Slamet pengin kaget mendengar jawaban Sari, tetapi tidak bisa. Dia sudah menduga sejak tadi jika yang sedang dilamar adalah gadis itu. Tak mungkin ibunya.
Toh, tetap saja Slamet jadi melongo. Seketika seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Entah apa, tetapi pemuda itu tiba-tiba saja merasa nelangsa.Memang tak pernah ada kata cinta dan sayang terucap di antara Slamet dan Sari. Juga tak ada kesepakatan di atara mereka berdua untuk berpacaran atau apapun itu jenis hubungan antara lelaki dan perempuan.Namun mereka berdua tahu jika sama-sama saling membutuhkan. Slamet dan Sari sama-sama saling merindukan jika lama tak bertemu. Meski saat bertemu paling banter hanya berpegangan tangan, sembari memandang sendu satu sama lain.Tak ada dinner romantis ala-ala drama Korea. Namun Sari paling suka merengek minta diajak makan bakso di warungnya Lik Ganjar di dekat jalan besar.Slamet pun paling senang membelanjakan uang hasil narik angkot yang tak seberapa untuk menyenangkan Sari, selain tentu saja untuk membantu keuangan rumahnya sendiri. Meski hanya makan bakso atau mie ayam sebulan sekali."Met, kamu kok enggak bales meluk aku, to?"Ucapan Sari yang lebih mirip rengekan mengagetkan Slamet. Pemuda itu berdeham untuk melepas ketegangan yang tiba-tiba saja dia rasakan."K-kamu ... kamu jawab dulu, kamu itu kenapa malah nangis?" tanya Slamet kemudian."Kamu serius nanya gitu, Met?" Sari malah balik bertanya, lalu sesenggukan. "Wis to, peluk aku, Met. Aku pengin kamu meluk aku."Slamet garuk-garuk kepala. Bukannya menuruti ucapan Sari, dia malah bertanya lagi, "Kamu dilamar orang kok malah sedih, piye to?"Sari yang tadinya cuma sesenggukan langsung meraung. Air mata gadis itu bertambah deras saja membanjiri sepasang pipi mulusnya nan halus.Melihat itu Slamet jadi semakin serba salah. Jujur saja pemuda itu bingung. Sari dilamar, terus dia harus apa? Simpanan bukan, pacar bukan, apalagi istri.Lagi pula kalau Slamet mati-matian menolak, memangnya ada pengaruh? Semua orang satu desa tahu siapa Marni, ibu Sari. Perempuan keras kepala yang suka semaunya sendiri. Bahkan terhadap puteri semata wayangnya sekalipun."Met, kamu tuh asline sayang apa enggak sih, sama aku?" tanya Sari lagi, masih sambil susah payah menahan linangan air mata.Glek! Slamet menelan air ludahnya sendiri. Ini kali pertama Sari bertanya demikian.Sejak mereka berhubungan dekat selepas kenaikan kelas II SMA, kira-kira tiga tahun lalu, baru sekarang Sari menanyakan perasaan Slamet seperti ini."A-aku ..." Slamet bimbang hendak menjawab. Dia jawab sayang juga, Sari sudah akan dilamar orang. Buat apa? Namun dia juga tak mau mengecewakan Sari."Lha kamu sendiri, sebenernya sayang enggak sih, sama aku?" Slamet akhirnya balik bertanya.Yang ditanya kembali menangis kejer. Air matanya tak hanya membasahi sepasang pipi, tetapi juga meleleh sampai ke bahu Slamet. Membuat kaus yang dikenakan pemuda itu basah kuyup di dua titik.Melihat Sari tampak sangat sedih, Slamet mengutuki diri sendiri. Pertanyaan bodoh, makinya di dalam hati. Perempuan itu enggak usah ditanya macam-macam. Cukup lihat dan perhatikan saja sikapnya terhadapmu.Kalau diingat-ingat, memang segala kemanjaan Sari padanya selama ini apa namanya kalau bukan wujud rasa sayang? Begitupun judesnya gadis itu, sesuatu yang selalu Slamet rindukan.Diliputi perasaan bersalah, Slamet lantas membuka mulut hendak berkata. Namun belum sampai pita suaranya bergetar, satu bentakan menggelegar sudah mendahului."Oh, di sini rupanya? Pantes! Pantesan kamu, Sar!"Slamet kaget dan langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Meski sebetulnya dia sudah dapat menebak siapa si pembentak tadi, sebab orang satu Desa Dagan ini juga hapal dengan suara tersebut.Seorang perempuan berusia kisaran paruh tiga puluhan datang mendekat. Riasan tebal lagi menor yang menghias wajahnya tak mampu menutupi ekspresi gusar bercampur kesal. Dialah Marni, ibu Sari."Heh, Met, jangan peluk-peluk Sari. Cepat lepas!" bentak Marni. Sepasang matanya melotot."T-tapi, Bulik ..." Slamet kebingungan sendiri.Bukannya Slamet tidak mau menurut, tetapi bukan dia yang memeluk Sari. Justru Sari-lah yang sejak tadi memeluknya."Kamu itu dasar enggak tahu malu ya, Met. Sari ini sudah dilamar orang, kenapa kamu malah datang dan meluk-meluk dia, hah? Di sini lagi, kayak mau nantang saja," ujar Marni lagi, kedua tangannya sudah terlipat di pinggang."S-sepurane, Bulik, tapi Sari tadi yang nyuruh aku datang ke sini." Slamet akhirnya memberanikan diri menjawab.Marni mendengus sumbang. Mana mau dia percaya kalau puterinyalah yang malah mengundang Slamet untuk datang. Biar tahu kalau Sari akan dipinang orang apa bagaimana?"Kamu itu jangan macam-macam ya, Met. Jangan berharap muluk-muluk sama Sari," lanjut Marni, masih dengan berkacak pinggang. "Aku selama ini diam, pura-pura enggak tahu kedekatan kamu sama Sari, itu cuma karena masih merasa segan sama bapakmu. Bukan karena aku seneng Sari lengket sama kamu."Slamet diam. Tak tahu harus berkata apa. Sementara Sari semakin deras tangisnya. Semakin erat pula pelukannya."Sekarang Sari sudah ada yang nembung, sudah ada yang ngelamar, ngajak kawin. Jadi, kamu jangan dekat-dekat Sari lagi," sambung Marni. "Lagian, calonnya Sari anak pejabat, bukan sopir angkot kaya kamu....""Bu, tapi aku sayang karo Slamet," sela Sari di antara isak tangisnya."Halah! Sayang-sayangan tai kucing! Hidup itu butuh duit, butuh materi, bukan cuma sayang," sergah Marni dengan nada mengejek. Lalu katanya pada Slamet, "Terus kowe ya, Met, anak mantan lurah kere kaya kamu mana pantas jadi pasangan Sari. Mbok mikir kamu itu. Ngaca!"Slamet masih diam, mulutnya terkancing rapat. Namun di dalam hati pemuda itu tengah bergemuruh. Dia rela dihina Marni, dikatai apa saja dia akan terima, tetapi jangan coba-coba menyebut-nyebut ayahnya seperti itu.Baru saja Slamet hendak membalas ucapan Marni, Sari sudah terlebih dahulu melepaskan pelukan dan menyahuti ibunya."Bu, Ibu yang harusnya mikir, yang harusnya ngaca. Dulu kalau bukan bapaknya Slamet yang nolong pas Bapak meninggal, kita bisa apa?" ucap Sari yang masih menangis."Oo, jadi ceritanya kamu mau balas budi sama mantan lurah kere itu, hah? Mau jadi mantunya, gitu? Aja ngimpi!" balas Marni lebih sengit."Lagian mantan lurah kere itu pernah bantu kita apa, sih? Wong bantu dirinya sendiri saja enggak bisa gitu, kok. Ini jaman teknologi maju, tapi dia kemana-mana masih naik sepeda. Kaya jaman penjajahan Jepang wae!"Wis, kamu jangan bikin malu ibumu, Sar. Yang datang melamar kamu ini anaknya teman baik Ibu. Bukan cuma itu, tapi dia juga orang terkaya sekabupaten ini!"Usai berkata begitu, Marni menarik tangan Sari kuat-kuat. Karena kaget dan tak siap, gadis itu tersentak sehingga pelukannya pada Slamet terlepas.Marni masih belum puas. Dia tarik lagi anak gadisnya itu sampai berdiri di sebelahnya. Tak peduli Sari masih terus menangis, meratapi nasibnya yang harus ikut kemauan ibu tanpa memedulikan bagaimana perasaannya."Sudah, jangan pernah lagi kamu menemui si Mamet. Dikasih jodoh pengusaha muda, anak pejabat, malah nemplok ke sopir angkot. Bikin malu saja!" gerutu Marni, sembari menyeret Sari ke dalam rumah."Tapi, Bu....""Sudah, diam! Cepat masuk dan hapus air mata kamu. Dandan lagi sana! Jangan bikin malu ibumu, Sar!"Bertepatan dengan itu, seorang pemuda berdandan perlente dengan kemeja rapih dimasukkan ke dalam celana panjang pantalon, bersepatu semir hitam mengilat, muncul bersama seorang perempuan seusia Marni. Agaknya keributan kecil di samping rumah barusan mengusik rasa ingin tahu mereka."Ada apa, Jeng Marni?" tanya perempuan berdandan wah yang muncul dengan pemuda gagah dan rapi tadi."Oh, enggak ada apa-apa, Jeng Susi. Sudah, ayo masuk, kita mulai acaranya," jawab Marni, berusaha menutupi apa yang terjadi.Sari yang tak tahu lagi harus berbuat apa akhirnya menurut saja. Sambil berjalan didorong-dorong ibunya, gadis itu menoleh ke belakang. Memandangi Slamet yang masih berdiri diam di tempatnya.Melihat itu, pemuda perlente tadi ikut memandang ke arah Slamet. Untuk beberapa saat dua pemuda berpenampilan bagaimana langit dan bumi itu bersitatap tajam.Sambil menatap si pemuda yang dia tebak adalah pelamar Sari, Slamet menggeretakkan geraham dan mengepalkan tangan. Dia tengah menahan amarah karena sekali lagi ayahnya dihina.Kalau menuruti amarah di dada, ingin rasanya Slamet balas mencaci maki Marni. Perempuan itu harus diajari menjaga mulut, menjaga ucapan, menjaga perasaan orang lain, biar tidak terus-terusan berbuat dan berbicara seenak udel.Namun demi melihat Sari yang tampak begitu sedih dan menderita, Slamet mengurungkan niat. Dia tak mau menambah kesusahan di hati gadis itu. Biarlah, lebih baik mengalah saja.Maka, ketika pemuda di depan sana berbalik badan dan masuk ke dalam rumah, Slamet memutuskan pergi."Selamat tinggal, Sar. Aku mungkin memang bukan menantu idaman ibumu sekarang, tapi jangan lupa kalau bumi itu berputar...."=$$$=Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng
Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan
Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini."Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.Selain Jakarta, sebetulnya Slam
Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si
Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "
Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj
Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main
Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi
Seumur-umur belum pernah Slamet melihat secara langsung seorang gadis secantik ini. Dari jarak sedemikian dekat pula. Tanpa sadar ia menelan ludah.Namun begitu pandangannya beralih pada gadis satunya lagi, Slamet langsung menundukkan kepala. Antara takut dan malu karena gadis itu yang ia buat jatuh di depan lift tadi.Gadis yang auratnya jadi terumbar ke mana-mana, sekalipun hanya Slamet yang melihat. Itupun hanya sekejap karena pemuda itu buru-buru menutup mata."Begitu rencana pembukaan cabang di Cirebon ini selesai kita matangkan, selanjutnya langsung persiapkan yang di Purwokerto, ya," ucap gadis yang masuk ruangan lebih dulu.Gadis satunya tampak mendelikkan mata saat menyadari Slamet ada di dalam ruangan. Langkahnya sontak terhenti karena kaget."Mel?" panggil gadis di depan setelah menunggu-nunggu ucapannya tak kunjung ditanggapi."I-iya, Bu," sahut gadis yang dipanggil Mel, lalu buru-buru mendekati si bos. "Habis ini segera saya sia
Usai meletakkan clutch bag temuannya di bawah tas Asih, Slamet bergegas keluar dari pantry. Ia harus kembali ke lantai satu untuk melanjutkan menyapu empat lantai gedung.Akan tetapi ketika Slamet bersiap masuk lift yang pintunya baru saja terbuka, muncul Asih dari dalam. Gadis itu tampak kaget, tapi lalu langsung menggamit lengan Slamet."Eh, kebetulan banget ketemu kamu di sini," seru Asih gembira."Ada apa?" tanya Slamet yang kebingungan.Pemuda itu antara risih tapi juga senang lengannya digamit Asih. Tubuhnya secara otomatis berdempetan dengan tubuh Asih, bahkan nyaris saling bersentuhan. Entah mengapa, Slamet otomatis teringat pada Sari.Bukannya menjawab pertanyaan, Asih malah menarik Slamet. "Yuk, kamu ikut aku."Slamet tambah kebingungan. Namun ia menurut saja. Bak kerbau dicocok hidungnya, pemuda banyumas itu ikut saja ketika Asih membawanya kembali masuk ke dalam lift."Eh, ini kita mau ke mana memangnya?" tanya Slamet begi
Bagaimana Slamet tak melongo? Di hadapannya kini, seorang gadis muda tergeletak melintang tepat di depan pintu lift. Kertas HVS bertebaran di sekitar dan juga di sekujur tubuh si gadis.Sebelah kakinya terlipat ke samping, sedangkan kaki satunya lagi mengembang lurus. Karena memakai rok span sebatas lutut, posisi jatuh itu membuat bagian paha si gadis terekspos sempurna hingga ke pangkal."Mak!"Slamet yang tadinya spontan hendak maju menolong si gadis, kontan berbalik badan sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak mau matanya berdosa karena melihat aurat wanita.Sementara si gadis bergegas bangkit begitu rasa kagetnya sirna. Ia rapikan pakaiannya yang berantakan tak karuan. Rok span buru-buru ia tarik turun serendah mungkin.Sepasang pipi si gadis tampak merona merah. Campuran rasa malu dan juga marah karena tahu area terlarang tubuhnya sempat dilihat lelaki asing."Sialan lu, ya!" bentak si gadis, sembari menunjuk Slamet geram. "Mata lu buta apa gimana, hah? Ada orang main
Baru sampai tangga yang juga dekat lift, Slamet berpapasan dengan Asih. Gadis itu tengah membawa kardus besar entah berisi apa. "Mau ke mana, Met?" tanya Asih sebelum sempat Slamet menyapa. "Cari kamu," jawab Slamet. Dia memang butuh Asih saat ini, sebab Irwan sudah terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadapnya. "Hah?" Asih terang saja kaget. Gadis itu menghentikan langkah dan memandangi Slamet lekat-lekat. "Maksud kamu apa?" Slamet mesam-mesem serba salah. "Anu, kata Lik Muji ... eh, Pak Samuji, aku jadi office boy di sini sama kaya kamu dan Irwan." "Ooo." Asih tersenyum keki. Hampir saja tadi dia berpikir macam-macam. "Ya udah, yuk kita ke pantry. Udah waktunya siap-siapin minuman sama camilan buat meeting para manajer." "I-iya." Slamet mendekati Asih dan meminta kardus besar yang dibawa gadis itu. "Sini, biar aku aja yang bawa." Asih melongo, antara kaget, takjub dan tak percaya. Dia hanya diam ketika kardus besar di tangannya berpindah tangan. Selama bekerj
Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji."Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat."Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim."Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya."Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "
Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng. Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup. Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca. "Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?" Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana. "Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?" Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si
Kebingungan, Slamet lantas celingak-celinguk. Tak tahu harus melakukan apa sekarang. Terus menunggu di tempat kos ini sampai pamannya pulang atau apa?Bagaimana kalau ternyata Samuji tidak pulang-pulang? Bagaimana jika pamannya itu malah langsung bablas berangkat kerja entah karena alasan apa atau ternyata diajak bosnya keluar kota?Namun kalau tidak menunggu di sini, di mana lagi? Ini kali pertama Slamet ke Jakarta. Dia tidak tahu apa-apa. Berjalan 200-300 meter dari sini saja, belum tentu dia bisa kembali.Slamet tahu nama Kalideres karena ibunya menyebutkan daerah itu kemarin, sembari memberikan secarik kertas berisikan alamat Samuji. Alamat tempat kos ini."Bener kata Emak kemarin. Harusnya aku ngasih kabar dulu ke Lik Muji kalau mau ke sini ..." Slamet baru menyesali keputusan buru-burunya kemarin.Setelah berbincang di telepon dengan pamannya, Slamet memang tidak langsung bilang kalau ingin ke Jakarta pada Samuji. Dia masih agak bimbang waktu itu.Selain Jakarta, sebetulnya Slam
Hujan menyambut kala bus memasuki perbatasan Purbalingga-Pemalang. Mendung memang sudah mengintip sejak kendaraan antar kota antar provinsi itu melintas di depan Goa Lawa.Demi meredam amarah yang masih berdenyut-denyut, Slamet memilih memejamkan mata. Kabin ber-AC sudah sejuk, ditambah lagi di luar hujan. Benar-benar kombinasi yang pas untuk bertualang ke alam impian.Sebentar saja Slamet sudah terlelap. Sungguh nyenyak sekali tidurnya, sampai-sampai dia tidak tahu kalau bus sempat berhenti untuk makan malam di RM Naknan. Bangun-bangun saat Subuh, bus sudah memasuki ibu kota.Dengan mata masih merah, Slamet coba mengamati keadaan sekitar. Namun dia tidak tahu apa-apa, tidak tahu sedang berada di mana.Ini kali pertama pemuda itu merantau keluar dari kampung halaman di Desa Dagan sana. Jangan kata sampai Jakarta, ke Purwokerto saja dia tidak pernah.Sebagai sopir angkot, rutenya pun hanya sekitaran area pusat kota Purbalingga sampai terminal Bobotsari. Paling jauh ke kawasan perumahan
Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah."Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik meng