“Ada yang ingin kau katakan kepadaku?” tanya Axel memulai pembicaraan yang serius dan berbicara non-formal. Jaden mengangguk samar. “Aku datang sebagai perwakilan dari keluarga Nao, tuan Magnus memiliki alasan kuat yang tidak bisa dikatakan kepada siapapun alasan mengapa dia tidak datang, kuharap kau bisa memaafkannya,” ucap Jaden. Samar kening Axel mengerut, pendengarannya tidak nyaman mendengar Jaden menyebut nama Naomi dengan panggil yang berbeda seakan memberitahu orang lain mereka memiliki kedatan yang lebih. “Tidak masalah, itu bukan hal yang besar untukku. Aku yakin tuan Magnus adalah seorang ayah yang baik.” “Ada sesuatu hal besar yang telah terjadi dan tidak terduga di keluarga Nao. Hal ini mungkin cukup mengkhwatirkan dan serius sehingga tuan Magnus tidak bisa melakukan banyak hal dan mencoba menitipkan pesan,” cerita Jaden lagi menjadi lebih serius. Axel terdiam, menunggu Jaden memberitahu apa yang ingin di sampaikan sebenarnya. “Tuan Magnus sangat berharap bahwa hub
Rihana mengusap wajahnya yang terasa sakit, wanita itu menangis menerima kemarahan Hutton yang tidak ada habisnya. Dalam keadaan apapun, Hutton selalu melampiaskan amarahnya kepada Rihana, seakan Rihana adalah sumber masalah dari segalanya. Rihana benar-benar sudah tidak tahan, dia bisa mati sia-sia bila terus berada di sisi Hutton. Hutton menggebrak meja, pria itu bernapas dengan keras dan terlihat tidak tenang karena amarah yang tidak terkendali. “Tidak di tempat kerja, tidak rumah, semuanya sama saja!” “Aku tidak mengerti jalan pikiranmu Hutto, mengapa kau menyalahan aku atas apa yang terjadi? Seharusnya kau bertanya kepada dirimu sendiri, mengapa kau tidak pernah mampu melawan Axel? Apa kau tidak memiliki kemampuan sama sekali?” tanya Rihana angkat suara. “Jaga bicaramu! Kau sudah sangat lancang!” “Kau yang seharusnya menjaga ucapanmu! Kau bukan siapa-siapa tanpa aku!” “Apa katamu?” tanya Hutton dengan geraman kemarahan. “Kau tidak tahu diri!” Rihana berteriak. “Aku sudah m
“Kau mau pergi begitu saja?” Tanya Axel membuat Naomi kembali membalikan badannya dan menatap Axel dengan penuh tanya. “Kau belum menyambutku dengan pelukan,” ucap Axel seraya membuka tangannya meminta Naomi datang. Naomi tersipu malu, padahal tadinya dia ingin sedikit jauh-jauh dari Axel, tapi karena suasana hatinya kembali membaik, rencananya jadi gagal. Naomi berlari dengan kaki terpincang-pincangan, memeluk Axel dengan cepat dan menyembunyikan senyuman lebarnya di dada bidang pria itu. “Apa ini bisa disebut kencan?” tanya Naomi penuh harap. Axel mendengus geli. “Ini untuk pekerjaan, aku juga memiliki keluarga di sana yang ingin kuperkenalkan padamu.” Bibir Naomi mencebik kecewa. “Padahal aku ingin berkencan denganmu.” “Baiklah, nanti kita akan jalan-jalan setelah semua urusan selesai.” Naomi mengangguk dengan pelukan yang semakin erat, samar terdengar suara tawa senangnya yang tidak dapat disembunyikan. “Aku ingin melakukan banyak hal denganmu karena kau pacar pertamaku.” B
Hutton berdiri di depan apartement Jennie, pria itu terlihat sedikit mabuk dan beberapa kali menekan bel menunggu Jennie membukakan pintu. Pertengkarannya dengan Rihana membuat Hutton tidak betah di rumah, ditambah lagi dengan masalah yang kini berdatangan kepadanya membuat Hutton butuh waktu untuk menenangkan diri. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Jennie keluar membuka pintu, wanita terlihat sedikit risih begitu menyadari jika Hutton tengah mabuk datang menemuinya di tengah malam. “Ada apa?” tanya Jennie. “Biarkan aku masuk dulu, ada tugas bagus yang harus kau kerjakan.” Jennie terdiam sejenak menimang-nimang sesuatu, tidak berapa lama akhirnya wanita itu membuka pintu lebih lebar, memberi izin Hutton masuk karena tidak ingin kehilangan sedikitpun kesempatan untuk bisa kembali dengan Axel. Hutton tersenyum puas, pria itu akhirnya melangkah masuk ke dalam apartement Jennie dengan tubuh sedikit terhuyung. Hutton melihat ke sekitar dan menyadari jika kini Jennie tinggal sendi
