Langkah Zean terhenti saat melihat seorang perempuan keluar dari ruangan tempat Zenon di rawat. Pasalnya, Zean bahkan belum memberitahu orang tua Zenon tentang keadaan anaknya. Lalu bagaimana perempuan bernama Katia tersebut bisa sampai ke sini.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya.
"Hanya berkunjung."
Katia sepintas menatap Amara yang berada di samping Zean. Sedangkan Amara yang merasa ditatap dengan penuh kebencian menundukkan kepala dan sedikit menyembunyikan badan.
"Bagaimana kamu tahu Zenon berada di sini?"
"Dia menelponku barusan. Zenon mengkhawatirkanku karena pada waktu dia diculik aku dan dia sedang bersama."
"Oh ... kalau begitu kami masuk dulu."
Zean dan Amara melangkah melewati Katia. Ketika Zean memegang gagang pintu, perempuan tersebut menghentikannya.
Katia masih tidak mengerti kenapa Zean menikahi Amara. Padahal dari segi manapun Katia jauh lebih baik ketimbang perempuan tersebut.
"Katakan! Apa yang kurang dari diriku? Aku sudah lama dan berulang-ulang menyatakan cinta. Tapi kenapa aku terus-terusan ditolak?"
"Sederhana Katia, aku tidak cinta."
"Lalu bagaimana agar kamu mencintaiku? Katakan Zean! Aku akan melakukan apapun yang kamu mau. Tubuhku? Uang? Aku pasti lebih hebat dari wanita ini. Aku rela melakukan apapun asal kamu mau mencintaiku."
Andai sekarang tidak dalam suasana malam dan mereka tidak sedang berada di depan ruangan VIP yang minim pasien ataupun pengunjung. Pasti mereka sudah menjadi tontonan yang menarik banyak perhatian.
Zean hanya diam dan berniat meninggalkan perempuan tersebut. Dia tidak ingin menggubris Katia yang menurutnya sudah gila.
"Aku mohon!" Katia menyingkirkan Amara dan langsung memeluk tangan Zean."Kamu mau harta? Semua milik keluargaku akan aku berikan padamu. Ya, kita menikah dan kita akan menjadi keluarga terbaik di kota ini!"
"Katia, hal itu tidak akan bisa membuatku bahagia."
Zean nampak dingin saat mengatakan hal tersebut. Dia sudah terlalu lelah menggubris Katia dengan baik. Dengan kasar Zean menghempas tangan Katia.
"Lalu ... wanita ini yang bisa buat kamu bahagia?!" teriak Katia histeris mendapat penolakkan berat dari laki-laki yang sangat dia cintai.
"Ini gila Zean. Dia tidak bisa memberikan apapun padamu. Bagaimana bisa dia membuatmu jatuh cinta. Sangat tidak logis, kamu menikahi wanita yang bahkan tampak seperti gelandangan di jalan."
"Maaf! Tolong cari orang lain dan jangan mencampuri urusan hidupku."
Zean membawa Amara masuk dan Katia membeku di depan pintu. Tidak ada yang sebanding dengan Zean, bagaimana bisa dia mencari orang yang tidak ada lagi dunia ini. Katia tidak bisa melepaskan laki-laki itu begitu saja. Dia tidak akan Terima Zean memilih Amara. Dia mengepalkan tangan dan bertekat akan membuat pernikahan mereka hancur.
"Lihat saja! aku akan mendapatkanmu Zean."
***
Zenon terdiam saat pintu mulai kembali terbuka. Dia cukup terkejut melihat kedatangan sahabatnya tepat setelah Katia menjenguk. Menstabilkan wajahnya, Zenon menyapa Amara dan Zean bergantian. Dia menelisik dua orang tersebut apakah membawa sesuatu atau tidak.
"Kalian datang ke sini dan gak bawa apa-apa?!" tanyanya tidak terima.
"Tidak," jawab Zean.
"Yah ... kalau itu Zean aku bisa memakluminya, manusia setengah batu. Tapi kamu, Ra? Kamu perempuan! Jenis manusia yang dinobatkan sebagai makhluk paling peka di muka bumi."
"Mara belum gajian," ucap Amara."Lagian Zenon kan kaya, masa minta buah tangan dari Amara."
"Menjenguk orang sakit harus membawa sesuatu, Ra. Kamu kan bisa minta uang ke suami kamu."
"Zean gak ngasih uang ke Amara."
"Hah! Suami macam apa kamu ini?!" Zenon menggelengkan kepala setelah menimpali sahabatnya."Jahat sekali!"
"Dia yang gak mau dikasih duit," jelas Zean.
"Astaga! Kamu manusia bukan? Gak ada yang gak mau uang Amara!" ucap Zenon lebih histeris beralih menatap Amara."Kalau emang gak mau kasih ke aku aja."
"Mau, siapa bilang Mara gak mau?"
"Bilang dong kalau mau. Jangan diam-diam mau!" ucap Zenon terkekeh.
"Nanti aku kasih," ucap Zean datar.
Pecicilannya Zenon membuat Amara mudah berbicara dengannya. Mereka bahkan sudah seperti sahabat sejak lama. Padahal hanya di kafe mereka menjalani korelasi. Tapi Amara dan Zenon seakan sudah menembus batasan antara pelanggan dan pelayanan.
"Emang Zenon kenapa sampai wajahnya kayak gitu?" tanya Amara.
Zenon babak belur dihajar anak buah Mida Diananta. Dia bahkan tidak bisa melawan sedikitpun waktu itu. Wajar kalau Diananta adalah keluarga paling ditakuti di kota ini. Tidak ada yang bisa Zenon lakukan bahkan jika keluarganya mengetahui hal tersebut. Meskipun keluarganya termasuk ke dalam 23 keluarga terkaya dan ikut andil dalam yayasan SMA Gen. Mereka sama sekali tidak sebanding.
"Biasa, anak remaja. Berkelahi sedikit," jawab Zenon sepenuhnya bohong.
"Anak remaja apanya. Sudah tua gitu. Kata ibu waktu Amara masih kecil kita gak boleh berkelahi, Zenon."
"Iya."
Zean memasang wajah datar dan tidak berniat ikut pembicaraan mereka yang menurutnya luar biasa tidak penting. Dia juga tidak memiliki sedikitpun kecemasan atas sesuatu yang menimpa sahabatnya. Zenon yang merasakan hal tersebut menghembuskan napas.
"Kamu gak niat nanya keadaanku?"
"Tidak."
"Sudah kuduga."
"Kalau sudah menduga tidak usah ditanyakan lagi."
Bagi Zean yang sudah merasa melihat sahabatnya itu bisa bertingkah seperti biasa. Pengungkapan kepedulian tidak diperlukan lagi melalui kata-kata. Dibanding hal semacam itu, dia lebih peduli tentang seperti apa kejadian Zenon diculik. Bagaimana bisa Zenon dan Katia bersama seusai acara pernikahan. Dan apa hubungan dari semua hal itu dengan keluarga Diananta. Walaupun Zenon yang kena imbas, sebenarnya ini masalah yang merotasi pernikahannya dengan Amara.
Zenon baru saja sadar setelah satu hari koma. Tentu saja itu cukup membuat Zean lebih menyoroti posisinya, mengevaluasi keadaan, dan memindai data yang ada untuk menemukan pelaku sebenarnya. Semua tidak lain dan tidak bukan untuk meminimalisir bahaya di masa depan.
Mengingat keadaaan Elkira yang memiliki perjanjian damai dengan keluarga Diananta di masa lalu. Cukup jelas bahwa Mida, putri tunggal dari pasangan Leonardo Diananta dan Alisia Aurora, bertindak sendiri atau dikendalikan orang lain.
Kembali fokus, Zean sesekali menjawab pertanyaan Amara. Kedua orang yang aktif berbicara tersebut sedang berbicara tentang hantu atau sejenisnya. Sepertinya Zenon suka sekali menakut-nakuti perempuan yang muka sudah pucat tersebut.
"Zean," panggil Amara.
"Hmm ... kenapa?"
"Pulang yuk! Amara gak suka lama-lama di rumah sakit."
"Eh! Masa main pulang aja! Siapa yang menemaniku," ucap Zenon tidak terima.
"Hantu! Zenon temenan aja sama hantu!" jawab Amara kesal karena Zenon menakut-nakutinnya.
"Ra, aku serius. Gimana kalau hantunya muncul di bawah tempat tidurku ini?"
Amara bergidik ngeri. Dia langsung menjauh dari ranjang pasien. Dia takut kakinya ditarik atau disentil hantu. Zenon tertawa puas melihat reaksi Amara.
"Zean, kita pulang ya!" bujuk Amara.
"Eh! Aku cuman bercanda, Ra. Masa kalian tega ninggalin aku sendirian di sini."
"Bodo amat!" jawab Amara. "Habisnya Zenon jahat sama Amara."
"Zean?" kata Zenon memelas.
"Aku juga akan pulang," jawab Zean setuju dengan permintaan istrinya.
Zenon menatap kepergian sahabatnya itu dengan masam. Tidak dia sangka bercanda itu membuatnya harus sendirian. Zenon memeriksa kolong ranjang lalu menghembus napas lega.
"Ah, padahal aku ingin memberitahukan sesuatu yang penting," gumam Zenon yang merasa ada yang janggal dengan penculikannya.
Amara mengistirahatkan badan di kasur yang menurutnya terlalu empuk. Dia cukup lelah hari ini walau tidak selelah sebelum kesehariannya memiliki suami. Dikarenakan Zean sudah melepas beban di pundaknya mengenai uang. Jadi, Amara tidak harus melakukan pekerjaan sampingan lagi seusai bekerja di Kafe Lina.Saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi, seperti janjinya, Zean memberikan kartu ATM dan kartu kredit pada Amara. Amara bebas menggunakan pemberian tersebut sesuai kebutuhan, termasuk membantu keluarganya yang serba kekurangan. Zean juga bilang kalau dia akan selalu mengisinya setiap bulan.Awalnya Amara ragu karena nilainya lebih dari yang dia bayangkan. Bagaimana bisa dia memakai uang sebanyak itu. Menurutnya, meskipun Amara jalan-jalan di pasar setiap hari. Dia hanya akan bisa menghabiskan nol koma sekian persen dari uang yang diberikan suaminya. Zean mengatakan untuk tidak terlalu memikirkan tentang hal itu. Suaminya itu juga menjelaskan, mungkin se
"Aku tidak tahu ini bisa membuatmu senang atau tidak. Tapi aku dengar Zean punya adik bernama Reyzen yang akan segera lulus. Karena kakaknya bersekolah di SMA Gen, aku rasa adiknya juga akan melanjutkan pendidikan SMA-nya di sana.""Reyzen?""Iya.""Kalau begitu aku akan menyimpan namanya. Mungkin ada beberapa hal yang akan terjadi. Tapi aku akan menjaga langkahku agar tidak melanggar perjanjian itu."Mida tersenyum penuh arti seolah menemukan sebuah berlian besar. Bohong kalau dia tidak tertarik dengan Elkira yang akan menjadi adik kelasnya. Seperti apa wajahnya, seperti apa kepribadiannya, sungguh Mida menantikan hal itu."Oh ya, untuk sekarang aku tidak akan memaksamu untuk ikut andil dalam yayasan. Jadi kamu bisa fokus mengejar laki-laki tersebut. Anggap saja itu kemurahan hatiku.""Aku tidak berniat menjalin permusuhan dengan keluarga Diananta. Jadi aku akan ikut yayasan dengan senang hati," kata Katia."Apa Mahendra
"Ah, langit benar-benar mengerti perasaanku," gumam seorang perempuan. Sambil memeluk Paper Bag berisikan buah apel. Perempuan tersebut menghembuskan napas. Percikan hujan yang terbentur lantai membasahi celana bahan yang ia kenakan. Seharusnya matahari sedang menyinari bumi dari titik tertingginya. Tapi entah kenapa sekarang ia bersembunyi. Seolah sedang menyelaraskan keadaan dengan perempuan yang sedang bertahan di depan toko buah tersebut. Dia rasa dia akan cukup lama menunggu hujan reda. Jadi, seseorang yang sudah perempuan itu janjikan sebuah kedatangan harus mendapatkan kabar keterlambatan. Dia mengambil benda segenggam yang ada di tasnya. Menyelipkan benda tersebut di antara telinga dan rambutnya yang di cat merah anggur. "Zenon! Di luar hujan. Mungkin aku akan sedikit terlambat menjenguk mu!" jelasnya. *** Cuaca menyebabkan kafe dalam keadaan lenggang, hal tersebut membuat Amara lebih
Zenon sengaja diam cukup lama untuk memancing emosi sahabatnya. Ada kemungkinan sahabatnya itu akan terkejut dengan jawaban yang dia tahan. Seperti apa ekspresinya ketika terkejut, Zenon sangat ingin melihatnya. "Adikmu ... dia yang memperingatkan aku." Zean mengerutkan dahi saat mendengarnya lalu kembali menstabilkan ekspresi. "Oh." "Oh aja? Gak terkejut atau semacamnya?" tanya Zenon mencari sesuatu di wajah itu. Padahal sebelumnya dia sangat yakin tadi Zean penasaran. Tapi kenapa dia tidak terkejut sama sekali? "Memangnya kamu ingin aku bereaksi apa?" Zean bertanya dengan dahi yang kembali berkerut. "Sepertinya memang mustahil bisa melihat emosi kamu lewat raut wajah," jawab Zenon menghembuskan napas kecewa. Dia merebahkan tubuh yang sebelumnya dalam keadaan duduk. Sambil menatap langit-langit Zenon berkata lagi. "Jadi ... selanjutnya apa yang bisa kamu lakukan? Jangan bilang kamu h
Keluarga Sabara satu-satunya keluarga yang berhasil bangkit setelah mencoba bekerja sama dengan dua keluarga lain untuk menghancurkan Elkira. Meskipun pemicu di balik konflik tersebut adalah keluarga Diananta, tetap saja perbincangan dia dan Zean akan sangat berat."Jadi ini juga alasan kamu tidak menghadiri pernikahannya?""Iya."Perempuan cantik bernama Kea itu duduk di tempat Zean duduk sebelum pergi."Padahal kamu sudah banyak sekali makan apel. Tapi masih saja menerima pemberiannya." Kea terkekeh dengan wajah mengejek."Jangan coba-coba berniat mencuri apelku! Itu lebih berharga dari emas dan berlian di luar sana!" Zenon menatap Kea dengan waspada yang membuat perempuan tersebut tertawa."Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya," jawab Kea sembari menggelengkan kepala dan menambah, "Biar aku membantumu memotongnya."Kea melepas blezer yang dia kenakan lalu mengambil pisau bersiap memotong apel. Hany
Zenon tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Mendengar pernyataan itu membuatnya tidak bisa berpikir logis. Walaupun tidak ada konfirmasi, sejak SMA ia tahu kalau Kea menyukai laki-laki itu. Bisa saja dia mengarang atau hanya sekerja khayalannya. "Aku menyukai orang lain. Terserah kalau kamu tidak percaya hal ini. Kamu bisa menanyakannya dengan Zean secara langsung dan mendapatkan faktanya." Kea menyanggah dengan wajah yang biasa saja. Sudah menjadi makanan sehari-harinya menampilkan berbagai macam ekspresi palsu. Zenon diam sejenak untuk menstabilkan pikiran. Entah sejak kapan masalah rumah tangga orang lain jadi masalahnya juga. "Di masa depan Amara mungkin akan menjadi orang yang paling dirugikan. Aku tahu semua orang punya masalahnya sendiri dan bisa mengurusnya sendiri. Tetap saja ini bukan sesuatu yang aku harapkan. Jadi, jangan menjadi tokoh antagonis di pernikahan mereka!" Kea menghembuskan napas pelan dan meman
Lonceng Kafe kembali berbunyi sesaat setelah Amara meletakkan pesanan di meja pelanggan. Siluet ramping serta pembawaan jalan yang elegan menandakan perempuan yang baru saja masuk tersebut bukan dari kalangan biasa. Rambut pirangnya dan kulit seputih salju memberi kesan cantik yang tidak tergapai. Semua pasang tidak bisa tidak mengaguminya.Amara tahu perempuan tersebut bernama Lilia, adik kelas suaminya ketika SMA. Seminggu yang lalu Lilia sudah datang ke Kafe Lina untuk bertemu dengan Zean. Sekarang tujuan gadis itu mungkin masih sama. Lylia melenggang ke arah kiri Kafe tempat dua lelaki tampan duduk. Dia memberikan senyum yang menawan pada Zean yang menyoroti singkat kehadirannya.Menyadari pandangan Zean tidak lagi padanya, Zenon yang duduk membelakangi pintu masuk kafe menoleh ke belakang. Dia terkejut mendapati Lilia yang melangkah mendekat dengan seulas senyum. Seharusnya wajah itu tidak mungkin muncul di tempat seperti ini sekarang."Lama tidak bertemu Kak Zenon." Lilia menya
"Bagus kau tidak menahan Lilia. Setelah menikah semua perempuan yang datang padamu memang harus kau benci seperti tadi. Aku puas melihat dia kecewa.""Aku tidak punya perasaan rumit semacam benci. Tindakanku hanya berdasarkan keuntungan dan kerugian. Lebih baik aku membiarkannya pergi ketimbang dia membuat masalah di sini.""Walau kau tidak membencinya. kau juga tidak menahannya. Itu sudah bagus!" Zenon mengacungkan jempol lalu tersenyum pada Amara yang datang menghantarkan pesanan. Amara meletakkan ice mocachino ke atas meja sembari mencari keberadaan Lilia, dia bertanya, "Dia pulang? Lalu pesanan Ini buat siapa?""Biar aku yang bayar," jawab Zean."Aku sudah mengusir pelakor itu." Dada Zenon membusung bangga, ia lalu menadahkan tangannya pada Amara. "Tidak perlu terharu. Cukup beri aku permen!" pintanya."Amara enggak punya permen.""Kalau begitu cepat beri aku keponakan!""Keponakan?""Segeralah melahirkan anak. Dengan begitu aku punya keponakan."Wajah Amara mendadak panas. Sebe