Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng.
Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup.Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca."Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?"Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana."Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?"Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si Abang kaga pake aplikasi. Kasih empat puluh aja enggak apa-apa, deh.""Oh, gitu ..." Slamet manggut-manggut, sambil menunggu kembalian.Sejujurnya Slamet tidak mengerti beberapa istilah yang tadi dikatakan lelaki berjaket di depannya. Cash, Kopay, aplikasi, apa maksudnya itu semua? Di hape candy bar Slamet mana ada yang namanya aplikasi.Yang Slamet tahu, ini saatnya membayar ongkos ojek dari tempat kos Samuji ke tempat ini. Ke gedung yang disebut pamannya sebagai kantor tempat bekerja selama di Jakarta."Mau ngelamar kerja, Bang?" tanya si lelaki berjaket, sembari mengulurkan beberapa lembar uang pecahan kecil. Ada tulisan KOJEK di bagian dada kanan jaketnya, juga di punggung dengan ukuran lebih besar."Iya," jawab Slamet cepat. "Mau ikut paklik kerja di sini.""Oh, ada orang dalem ceritanya?" kata si lelaki berjaket lagi. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terlihat aneh di mata Slamet.Lagi-lagi Slamet tidak tahu apa maksud orang, tetapi malu juga kalau ketahuan tidak nyambung. Akhirnya dia hanya menyengir serba salah sebagai tanggapan."Masih ada lowongan, kaga?" tanya si lelaki berjaket lagi. "Gue udah lama pengin berhenti ngojek. Semakin ke sini orderan semakin sepi aja, nih.""Wah, enggak tahu juga, Mas. Nanti coba saya tanya ke Paklik," jawab Slamet sekenanya. Sejujurnya dia bingung apa maksud orang di hadapannya ini."Sip!" Lelaki berjaket merah jambu tersenyum senang. "Nih, lu simpen nomer gue. Kalau-kalau ada lowongan, lu langsung kabarin gue. Oke?"Slamet ragu-ragu apakah sebaiknya menerima secarik kertas yang disodorkan si lelaki berjaket atau tidak. Tengah dia berpikir-pikir begitu, orang di hadapannya sudah menggenggamkan benda itu ke dalam telapaknya."Inget, jangan lupa lu ngabarin gue kalo ada lowongan," ujar si lelaki berjaket, sebelum naik ke atas sepeda motor dan langsung pergi."I-iya, Mas," jawab Slamet, meski dia tahu sudah telat karena yang mengajak bicara sudah sangat jauh.Setelah termenung beberapa kejap, Slamet menatap kertas berisi nama dan nomor telepon lelaki berjaket tadi. Semacam kartu nama, dengan logo KOJEK di salah satu sudutnya.Arifin, demikian nama lelaki tadi. Di bawah nama itu ada tulisan "The Best Driver in Town". Lalu di bawahnya lagi ada sederet angka berjumlah dua belas. Nomor telepon seluler.Slamet memang tak pernah mendapat juara kelas semasa sekolah. Namun dia tahu apa arti kalimat dalam bahasa Inggris tadi."Oalah, kalau di kota besar kaya Jakarta gini, tukang ojek disebutnya driver kaya sopir mobil," gumam Slamet, sambil memasukkan kartu nama ke saku kemeja dan melangkah menuju lobi gedung.Dua muda-mudi berusia sepantaran Slamet sedang membersihkan area lobi. Keduanya mengenakan seragam sama. Yang perempuan mengepel lantai, yang lelaki mengelap kaca.Mulanya Slamet bingung karena tak ada pintu. Bagaimana cara masuk ke dalam sana?Tengah pemuda itu bertanya-tanya sendiri di dalam hati, dua lempeng kaca di hadapannya tiba-tiba saja bergeser sendiri. Langkahnya seketika terhenti."Eladalah!" Slamet terkaget-kaget. Hampir saja terloncat dari tempatnya.Dua orang yang sedang bekerja di lobi sontak menghentikan gerakan mereka. Kemudian sama-sama memandangi Slamet. Ternyata seruan kaget pemuda asal Purbalingga itu sangat keras."Mau cari siapa?" tanya pekerja yang lelaki, sambil berjalan mendekati Slamet. Tatapannya tajam mengarah tepat ke manik-manik mata Slamet.Ditatap seperti itu, Slamet jadi merasa bersalah. Buru-buru dia mengulurkan tangan, mengajak