Naomi terbangun dari tidurnya yang nyaman, samar gadis itu melihat ke sekitar dan menyadari jika kini dia sudah ada di dalam sebuah kamar, perhatian Naomi teralihkan pada bayangan samar Axel yang kini berdiri di depan cermin tengah membuka sebuah bungkusan stelan pakaian yang dibawa. Naomi berkedip pelan, bibir mungilnya tersenyum mengagumi Axel yang kini tengah membelakanginya. Ini untuk pertama Naomi melihat Axel bertelanjang dada, pria itu memiliki bahu yang kokoh, pinggang kecil dengan perut keras memiliki pahatan dari otot karena rajin olahraga. Napas Naomi tertahan di dada, gadis itu tidak dapat menutupi kekagumannya, Axel terlalu sempurna bahkan meski hanya dilihat dari belakang, siluet bayangan tubuhnya saja sudah bisa memberitahukan seberapa sempurnanya pria itu. Naomi menutup mulutnya menahana suara cekikikan senang karena bisa mengagumi Axel. Axel mengambil kemeja dan mengenakannya, dagu Axel sedikit terangkat angkuh dengan bibir tersenyum miring memperhatikan gerak-ge
Pagi-pagi sekali Darla sudah terbangun dan membereskan rumah Magnus yang saat ini membutuhkan pekerjaan ekstra keras usai kepergian banyak pelayan yang memang sengaja dipulangkan oleh Magnus. Beberapa kamar dan ruangan hingga perabotan rumah yang lain bahkan sudah mulai di tutupi oleh kain-kain agar tidak berdebu. Sejak mengetahui keadaan Magnus yang sakit, Cassandra tidak lagi mengganggu, wanita itu lebih banyak memberi pesan kepada Darla dengan menanyakan keadaan Magnus. Cassandra juga secara sukarela menawarkan dokter untuk Magnus. Perdamaian di antara Cassandra dan Magnus adalah awalan yang baik, sesuatu yang selama ini selalu selalu Naomi harapkan. Matahari pagi terlihat, dua orang tukang kebun masih bekerja dan terlihat membersihkan taman hingga kolam. Darla mendekati jendela dan melihat Magnus yang kini duduk di sisi kolam tengah menikmati sinar matahari pagi hari sambil mendengarkan Hood yang tengah berbicara di sela-sela pekerjaannya. setelah melewati banyak perawatan kh
Axel duduk sendirian di sisi pagar, memperhatikan lautan yang tidak pernah bosan untuk dia pandang di sudut negara manapun berada. Setiap kali memandang lautan, Axel selalu merasa memiliki banyak harapan. Axel ingin menjadi seperti lautan, sesuatu yang memberikan kehidupan, sesuatu bisa dipandang mata, namun tidak terukur oleh angka. Axel ingin setenang air laut, sekuat ombak, semenakutkan badai yang mengamuk, orang-orang akan bersahabat dengannya, namun mereka juga akan berhati-hati karena Axel berbahaya. Samar bibir Axel tersenyum, teringat masa kecilnya dulu yang pernah tumbuh di kota Havana dengan bebas, diasuh penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Kota Havana memiliki sejarah tersendiri untuk Axel, di tempat ini dia menemukan cinta pertamanya pada bisnis perairan. Dulu, sepanjang waktu Axel selalu berjalan kaki di gang sempit, melihat kesibukan kota Havana di bagian Poerto de frutos, tempat bersejarah itu dulu pernah menjadi tempat pembuatan kapal pada abad 17, sayangnya hancur
“Naomi, dia sehat dan terlihat bahagia. Saya pikir, dia sudah memilih pria yang tepat, namun Anda jangan khawatir Paman, akan tetap terus memperhatikan Nao dan memastikan keadaannya. Jadi, tolong sekarang fokuslah dengan kesembuhan Anda,” nasihat Jaden memberitahu Magnus. Bibir Magnus yang sudah membeku tidak bisa lagi bicara dengan normal terlihat bergerak samar karena tersenyum senang penuh kelegaan. Jaden mengeluarkan handponenya dan beranjak, duduk di sisi Magnus untuk memperlihatkan dokumentasi yang telah dia buat. “Lihatlah Paman, Nao bermain cello lagi, dan kini dia sudah berani tampil di depan semua orang. Saya sampai tidak bisa berkata-kata karena terpukau dengan perubahan Nao yang membanggakan,” cerita Jaden lagi menghibur Magnus. Magnus berkedip pelan, menatap sendu penuh kerinduan pada Naomi yang sudah hampir dua bulan ini tidak bertemu dengannya. Betapa bangganya Magnus dengan perubahan Naomi, selama ini dia memiliki masalah jika tampil di depan umum. Naomi sangat men