Amara mengistirahatkan badan di kasur yang menurutnya terlalu empuk. Dia cukup lelah hari ini walau tidak selelah sebelum kesehariannya memiliki suami. Dikarenakan Zean sudah melepas beban di pundaknya mengenai uang. Jadi, Amara tidak harus melakukan pekerjaan sampingan lagi seusai bekerja di Kafe Lina.
Saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi, seperti janjinya, Zean memberikan kartu ATM dan kartu kredit pada Amara. Amara bebas menggunakan pemberian tersebut sesuai kebutuhan, termasuk membantu keluarganya yang serba kekurangan. Zean juga bilang kalau dia akan selalu mengisinya setiap bulan.
Awalnya Amara ragu karena nilainya lebih dari yang dia bayangkan. Bagaimana bisa dia memakai uang sebanyak itu. Menurutnya, meskipun Amara jalan-jalan di pasar setiap hari. Dia hanya akan bisa menghabiskan nol koma sekian persen dari uang yang diberikan suaminya. Zean mengatakan untuk tidak terlalu memikirkan tentang hal itu. Suaminya itu juga menjelaskan, mungkin sekarang uang tersebut terlalu banyak, tapi di masa depan nanti Amara pasti akan memerlukannya.
Ketika Amara sedang memikirkan untuk membeli apa nanti dengan uang yang diberikan padanya tersebut. Dia mendengar suara Zean yang mulai sekarang dan seterusnya akan menjadi isi dunianya.
"Kalau memang lelah kamu perlu kerja lagi besok," Jelas Zean.
Laki-laki tersebut mengambil tempat di sebelah Amara.
"Zean jangan dekat-dekat. Mara gugup," ucap Amara menutup sebagian wajahnya dengan selimut.
"Baiklah, aku akan tidur, kamu juga!"
Zean berbalik ke arah yang berlawanan dengan Amara. Perempuan tersebut tidak habis pikir kenapa dia bisa segugup ini. Badannya semakin terasa aneh.
"Z-Zean sudah tidur?" tanya Amara sama sekali tidak bisa melelapkan matanya.
"Belum, kenapa?"
"Badan Mara rasanya panas."
Mendengar hal tersebut, Zean berbalik untuk memeriksa Amara. Dia menatap wajah Amara yang luar biasa merah. Zean menyentuhkan telapak tangannya ke dahi Amara. Perempuan itu semakin membenamkan wajahnya di balik selimut.
"Tidak panas," ucap Zean menarik satu alisnya bingung. "Sudah reda kah panasnya?"
"Belum Zean. Tubuh Amara malahan semakin panas," jawab Amara.
"Mungkin panas dalam. Aku ambil air minum dulu. Kayaknya kamu kekurangan cairan tubuh setelah sehari berkerja."
Sebelum pergi Zean mengambil handphone di atas nakas. Lalu melangkah pergi ke dapur untuk mengambil air putih.
Amara menghembuskan napasnya dan menyeka keringat. Sekarang panas di tubuhnya sudah menghilang entah ke mana. Benar-benar aneh, perasaan aneh itu baru kali ini timbul di kehidupannya.
Sambil memegang handphone dan meneriksa beberapa email pekerjaan, Zean melangkahkan kaki menuju dapur. Dia meletakkan handphonenya di atas meja lalu membuka kulkas yang tidak jauh dari sana.
Zean mengambil sebotol air putih dan menungkannya ke cangkir. Tidak lama setelah itu handphone-nya berbunyi dan tertulis nama Zenon. Dia segera menjawab dan santai.
"Kamu sedang bersama Amara, kan? Kalau iya segera cari tempat yang jauh darinya," ucap Zenon dari seberang sana.
"Oh, aku sendiri di dapur, kenapa?"
"Baguslah. Sebenarnya aku ingin menceritakan kronologi mengapa aku bisa diculik."
Zean sedikit berpikir. Sebenarnya dia ingin mendengarnya sekarang. Tapi dia harus mengantarkan air untuk Amara minum.
"Apa ini berkaitan dengan Katia?"
"Ah, sudah kuduga. Apa kamu berpapasan dengannya tadi? Apa terjadi masalah?"
Sulit bagi Zenon mengambil kesimpulan bahwa Katia tidak berulah. Apalagi setelah melihat wajah Amara yang masuk keruangan tempat dia dirawat dengan pucat setelah Katia keluar.
"Sedikit masalah. Tapi itu tidak perlu dipikirkan. Jadi, apa benar ini berkaitan dengan Katia?"
"Yah, begitulah. Akan aku ceritakan se–"
"Simpan ceritanya untuk nanti. Sekarang aku ada urusan. Mungkin aku akan menemuimu untuk mendengarnya."
