TING!
Slamet yang sedang mengupas kelapa muda langsung menghentikan gerakan. Parang besar di tangan dia lemparkan begitu saja ke tanah, lalu buru-buru berdiri sambil meraih ponsel dari saku celana.Jangan bayangkan itu ponsel Android seperti yang kalian pakai untuk membaca cerita ini. Apalagi sejenis ponsel mewah berlogo apel kena gigit.Slamet hanya sanggup membeli ponsel tipe candy bar. Hape jadul yang cuma bisa untuk bertelepon dan berkirim pesan singkat atawa SMS.Bukan tidak ingin pegang ponsel Android yang bisa untuk menonton video di YouSufe maupun Toktik. Namun Slamet hanyalah seorang pemuda semi pengangguran.Pekerjaan utamanya sopir angkot, tetapi sebetulnya dia lebih pantas disebut. bekerja serabutan. Apa saja bakal dia kerjakan yang penting mendapatkan uang, sebab penghasilan sebagai sopir angkot tidaklah seberapa.Kalau ditanya apa pekerjaannya, Slamet suka berseloroh menjawab: PNS. Maksudnya tentu saja bukan Pegawai Negeri Sipil atau yang sekarang istilahnya berubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). PNS versi Slamet adalah Pencari Nafkah Serabutan.[Met, kamu cepetan ke sini. Sekarang!]Slamet langsung mengerutkan kening membacanya. Itu SMS dari Sari, gadis tetangga dusun yang sejak SMA sudah dekat dengannya. Sangat dekat sekali malah. Teman tapi mesra kalau meminjam istilah lagu yang pernah hits belasan tahun lalu.Tak mau penasaran dan bingung, Slamet langsung mengecek sisa pulsanya. Ketik bintang 123 pagar, maka keluarlah angka Rp5.500 di layar. Cukup kalau hanya untuk berbicara satu-dua menit saja."Duh, kok malah ndadak telepon mbarang sih, Met?" Sari langsung ngedumel ketika panggilan itu dia terima.Slamet kaget, tetapi langsung cengengesan. Dia senang kalau Sari keluar judesnya begitu. Dia suka Sari justru karena gadis itu judes dan galak."Di rumahmu ada slametan po piye, kok aku disuruh dateng?" Slamet balik bertanya."Iya, Met, ada slametan," sahut Sari, suaranya berubah serak. Seperti orang sedih."Lo, slametan apa? Bukane mendak ramamu esih bulan depan, ya?" Slamet masih menduga-duga ada hajat apa di rumah Sari sekarang."Bukan mendak bapakku, Met, tapi lamaran," jawab Sari, lalu seperti terisak."Hah, lamaran? Biyungmu wis pan rabi maning apa?" Slamet tidak juga tanggap. "Ramamu urung ana setahun mati, Sar, mosok biyungmu wis pan rabi maning, sih? Uwis ora tahan maning apa?""Iiih, Mamet!"Terdengar suara tangis Sari. Slamet jadi semakin heran, tetapi juga bingung karena tidak tahu apa yang menyebabkan gadisnya itu menangis.Apa jangan-jangan Sari tidak terima ibunya aku sebut "enggak tahan lagi" tadi, ya? Duh! Slamet jadi garuk-garuk kepala."Yang mau lamaran bukan ibuku, Met," jawab Sari, lalu terpenggal oleh isak tangis."Oh!" Slamet nge-blank. Pemuda yang baru dua tahun lalu lulus SMA itu coba berpikir-pikir sambil melongo.Sari hanya tinggal bersama ibunya. Sedangkan ayahnya sudah meninggal dunia, kurang-lebih 11 bulan lalu. Jadi kalau bukan ibu Sari yang lamaran, berarti malah Sari dong yang dilamar orang?"Met, kamu cepetan ke sini, ya? Ta tunggu!" Ucapan Sari membuyarkan lamunan Slamet."Eh, Sar, kowe ya sing lamaran?" tanya Slamet begitu paham apa yang terjadi.Namun Sari sudah memutus panggilan. Slamet yang tak percaya melihat layar ponsel candy bar-nya. Gelap. Hitam. Tak ada lagi nama Sari tertera di sana.Panik, Slamet buru-buru mengantungi ponselnya. Setelah memungut parang yang tadi digeletakkan begitu saja di tanah, juga kelapa muda yang baru dikupas sedikit kulitnya, pemuda itu langsung masuk ke rumah."Endi degane, Met?" sambut seorang lelaki paruh baya yang sedang makan di dapur, menanyakan kelapa muda yang tadi baru akan dikupas Slamet.Di dekat tungku kayu, seorang perempuan berusia hampir sama dengan si lelaki mendongakkan kepala ke arah Slamet. Itulah ibu Slamet. Sedangkan lelaki tadi ayahnya."Durung tek kupas, Pak. Mengko, ya? Inyong kudu aring umahe Sari