Maunya ini mimpi atau kenyataan? sebenarnya kenapa ya Livy mendadak ngambek? ಠ︵ಠ terima kasih kakak atas dukungannya ^_^
Ketika pagi hari, netra Livy langsung menelisik setiap sudut. Sayang, tidak ada tanda bahwa pria itu memasuki kamarnya. Bahkan bagian ranjang terasa … dingin, dan tidak ada jejak apa pun, seperai saja masih rapi.“Huh … ternyata ini mimpi,” keluh ibu hamil tersenyum getir.Entahlah, kepalanya terus menerus memerintah agar Livy menjauh dari El, tetapi lubuk hati serta tubuhnya sangat kontra. Buktinya, semalam ia merasakan ketenangan dan kenyamanan disentuh dalam alam mimpi.Livy keluar dari kamar, masih tetap menggunakan gaun tidur. Ia sarapan bersama Penelope yang lebih dulu mengunyah roti panggang berselai alpukat.“Dokter sendirian? Di mana abuela?” Livy menggerakkan kepala ke kiri, kanan dan belakang, mencari keberadaan wanita sepuh.“Maid bilang Nyonya Torres sudah sarapan dan sekarang jalan-jalan di tepi pantai. Aku jadi tidak enak hati … malu karena tuan rumah bangun lebih awal, tapi tidak apa kamu juga baru sarapan sekarang,” tutur Penelope. “Makan yang banyak Livy! Kamu memerl
“Jadi … ini yang Kakak maksud dengan bertanggung jawab?” ucap Livy dengan perasaan diselimuti pilu. Bibirnya bergetar dan rongga dada terasa menyempit, diikuti kerongkongan mengering.El tidak langsung menjawab, melainkan mengikis jarak lalu mendekap erat ibu hamil. Mengusap berulang sepanjang tulang punggung, menepuk perlahan—memberi ketenangan.“Kakak jahat! Sudah aku katakan aku bisa membesarkannya sendirian, aku bisa dan ... mampu.” Tangis Livy pecah di pelukan El, tidak peduli tetesan kristal bening membasahi kaos putih pria ini. Ia hanya menumpahkan segala asa yang tertimbun.Lagi, raganya berkhianat, bukannya menolak atau mendorong pria ini jatuh ke laut. Malah menikmati pelukan hangat yang sangat nyaman, langsung melepas beban di hati.Apakah cinta segila ini sampai akal sehat hilang? Padahal jelas-jelas El mengirimkan pesan itu dua minggu yang lalu. “Aku tahu Kak, janin ini hadir karena kesalahan, tapi bukan berarti Kakak bisa memisahkan kami,” keluh Livy semakin menyusupkan
“Ayolah Livy, kamu belum mau pulang?! Ini sudah malam sayang.” El menghela napas lalu menunjukkan jam di pergelangan tangan.Sebenarnya bukan karena sudah malam tetapi ia memiliki maksud lain. Namun, Livy tampak mengulur waktu, lihat saja wanitanya asyik menendang pasir dan merentangkan tangan menikmati embusan angin.“Ini belum gelap Kak, masih terang. Sebentar lagi ya?!” Livy menolehkan kepala dan tersenyum lebar, mana mungkin El bisa menolak kalau sudah begini.Musim panas memang membuat matahari lebih lama menerangi langit. Bahkan pukul setengah tujuh malam suasana pantai lebih sejuk dan wisatawan kembali berkunjung.“Ok, kita lihat matahari terbenam di sini.” Akhirnya El mengalah, lagi pula ia senang melihat Livy bisa tersenyum bahkan tertawa puas, bukankah ini baik bagi perkembangan janin?El setia mengikuti kekasihnya berjalan menghampiri ombak kecil. Tiba-tiba Livy mencipratkan air ke arah El, meskipun musim panas, tetapi air laut tetap saja dingin.“Oops, pakaian Kakak jadi b
“Bagaimana keadaannya?” tanya El yang panik.Setelah mendaratkan helikopter pada helipad di atas gedung rumah sakit. Ia bergegas masuk ke dalam, dan memerintah orang kepercayaan untuk membawa kendaraan itu kembali ke mansion.“Nyonya kecelakaan Tuan. Menurut penyelidikan, akibat lepas kendali sehingga mobil terbalik,” jelas Alonso memperlihatkan tab kepada El.“Astaga Sonia, apa yang dia lakukan? Apa benar murni kecelakaan tunggal?” selidik El.Walau tidak mencintai Sonia, ia tetap mengkhawatirkan istrinya. Sebagai suami wajib bertanggung jawab, termasuk menutupi aib sang istri.“Murni kecelakaan tunggal Tuan. Satu hal yang harus Anda tahu.” Wajah Alonso tampak serius, El mengerti lalu mendekatkan diri. Rupanya asisten pribadi membisikan sesuatu agar tidak terdengar orang lain.Seketika El mengepalkan tangan, rahang tegasnya mengeras dan kilat memenuhi sorot manik biru safir. Napasnya memburu, giginya bergemelatuk, seakan singa jantan yang diusik ketenangannya.Tidak lama perawat kelua
‘Tahan air mata Livyata! Kak Sonia Istrinya, sedangkan aku hanya wanita yang mengandung darah dagingnya, sadar diri Livy!’ batinnya berkecamuk, Livy mematung di depan pintu.“Livy, kamu kenapa?” bisik Dokter Penelope, menyenggol bahu ibu hamil.“Dokter … aku mau ke toilet, sepertinya aku … tidak enak badan,” sahut Livy dengan intonasi pilu.Penelope mengerti bahwa ibu hamil sekaligus teman dan pasiennya ini sedang terluka, segera menutup pintu dengan perlahan. Dokter cantik juga sempat melihat aktifitas pertukaran saliva sepasang suami istri di dalam. “Ayo aku temani Livy,” ajak Penelope menggenggam tangan Livy, khawatir temannya terjatuh dan berakibat fatal bagi kandungan.“Aku banyak merepotkan dokter. Maaf, karena pekerjaan dokter jadi terbengkalai,” ucap ibu hamil bernada ironi.Nasib baik tampaknya tidak akan pernah hadir, Livy sadar, dirinya hanyalah duri dalam pernikahan kakak angkatnya. Ia tidak berhak mendapat perhatian apa lagi cinta dari seorang Donatello Xavier Torres. “A
“Silakan Tuan.” Livy langsung memberikan roti isi untuk El, tangannya bergerak begitu saja, bahkan pandangannya belum terputus dari pria beralis tebal itu. “Aku tunggu di ruangan, datanglah.” El mengerlingkan sebelah mata, kemudian berlalu dari ruang makan.“Apa kali ini aku bisa menghindar?” monolog Livy sembari menatap punggung lebar kakak iparnya.Sebagai rekan bisnis yang baik, Livy mematuhi keinginan investor. Selesai jam sarapan, ia bergegas ke ruangan Presdir Torres Inc, di dalam lift terus menerus menghirup napas, menenangkan diri agar tidak terbawa perasaan.Tiba di depan pintu berukuran besar, sekretaris mempersilakan Livy masuk. Ibu hamil ini berdiri, tidak mendekati El yang menatap penuh kerinduan. Dadanya bergemuruh tak karuan ketika El berdiri dari kursi kebesaran, melepas jas mahal, melonggarkan dasi dan membuka dua kancing atas kemeja. Di mata Livy, El tampak sempurna sebagai seorang pria, lagi, ia terhipnotis dengan penampilan serta senyum kakak ipar.Demi Tuhan, ber
[Kamu tidak apa-apa sayang? Rencanamu terlalu berbahaya.] “Hu’um, aku baik-baik saja. Tidak perlu cemas, kamu di mana? Jangan lama ya karena aku tidak bisa jauh darimu,” manja Sonia menatap lurus ke arah pintu masuk.[Kamu tenang saja, aku harus menyelesaikan pendidikanku, kalau senggang temui aku di sini. Aku mencintaimu Sonia.]Sonia mengangguk walau berkomunikasi via telepon dan kekasihnya tidak bisa melihat. Selesai menelepon, ia kembali naik ke atas ranjang, merebahkan tubuh dan menutupi kaki dengan selimut.**“Anda kenapa Tuan?” tanya Alonso yang duduk di samping Tuan Muda Torres.“Apa paman pernah membujuk seorang wanita yang sedang cemburu?” Seketika kening Alonso yang mulai keriput semakin mengerut, mendengar pertanyaan aneh bos mudanya. Asisten pribadi ini tidak mengerti, siapa wanita yang dimaksud, Sonia atau Livy.“Nyonya Muda atau Nona Livy, Tuan? Saya tidak pernah dicemburui oleh wanita,” tukas Alonso kemudian menelan air liur, melihat sorot mata iba dari El.“Tentu sa
“Kamu tidak mau mengizinkan aku masuk? Tidak sopan!” protes El menahan pintu dengan kedua tangan dan sebelah kaki yang di selipkan.“Ini sudah malam, aku mau istirahat Kak!” balas Livy cemberut, ia juga bingung kenapa harus bersikap seperti ini melihat El dan Sonia berciuman. “Kamu bisa istirahat, aku temani. Memang anak kita tidak merindukan Daddy-nya?” El mengangkat kedua alis, tetapi Livy semakin kuat mendorong pintu hingga El memekik sebab kakiknya kirinya terjepit, “Aargh!”Entah akting atau bukan, yang jelas El tampak … meringis, bahkan kedua tangan tidak menahan pintu lagi. Kesempatan emas Livy menutup pintu dan kabur, tetapi … akhirnya ibu hamil mempersilakan pria di depannya masuk.“Maaf,” cicit Livy nyaris tak terdengar. Ibu hamil ini sungguh merasa bersalah, seandainya kaki El remuk atau patah entah hukuman apa diterimanya. Bisa jadi ia dituntut dan dihukum karena melukai tubuh putra sulung Tuan Leonard Torres.“Aku maafkan dengan syarat … kita saling menerima permintaan m