"Ha, baiklah. Kukira kau sedang bebas. Aku mengerti, aku mengerti. Apa yang dilakukan pengantin baru. Bersenang-senanglah," ucap Zenon cekikikan di seberang sana.
Zenon memutuskan sambungan teleponnya. Dia sangat puas mengganggu sahabatnya itu. Sebenarnya sejak awal, Zenon memang tidak berniat menceritakan hal tersebut sekarang. Dia hanya bertujuan untuk menggoda Zean.
Zean menggelengkan kepalanya dan melangkah menuju kamar sambil membawa cangkir berisikan air putih. Sesampainya di kamar Zean malah mendapati Amara yang sudah tertidur pulas. Dia tidak bisa membangunkan istrinya tersebut. Jadi, Zean memilih untuk meletakkan air putih tersebut di atas nakas.
Tempat tidur mereka luas, Zean mengambil tempat agak jauh dari Amara. Dia tidak mau kejadian semalam terulang, Amara menendangnya hingga jatuh ke lantai. Mau bagaimanapun luasnya, Zean sudah memiliki firasat buruk malam ini. Dia membentengi dirinya dengan guling sebagai pemisah. Sungguh istri yang merepotkan.
***
"Maaf baru bisa menemuimu sekarang. Sebagai ketua OSIS aku harus menyiapkan beberapa hal untuk penyambutan siswa baru yang akan diadakan beberapa bulan lagi," ucap Mida menjelaskan.
Di Restoran elite yang menyediakan makan Itali. Kombinasi luar biasa antara Mida dan Katia menarik mata semua pelanggan di sana.
"Tidak masalah, tapi aku ingin menanyakan sesuatu. Kenapa Zean belum menceraikan gelandangan itu?"
Katia sangat yakin bahwa dia tidak salah meminta bantuan Mida. Dia tahu sendiri bahwa gadis kecil di depannya tersebut adalah seorang iblis berwajah malaikat. Jujur saja, jika dia dipaksa untuk melawan Mida dalam hal apapun. Katia akan dengan pasrah mengibarkan bendera putih.
"Maaf soal janjiku. Tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu."
"Apa yang kau maksud? Apa kamu tidak bisa melawannya?!"
"Setelah melihatnya sendiri, Kalau itu pertarungan fisik, aku akan mengakui bahwa Aku tidak bisa mengalahkan Zean. Aku yang terobsesi belajar beladiri sejak kecil dan menutupi kekuranganku dalam hal itu. Seperti melawan ayahku, ada beberapa hal yang tidak bisa dilewati oleh tubuh seorang wanita. Terlalu banyak kesenjangan yang harus aku bayar agar berada di level yang sama dengannya."
"Aku tidak meminta kamu untuk bertarung dengannya. Kau tahu, kamu bisa memakai kepalamu yang jenius untuk membuat mereka bercerai."
"Itulah yang sangat disayangkan. Baik itu menggunakan kekerasan atau menggunakan strategi untuk membuat mereka berpisah. Aku tidak berwenang melakukan keduanya."
"Kenapa?"
"Ayahku dan ibunya orang yang kamu suka adalah saudara. Orang tuaku bilang jangan mengganggu keluarga itu jika tidak ingin menyesal. Kalau kamu bilang aku takut, aku akan sangat menyangkalnya. Aku bahkan sangat bersemangat untuk menjatuhkan keluarga Elkira. Tapi aku tidak berniat menentang orang tuaku yang sudah memiliki perjanjian damai dengan mereka."
"Aku mengerti. Apa itu artinya kamu akan mengincar keluargaku?"
Mida menutup mulutnya seraya tersenyum anggun.
"Yah, kalau kamu bisa memberikan aku saran kesenangan selain menghancurkan keluargamu. Aku akan dengan senang hati menerimanya," jawab Mida.
Sebelumnya, ada 25 keluarga kaya yang menaungi yayasan SMA Gen. Namun entah faktor apa, tiga di antaranya runtuh dan hanya satu yang berhasil bangkit.
Waktu itu Katia baru saja masuk di sebuah universitas yang sama dengan Zean. Sebagai orang yang sama-sama berada di keluarga yang tidak terikat yayasan. Satu yang Katia sadari saat itu, Diananta sengaja menciptakan konflik tiga keluarga kaya dengan keluarga Elkira. Di luar dugaan, Elkira yang diserang tiga keluarga sekaligus tidak hancur dan malah berimbas sebaliknya. Sangat masuk akal kalau Diananta memilih menjalin perdamaian dengan Elkira.
Secara garis besar, keluarga Mahendra memang memperhatikan pergerakan Diananta dan keluarga-keluarga lain guna menanggulangi masalah jika mereka yang menjadi sasaran kemudian hari. Tidak Katia sangka, konflik tersebut berkemungkinan terjadi setelah dia yang akan memimpin keluarga Mahendra. Dia harus mencari hal lain yang dapat mengusir Mida dari kebosanannya. Kalau tidak Mida benar akan menghancurkan keluarganya.
"Aku tidak tahu ini bisa membuatmu senang atau tidak. Tapi aku dengar Zean punya adik bernama Reyzen yang akan segera lulus. Karena kakaknya bersekolah di SMA Gen, aku rasa adiknya juga akan melanjutkan pendidikan SMA-nya di sana.""Reyzen?""Iya.""Kalau begitu aku akan menyimpan namanya. Mungkin ada beberapa hal yang akan terjadi. Tapi aku akan menjaga langkahku agar tidak melanggar perjanjian itu."Mida tersenyum penuh arti seolah menemukan sebuah berlian besar. Bohong kalau dia tidak tertarik dengan Elkira yang akan menjadi adik kelasnya. Seperti apa wajahnya, seperti apa kepribadiannya, sungguh Mida menantikan hal itu."Oh ya, untuk sekarang aku tidak akan memaksamu untuk ikut andil dalam yayasan. Jadi kamu bisa fokus mengejar laki-laki tersebut. Anggap saja itu kemurahan hatiku.""Aku tidak berniat menjalin permusuhan dengan keluarga Diananta. Jadi aku akan ikut yayasan dengan senang hati," kata Katia."Apa Mahendra
"Ah, langit benar-benar mengerti perasaanku," gumam seorang perempuan. Sambil memeluk Paper Bag berisikan buah apel. Perempuan tersebut menghembuskan napas. Percikan hujan yang terbentur lantai membasahi celana bahan yang ia kenakan. Seharusnya matahari sedang menyinari bumi dari titik tertingginya. Tapi entah kenapa sekarang ia bersembunyi. Seolah sedang menyelaraskan keadaan dengan perempuan yang sedang bertahan di depan toko buah tersebut. Dia rasa dia akan cukup lama menunggu hujan reda. Jadi, seseorang yang sudah perempuan itu janjikan sebuah kedatangan harus mendapatkan kabar keterlambatan. Dia mengambil benda segenggam yang ada di tasnya. Menyelipkan benda tersebut di antara telinga dan rambutnya yang di cat merah anggur. "Zenon! Di luar hujan. Mungkin aku akan sedikit terlambat menjenguk mu!" jelasnya. *** Cuaca menyebabkan kafe dalam keadaan lenggang, hal tersebut membuat Amara lebih
Zenon sengaja diam cukup lama untuk memancing emosi sahabatnya. Ada kemungkinan sahabatnya itu akan terkejut dengan jawaban yang dia tahan. Seperti apa ekspresinya ketika terkejut, Zenon sangat ingin melihatnya. "Adikmu ... dia yang memperingatkan aku." Zean mengerutkan dahi saat mendengarnya lalu kembali menstabilkan ekspresi. "Oh." "Oh aja? Gak terkejut atau semacamnya?" tanya Zenon mencari sesuatu di wajah itu. Padahal sebelumnya dia sangat yakin tadi Zean penasaran. Tapi kenapa dia tidak terkejut sama sekali? "Memangnya kamu ingin aku bereaksi apa?" Zean bertanya dengan dahi yang kembali berkerut. "Sepertinya memang mustahil bisa melihat emosi kamu lewat raut wajah," jawab Zenon menghembuskan napas kecewa. Dia merebahkan tubuh yang sebelumnya dalam keadaan duduk. Sambil menatap langit-langit Zenon berkata lagi. "Jadi ... selanjutnya apa yang bisa kamu lakukan? Jangan bilang kamu h
Keluarga Sabara satu-satunya keluarga yang berhasil bangkit setelah mencoba bekerja sama dengan dua keluarga lain untuk menghancurkan Elkira. Meskipun pemicu di balik konflik tersebut adalah keluarga Diananta, tetap saja perbincangan dia dan Zean akan sangat berat."Jadi ini juga alasan kamu tidak menghadiri pernikahannya?""Iya."Perempuan cantik bernama Kea itu duduk di tempat Zean duduk sebelum pergi."Padahal kamu sudah banyak sekali makan apel. Tapi masih saja menerima pemberiannya." Kea terkekeh dengan wajah mengejek."Jangan coba-coba berniat mencuri apelku! Itu lebih berharga dari emas dan berlian di luar sana!" Zenon menatap Kea dengan waspada yang membuat perempuan tersebut tertawa."Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya," jawab Kea sembari menggelengkan kepala dan menambah, "Biar aku membantumu memotongnya."Kea melepas blezer yang dia kenakan lalu mengambil pisau bersiap memotong apel. Hany
Zenon tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Mendengar pernyataan itu membuatnya tidak bisa berpikir logis. Walaupun tidak ada konfirmasi, sejak SMA ia tahu kalau Kea menyukai laki-laki itu. Bisa saja dia mengarang atau hanya sekerja khayalannya. "Aku menyukai orang lain. Terserah kalau kamu tidak percaya hal ini. Kamu bisa menanyakannya dengan Zean secara langsung dan mendapatkan faktanya." Kea menyanggah dengan wajah yang biasa saja. Sudah menjadi makanan sehari-harinya menampilkan berbagai macam ekspresi palsu. Zenon diam sejenak untuk menstabilkan pikiran. Entah sejak kapan masalah rumah tangga orang lain jadi masalahnya juga. "Di masa depan Amara mungkin akan menjadi orang yang paling dirugikan. Aku tahu semua orang punya masalahnya sendiri dan bisa mengurusnya sendiri. Tetap saja ini bukan sesuatu yang aku harapkan. Jadi, jangan menjadi tokoh antagonis di pernikahan mereka!" Kea menghembuskan napas pelan dan meman
Lonceng Kafe kembali berbunyi sesaat setelah Amara meletakkan pesanan di meja pelanggan. Siluet ramping serta pembawaan jalan yang elegan menandakan perempuan yang baru saja masuk tersebut bukan dari kalangan biasa. Rambut pirangnya dan kulit seputih salju memberi kesan cantik yang tidak tergapai. Semua pasang tidak bisa tidak mengaguminya.Amara tahu perempuan tersebut bernama Lilia, adik kelas suaminya ketika SMA. Seminggu yang lalu Lilia sudah datang ke Kafe Lina untuk bertemu dengan Zean. Sekarang tujuan gadis itu mungkin masih sama. Lylia melenggang ke arah kiri Kafe tempat dua lelaki tampan duduk. Dia memberikan senyum yang menawan pada Zean yang menyoroti singkat kehadirannya.Menyadari pandangan Zean tidak lagi padanya, Zenon yang duduk membelakangi pintu masuk kafe menoleh ke belakang. Dia terkejut mendapati Lilia yang melangkah mendekat dengan seulas senyum. Seharusnya wajah itu tidak mungkin muncul di tempat seperti ini sekarang."Lama tidak bertemu Kak Zenon." Lilia menya
"Bagus kau tidak menahan Lilia. Setelah menikah semua perempuan yang datang padamu memang harus kau benci seperti tadi. Aku puas melihat dia kecewa.""Aku tidak punya perasaan rumit semacam benci. Tindakanku hanya berdasarkan keuntungan dan kerugian. Lebih baik aku membiarkannya pergi ketimbang dia membuat masalah di sini.""Walau kau tidak membencinya. kau juga tidak menahannya. Itu sudah bagus!" Zenon mengacungkan jempol lalu tersenyum pada Amara yang datang menghantarkan pesanan. Amara meletakkan ice mocachino ke atas meja sembari mencari keberadaan Lilia, dia bertanya, "Dia pulang? Lalu pesanan Ini buat siapa?""Biar aku yang bayar," jawab Zean."Aku sudah mengusir pelakor itu." Dada Zenon membusung bangga, ia lalu menadahkan tangannya pada Amara. "Tidak perlu terharu. Cukup beri aku permen!" pintanya."Amara enggak punya permen.""Kalau begitu cepat beri aku keponakan!""Keponakan?""Segeralah melahirkan anak. Dengan begitu aku punya keponakan."Wajah Amara mendadak panas. Sebe
"Amara sudah lama menyukai Zean. Menikahlah dengan Amara!" ajak seorang perempuan dengan suara yang lantang. "Kamu itu wanita jelek, miskin, dan tidak berpendidikan. Kalau kamu memandangku dengan benar dan mengerti posisimu, seharusnya kamu paham bahwa kalimat tadi adalah kalimat yang sangat haram untuk diucapkan oleh perempuan sepertimu." Hanya perlu beberapa detik untuk Zean memberikan jawabannya. Lelaki itu banyak sekali menghadapi pengakuan cinta dari lawan jenis. Tetapi tidak ada yang serendah perempuan di depannya. Pada umumnya, wanita yang mengatakan cinta pada Zean adalah orang-orang dari keluarga terkemuka. Atau orang yang cukup percaya dengan kecantikan dirinya. Namun Amara? Dia bahkan tidak punya sesuatu untuk dibanggakan. Dia hanya bermodal nekat menyatakan perasaan pada lelaki tersebut. Air matanya mulai membumi di bawah langit taman yang mulai menjingga. Wanita itu tidak lagi berani menjalin kontak mata dengan lawan bicaranya usai mendapat jawaban yang menampilkan ken