namun sayang. Keduanya tiba di jalan buntu, posisinya saat ini sedang berada di atas tebing tinggi, yang tak mungkin meluncur ke bawah sana tanpa alat apapun.Akan kembali, tetapi Bara, Dirga dan lainnya telah sampai. Senyum mereka semua mengembang, melihat lawannya tak bisa pergi kemanapun.Mereka semakin bergerak maju, Bagas siaga dengan memegang jemari Marta dari samping. Mengajaknya mundur, tetapi selangkah lagi, keduanya bisa terjatuh. Bagas melirik ke arah belakang yang membuat pandangan berayun, ia menggeleng samar. Menyadari dirinya tak bisa kemana-mana lagi."Kalian tidak bisa mengelak. Menyerahlah, dan ikut kami kembali." Bara bersuara tegas, membuat Bagas dan Marta saling menatap panik."Lebih baik mati, daripada menyerah pada kalian!" Jawaban Bagas tentu saja membuat bara dan yang lain terkekeh geli. Mengetahui di belakang mereka berdua ada jurang, Bara tertawa puas."Silahkan saja jika kalian memilih mati," Ka
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m