pemuda di hadapannya bersalaman."Maaf sudah ganggu, Mas," ucap Slamet dengan nada merendah. Tentu saja logat kental banyumasannya tak ketinggalan. "Saya mau ketemu Pak Samuji."Yang diajak salaman malah bengong. Seumur-umur tinggal di Jakarta, belum pernah dia ketemu orang tidak dikenal yang langsung mengajak salaman begini. Salah-salah malah kena gendam.Namun menyadari logat Slamet yang sangat kental, pekerja itu tahu pastilah sedang berhadapan dengan orang baru datang dari kampung. Maka meski dengan ogah-ogahan dia menyambuti uluran tangan Slamet."Pak Samuji?" ulang pekerja itu, ingin memastikan."Iya, Mas, Pak Samuji. Dia bener kerja di sini, kan?" sahut Slamet.Bukannya menjawab, pekerja lelaki tadi menoleh pada temannya yang perempuan dan bertanya, "Pak Samuji driver itu, kan?"Gadis yang ditanyai mengangguk, lalu menatap Slamet penuh rasa ingin tahu. "Kamu apanya Pak Samuji?""Keponakannya," jawab Slamet cepat. "Pak Samuji itu paklik saya, adik kandung ibu saya.""Ooo." Pekerja lelaki tadi memonyongkan mulutnya. Kemudian berkata kepada temannya, "Lu punya nomernya Pak Samuji kan, Sih?""Ada. Bentar, aku telepon dulu," jawab si gadis, sambil merogoh smartphone di saku celana panjangnya. Tak lama kemudian dia sudah berbicara dengan seseorang.Sambil menunggu, Slamet memerhatikan si gadis. Entah mengapa semakin lama dia seolah tengah berhadap-hadapan dengan Sari. Jantungnya seketika berdegup kencang.Ah, kenapa masih mikirin Sari, sih? Sisi lain dalam diri Slamet mengingatkan. Sari pasti sedang sibuk mempersiapkan pernikahan dengan anak pejabat itu. Menantu pilihan Marni."Siapa nama kamu?" Pertanyaan pekerja perempuan tadi membuat lamunan Slamet buyar."Hah?" Bukannya menjawab, Slamet malah tergagap. Bukan apa-apa, setelah berhadap-hadapan begini dia merasakan ada pesona tersendiri dari si gadis pekerja.Tadi teman gadis itu memanggil "Sih", siapa nama lengkapnya? Warsih? Winarsih? Mintarsih? Kamiasih?"Nama kamu siapa? Ini Pak Samuji nanyain," ulang si gadis."Oh ..." Slamet cengar-cengir antara malu dan keki. "Slamet."Si gadis kemudian kembali berbicara di telepon. Tak lama berselang dia menutup panggilan dan berkata pada Slamet, "Kamu tunggu sebentar di sini. Pak Samuji lagi ngambil mobil di bengkel."Slamet manggut-manggut. "Terima kasih, Sih," ujarnya kemudian.Si gadis tersenyum. Ekspresinya agak berubah karena mendengar namanya disebut. Padahal Slamet hanya ikut-ikutan pekerja lelaki tadi."Namaku Asih," ujar gadis itu, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Aku juga orang Jawa Tengah. Dari Kendal."Kini gantian Slamet yang kaget. Buru-buru dia menyambut uluran tangan tersebut, sambil tersenyum mengetahui ada sesama warga Jateng Gayeng."Kendal?" ulang Slamet. Meski belum pernah ke sana, tetapi Slamet tahu di mana daerah itu terletak."Iyo, Weleri persise." Asih balas tersenyum. "Wis, kamu duduk aja sana. Pak Samuji bentar lagi ke sini. Aku mau lanjut kerja dulu.""I-iya."Slamet masih tersenyum. Entahlah, di matanya Asih terlihat sebagai Sari.=$$$=Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "
Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj
Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main
Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi
Seumur-umur belum pernah Slamet melihat secara langsung seorang gadis secantik ini. Dari jarak sedemikian dekat pula. Tanpa sadar ia menelan ludah.Namun begitu pandangannya beralih pada gadis satunya lagi, Slamet langsung menundukkan kepala. Antara takut dan malu karena gadis itu yang ia buat jatuh di depan lift tadi.Gadis yang auratnya jadi terumbar ke mana-mana, sekalipun hanya Slamet yang melihat. Itupun hanya sekejap karena pemuda itu buru-buru menutup mata."Begitu rencana pembukaan cabang di Cirebon ini selesai kita matangkan, selanjutnya langsung persiapkan yang di Purwokerto, ya," ucap gadis yang masuk ruangan lebih dulu.Gadis satunya tampak mendelikkan mata saat menyadari Slamet ada di dalam ruangan. Langkahnya sontak terhenti karena kaget."Mel?" panggil gadis di depan setelah menunggu-nunggu ucapannya tak kunjung ditanggapi."I-iya, Bu," sahut gadis yang dipanggil Mel, lalu buru-buru mendekati si bos. "Habis ini segera saya sia