siki. Penting!" jawab Slamet, kemudian langsung meletakkan kelapa muda dan parang di lantai dapur yang masih berupa tanah.Bapak Slamet mendelik. Seperti ingin marah, tetapi akhirnya tidak jadi. Lelaki paruh baya itu melihat jelas tampang anaknya yang seperti bingung dan gugup."Sari kenangapa emange?" tanya ibu Slamet yang sudah berdiri dengan wajah terheran-heran."Mbuh, Mak, miki nelepon mung ngongkin iyong aring umahe. Wis, kaya kuwe tok," jawab Slamet, mengatakan kalau Sari hanya memintanya segera datang.Tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang terheran-heran, Slamet pergi begitu saja ke depan."Inyong nyelang sepedane ya, Pak? Sedelat," kata Slamet, meminjam sepeda ayahnya."Lha, kowe ta nggawa mobil mbok?" ujar jbu Slamet heran, sebab Slamet tadi pulang membawa mobil.Oh iya, mobil yang dimaksud tentu saja angkot yang biasa dibawa Slamet menarik muatan. Milik Haji Sutar, juragan kaya raya Bobotsari.Slamet sudah sejak setahunan terakhir bekerja sebagai salah satu sopir angkot-angkot milik Haji Sutar. Setiap jam makan siang seperti ini dia memilih pulang demi berhemat."Sepedaan wae, Mak, eman bensine," jawab Slamet, lalu kembali berkata pada ayahnya, "Sepedane tek gawa, Pak.""Yo!" sahut bapak Slamet, lalu melanjutkan makan.Masih dengan terheran-heran, Ibu Slamet memandangi kepergian puteranya sampai pemuda itu tak terlihat lagi. Dia lalu menghampiri suaminya yang sedang menyeruput kuah di piring makan."Slamet kenangapa ya, Pak? Kok ujug-ujug Sari ngundang ngongkon teka, sajake penting banget," ujar ibu Slamet dengan wajah penasaran."Wis, embuh, Bu. Urusane bocah enom," jawab bapak Slamet sekenanya.Jarak rumah Slamet ke rumah Sari tak sampai satu kilometer. Membutuhkan waktu kurang-lebih 10-11 menit kalau naik sepeda dengan santai. Namun Slamet ngebut, sehingga 5 menit saja sudah sampai tujuan.Begitu mendekati rumah Sari, Slamet memperlambat laju sepedanya. Kening pemuda itu berkerut melihat sederet mobil bagus-bagus parkir di tepi jalan di depan rumah Sari.Slamet memerhatikan mobil-mobil itu, juga mengingat-ingat plat nomor masing-masing. Tidak satupun yang dia kenal. Jadi bisa disimpulkan ini mobil orang jauh. Tamu di rumah Sari entah orang dari mana.Di halaman rumah Sari tampak orang-orang itu sedang duduk. Lagi-lagi tak ada wajah-wajah yang Slamet kenali. Sepertinya orang dari luar desa atau malah lebih jauh lagi.Beberapa dari mereka membawa bingkisan. Ada yang dibungkus seperti kado, ada pula yang jelas-jelas terlihat benda apa yang dibawa tersebut."Lo, ini kok malah kaya sarahan (seserahan)?" gumam Slamet, sembari turun dari sepeda.Sambil memegangi sepeda, perlahan Slamet merogoh saku celana untuk mengambil ponsel kesayangan. Dia langsung menelepon Sari."Koen nang endi, Met? Wis tekan, durung?" tanya Sari begitu panggilan itu tersambung."Uwis. Kiye aku nang sebelah umahmu, ora wani manjing. Isin," jawab Slamet, jujur berkata dirinya malu sehingga tak berani masuk.Alih-alih, Slamet malah bersembunyi di belakang sebatang pohon besar di samping rumah Sari. Dia berdiri menunggu dengan sejuta tanya memenuhi kepala, sembari menatap ke arah rumah yang sedang ramai lamaran."Iya, bener, koen usah manjing mene. Aku bae sing metu," sahut Sari, lalu seperti tadi gadis itu langsung memutus panggilan.Slamet menunggu. Sepedanya disandarkan ke batang pohon tempatnya berteduh sekaligus bersembunyi.Di dalam hati, pemuda itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah Sari. Siapa yang dilamar oleh orang-orang bermobil ini? Benar Sari-kah?Tak lama Sari muncul. Wajah gadis itu tampak sendu sekali. Malah sepasang matanya merah dan terlihat sisa-sisa air mata di tepian kelopak dan bulu mata.Slamet yang terkejut melihat keadaan Sari langsung mendekat. "Kowe kenangapa, Sar? Kok kayane nembe nangis?""Ora nembe nangis, Met, kiye inyong lagi nangis. Ngerti, ora?" jawab Sari dengan suara parau. Mengatakan