Home / Urban / Sopir Kesayangan Ibu Bos / 005 - Utang Samuji

Share

005 - Utang Samuji

Author: Ken Sagita
last update Last Updated: 2023-12-07 02:00:23

Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?

Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?

Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.

Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini.

"Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.

Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.

Selain Jakarta, sebetulnya Slamet juga terpikir untuk merantau ke Semarang. Ada teman SMA-nya yang sukses buka usaha nasi goreng pakai gerobak di dekat Rumah Sakit Umum Karyadi.

Semarang sempat jadi pilihan karena sekalipun itu tempat asing baginya, tapi setidak-tidaknya tetap Jawa Tengah juga. Slamet tidak perlu banyak beradaptasi karena orang-orang di Semarang berbahasa Jawa seperti dirinya.

Keputusan baru Slamet ambil setelah berpikir selama setengah jam di kamar mandi. Menimbang-nimbang mana yang sebaiknya dia pilih antara ikut temannya jualan nasi goreng atau ikut di perusahaan tempat Samuji bekerja? Semarang atau Jakarta?

Keputusan bulat lantas Slamet tentukan. Jakarta adalah tempatnya mengubah jalan nasib dan membuktikan diri pada Marni.

Sewaktu memberi tahu keputusan tersebut pada ayah dan ibunya, Bu Siswoyo menyarankan agar Slamet mengabari Samuji terlebih dulu. Namun pemuda itu menolak.

Ternyata kekhawatiran Bu Siswoyo jadi kenyataan. Samuji susah dihubungi. Apa boleh buat, Slamet terpaksa terkatung-katung begini. Dasar nasib....

"Ngapain lu di sini, Tong?"

Satu pertanyaan dari suara cempreng mengagetkan Slamet. Buru-buru pemuda itu berpaling ke arah sumber suara.

Di depan Slamet ternyata sudah berdiri seorang lelaki tua. Usianya kisaran enam puluhan tahun. Memakai baju koko putih cemerlang dipadu sarung kotak-kotak bergambar gajah.

"Eh, ditanyain malah diem aje lu! Gagu apa kesambet?" sentak lelaki tua itu, lagi-lagi membuat Slamet kaget. "Lu siape? Dari mane? Ngapain di sini?"

Slamet yang berasal dari kampung masih menjunjung tinggi tata krama. Diajak bicara orang yang lebih tua, pemuda itu langsung mendekati si lelaki dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

Yang diajak bersalaman terlihat kaget, seperti tidak menyangka. Namun dia ulurkan juga tangan, membiarkannya dicium dengan takzim oleh Slamet.

"Maaf, Mbah, saya nyari paklik saya," jawab Slamet jujur. Tentu saja dengan logat medoknya.

"Enak aje lu manggil gua embah!" sembur si lelaki tua, sambil menarik tangannya dengan kasar. "Emangnya gua udah keliatan tua apa?"

Slamet kebingungan, tak tahu salahnya di mana. Namun demikian dia tetap meminta maaf. "Maaf, Mbah ... eh, anu...."

"Panggil gua babe!" serobot si lelaki tua.

"Oh, i-iya ... iya, Be," jawab Slamet yang lagi-lagi dibuat kaget oleh suara menggelegar milik lelaki tua di hadapannya.

Saking kerasnya suara lelaki tua itu, pintu kamar nomor sembilan kembali terbuka. Penghuninya si tinggi besar dengan rambut cepak muncul dengan wajah kesal. Namun dia langsung mengubah ekspresi begitu melihat sosok yang berdiri di hadapan Slamet.

"Eh, Babe ..." sapa lelaki berbadan gede tersebut, sambil tersenyum dikulum. "Ini anak katanya nyariin si Muji, Be."

"Ooo ..." Si lelaki tua manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Dia memang belum mendapat jawaban tadi. "Berarti lu sodaranya si Muji, ya? Apa cuman sekampung di Jawa sono?"

"I-iya, Be, saya keponakan Lik Muji. Anak mbaknya. Mbak kandung," jawab Slamet selengkap mungkin.

"Kebetulan banget kalo gitu," kata si lelaki tua lagi. Seulas seringai tersungging di sudut bibirnya yang tipis.

Insting Slamet memberi sinyal ada sesuatu yang tidak beres. Namun pemuda itu tidak dapat menebak apa bentuk ketidak-beresan yang diisyaratkan oleh alam bawah sadarnya tersebut.

"Kebetulan gimana maksudnya, Be?" tanya Slamet, penasaran.

"Gua ke sini subuh-subuh gini karena mau nagih paman lu itu. Si Muji udeh nunggak sewa kos tige bulan," jawab si lelaki tua.

"Eh, ladalah!" Entah untuk yang keberapa kali sejak dia tiba di sini, Slamet lagi-lagi kaget. "Nunggak tiga bulan?"

"Iye, tige bulan. Mangkenye die suka kabur, kagak pernah balik kalau hari masih terang. Masuk kos udeh kayak maling, diem-diem. Malem-malem. Sembunyi-sembunyi karena takut ketauan ama gua!" jawab si Babe.

Slamet garuk-garuk kepala. Sedangkan lelaki berbadan tinggi besar tampak mencibir.

"Astaga. Gue pikir dia lembur, ternyata lagi kabur," ujarnya dengan nada mengejek, lalu kembali masuk kamar.

Sejujurnya Slamet tidak suka pamannya diejek begitu. Namun dia sadar, ini salah Samuji juga sampai menunggak sewa kos sampai tiga bulan.

"Memangnya sebulan berapa, Be?" Slamet memberanikan diri bertanya.

Kemarin saat Slamet berangkat, Bu Siswoyo memberinya uang saku. Slamet tidak menghitung berapa jumlahnya, tapi gulungan kertas berwarna merah itu terasa tebal di genggaman tangan.

Kata Bu Siswoyo, uang itu sebagai biaya hidup Slamet sebelum puteranya itu mendapat pekerjaan di ibukota. Biar tidak merepoti Samuji yang akan ditumpangi.

Karena memang hanya punya uang buat ongkos bus, itupun cuma untuk berangkat, Slamet menerima saja pemberian tersebut. Di dalam hati dia berjanji bakal mengembalikan jauh lebih banyak.

"Lu mau nalangin ceritenye?" Si Babe malah balik bertanya.

Slamet tak menjawab. Hanya bisa nyengir kuda, sembari garuk-garuk kepala.

"Di sini sewanye sejute sebulan, udeh paling mureh se-Jakarta Raya. Nunggak tige bulan, berarti tige jute," lanjut si Babe.

Sepasang bola mata Slamet seolah hendak mencolot keluar mendengar penjelasan tersebut. Dia pikir hanya beberapa ratus ribu rupiah. Ternyata sampai berjuta-juta.

Tanpa perlu menghitung saja Slamet sudah tahu jumlah uang pemberian ibunya tak akan sampai Rp3.000.000. Mungkin kalau hanya setengahnya ada, tapi masa iya dihabiskan semua untuk menalangi tunggakan sewa kos sang paman?

"Gimana, lu mau nalangin? Apa cuman kepo doang?" ujar si Babe lagi.

Pertanyaan itu membuat harga diri Slamet terusik. Spontan dia meraba pinggang.

Slamet memakai tas pinggang kecil di sana. Saling kecilnya sampai nyaris tidak kelihatan dari luar pakaian. Di sanalah uang pemberian ibunya dia simpan.

"Mmm, kalau enggak semuanya apa boleh, Be?" tawar Slamet kemudian. Dia sungguh ragu ibunya memberi bekal sampai jutaan rupiah. "Maklum, saya kan baru datang dari kampung. Justru ke sini mau cari duit."

Si Babe tampak berpikir-pikir, mengusap-usap janggut tipis di dagu sambil memandangi Slamet dari atas sampai bawah.

"Berape emangnye?" tanya si Babe kemudian. Pikirnya, daripada tidak dapat sama sekali, berapapun jadilah.

"Sebentar, Be, saya hitung dulu," sahut Slamet, lalu langsung menghitung lembaran-lembaran uang di dalam wrist bag tanpa mengeluarkannya.

"Lu ngapain, Tong?" tanya si Babe yang jadi keheranan sendiri.

Slamet hanya tersenyum, tak mau menjawab karena khawatir konsentrasinya buyar. Selesai dia menghitung, ternyata uang yang diberikan ibunya tadi ada Rp2.000.000.

"Kalau cuma sejuta, boleh, Be?" tanya Slamet kemudian. "Saya enggak bawa duit banyak."

"Sejute?" Si Babe tampak menimbang-nimbang. Mulutnya sampai terpencong-pencong.

"Iya, Be. Sisanya buat bekal saya sampai dapat kerjaan," jelas Slamet dengan jujur.

"Ya udeh, deh. Mane?" Si Babe akhirnya menengadahkan tangan.

Dengan cepat Slamet kembali menghitung uang. Namun sekarang hanya sampai bilangan kesepuluh, lalu mengeluarkannya.

"Ini, Be." Uang diserahkan pada si Babe. "Tolong beri waktu buat paklik saya untuk melunasi sisanya."

"Iye, iye!" jawab si Babe, sembari mengantungi sepuluh lembar uang berwarna merah. "Lu juga bilang ke die, jangan nunggak terus! Kerja kantoran pakaian rapi bawa mobil, kos aja nunggak."

"Iya, Be. Terima kasih," jawab Slamet.

"Ya udeh, lu nunggu di dalam kamar aja sono. Gua bukain pakai kunci cadangan," kata si Babe, lalu membukakan kunci pintu kamar kos nomor delapan.

"Terima kasih banyak, Be." Slamet kembali menyalami si Babe sebelum lelaki tua itu pergi. Hanya disahuti dengan geraman samar.

Baru saja Slamet menurunkan tasnya ke pinggiran ranjang, ponselnya berdering keras.

Kriiing!

Buru-buru Slamet merogoh saku celana untuk mengambil ponsel candy bar kesayangan. Begitu tahu siapa yang memanggil, dia tersenyum lebar.

"Lik Muji?" seru Slamet senang. "Sampeyan siki lagi nang endi, Lik? Ditelponi bolak-balik ora ngangkat babar blas."

"Aku nginep nang kantor," jawab Samuji cepat, tetapi terdengar agak bingung. "Mbengi ana lemburan, sayang nek aku ora melu nggarap."

Slamet tak tahu apakah jawaban itu benar atau dusta. Dia tidak mau ambil peduli.

"Terus, sampeyan kapan balik, Lik?" tanya Slamet lagi.

"Balik?" ulang Samuji dengan nada heran. "Ya mengkolah nek wis apan Lebaran. Esih suwe."

Jawaban itu membuat Slamet geregetan. Namun pemuda itu langsung teringat jika Samuji belum tahu dia berada di Jakarta.

"Kiye inyong lagi nang kos-kosane sampeyan, Lik," kata Slamet kemudian. "Sampeyan kapan balik aring kos, inyong ngenteni wis awit mau nemen kiyeh."

"Haaah?" Samuji terdengar benar-benar sangat kaget. "Aja nglombo kowe, Met."

Slamet tertawa mengetahui pamannya kaget. Malah mengira dirinya berbohong untuk mengerjai.

"Lah, sapa sing pan mbodoni sampeyan? Kiye inyong malah wis nomboki tunggakan sewa kos sampeyan. Soale si Babe mene miki, ngeluruhi sampeyan," jelas Slamet pula.

Terdengar Samuji menghela napas panjang. Entah karena malu atau apa, Slamet tak mampu menduga-duga.

"Met, koen langsung mrene bae aring kantore inyong. Nganggo kemeja sing rapi, karo sepatunan," kata Samuji kemudian, langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Slamet paham Samuji merasa malu karena ketahuan menunggak sewa kos selama tiga bulan. Karenanya pemuda itu langsung saja menanggapi ucapan pamannya barusan.

"Siap, Lik! Tulung kirimna alamate, ya! SMS bae."

"Oke."

=$$$=

Related chapters

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   006 - Kenalan Pertama

    Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si

    Last Updated : 2023-12-21
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   007 - Sambutan Irwan

    Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "

    Last Updated : 2023-12-22
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   008 - Pembelaan Asih

    Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj

    Last Updated : 2023-12-22
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   009 - Menabrak Siapa?

    Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main

    Last Updated : 2024-07-19
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   010 - Pertemuan Pertama

    Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi

    Last Updated : 2024-07-20
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   011 - Terpesona

    Seumur-umur belum pernah Slamet melihat secara langsung seorang gadis secantik ini. Dari jarak sedemikian dekat pula. Tanpa sadar ia menelan ludah.Namun begitu pandangannya beralih pada gadis satunya lagi, Slamet langsung menundukkan kepala. Antara takut dan malu karena gadis itu yang ia buat jatuh di depan lift tadi.Gadis yang auratnya jadi terumbar ke mana-mana, sekalipun hanya Slamet yang melihat. Itupun hanya sekejap karena pemuda itu buru-buru menutup mata."Begitu rencana pembukaan cabang di Cirebon ini selesai kita matangkan, selanjutnya langsung persiapkan yang di Purwokerto, ya," ucap gadis yang masuk ruangan lebih dulu.Gadis satunya tampak mendelikkan mata saat menyadari Slamet ada di dalam ruangan. Langkahnya sontak terhenti karena kaget."Mel?" panggil gadis di depan setelah menunggu-nunggu ucapannya tak kunjung ditanggapi."I-iya, Bu," sahut gadis yang dipanggil Mel, lalu buru-buru mendekati si bos. "Habis ini segera saya sia

    Last Updated : 2024-07-21
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   001 - Tangis Sari

    TING!Slamet yang sedang mengupas kelapa muda langsung menghentikan gerakan. Parang besar di tangan dia lemparkan begitu saja ke tanah, lalu buru-buru berdiri sambil meraih ponsel dari saku celana.Jangan bayangkan itu ponsel Android seperti yang kalian pakai untuk membaca cerita ini. Apalagi sejenis ponsel mewah berlogo apel kena gigit.Slamet hanya sanggup membeli ponsel tipe candy bar. Hape jadul yang cuma bisa untuk bertelepon dan berkirim pesan singkat atawa SMS.Bukan tidak ingin pegang ponsel Android yang bisa untuk menonton video di YouSufe maupun Toktik. Namun Slamet hanyalah seorang pemuda semi pengangguran.Pekerjaan utamanya sopir angkot, tetapi sebetulnya dia lebih pantas disebut. bekerja serabutan. Apa saja bakal dia kerjakan yang penting mendapatkan uang, sebab penghasilan sebagai sopir angkot tidaklah seberapa.Kalau ditanya apa pekerjaannya, Slamet suka berseloroh menjawab: PNS. Maksudnya tentu saja bukan Pegawai Negeri Sipil atau yang sekarang istilahnya berubah menj

    Last Updated : 2023-12-07
  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   002 - Bukan Menantu Idaman

    Slamet pengin kaget mendengar jawaban Sari, tetapi tidak bisa. Dia sudah menduga sejak tadi jika yang sedang dilamar adalah gadis itu. Tak mungkin ibunya.Toh, tetap saja Slamet jadi melongo. Seketika seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Entah apa, tetapi pemuda itu tiba-tiba saja merasa nelangsa.Memang tak pernah ada kata cinta dan sayang terucap di antara Slamet dan Sari. Juga tak ada kesepakatan di atara mereka berdua untuk berpacaran atau apapun itu jenis hubungan antara lelaki dan perempuan.Namun mereka berdua tahu jika sama-sama saling membutuhkan. Slamet dan Sari sama-sama saling merindukan jika lama tak bertemu. Meski saat bertemu paling banter hanya berpegangan tangan, sembari memandang sendu satu sama lain.Tak ada dinner romantis ala-ala drama Korea. Namun Sari paling suka merengek minta diajak makan bakso di warungnya Lik Ganjar di dekat jalan besar.Slamet pun paling senang membelanjakan uang hasil narik angkot yang tak seberapa untuk menyenangkan Sari, s

    Last Updated : 2023-12-07

Latest chapter

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   011 - Terpesona

    Seumur-umur belum pernah Slamet melihat secara langsung seorang gadis secantik ini. Dari jarak sedemikian dekat pula. Tanpa sadar ia menelan ludah.Namun begitu pandangannya beralih pada gadis satunya lagi, Slamet langsung menundukkan kepala. Antara takut dan malu karena gadis itu yang ia buat jatuh di depan lift tadi.Gadis yang auratnya jadi terumbar ke mana-mana, sekalipun hanya Slamet yang melihat. Itupun hanya sekejap karena pemuda itu buru-buru menutup mata."Begitu rencana pembukaan cabang di Cirebon ini selesai kita matangkan, selanjutnya langsung persiapkan yang di Purwokerto, ya," ucap gadis yang masuk ruangan lebih dulu.Gadis satunya tampak mendelikkan mata saat menyadari Slamet ada di dalam ruangan. Langkahnya sontak terhenti karena kaget."Mel?" panggil gadis di depan setelah menunggu-nunggu ucapannya tak kunjung ditanggapi."I-iya, Bu," sahut gadis yang dipanggil Mel, lalu buru-buru mendekati si bos. "Habis ini segera saya sia

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   010 - Pertemuan Pertama

    Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   009 - Menabrak Siapa?

    Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   008 - Pembelaan Asih

    Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   007 - Sambutan Irwan

    Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   006 - Kenalan Pertama

    Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   005 - Utang Samuji

    Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini."Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.Selain Jakarta, sebetulnya Slam

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   004 - Slamet Datang, Jakarta

    Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan

  • Sopir Kesayangan Ibu Bos   003 - Keputusan Slamet

    Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng

DMCA.com Protection Status