Sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki jalan sempit. Daerah perumahan kalangan menengah bawah sangat jarang dimasukkan mobil sebagus itu. Wajar kalau mata mereka menyorot mobil yang kini berhenti di depan sebuah rumah Kecil dengan halaman lapang.
"Namamu Zean bukan?" tanya Rena.
Dari kursi mengemudi Zean mengiyakan. Setelah kejadian di mana Amara mengajaknya menikah. Zean sama sekali tidak pernah membahas masalah yang sama sekali berbeda dengan persiapan pernikahan. Terlebih lagi bersama perempuan yang kini menjadi kakak iparnya tersebut.
"Begini, apa alasan pengakuan Amara kamu terima?" tanya Rena.
Rena sudah sampai pada tahapan wanita usia matang. Meskipun Rena juga dikategorikan wanita cantik, namun dia belum menikah. Alasannya terletak pada kecelakaan beberapa tahun lalu yang merenggut kedua kakinya. Sejak saat itu kehidupan Rena mejadi suram. Bukan hanya karena biaya rumah sakit yang membebani. Tapi hilangnya sosok punggung keluarga karena insiden tersebut membuat dia kehilangan semuanya. Termasuk masa depan adiknya yang cerah.
Sebenarnya Amara berhasil masuk sekolah elit tanpa biaya. Namun Amara berhenti karena harus menjadi punggung keluarga pengganti. Rena sempat berpikir untuk mati saja agar tidak menjadi beban. Tapi melihat Amara yang berkerja keras membuat ia bertahan.
Sekarang mereka tinggal di rumah sederhana dengan luas 8×5 meter. Amara bekerja di sebuah kafe dan mengerjakan beberapa pekerjaan lain tanpa sepengetahuan keluarganya. Sedangkan Rena mengajar anak-anak TK dengan gaji tidak seberapa. Menurut Rena adiknya sudah cukup menderita dengan perjuangan itu. Kalau Amara menikah dengan orang yang salah. Harapan Rena untuk melihat Amara bahagia di masa depan hanya jadi mimpi belaka.
Di sebelah Rena—di kursi belakang—perempuan paruh baya itu masih terdiam mengingat perkataan seseorang yang memarahinya usai pernikahan tadi. Ya, ibunya Amara sempat dilabrak Katia. Hingga trauma masa lalu membuat dia sedikit tertekan.
"Apa landasan pertanyaan itu?" Zean bertanya balik sambil menatap jauh ke depan mobil setelah cukup lama terdiam.
"Katia. Perempuan menyebalkan itu melabrak kami. Dia bilang dia akan merebutmu dari Amara. Dia juga bilang tidak satu pun keluargamu datang ke sana karena membenci keluarga kami. Aku juga mendengar tamu undangan yang lain. Walaupun tidak semua. Tapi mereka mengatakan bahwa Katia lebih cocok untukmu. Bukanlah sangat aneh kau menerima cinta Adikku?"
"Keluargaku tidak membenci kalian. Mereka hanya ada urusan,” jawab Zean.
"Urusan apa sampai-sampai tidak menghadiri pernikahan anaknya?!" ucap Rena dengan kecut. "Sepertinya keluargamu memang tidak menerima kami."
"Tahu apa kamu tentang urusan keluargaku? Jika ingin melihat Amara dari sudut pandangku. Maka tidak ada yang berbeda, semua yang dikatakan Katia dan orang-orang itu benar. Amara itu tidak cantik, dekil, miskin, dan semua kelemahan berada di hidup—"
"Aku benar-benar salah sudah membiarkan adikku menikah dengamu!" ucap Rena.
"Bukankah aku belum menjawab inti pertanyaannya?"
"Agar kamu bisa langsung ke intinya akan aku sederhanakan pertanyaan tadi. Apa kamu mencintai Amara?" tanya Rena.
"Mungkin tidak," jawab Zean jujur.
Rena terdiam mendengar laki-laki tersebut menjawab dengan santai dan tenang. Kalau Zean mencintai Amara mungkin semua lubang di diri Amara dapat diterima. Sebagus apapun alasan Zean menikahi Amara. Jika tidak ada cinta di dalamnya. Pernikahan mereka pasti akan mengarah ke arah yang menyakiti Amara.
"Aku tidak menerima alasan selain cinta. Kau tahu, jika adikku sampai patah hati. Kamu akan menyesal," ucap Rena dingin.
"Ma, kita turun!"
Perempuan paruh baya itu membuka pintu. Walaupun kejiwaannya sedikit terganggu. Namun apa pun yang dikatakan Rena selalu dia turuti. Ibu dua anak itu selalu memandang anaknya dengan penuh cinta.
Selesai Ibunya mempersiapkan korsi roda. Rena beringsut dari mobil.
"perlu bantuan?" tanya Zean.
"Enggak perlu."
Zean menunggu Rena dan ibunya di telan pintu. Kemudian dia mengecek handphone guna melihat jam dan memeriksa beberapa pesan. Di salah satu pesan tersebut Zean diminta datang ke suatu tempat. Kalau tidak, hal buruk akan menimpa Zenon sahabatnya.
Sebenarnya Zean bisa saja mengabaikan hal tersebut mengingat Zenon adalah orang yang kuat. Tapi keberapa kemungkinan buruk harus dihindari bahkan jika itu hanya sebuah kemungkinan. Jadi dia langsung memacu mobil dan pergi.
***
Zean sampai di kediaman keluarga Diananta. Orang yang pertama dia dapati adalah seorang gadis cantik seumuran adiknya, Reyzen. Gadis itu menyabutnya dengan senyum manis. Dari yang Zean rasakan, dia seakan dihadapkan dengan seorang yang sangat sopan sekaligus menakutkan.
"Di mana Zenon?"
"Sabarlah, saya sudah mempersiapkan makanan untuk kita berbincang," ucap Mida, putri tunggal keluarga Dinanta.
Zean masuk dan mendapati banyak hidangan di meja. Dia duduk berhadapan dengan Mida di meja panjang tersebut. Hanya mereka berdua, tidak ada yang lain.
"Nah, biarkan saya memperkenalkan diri. Saya pewaris utama keluarga Diananta. Mida Diananta, anak dari kakak ibu Anda."
"Terus?"
Gadis itu tersenyum mendengar jawaban Zean.
"Anda orang pertama yang berbicara sangat santai setelah mengetahui siapa saya. Apa itu karena Anda menganggap saya keluarga dan posisi kita setara? atau mungkin Anda tidak mengenal saya?"
Mida hidup di keluarga yang sangat disegani. Dia tidak memiliki hobi atau kegemaran sebagaimana anak seumuranya. Satu-satunya hal yang menarik bagi Mida adalah bersaing dengan manusia lain untuk menuju puncak. Entah itu kempuan fisik ataupun kempuan berpikir.
Seorang gadis penuh bakat yang menganggap dunianya membosankan. Di bawah namanya, Mida sudah membuat semua keluarga-keluarga kaya menari di atas telapak tangannya. Ya, walau masih ada dua keluarga yang lepas dari genggaman; Elkira dan Mahendra.
Katia. Lebih tepatnya pewaris tunggal keluarga Mahendra. Meminta keluarga Dinanta membantunya agar Zean yang baru menikah menceraikan istrinya. Sebagai ganti, Katia berjanji akan tunduk dengan kekuasaan Diananta dan akan ikut melengkapi 23 keluarga pendukung yayasan SMA Gen.
Setelah menyelidiki Mida mendapati fakta menarik. Tentang asal-usul keluarga kaya yang tidak terdaftar sebagai keluarga yang menaungi yayasan itu. Yayasan di mana tempat memonopoli orang-orang berbakat yang akan dijadikan pilar pengyokong perusahaan-perusahan milik mereka. Keluarga Elkira, keluarga yang berdiri sendiri dengan usahanya sendiri, adalah pecahan keluarga Diananta karena masalah di masa lalu.
Dengan anggapan bahwa darah Diananta mengalir di tubuh keluarga Elkira. Mida sedikit mendapat semangat karena dia akan melawan orang yang DNA-nya tidak jauh berbeda denganya.
"Lalu. Apakah bersikap santai di hadapan kamu bisa terjadi masalah?" tanya Zean.
"Yah ... saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita berada di posisi yang berbeda."
"Terlepas siapa kamu. Kamu hanya seorang anak kecil. Kenapa kamu menganggap aku akan tunduk atau semacamnya?"
Mida berdecak tidak suka. Namun sejurus kemudian dia tersenyum manis ke arah Zean. Dia bangkit dari tempat duduk dan menghampiri Laki-laki tersebut.
"Bagaimana jika kita mengambil kesepakatan. Ceraikan istrimu dan menikahlah denganku!"
Mida membelai wajah tampan Zean dengan jemari lentiknya. Jelas kalau Mida perempuan menawan. Usianya juga masih belia. Akan sengat menyenangkan ketika Zean tua dan masih memiliki istri cantik dan muda.
"Aku bukan seorang fedofil," Jawab Zean.
"Ffft... Hahaaha!"
Mida tidak bisa menghentikan tawanya sampai beberapa waktu. Ini pertama kalinya dia ditolak dan tebakkannya meleset. Awalnya Mida mengira dia akan ditolak karena hubungan dia dan Zean yang terlalu dekat sebagai keluarga. Atau karena alasan bahwa dia mencintai istrinya. Namun di luar dugaan. Zean menempatkan diri seolah dia tidak punya pasangan dan menolak Mida dengan alasan dia tidak menyukai perempuan yang lebih muda.
"Para bajingan biasanya melihat tubuhku dengan nafsu. Tapi anda benar-benar datar dan tidak tertarik. Apa saya terlihat seperti anak-anak sehingga tidak menarik?"
Zean menghembuskan napas dan melihat jam di ponselnya. Sekarang jam menunjukan pukul 04. 42 sore. Dia bahkan belum mengganti tuxedo putih yang dia gunakan di pernikahan tadi.
"Berhentilah mengembangkan pertanyaan zona orang dewasa!" jawab Zean. "Apa tujuanmu?!"
Mida kembali ke kursinya dan memberikan tatapan serius.
"Membuat Anda menceraikan istri Anda. Itulah tujuan saya," Jawab Mida jujur. "Tapi karena jalur menggoda terblokir. Itu artinya saya harus menggunakan cara yang lebih kasar. Ini juga agar Anda mengakui saya bukanlah anak-anak!"
Beberapa saat kemudian Zenon yang tidak sadarkan diri diboyong orang berpakaian serba hitam dari sebuah ruangan. Laki-laki itu pasti sudah dihajar habis-habisan. Zean tidak menyangkan laki-laki seperti Zenon ditumbangkan sampai tidak sadarkan diri.
"Bagaimana kalau kita berbincang beberapa kesepakatan. Kamu hanya perlu bercerai dan orang itu selamat," ucap Mida.
"Itu bahkan tidak bisa disebut kesepakatan."
Mida tertawa anggun sambil menutup mulutnya.
"Alasan kenapa pilihannya cuma ada dua. Itu karena kamu hanyalah seekor kelinci yang terpojok oleh seorang pemangsa."
"Pemangsa ya? Bagaimana jika dibalik?" jawab Zean.
"Ffftt .... selera humor Anda buruk tuan Elkira. Tiga orang di sana lulusan beladiri terbaik di yayasan kami. Dan saya, saya terlalu kuat untuk turun tangan," ucap Mida yang sepertinya sudah sangat mahir mengevaluasi keadaan.
Zean berdiri dari kursi dan menghapus jarak dengan tiga orang yang memegangi Zenon tersebut. Dia berdiri santai sambil memasukan satu tangan di saku celana depanya.
Plak!
Serangan kaki Zean tiba-tiba mendarat di tangan pria tua berumur 50 tahunan. Andai sosok di depan para pria berpakaian serba hitam itu tidak cepat datang. Mungkin salah satunya akan langsung tumbang.