kalau dia bukannya habis menangis, tetapi justru sedang menangis.Tak ada angin tak ada hujan, Sari lantas memeluk Slamet. Erat sekali pelukan itu, seakan-Sari tidak ingin dipisahkan dari Slamet.Terang saja Slamet jadi kaget, juga bingung. Mulutnya spontan melongo, dengan pandangan menerawang seolah tak percaya pada apa yang terjadi.Kurang-lebih tiga tahun mereka berstatus teman tapi mesra, belum sekalipun pernah berpelukan seperti ini. Paling pol Slamet dan Sari hanya berpegangan tangan.Itupun musti curi-curi tempat dan kesempatan karena malu kalau sampai dilihat orang. Apalagi ketahuan orang tua mereka. Jangan sampai.Lebih dari itu, Slamet sebetulnya tak mau hubungan aneh tapi mesra antara dirinya dan Sari diketahui ibu gadis itu. Bukan apa-apa, tapi...."Terus, kowe kenangapa nangis?" tanya Slamet yang tambah keheranan, ingin tahu kenapa Sari sesedih itu."Aku dilamar, Met, dijak rabi...."=$$$=Slamet pengin kaget mendengar jawaban Sari, tetapi tidak bisa. Dia sudah menduga sejak tadi jika yang sedang dilamar adalah gadis itu. Tak mungkin ibunya.Toh, tetap saja Slamet jadi melongo. Seketika seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Entah apa, tetapi pemuda itu tiba-tiba saja merasa nelangsa.Memang tak pernah ada kata cinta dan sayang terucap di antara Slamet dan Sari. Juga tak ada kesepakatan di atara mereka berdua untuk berpacaran atau apapun itu jenis hubungan antara lelaki dan perempuan.Namun mereka berdua tahu jika sama-sama saling membutuhkan. Slamet dan Sari sama-sama saling merindukan jika lama tak bertemu. Meski saat bertemu paling banter hanya berpegangan tangan, sembari memandang sendu satu sama lain.Tak ada dinner romantis ala-ala drama Korea. Namun Sari paling suka merengek minta diajak makan bakso di warungnya Lik Ganjar di dekat jalan besar.Slamet pun paling senang membelanjakan uang hasil narik angkot yang tak seberapa untuk menyenangkan Sari, s
Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng
Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan
Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini."Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.Selain Jakarta, sebetulnya Slam
Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si
Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "
Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj
Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main
Seumur-umur belum pernah Slamet melihat secara langsung seorang gadis secantik ini. Dari jarak sedemikian dekat pula. Tanpa sadar ia menelan ludah.Namun begitu pandangannya beralih pada gadis satunya lagi, Slamet langsung menundukkan kepala. Antara takut dan malu karena gadis itu yang ia buat jatuh di depan lift tadi.Gadis yang auratnya jadi terumbar ke mana-mana, sekalipun hanya Slamet yang melihat. Itupun hanya sekejap karena pemuda itu buru-buru menutup mata."Begitu rencana pembukaan cabang di Cirebon ini selesai kita matangkan, selanjutnya langsung persiapkan yang di Purwokerto, ya," ucap gadis yang masuk ruangan lebih dulu.Gadis satunya tampak mendelikkan mata saat menyadari Slamet ada di dalam ruangan. Langkahnya sontak terhenti karena kaget."Mel?" panggil gadis di depan setelah menunggu-nunggu ucapannya tak kunjung ditanggapi."I-iya, Bu," sahut gadis yang dipanggil Mel, lalu buru-buru mendekati si bos. "Habis ini segera saya sia
Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi
Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main
Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj
Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "
Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si
Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini."Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.Selain Jakarta, sebetulnya Slam
Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan
Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng