Amara tidak lagi berada di atmosfer mimpi. Meskipun tahu itu, tetap saja badannya masih nyaman dalam balutan hangat selimut. Sangat sulit membuat kesadaran sepenuhnya dengan cepat. Jadi bola matanya mencoba memberontak agar kelopak mau memperkenalkan Amara pada dunia. Setelah disentuh cahaya, netra itu menangkap tiga sosok pelayan.
"Selamat pagi Nyonya Amara!"
Pelayan itu membungkuk, senyumnya sopan dan formal. Amara yang setengah sadar segera bangun dan bertanya.
"Se-sejak kapan kalian berada di sana?"
"Kurang lebih setengah jam Nyonya," jawab salah satu dari mereka.
Para pelayanan tersebut berbaris rapi di depan sana. Di antara mereka masing-masing mememegang sesuatu yang perempuan itu butuhkan.
"Se-setengah jam?"
"Iya."
Bagaimana mereka bisa masuk ke kamar dan menunggunya selama setengah jam? Apa ini karena Zean sudah datang? Di mana suami tercintanya itu meletakkan badan? Di bawah selimut? Di bawah bantal? Atau di laci meja? Amara memeriksa semua tempat tanpa sedikit pun hal yang tidak terpaut dengan matanya.
"Di mana Suami Mara?” gumamnya panik.
"Tuan sudah ada di meja makan untuk sarapan."
Amara memeriksa seluruh badannya. Lengkap, dia masih memakai Dress semalam. Haa! Dress semalam? Amara mau mati saja. Bagaimana bisa dia tidak mandi di malam pertamanya? Zean pasti tidak mau tidur bersama Amara. Dia buru-buru bangun dan mengambil handuk yang di pegang salah satu pelayan.
“buat Mara, 'kan?”
“Iy—“
Belum sempat pelayan Menjawab Amara sudah melaju ke arah kamar mandi. Sejurus kemudian suaranya terdengar lagi.
“Di mana gayung mandinya?!”
“Maaf Nyonya. Nyonya bisa menggunakan benda yang ada di atas sana!”
“Oh ini ... “
Mandi, berpakaian, berdan–Tidak! Skip bagian itu. Amara tidak pernah berdandan. Untuk menatap cermin saja dia sering kelupaan. Dunia Amara selalu dipaksa berotasi lebih cepat. Jadi, dia tidak punya cukup waktu untuk memperhatikan penampilannya.
Amara selesai mempersiapkan diri. Walaupun sudah dikatakan siap. Tetap saja rambut Amara yang bergelombang masih agak basah dan lepek. Wajahnya butek, kusam dan bahkan tidak terlihat seperti perempuan berumur 23 tahun. Yah, mandi memang tidak bisa menghilangkan keadaannya yang memang sudah lama seperti itu.
Amara ragu-ragu untuk melangkah ke meja makan. Dia sama sekali belum berbicara dengan Zean setelah kejadian di taman hari itu. Pikiran Amara mencari retorika menggunakan kepalanya. Namun bibirnya masih bungkam saat pelayan menarikan kursi dan dia harus segera duduk di atasnya.
Pria itu masih fokus makan. Amara menatap piring dan Zean bergantian. Dia ragu, dia ragu untuk mengucapkan sesuatu.
"Kalau ada masalah lebih baik diucapkan," kata Zean tanpa menoleh sedikitpun.
"Enggh ... Zean pulang jam berapa? tidur di mana malam tadi?"
"Jam sebelas lebih mungkin. Kalau gak di samping kamu di mana lagi, Ra?"
Amara diam sejenak sambil menundukkan pandangan menatap roti di meja.
"Ma-maaf."
"Untuk?"
"Untuk Mara yang gak mandi."
Laki-laki itu mengerutkan keningnya.
"Kamu belum mandi?"
"Su-sudah. Maksud Mara malam tadi. Karena ketiduran Amara lupa mandi. Makannya Zean gak it–"
"Aku memang tidak akan menyentuh kamu bahkan jika kamu sudah mandi, Ra."
Deg! Zean menjawab maksud Amara bahkan belum sempat Amara menyelesaikan perkataannya.
"Kenapa?" ucapnya tipis. "Mara sama Zean kan sudah suami istri."
"Karena aku belum cinta sama kamu, Ra."
Leher Amara seakan dicekik. Pasokan oksigen di paru-parunya tiba-tiba tidak bisa diproses. Bisa-bisanya dia dinikahi tanpa dicintai.
"Tapi kenapa Zean menerima Mara?" Amara bertanya sambil menahan sakit di dadanya.
"Karena ingin saja."
Iseng? Apa Zean akan menceraikannya? Padahal baru menikah. Kenapa kemungkinan perceraian sudah menganga sangat lebar.
Zean menatap Amara lekat. Dia memahami bahwa perempuan tersebut sedang sedih. Sangat sedih, sampai Amara yang biasanya memaksakan senyum kini terlihat sangat murung.
"Kamu gak suka ya aku menerima kamu tapi gak cinta?" tanya Zean.
"Iya."
"Kamu pengen cerai?"
Amara menggeleng, "Mara cinta sama Zean. Mara gak pengen cerai."
Hei! Perempuan mana yang mau menceraikan Zean? Dia terlalu sempurna. Bahkan banyak perempuan yang rela menjadi istri ke sekian laki-laki tersebut bahkan tanpa dicintai.
"Baguslah."
"Zean iseng nerima Amara ya? Zean pengen cerai?"
"Gak."
"Zean pengen balas dendam sama Amara? Emang Mara pernah salah apa?"
"Kenapa kamu berpikir aku benci kamu Ra?"
"Di novel dan film-film begitu. Laki-laki menikahi perempuan hanya untuk balas dendam."
"Terus akhirnya apa?"
"Laki-laki itu jatuh cinta terus mereka hidup bahagia."
"Nah ... itu bagus, " jawab Zean.
Tapi itu hanya sekedar novel dan film. Sesuatu yang sudah diatur oleh seseorang agar endingnya bahagia. Berbeda dengan tempat Amara berpijak sekarang. Kenyataan yang memiliki beragam kemungkinan.
Walau topiknya semakin berat Zean hanya menjawab sekenanya saja. Amara menutup mulut dan semakin susah untuk berkata. Tapi sedikit kebahagiaan sempat mampir karena Zean tidak menampakkan indikasi membencinya. Mampir sebentar, lalu di usir oleh kenyataan bahwa Zean tidak mencintainya.
"Aku akan ke kantor."
Zean berdiri dan membenarkan dasi kendati orang yang diburu waktu.
"Terus Mara ngapain?"
"Tugas istri ngapain?"
"Jaga anak. Tapi kan Mara gak punya anak."
"Selain itu?"
"Nyuci, masak, melayani."
"Nyuci dah dikerjain laundry. Masak sama melayani dikerjakan pelayan."
"Terus Amara harus apa?"
"Rebahan. Kalau gak belanja ke mall. Ngabisin uang suami."
"Issshh .... emang Amara mesin penghabis uang."
Amara yang terbiasa hidup susah sangat menghargai alat tukar bernama uang. Namun, dia bukan pemuja benda tersebut. Banyak hal penting yang Amara letakkan di atas benda tersebut.
"Kan kamu gak ada kerjaan. Terus mau ngapain? Uang aku kebanyakkan, Ra."
Zean pewaris Elkira Group yang sahamnya bergerak di berbagai bidang seperti; konstruksi bangunan, sektor perkebunan, jasa komputer, dan otomotif maupun komponennya.
Mengingat adiknya yang sama sekali tidak tertarik dengan pencapaian keluarganya. Zean sebagai sang kakak harus menimpa pelimpahan harta yang sulit untuk dihitung banyaknya tanpa harus dibagi dengan Reyzen. bahkan Zean bingung untuk apa dia bekerja setiap hari. Dan siapa yang harus menghabiskannya.
"Mara mau kerja aja."
Zean sering ke kafe Lina, tempat Amara bekerja. Garis waktu tempat mereka sering menjalin korelasi antara pelanggan dan pembeli. Adalah tempat Amara mencuri pandang dan menyimpan cinta. Yah, walaupun bukan hanya Amara saja. Semenjak dua laki-laki tampan, yakni Zean dan Zenon sering datang ke sana. Kafe Lina diberkahi pelanggan perempuan yang sangat banyak. Amara tahu mereka melakukan hal yang sama dengannya.
"Di kafe kaya sebelumnya?"
"Iya."
"Terus yang ngabisin uang suami siapa?"
"Ibu Amara gak pernah dikasih tugas kaya gitu sama Ayah," jelas Amara kepada Zean.
Zean menghembuskan napas. Kenapa Amara yang sudah memiliki suami super kaya harus bekerja? Zean tidak paham tapi dia juga tidak ingin terlalu membatasi keinginan Amara. Setidaknya sampai dia memahami perasaannya pada perempuan tersebut.
"Yaudah. Tapi di kafe aja. Jangan kerja yang lain setelahnya."
"Zean tahu Amara kerja serabutan juga setelah kerja di kafe?"
"Iya."
"Tahu dari mana?"
"Kakak kamu cerita," Jawab Zean berbohong.
Besar kekhawatiran Amara tentang finansial keluarganya. Jadi Amara bekerja sangat keras. Bahkan setelah bekerja di kafe Lina seharian, di tetap melakukan pekerjaan yang lain untuk mendapatkan pundi-pundi uang.
Amara tidak pernah mau menampilkan kesulitannya dalam mencari uang di monitor keluarganya. Lalu bagaimana Rena tahu tentang itu dan memberitahukannya pada Zean? Apa Rian sahabatnya yang memberitahu kakaknya?
Mana pun jawaban yang benar. Amara harap keluarganya tidak merasa menjadi beban. Dia sangat terpukul saat Rena berniat bunuh diri tempo dulu. Padahal Amara ikhlas, bahkan sangat ikhlas berjuang demi keluarga.
"Aku akan segera pergi. Nanti kalau pengen diantar bilang aja ke pelayan."
Zean menggeser lengan jas. Setelah mendapatkan informasi dari Rolex-nya. Dia kembali menatap Amara.
"Sampai bertemu lagi di Kafe Lina," ucap Zean lagi lalu berlalu pergi.
"Iya."
Karena kafe buka sekitar jam 9 pagi. Amara memutuskan untuk ke rumah terlebih dahulu sebelum ke sana. Lagi pula kalau dia diantar dengan mobil dia pasti akan ditanyai ribuan pertanyaan oleh dua makhluk yang menghuni kafe tersebut.
***
Ting!!
Amara masuk kafe dengan wajah kesal. Dia tidak habis pikir dengan kakaknya yang tiba-tiba meminta ia menceraikan Zean. Entah apa yang dipikirkan kakaknya, Amara tidak ingin bercerai dengan laki-laki itu. Tidak akan pernah.
"Pagi-pagi udah mengkontaminasi mata aja!" ucap Lina terkekeh melihat wajah Amara yang tidak seperti biasanya.
"Apa liat-liat? Mara lagi marah ini!"
"Makin hari kamu makin kayak anak-anak. Malu sama muka, Ra."
Rian si pemilik wajah paling datar sedunia berkata demikian. Dia sesekali melihat Amara sambil membersihkan meja. Laki-laki berapron abu-abu tersebut adalah teman Amara sedari kecil. Setidaknya bisa dikatakan dia adalah orang yang paling mengenal perempuan tersebut.
"Rian semakin hari kayak orang gak punya niat hidup aja," jawab Amara membalas.
"Yaelah Ra," ucap Lina setelah selesai memeriksa pemasukan kafe hari kemaren dan menutup buku di hadapanya. Dia menatap Amara dengan senyum. "Kaya gak tahu aja, kalau ada alasan kenapa Rian masih hidup itu karena kamu."
"Aku?" tanya Amara bingung sambil menunjuk wajahnya sendiri dan mengedipkan mata beberapa kali.
"Emang Mara dewi kehidupan?"
"Tuh An. Amara-nya gak peka!"
Lina memandang Rian yang sibuk dengan pekerjaannya.
"Dia emang bego sedari lahir Lin," Jawab Rian sekenanya.
Rian memang sudah lama menitipkan kebagian pada Amara. Laki-laki yang kehilangan senyum sejak lahir tersebut hanya menyukai Amara. Satu-satunya alasan dia masih tinggal di dunia yang sebenarnya sendiri sudah seperti neraka baginya.
"Mara gak bego ya! Mara dari SD selalu peringkat satu," tukas Amara.
Tentu Rian tahu hal tersebut karena dia berada di SD dan SMP yang sama dengan Amara. Perempuan tersebut bisa paham dengan mudah cara menghitung percepatan mangga jatuh namun tidak sama sekali paham tentang perasaan sederhana yang Rian miliki.
"Iya-iya," kata Rian. "Terus kenapa semalam gak kerja? Aku juga sempat mampir ke rumah kamu tapi gak ada orangnya."
"Itu karena Mara liburan bareng keluarga."
Sekarang Amara tidak ingin orang-orang di sekitarnya mengetahui bahwa dia sudah menikah semalam. Bukan karena dia tidak ingin mengakui Zean sebagai suaminya. Tapi karena Amara tidak ingin Zean malu karena memiliki istri sepertinya. Lagi pula Zean bilang dia belum mencintai Amara.
"Eh ... kok aku gak diajak?" tanya Lina.
"Mara kan miskin. Mana bisa ajak-ajak orang," jawabnya.
"Ra?" Rian menatap Amara dengan intens. "Kamu gak lagi bohong, kan? Sejak kapan keluarga kamu ada liburannya?"
"Mara mau bohong apa enggak itu terserah Amara!"
Rian hanya khawatir dengan Amara yang selalu Overwork. Tapi setelah melihat reaksi Amara yang seperti itu. Rian yakin perempuan tersebut baik-baik saja. Lagi pula dia tidak bisa memaksa Amara untuk mengatakan kebenarannya.
Amara memasang apron abu-abu bersiap membantu Rian membuka Kafe. Dia tidak ingin ambil pusing tentang kata-kata kakaknya yang bilang bahwa pernikahannya itu sesuatu yang salah. Lagipula Amara tahu bahwa Zean laki-laki yang baik. Bahkan, jika laki-laki tersebut tidak mencintai Amara. Zean akan tetap baik padanya.
"Waitress itu harus lebih pandai merawat diri, Ra," ucap Lina ketika Amara datang padanya dan memberikan kertas pesanan pada Rian. "Bisa-bisa pelanggan kita kabur karena penampilan kamu.""Bukannya pengunjung masih ramai kaya biasanya, ya?" tanya Amara sambil mengernyitkan dahi. "Mereka juga gak ada yang komplain tentang penampilan Mara yang kaya gini.""Ya itu karena dua cowok ganteng selalu datang ke kafe kita."Lina menghembuskan napas."Harus kamu akui penampilan benar-benar mempengaruhi kesan seseorang!" ucap Lina lagi dengan nada memaksa.Lina prihatin dengan Amara yang semakin hari semakin berantakan dalam berpenampilan. Berkenaan dengan bakat manusia yang menggunakan mata untuk menilai pertama kali. Menjadi pelayanan dengan penampilan bagus seharusnya mempengaruhi pengunjung laki-laki di kafe.Buka sekali dua kali Lina menegur Amara. Namun perempuan tersebut selalu acuh tak acuh. Mungkin beberapa waktu Amara sempat
Langkah Zean terhenti saat melihat seorang perempuan keluar dari ruangan tempat Zenon di rawat. Pasalnya, Zean bahkan belum memberitahu orang tua Zenon tentang keadaan anaknya. Lalu bagaimana perempuan bernama Katia tersebut bisa sampai ke sini."Apa yang kamu lakukan?" tanyanya."Hanya berkunjung."Katia sepintas menatap Amara yang berada di samping Zean. Sedangkan Amara yang merasa ditatap dengan penuh kebencian menundukkan kepala dan sedikit menyembunyikan badan."Bagaimana kamu tahu Zenon berada di sini?""Dia menelponku barusan. Zenon mengkhawatirkanku karena pada waktu dia diculik aku dan dia sedang bersama.""Oh ... kalau begitu kami masuk dulu."Zean dan Amara melangkah melewati Katia. Ketika Zean memegang gagang pintu, perempuan tersebut menghentikannya.Katia masih tidak mengerti kenapa Zean menikahi Amara. Padahal dari segi manapun Katia jauh lebih baik ketimbang perempuan tersebut.
Amara mengistirahatkan badan di kasur yang menurutnya terlalu empuk. Dia cukup lelah hari ini walau tidak selelah sebelum kesehariannya memiliki suami. Dikarenakan Zean sudah melepas beban di pundaknya mengenai uang. Jadi, Amara tidak harus melakukan pekerjaan sampingan lagi seusai bekerja di Kafe Lina.Saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi, seperti janjinya, Zean memberikan kartu ATM dan kartu kredit pada Amara. Amara bebas menggunakan pemberian tersebut sesuai kebutuhan, termasuk membantu keluarganya yang serba kekurangan. Zean juga bilang kalau dia akan selalu mengisinya setiap bulan.Awalnya Amara ragu karena nilainya lebih dari yang dia bayangkan. Bagaimana bisa dia memakai uang sebanyak itu. Menurutnya, meskipun Amara jalan-jalan di pasar setiap hari. Dia hanya akan bisa menghabiskan nol koma sekian persen dari uang yang diberikan suaminya. Zean mengatakan untuk tidak terlalu memikirkan tentang hal itu. Suaminya itu juga menjelaskan, mungkin se
"Aku tidak tahu ini bisa membuatmu senang atau tidak. Tapi aku dengar Zean punya adik bernama Reyzen yang akan segera lulus. Karena kakaknya bersekolah di SMA Gen, aku rasa adiknya juga akan melanjutkan pendidikan SMA-nya di sana.""Reyzen?""Iya.""Kalau begitu aku akan menyimpan namanya. Mungkin ada beberapa hal yang akan terjadi. Tapi aku akan menjaga langkahku agar tidak melanggar perjanjian itu."Mida tersenyum penuh arti seolah menemukan sebuah berlian besar. Bohong kalau dia tidak tertarik dengan Elkira yang akan menjadi adik kelasnya. Seperti apa wajahnya, seperti apa kepribadiannya, sungguh Mida menantikan hal itu."Oh ya, untuk sekarang aku tidak akan memaksamu untuk ikut andil dalam yayasan. Jadi kamu bisa fokus mengejar laki-laki tersebut. Anggap saja itu kemurahan hatiku.""Aku tidak berniat menjalin permusuhan dengan keluarga Diananta. Jadi aku akan ikut yayasan dengan senang hati," kata Katia."Apa Mahendra
"Ah, langit benar-benar mengerti perasaanku," gumam seorang perempuan. Sambil memeluk Paper Bag berisikan buah apel. Perempuan tersebut menghembuskan napas. Percikan hujan yang terbentur lantai membasahi celana bahan yang ia kenakan. Seharusnya matahari sedang menyinari bumi dari titik tertingginya. Tapi entah kenapa sekarang ia bersembunyi. Seolah sedang menyelaraskan keadaan dengan perempuan yang sedang bertahan di depan toko buah tersebut. Dia rasa dia akan cukup lama menunggu hujan reda. Jadi, seseorang yang sudah perempuan itu janjikan sebuah kedatangan harus mendapatkan kabar keterlambatan. Dia mengambil benda segenggam yang ada di tasnya. Menyelipkan benda tersebut di antara telinga dan rambutnya yang di cat merah anggur. "Zenon! Di luar hujan. Mungkin aku akan sedikit terlambat menjenguk mu!" jelasnya. *** Cuaca menyebabkan kafe dalam keadaan lenggang, hal tersebut membuat Amara lebih
Zenon sengaja diam cukup lama untuk memancing emosi sahabatnya. Ada kemungkinan sahabatnya itu akan terkejut dengan jawaban yang dia tahan. Seperti apa ekspresinya ketika terkejut, Zenon sangat ingin melihatnya. "Adikmu ... dia yang memperingatkan aku." Zean mengerutkan dahi saat mendengarnya lalu kembali menstabilkan ekspresi. "Oh." "Oh aja? Gak terkejut atau semacamnya?" tanya Zenon mencari sesuatu di wajah itu. Padahal sebelumnya dia sangat yakin tadi Zean penasaran. Tapi kenapa dia tidak terkejut sama sekali? "Memangnya kamu ingin aku bereaksi apa?" Zean bertanya dengan dahi yang kembali berkerut. "Sepertinya memang mustahil bisa melihat emosi kamu lewat raut wajah," jawab Zenon menghembuskan napas kecewa. Dia merebahkan tubuh yang sebelumnya dalam keadaan duduk. Sambil menatap langit-langit Zenon berkata lagi. "Jadi ... selanjutnya apa yang bisa kamu lakukan? Jangan bilang kamu h
Keluarga Sabara satu-satunya keluarga yang berhasil bangkit setelah mencoba bekerja sama dengan dua keluarga lain untuk menghancurkan Elkira. Meskipun pemicu di balik konflik tersebut adalah keluarga Diananta, tetap saja perbincangan dia dan Zean akan sangat berat."Jadi ini juga alasan kamu tidak menghadiri pernikahannya?""Iya."Perempuan cantik bernama Kea itu duduk di tempat Zean duduk sebelum pergi."Padahal kamu sudah banyak sekali makan apel. Tapi masih saja menerima pemberiannya." Kea terkekeh dengan wajah mengejek."Jangan coba-coba berniat mencuri apelku! Itu lebih berharga dari emas dan berlian di luar sana!" Zenon menatap Kea dengan waspada yang membuat perempuan tersebut tertawa."Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya," jawab Kea sembari menggelengkan kepala dan menambah, "Biar aku membantumu memotongnya."Kea melepas blezer yang dia kenakan lalu mengambil pisau bersiap memotong apel. Hany
Zenon tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Mendengar pernyataan itu membuatnya tidak bisa berpikir logis. Walaupun tidak ada konfirmasi, sejak SMA ia tahu kalau Kea menyukai laki-laki itu. Bisa saja dia mengarang atau hanya sekerja khayalannya. "Aku menyukai orang lain. Terserah kalau kamu tidak percaya hal ini. Kamu bisa menanyakannya dengan Zean secara langsung dan mendapatkan faktanya." Kea menyanggah dengan wajah yang biasa saja. Sudah menjadi makanan sehari-harinya menampilkan berbagai macam ekspresi palsu. Zenon diam sejenak untuk menstabilkan pikiran. Entah sejak kapan masalah rumah tangga orang lain jadi masalahnya juga. "Di masa depan Amara mungkin akan menjadi orang yang paling dirugikan. Aku tahu semua orang punya masalahnya sendiri dan bisa mengurusnya sendiri. Tetap saja ini bukan sesuatu yang aku harapkan. Jadi, jangan menjadi tokoh antagonis di pernikahan mereka!" Kea menghembuskan napas pelan dan meman