"Barusan kamu berniat membunuh anak buahku bukan?"
"Bukankah lulusan terbaik SMA Gen seharusnya bisa menahan semua serangan?" balas Zean.
"Maaf Nona, Mida. Ayah Anda memerintah saya untuk melepaskan orang-orang ini." pimpinan pelayanan keluarga Diananta menunduk. Dia sama sekali tidak mengguris Zean agar lebih fokus ke arah tuannya.
"Wilson ... kamu mengganggu kesenanganku," ucap Mida sangat datar.
"Tapi ini perintah langsung dari Ayah Nona."
"Haaa ... Baiklah. Aku mengerti."
"Bawa dia ke mobil orang ini," Perintah Wilson ke anak buahnya.
Wilson menunduk.
"Jika Anda menginginkan kompensasi. Kami bisa memenuhinya sekarang. Jadi katakan keinginan Anda," ucapnya dengan sangat sopan.
"Kurasa ini setara," Kata Zean. "Aku akan langsung pulang saja."
Mida menatap punggung Zean yang melangkah kearah pintu utama. Tatapannya seperti singa yang baru saja kehilangan mangsa.
"Nah Wilson ... apa maksudnya setara?"
"Mungkin tentang tangan saya yang dia patahkan."
"Oh ... dia orang yang sangat tenang dan mengagumkan. Apakah aku bisa menikah dengannya?"
"Mengingat hubungan genetika yang dekat. Kemungkinan keturunan nona akan cacat," jawab Wilson.
"Begitu ... mungkin ini untuk pertama kalinya aku iri sebagai wanita. Rasanya menyebalkan dia tidak bisa kumiliki. Pantas saja Katia begitu tergila-gila dengannya."
***
Amara beringsut dari tempat tidur dan buru-buru membuka pintu dengan semangat. Setelah pintu terbuka binar matanya langsung menghilang. Ternyata bukan Zean yang datang.
"Maaf mengganggu, Nyonya Amara. Saya hanya ingin memberikan telepon dari tuan."
Amara menerima dan meletakkan benda segenggam itu di kupingnya.
"Ra!"
Ra? Zean memanggilnya dengan panggilan nama? Tenangkan dirimu Amara! Tarik napas, hembuskan, lalu jawab.
"Y-ya."
"Aku harus menyelesaikan beberapa urusan hari ini. Bisakah kamu tidak menungguku pulang?"
Sekian detik wajah Amara sedikit murung. Tapi dia coba mengembangkan senyum dan menjawab, "Urusan apa?"
"Bukan hal yang terlalu penting. Kamu tidak perlu memikirkannya."
"Ke—"
Tett
Sambungan telepon diputuskan sepihak. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Amara menatap handphone di tangannya dengan sedih.
"Padahal Mara istrinya. Kenapa tidak perlu tahu alasan seorang suami tidak pulang?" tanya Amara sedih.
Dia mengembalikan handphone itu dan melangkah kekasur dengan lesu. Sakelar miliknya sekarang sedang off padahal Amara adalah orang yang sangat aktif biasanya. Menatap ke langit-langit kamar, dia berangsur-angsur menuju lelap karena tubuh dan pikiran yang sudah kelahan.
Amara tidak lagi berada di atmosfer mimpi. Meskipun tahu itu, tetap saja badannya masih nyaman dalam balutan hangat selimut. Sangat sulit membuat kesadaran sepenuhnya dengan cepat. Jadi bola matanya mencoba memberontak agar kelopak mau memperkenalkan Amara pada dunia. Setelah disentuh cahaya, netra itu menangkap tiga sosok pelayan."Selamat pagi Nyonya Amara!"Pelayan itu membungkuk, senyumnya sopan dan formal. Amara yang setengah sadar segera bangun dan bertanya."Se-sejak kapan kalian berada di sana?""Kurang lebih setengah jam Nyonya," jawab salah satu dari mereka.Para pelayanan tersebut berbaris rapi di depan sana. Di antara mereka masing-masing mememegang sesuatu yang perempuan itu butuhkan."Se-setengah jam?""Iya."Bagaimana mereka bisa masuk ke kamar dan menunggunya selama setengah jam? Apa ini karena Zean sudah datang? Di mana suami tercintanya itu meletakkan badan? Di bawah selimut? Di bawah b
"Waitress itu harus lebih pandai merawat diri, Ra," ucap Lina ketika Amara datang padanya dan memberikan kertas pesanan pada Rian. "Bisa-bisa pelanggan kita kabur karena penampilan kamu.""Bukannya pengunjung masih ramai kaya biasanya, ya?" tanya Amara sambil mengernyitkan dahi. "Mereka juga gak ada yang komplain tentang penampilan Mara yang kaya gini.""Ya itu karena dua cowok ganteng selalu datang ke kafe kita."Lina menghembuskan napas."Harus kamu akui penampilan benar-benar mempengaruhi kesan seseorang!" ucap Lina lagi dengan nada memaksa.Lina prihatin dengan Amara yang semakin hari semakin berantakan dalam berpenampilan. Berkenaan dengan bakat manusia yang menggunakan mata untuk menilai pertama kali. Menjadi pelayanan dengan penampilan bagus seharusnya mempengaruhi pengunjung laki-laki di kafe.Buka sekali dua kali Lina menegur Amara. Namun perempuan tersebut selalu acuh tak acuh. Mungkin beberapa waktu Amara sempat
Langkah Zean terhenti saat melihat seorang perempuan keluar dari ruangan tempat Zenon di rawat. Pasalnya, Zean bahkan belum memberitahu orang tua Zenon tentang keadaan anaknya. Lalu bagaimana perempuan bernama Katia tersebut bisa sampai ke sini."Apa yang kamu lakukan?" tanyanya."Hanya berkunjung."Katia sepintas menatap Amara yang berada di samping Zean. Sedangkan Amara yang merasa ditatap dengan penuh kebencian menundukkan kepala dan sedikit menyembunyikan badan."Bagaimana kamu tahu Zenon berada di sini?""Dia menelponku barusan. Zenon mengkhawatirkanku karena pada waktu dia diculik aku dan dia sedang bersama.""Oh ... kalau begitu kami masuk dulu."Zean dan Amara melangkah melewati Katia. Ketika Zean memegang gagang pintu, perempuan tersebut menghentikannya.Katia masih tidak mengerti kenapa Zean menikahi Amara. Padahal dari segi manapun Katia jauh lebih baik ketimbang perempuan tersebut.
Amara mengistirahatkan badan di kasur yang menurutnya terlalu empuk. Dia cukup lelah hari ini walau tidak selelah sebelum kesehariannya memiliki suami. Dikarenakan Zean sudah melepas beban di pundaknya mengenai uang. Jadi, Amara tidak harus melakukan pekerjaan sampingan lagi seusai bekerja di Kafe Lina.Saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi, seperti janjinya, Zean memberikan kartu ATM dan kartu kredit pada Amara. Amara bebas menggunakan pemberian tersebut sesuai kebutuhan, termasuk membantu keluarganya yang serba kekurangan. Zean juga bilang kalau dia akan selalu mengisinya setiap bulan.Awalnya Amara ragu karena nilainya lebih dari yang dia bayangkan. Bagaimana bisa dia memakai uang sebanyak itu. Menurutnya, meskipun Amara jalan-jalan di pasar setiap hari. Dia hanya akan bisa menghabiskan nol koma sekian persen dari uang yang diberikan suaminya. Zean mengatakan untuk tidak terlalu memikirkan tentang hal itu. Suaminya itu juga menjelaskan, mungkin se
"Aku tidak tahu ini bisa membuatmu senang atau tidak. Tapi aku dengar Zean punya adik bernama Reyzen yang akan segera lulus. Karena kakaknya bersekolah di SMA Gen, aku rasa adiknya juga akan melanjutkan pendidikan SMA-nya di sana.""Reyzen?""Iya.""Kalau begitu aku akan menyimpan namanya. Mungkin ada beberapa hal yang akan terjadi. Tapi aku akan menjaga langkahku agar tidak melanggar perjanjian itu."Mida tersenyum penuh arti seolah menemukan sebuah berlian besar. Bohong kalau dia tidak tertarik dengan Elkira yang akan menjadi adik kelasnya. Seperti apa wajahnya, seperti apa kepribadiannya, sungguh Mida menantikan hal itu."Oh ya, untuk sekarang aku tidak akan memaksamu untuk ikut andil dalam yayasan. Jadi kamu bisa fokus mengejar laki-laki tersebut. Anggap saja itu kemurahan hatiku.""Aku tidak berniat menjalin permusuhan dengan keluarga Diananta. Jadi aku akan ikut yayasan dengan senang hati," kata Katia."Apa Mahendra
"Ah, langit benar-benar mengerti perasaanku," gumam seorang perempuan. Sambil memeluk Paper Bag berisikan buah apel. Perempuan tersebut menghembuskan napas. Percikan hujan yang terbentur lantai membasahi celana bahan yang ia kenakan. Seharusnya matahari sedang menyinari bumi dari titik tertingginya. Tapi entah kenapa sekarang ia bersembunyi. Seolah sedang menyelaraskan keadaan dengan perempuan yang sedang bertahan di depan toko buah tersebut. Dia rasa dia akan cukup lama menunggu hujan reda. Jadi, seseorang yang sudah perempuan itu janjikan sebuah kedatangan harus mendapatkan kabar keterlambatan. Dia mengambil benda segenggam yang ada di tasnya. Menyelipkan benda tersebut di antara telinga dan rambutnya yang di cat merah anggur. "Zenon! Di luar hujan. Mungkin aku akan sedikit terlambat menjenguk mu!" jelasnya. *** Cuaca menyebabkan kafe dalam keadaan lenggang, hal tersebut membuat Amara lebih
Zenon sengaja diam cukup lama untuk memancing emosi sahabatnya. Ada kemungkinan sahabatnya itu akan terkejut dengan jawaban yang dia tahan. Seperti apa ekspresinya ketika terkejut, Zenon sangat ingin melihatnya. "Adikmu ... dia yang memperingatkan aku." Zean mengerutkan dahi saat mendengarnya lalu kembali menstabilkan ekspresi. "Oh." "Oh aja? Gak terkejut atau semacamnya?" tanya Zenon mencari sesuatu di wajah itu. Padahal sebelumnya dia sangat yakin tadi Zean penasaran. Tapi kenapa dia tidak terkejut sama sekali? "Memangnya kamu ingin aku bereaksi apa?" Zean bertanya dengan dahi yang kembali berkerut. "Sepertinya memang mustahil bisa melihat emosi kamu lewat raut wajah," jawab Zenon menghembuskan napas kecewa. Dia merebahkan tubuh yang sebelumnya dalam keadaan duduk. Sambil menatap langit-langit Zenon berkata lagi. "Jadi ... selanjutnya apa yang bisa kamu lakukan? Jangan bilang kamu h
Keluarga Sabara satu-satunya keluarga yang berhasil bangkit setelah mencoba bekerja sama dengan dua keluarga lain untuk menghancurkan Elkira. Meskipun pemicu di balik konflik tersebut adalah keluarga Diananta, tetap saja perbincangan dia dan Zean akan sangat berat."Jadi ini juga alasan kamu tidak menghadiri pernikahannya?""Iya."Perempuan cantik bernama Kea itu duduk di tempat Zean duduk sebelum pergi."Padahal kamu sudah banyak sekali makan apel. Tapi masih saja menerima pemberiannya." Kea terkekeh dengan wajah mengejek."Jangan coba-coba berniat mencuri apelku! Itu lebih berharga dari emas dan berlian di luar sana!" Zenon menatap Kea dengan waspada yang membuat perempuan tersebut tertawa."Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya," jawab Kea sembari menggelengkan kepala dan menambah, "Biar aku membantumu memotongnya."Kea melepas blezer yang dia kenakan lalu mengambil pisau bersiap memotong apel. Hany