TING!Slamet yang sedang mengupas kelapa muda langsung menghentikan gerakan. Parang besar di tangan dia lemparkan begitu saja ke tanah, lalu buru-buru berdiri sambil meraih ponsel dari saku celana.Jangan bayangkan itu ponsel Android seperti yang kalian pakai untuk membaca cerita ini. Apalagi sejenis ponsel mewah berlogo apel kena gigit.Slamet hanya sanggup membeli ponsel tipe candy bar. Hape jadul yang cuma bisa untuk bertelepon dan berkirim pesan singkat atawa SMS.Bukan tidak ingin pegang ponsel Android yang bisa untuk menonton video di YouSufe maupun Toktik. Namun Slamet hanyalah seorang pemuda semi pengangguran.Pekerjaan utamanya sopir angkot, tetapi sebetulnya dia lebih pantas disebut. bekerja serabutan. Apa saja bakal dia kerjakan yang penting mendapatkan uang, sebab penghasilan sebagai sopir angkot tidaklah seberapa.Kalau ditanya apa pekerjaannya, Slamet suka berseloroh menjawab: PNS. Maksudnya tentu saja bukan Pegawai Negeri Sipil atau yang sekarang istilahnya berubah menj
Slamet pengin kaget mendengar jawaban Sari, tetapi tidak bisa. Dia sudah menduga sejak tadi jika yang sedang dilamar adalah gadis itu. Tak mungkin ibunya.Toh, tetap saja Slamet jadi melongo. Seketika seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Entah apa, tetapi pemuda itu tiba-tiba saja merasa nelangsa.Memang tak pernah ada kata cinta dan sayang terucap di antara Slamet dan Sari. Juga tak ada kesepakatan di atara mereka berdua untuk berpacaran atau apapun itu jenis hubungan antara lelaki dan perempuan.Namun mereka berdua tahu jika sama-sama saling membutuhkan. Slamet dan Sari sama-sama saling merindukan jika lama tak bertemu. Meski saat bertemu paling banter hanya berpegangan tangan, sembari memandang sendu satu sama lain.Tak ada dinner romantis ala-ala drama Korea. Namun Sari paling suka merengek minta diajak makan bakso di warungnya Lik Ganjar di dekat jalan besar.Slamet pun paling senang membelanjakan uang hasil narik angkot yang tak seberapa untuk menyenangkan Sari, s
Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng
Seumur-umur belum pernah Slamet melihat secara langsung seorang gadis secantik ini. Dari jarak sedemikian dekat pula. Tanpa sadar ia menelan ludah.Namun begitu pandangannya beralih pada gadis satunya lagi, Slamet langsung menundukkan kepala. Antara takut dan malu karena gadis itu yang ia buat jatuh di depan lift tadi.Gadis yang auratnya jadi terumbar ke mana-mana, sekalipun hanya Slamet yang melihat. Itupun hanya sekejap karena pemuda itu buru-buru menutup mata."Begitu rencana pembukaan cabang di Cirebon ini selesai kita matangkan, selanjutnya langsung persiapkan yang di Purwokerto, ya," ucap gadis yang masuk ruangan lebih dulu.Gadis satunya tampak mendelikkan mata saat menyadari Slamet ada di dalam ruangan. Langkahnya sontak terhenti karena kaget."Mel?" panggil gadis di depan setelah menunggu-nunggu ucapannya tak kunjung ditanggapi."I-iya, Bu," sahut gadis yang dipanggil Mel, lalu buru-buru mendekati si bos. "Habis ini segera saya sia
Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi
Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main
Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj
Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "
Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si
Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini."Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.Selain Jakarta, sebetulnya Slam
Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan
Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng