"Waitress itu harus lebih pandai merawat diri, Ra," ucap Lina ketika Amara datang padanya dan memberikan kertas pesanan pada Rian. "Bisa-bisa pelanggan kita kabur karena penampilan kamu."
"Bukannya pengunjung masih ramai kaya biasanya, ya?" tanya Amara sambil mengernyitkan dahi. "Mereka juga gak ada yang komplain tentang penampilan Mara yang kaya gini."
"Ya itu karena dua cowok ganteng selalu datang ke kafe kita."
Lina menghembuskan napas.
"Harus kamu akui penampilan benar-benar mempengaruhi kesan seseorang!" ucap Lina lagi dengan nada memaksa.
Lina prihatin dengan Amara yang semakin hari semakin berantakan dalam berpenampilan. Berkenaan dengan bakat manusia yang menggunakan mata untuk menilai pertama kali. Menjadi pelayanan dengan penampilan bagus seharusnya mempengaruhi pengunjung laki-laki di kafe.
Buka sekali dua kali Lina menegur Amara. Namun perempuan tersebut selalu acuh tak acuh. Mungkin beberapa waktu Amara sempat berpikir untuk merawat wajahnya. Tapi, dibandingkan membeli skincare dan peralatan make up. Amara pikir memenuhi kebutuhan rumah lebih penting.
"Selain kesan baik. Penampilan juga bisa bikin apa?" tanya Amara sekedarnya saja.
"Ni kamu harus tahu ya! Penampilan bisa bikin orang jatuh cinta. Terus ... eee ... mempererat hubungan sepasang kekasih...."
"Jangan ngomong tentang hubungan sama orang jomblo," ucap Rian memperingatkan Lina setelah selesai dengan pekerjaan membuat Ice Macha Espresso.
"Ini dah jadi."
Amara mencebik saat mengambil pesanan pelanggan dari tangan Rian.
"Mara kasih tahu ya. Cinta itu gak boleh datang dari fisik, Rian!"
Amara melangkah pergi setelah mengatakan itu. Dia menuju meja pelanggan perempuan yang umurnya kisaran 20 tahun ke atas. Rambut perempuan tersebut bergelombang dengan setuhan cat pirang di ujungnya. Senyumnya mengadopsi sabit bulan, manis dan menawan.
Tiba-tiba lonceng di pintu masuk berbunyi. Amara menoleh ke arah sumber suara. Bukan hanya Amara yang menelisik pandang. Semua pengunjung kafe termasuk wanita yang ada di hadapannya tadi juga memperhatikan sosok itu.
Dia adalah Zean, laki-laki yang di berkahi fiksi luar biasa tampan. Harusnya ada seorang lagi yang datang bersamanya seperti biasa. Tapi kali ini orang tersebut tidak ada.
"Bisa minggir dari sana!" Perempuan blasteran Rusia itu menatap jijik pada Amara. "Merusak pemandangan aja."
Amara meminta maaf dan tidak ambil pusing dengan perkataan perempuan tersebut. Dia berlalu ke arah Zean yang baru saja duduk. Amara berniat menawarkan menu seperti biasanya. Sebelumnya posisi Amara hanyalah pengagum seperti pengunjung perempuan kafe Lina yang lain. Namun pria yang sedang berpikir untuk menyesap menu kopi apa sore ini adalah suaminya.
"Amaricano dua," ucap Zean.
"Ada lagi yang ingin dipesan? Makanannya mungkin?"
"Kamu sukanya apa?"
Amara sedikit berpikir lalu menjawab.
"croissant."
"Yaudah itu aja."
Amara melangkah pergi. Dia tidak bisa terlalu lama berperang dengan jantungnya sendiri. Sambil mengatur napasnya dia baru-buru menuju Rian dan memberikan kertas di tangannya. Dia memegang dadanya dan menembus napas lega. Tidakkah jantungnya mendengarkan perintah otak Amara? Dari tadi berontak seakan ingin lepas dari tempatnya.
"Sendiri aja dia, Ra?" tanya Lina.
Lina paham betul laki-laki tersebut adalah alasan kenapa kafenya selalu ramai. Tentu saja keberadaan laki-laki satunya yang sering datang bersama Zean juga ikut andil di dalamnya.
"Entahlah, tapi Zean memesan dua Americano."
"Mungkin nyusul kali, ya?" ucap Lina.
"Bisa jadi," jawab Amara.
Amara menarik napas dan menghembuskannya. Sambil membawa pesanan dia menuju meja Zean.
"Silahkan dinikmati!" kata Amara lalu berniat pergi.
"Kamu mau ke mana?"
"Lanjut kerja."
"Duduk," titah Zean.
"Tap–"
"Kamu tidak mau duduk?"
Amara menggeleng. Dia menurut saja untuk duduk walaupun enggan. Kalau kafe kehilangan waitress-nya itu adalah masalah yang besar. Seolah meminta konfirmasi, Amara melayangkan tatapan aneh ke Lina.
Perempuan tersebut mengajukan jempulnya dan tersenyum ke Amara.Anggap saja Lina adalah makhluk paling peka di muka bumi. Perempuan cantik dan baik itu tahu Amara menyukai Zean dan dia juga tahu Rian menyukai Amara. Dan menurut Lina terkadang ketidaktahuan adalah posisi paling tepat. Karena sekarang dia merasa di posisi serba salah.
Amara merasa tidak enak kepada Lina yang kini memakai apron abu-abu untuk menggantikannya sementara. Tidak seharusnya bosnya itu menjadi waitress pengganti.
"Kenapa?" tanya Zean menatap Amara yang memperhatikan Lina.
"Enggak."
"Mereka tahu kit–"
"Zean jangan kasih tahu mereka."
"Kenapa?"
"Zean pasti malu, kan?"
"Sedikit," jawab Zean lalu menyeruput kopi. "Tapi itu perasaan yang tidak aku perlukan. Jadi aku sudah membuangnya."
"Gak masalah itu dirahasiakan?"
"Kalau itu mau kamu ya tidak masalah."
Amara merasa semua perempuan yang ada di kafe menatapnya dengan sinis. Mereka benar-benar tidak menyukai Amara berada di sana. Di tempat laki-laki pujaan mereka.
"Amara pergi ya?"
"Kenapa?"
"Zean suka banget pakai kenapa! Mara kan jadi sulit mau jawab apa. Bilang iya sesekali biar Mara mudah."
"Kalau aku jawab iya kamu pasti pergi."
"Emang Zean gak mau Mara pergi?"
"Tidak juga."
"Isssh ... jahatnya."
Amara cemberut dan mengarahkan padanganya ke sembarang tempat. Berharap Zean membujuknya walau rasanya itu mustahil.
Di sisi lain Zean merasa istrinya sudah mulai berbicara lancar denganya. Sebelum Zean seperti berbicara dengan Amara yang sangat pemalu. Walaupun sudah perubahan terhadap Amara. Zean sama sekali tidak merasa terjadi sesuatu di hati atapun pikirannya.
Mustahil! Lebih baik Amara mencari topik baru saja agar pembicaraan ini berlangsung. Dia harus terus melatih jantungnya yang kian detik semakin kencang berdetak. Amara memberanikan diri menatap Zean.
"Zenon mana?"
"Ada."
"Adanya di mana, Zean. Kok gak ke kafe?"
"Di rumah sakit. Setelah kamu kerja mau tidak ikut aku jenguk dia?"
"Emang sakit apa?"
"Sakit aja."
"Isshh!"
Setelah itu ada perempuan yang tiba-tiba duduk dan bergabung dengan mereka. Itu adalah gadis cantik yang dari tadi memperhatikan Zean sekaligus orang yang marah pada Amara tadi karena pandangannya dihalangi.
"Boleh duduk, kan?"
Amara menatap mata Zean berharap laki-laki itu menolaknya.
"Boleh," jawab Zean.
Tidak mungkin Zean menolak perempuan tersebut. Perempuan itu sudah memiliki tempat di sudut kepalanya. Adik kelasnya sewaktu sekolah di SMA Gen itu memiliki wajah seperti orang Rusia.
"Ini siapanya Kak Zean?" perempuan itu mengerutkan kening menatap Amara.
"Karena aku tidak punya teman jadi aku minta ditemani dia," Jawab Zean.
"Oh ... sekarang sudah ada aku yang menemani Zean. Jadi kamu tidak diperlukan. Kamu bisa lanjut kerja," kata perempuan tersebut kurang senang dengan keberadaan Amara.
"Itu namanya tidak supan Lilia," kata Zean.
"Enggak papa. Aku pergi," Jawab Amara.
Amara berdiri. Sebenarnya dia cemburu. Tapi Lilia benar-benar cantik. Entah kenapa mentalnya tidak sanggup kalau harus bersaing dengan perempuan tersebut.
"Tunggu! Sekalian bawain pesanan aku yang di meja itu ke sini," perintah Lilia.
Amara tidak punya kuasa untuk menolak pelanggan. Jadi ia mengiyakan saja. Dia kembali kembali mengerjakan perkerjaannya dengan senyum dipaksakan. Sepertinya Satu-satunya bakat perempuan tersebut adalah tersenyum palsu.
***
"Zenon kenapa sampai bisa masuk ke rumah sakit?"
Amara yang duduk di samping Zean sebenarnya ragu untuk bertanya. Tapi mengingat Zenon baik-baik saja waktu di pernikahan mereka. Amara kira Zenon kemungkinan mengalami insiden atau semacamnya. Dia sedikit khwatir mengingat Ayahnya dulu meninggal karena suatu kecelakaan.
"Kamu lihat sendiri nanti," jawab Zean.
"Zenon ditambrak mobil, ya?"
"Enggak."
"Terus?"
"Ra, aku lagi nyetir. Bisa-bisa kita yang menabrak mobil lain."
Sebenarnya berbicara dengan Amara tidak masalah bagi Zean yang sedang menyetir. Hanya saja laki-laki tersebut ingin lari dari pertanyaan Amara yang sulit untuk dia jawab. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa Zenon menjadi sandera dengan tebusan perceraian mereka.
"Maaf ... Zean marah sama Amara, ya? Mara sayang Zean. Amara engak pengen cerai."
"Enggak."
"Gak bohong kan?"
"Iya. Aku gak bohong, Ra."
Zean sebenarnya tidak ingin terlibat dengan hal merepotkan seperti dikerjar-kerjar perempuan. Tapi, berada di lintasan yang sama membuat dia sulit menjaga posisinya agar tidak berbenturan dengan mereka. Selanjutnya, mungkin dia akan menghadapi orang-orang yang mengharapkan pernikahan dia dan Amara hancur.
"Zean."
"Hmmm."
"Jantung Mara mau lepas dari tempatnya kalau kita diam terus gini."
"Kenapa?"
"Issshh!" Amara tidak habis pikir Zean diciptakan dengan tanah apa. Begitu saja tidak paham.
"Zean ngomong dong. Mara mulu yang nyari topik. Nyari topik susah tahu. Apalagi sama orang yang kita cinta. "
"Karena susah kamu aja yang nyari."
"Masa perempuan yang nyari."
"Imansipasi wanita."
"Pintar banget ngelesnya."
Amara menyeleksi hal-hal penting di kepala dan hatinya. Sampai dia ingat dengan kejadian di kafe tadi, dan ya, harus Amara akui itu membebani pikirannya.
"Perempuan yang sama Zean tadi siapa?"
"Lilia."
"Yang lengkap Zean."
"Lilia, 20 tahun, model, lulusan SMA Gen."
"Kaya ngomong sama mensin pencari di handphone aja!" kesal Amara.
"Terus maunya kamu apa, Ra?"
"Perasaaan dan hubungan Zean sama dia apa? Zean cinta ya sama Lilia?"
"Enggak."
"Lilia pernah menyatakan perasaan ke Zean?"
"Pernah."
"Zean tolak?"
"Kalau aku Terima aku tidak akan menikah sama kamu, Ra."
"Siapa tahu. Lilia kan cantik."
Sudah cukup Zean diinterogasi oleh Amara yang luar biasa rewel. Tidak habis pikir dia ternyata Amara punya kepribadian seperti ini. Padahal sebelumnya Amara sangat pemalu berbicara dengannya. Apalagi ketika ada orang di sekitar mereka.
"Kamu sekarang banyak bicara ya."
"Zean gak suka Mara banyak bicara? Zean jangan marah. Mara gak mau cerai."
Kombinasi yang sempurna jika Zean yang pasif harus berdekatan dengan Amara yang aktif. Kalau tidak seperti itu. Mereka berdua akan menjadi definisi mengheningkan cipta.
"Ra. Kita baru nikah. Jangan banyak pakai kata cerai."
"Ya kan Zean bilang gak cinta sama Amara. Kalau Amara sih gak mungkin minta cerai. Bilang dong Zean gak mungkin cerai sama Mara. Biar Mara tenang."
"Iya."
"Bilang Zean!"
"Bilang apa, Ra?"
"Bilang Zean gak akan cerai sama Mara."
"Iya."
"Issshhh!"
Zean memakirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Awalnya dia memperhatikan sebuah mobil putih yang cukup familiar di kepalanya. Tapi dia menganggap itu hanya mirip atau semacamnya dan mulai melangkah masuk bersama Amara, yang sepertinya sedikit takut dengan suasana tempat tersebut.
Tanpa Amara sadari dirinya memeluk lengan Zean yang sebelumnya bebas.
"Kenapa?" tanya Zean menatap Amara yang mengitari pandang.
"Zean gak takut hantu, kah?"
"Hantu itu gak ada, Ra. Kalaupun ada itu hanya rumput yang bergoyang."
"Zean jangan cepat jalannya!" tegas Amara yang masih memperhatikan sekeliling. Dia menyesal sudah datang sekarang. Harusnya dia datang setelah bekerja tadi sore atau besok saja. Tanpa harus pulang dan bersiap-siap seperti saat ini.
Langkah Zean terhenti saat melihat seorang perempuan keluar dari ruangan tempat Zenon di rawat. Pasalnya, Zean bahkan belum memberitahu orang tua Zenon tentang keadaan anaknya. Lalu bagaimana perempuan bernama Katia tersebut bisa sampai ke sini."Apa yang kamu lakukan?" tanyanya."Hanya berkunjung."Katia sepintas menatap Amara yang berada di samping Zean. Sedangkan Amara yang merasa ditatap dengan penuh kebencian menundukkan kepala dan sedikit menyembunyikan badan."Bagaimana kamu tahu Zenon berada di sini?""Dia menelponku barusan. Zenon mengkhawatirkanku karena pada waktu dia diculik aku dan dia sedang bersama.""Oh ... kalau begitu kami masuk dulu."Zean dan Amara melangkah melewati Katia. Ketika Zean memegang gagang pintu, perempuan tersebut menghentikannya.Katia masih tidak mengerti kenapa Zean menikahi Amara. Padahal dari segi manapun Katia jauh lebih baik ketimbang perempuan tersebut.
Amara mengistirahatkan badan di kasur yang menurutnya terlalu empuk. Dia cukup lelah hari ini walau tidak selelah sebelum kesehariannya memiliki suami. Dikarenakan Zean sudah melepas beban di pundaknya mengenai uang. Jadi, Amara tidak harus melakukan pekerjaan sampingan lagi seusai bekerja di Kafe Lina.Saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi, seperti janjinya, Zean memberikan kartu ATM dan kartu kredit pada Amara. Amara bebas menggunakan pemberian tersebut sesuai kebutuhan, termasuk membantu keluarganya yang serba kekurangan. Zean juga bilang kalau dia akan selalu mengisinya setiap bulan.Awalnya Amara ragu karena nilainya lebih dari yang dia bayangkan. Bagaimana bisa dia memakai uang sebanyak itu. Menurutnya, meskipun Amara jalan-jalan di pasar setiap hari. Dia hanya akan bisa menghabiskan nol koma sekian persen dari uang yang diberikan suaminya. Zean mengatakan untuk tidak terlalu memikirkan tentang hal itu. Suaminya itu juga menjelaskan, mungkin se
"Aku tidak tahu ini bisa membuatmu senang atau tidak. Tapi aku dengar Zean punya adik bernama Reyzen yang akan segera lulus. Karena kakaknya bersekolah di SMA Gen, aku rasa adiknya juga akan melanjutkan pendidikan SMA-nya di sana.""Reyzen?""Iya.""Kalau begitu aku akan menyimpan namanya. Mungkin ada beberapa hal yang akan terjadi. Tapi aku akan menjaga langkahku agar tidak melanggar perjanjian itu."Mida tersenyum penuh arti seolah menemukan sebuah berlian besar. Bohong kalau dia tidak tertarik dengan Elkira yang akan menjadi adik kelasnya. Seperti apa wajahnya, seperti apa kepribadiannya, sungguh Mida menantikan hal itu."Oh ya, untuk sekarang aku tidak akan memaksamu untuk ikut andil dalam yayasan. Jadi kamu bisa fokus mengejar laki-laki tersebut. Anggap saja itu kemurahan hatiku.""Aku tidak berniat menjalin permusuhan dengan keluarga Diananta. Jadi aku akan ikut yayasan dengan senang hati," kata Katia."Apa Mahendra
"Ah, langit benar-benar mengerti perasaanku," gumam seorang perempuan. Sambil memeluk Paper Bag berisikan buah apel. Perempuan tersebut menghembuskan napas. Percikan hujan yang terbentur lantai membasahi celana bahan yang ia kenakan. Seharusnya matahari sedang menyinari bumi dari titik tertingginya. Tapi entah kenapa sekarang ia bersembunyi. Seolah sedang menyelaraskan keadaan dengan perempuan yang sedang bertahan di depan toko buah tersebut. Dia rasa dia akan cukup lama menunggu hujan reda. Jadi, seseorang yang sudah perempuan itu janjikan sebuah kedatangan harus mendapatkan kabar keterlambatan. Dia mengambil benda segenggam yang ada di tasnya. Menyelipkan benda tersebut di antara telinga dan rambutnya yang di cat merah anggur. "Zenon! Di luar hujan. Mungkin aku akan sedikit terlambat menjenguk mu!" jelasnya. *** Cuaca menyebabkan kafe dalam keadaan lenggang, hal tersebut membuat Amara lebih
Zenon sengaja diam cukup lama untuk memancing emosi sahabatnya. Ada kemungkinan sahabatnya itu akan terkejut dengan jawaban yang dia tahan. Seperti apa ekspresinya ketika terkejut, Zenon sangat ingin melihatnya. "Adikmu ... dia yang memperingatkan aku." Zean mengerutkan dahi saat mendengarnya lalu kembali menstabilkan ekspresi. "Oh." "Oh aja? Gak terkejut atau semacamnya?" tanya Zenon mencari sesuatu di wajah itu. Padahal sebelumnya dia sangat yakin tadi Zean penasaran. Tapi kenapa dia tidak terkejut sama sekali? "Memangnya kamu ingin aku bereaksi apa?" Zean bertanya dengan dahi yang kembali berkerut. "Sepertinya memang mustahil bisa melihat emosi kamu lewat raut wajah," jawab Zenon menghembuskan napas kecewa. Dia merebahkan tubuh yang sebelumnya dalam keadaan duduk. Sambil menatap langit-langit Zenon berkata lagi. "Jadi ... selanjutnya apa yang bisa kamu lakukan? Jangan bilang kamu h
Keluarga Sabara satu-satunya keluarga yang berhasil bangkit setelah mencoba bekerja sama dengan dua keluarga lain untuk menghancurkan Elkira. Meskipun pemicu di balik konflik tersebut adalah keluarga Diananta, tetap saja perbincangan dia dan Zean akan sangat berat."Jadi ini juga alasan kamu tidak menghadiri pernikahannya?""Iya."Perempuan cantik bernama Kea itu duduk di tempat Zean duduk sebelum pergi."Padahal kamu sudah banyak sekali makan apel. Tapi masih saja menerima pemberiannya." Kea terkekeh dengan wajah mengejek."Jangan coba-coba berniat mencuri apelku! Itu lebih berharga dari emas dan berlian di luar sana!" Zenon menatap Kea dengan waspada yang membuat perempuan tersebut tertawa."Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya," jawab Kea sembari menggelengkan kepala dan menambah, "Biar aku membantumu memotongnya."Kea melepas blezer yang dia kenakan lalu mengambil pisau bersiap memotong apel. Hany
Zenon tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Mendengar pernyataan itu membuatnya tidak bisa berpikir logis. Walaupun tidak ada konfirmasi, sejak SMA ia tahu kalau Kea menyukai laki-laki itu. Bisa saja dia mengarang atau hanya sekerja khayalannya. "Aku menyukai orang lain. Terserah kalau kamu tidak percaya hal ini. Kamu bisa menanyakannya dengan Zean secara langsung dan mendapatkan faktanya." Kea menyanggah dengan wajah yang biasa saja. Sudah menjadi makanan sehari-harinya menampilkan berbagai macam ekspresi palsu. Zenon diam sejenak untuk menstabilkan pikiran. Entah sejak kapan masalah rumah tangga orang lain jadi masalahnya juga. "Di masa depan Amara mungkin akan menjadi orang yang paling dirugikan. Aku tahu semua orang punya masalahnya sendiri dan bisa mengurusnya sendiri. Tetap saja ini bukan sesuatu yang aku harapkan. Jadi, jangan menjadi tokoh antagonis di pernikahan mereka!" Kea menghembuskan napas pelan dan meman
Lonceng Kafe kembali berbunyi sesaat setelah Amara meletakkan pesanan di meja pelanggan. Siluet ramping serta pembawaan jalan yang elegan menandakan perempuan yang baru saja masuk tersebut bukan dari kalangan biasa. Rambut pirangnya dan kulit seputih salju memberi kesan cantik yang tidak tergapai. Semua pasang tidak bisa tidak mengaguminya.Amara tahu perempuan tersebut bernama Lilia, adik kelas suaminya ketika SMA. Seminggu yang lalu Lilia sudah datang ke Kafe Lina untuk bertemu dengan Zean. Sekarang tujuan gadis itu mungkin masih sama. Lylia melenggang ke arah kiri Kafe tempat dua lelaki tampan duduk. Dia memberikan senyum yang menawan pada Zean yang menyoroti singkat kehadirannya.Menyadari pandangan Zean tidak lagi padanya, Zenon yang duduk membelakangi pintu masuk kafe menoleh ke belakang. Dia terkejut mendapati Lilia yang melangkah mendekat dengan seulas senyum. Seharusnya wajah itu tidak mungkin muncul di tempat seperti ini sekarang."Lama tidak bertemu Kak Zenon." Lilia menya