“Nyonya mau ke mana?” Kepala Pelayan tergopoh-gopoh mengejar Livy.“Menemui suamiku, El dalam bahaya. Aku harus menyelamatkannya. Tolong kembalilah ke dalam,” pinta Livy, tatapan mengiba dan memburam karena lelehan bening menganak sungai.“Tapi, Tuan Muda melarang kita semua keluar dari sini. Sebaiknya Nyonya hubungi Tuan Besar,” cetus Kepala Pelayan sembari menahan Livy di depan mansion.Livy tercenung, ia mengangguk, lantas meraih ponsel di dalam tas. Ibu muda ini menghubungi mertua serta dua adik iparnya. Mereka tampak tak percaya mendengar penjelasan Livy, apalagi intonasinya tak jelas.Ia mengakhiri sesi telepon, mengirim bukti foto di mana tubuh El dipenuhi luka serta cairan merah pekat mengalir dari perutnya.Ketika Kepala Pelayan lengah, Livy langsung berlari cepat menuju salah satu mobil sport milik sang suami. Dengan tangan gemetar ia menyalakan mesin, kemudian melaju. “Cepat buka pintunya!” teriak wanita ini dari dalam mobil.“Tidak bisa Nyonya, ini perintah Tuan Muda. Nyon
Satu jam sebelumnya, Dad Leon bersama dua putranya segera menyusul Livy. Mereka mengikuti melalui GPS yang terpasang di mobil sport milik El. Selisih antara Livy dan ketiganya pun berbeda lima belas menit tiba di villa pribadi Jorge.Setelah itu, Ed dan Ar melumpuhkan para penjaga di depan villa, meringkus semuanya kecuali pelayan wanita. Ketika ketiganya masuk ke dalam villa, tiga iris biru safir terkesiap melihat Jorge Marquez menodongkan senapan mengarah pada El.Bahkan mereka turut iba pada Livy—yang brsembunyi di balik dinding. Tubuh ibu dua anak ini gemetar ketakutan sembari mendekap pria sepuh.“Livy, ikut aku … di luar aman, kamu harus membawa Kakek ke rumah sakit. Biar El bersama Ed dan Ar,” ujar Dad Leon sambil membantu Livy berdiri dan memapah kakeknya.“Tapi Dad …” Livy menolehkan kepala, kakinya berat melangkah. Ia takut kehilangan orang-orang tercinta. “Aku tidak bisa meninggalkan suamiku, Dad,” lirihnya.“Percayalah, El menyusulmu ke rumah sakit. Dia baik-baik saja Livy
“Aku memang bukan dermawan Tuan. Setidaknya masih memiliki hati ingin membalas kebaikan pamrih Jorge.”El berdiri tegak di depan pria paruh baya, ia membalas tatapan Tuan Besar Marquez. Sama sekali tidak menundukkan kepala atau merasa sungkan.“El … kalian teman sejak kecil, aku mohon maafkan Jorge. Setelah ini aku berjanji dia tidak akan muncul dihadapan kelurga kalian,” pinta ayah dari Jorge Marquez.Sebenarnya El merasa kasihan pada pria paruh baya ini. Menurut informasi, Tuan Besar Marquez hampir dilarikan ke IGD, paska mendengar kabar buruk menimpa putra sulungnya.Namun, El tetap bertekad memberi Jorge pelajaran sesuai hukum berlaku. Sebab, dari perbincangan singkat di ruang pemulihan setelah operasi, Jorge tak merasa bersalah. Lelaki itu bersikukuh agar El memberikan seluruh kepemilkan kecerdasan buatan.“Tuan benar. Tapi … sayangnya Jorge tidak menganggapku sebagai teman,” pungkas El hendak mengakhiri percakapan.“Aku akan memberimu imbalan saham perusahaan kami asalkan kamu me
Dua minggu setelah tragedi berdarah, kehidupan El dan Livy belum tenang. Pasalnya keadaan kakek masih kritis, serta Jorge Marquez belum divonis hukum.Beberapa hari lalu petugas mengamankan Jorge, sidang perdana pria itu segera di gelar oleh pengadilan. Akan tetapi El tahu, Jorge tidak akan menjalani kehidupan utuh dalam bui. Sebab keluarga Marquez memiliki pengaruh kuat di instansi pemerintah dan hukum. “Daddy, mau itu,” tunjuk Al membuyarkan atensi El yang sedang menonton siaran berita.“Kamu mau ini? Ok, jangan sampai ketahuan Mommy!” El menggapai putra sulungnya. Membawa ke atas paha. “Buka mulutmu!” Tangan kekarnya menyuapi mulut kecil Al. “Enak ‘kan?”Batita itu mengangguk cepat, mulutnya mengunyah makanan, dalam sekejap kembali membuka mulut. Al sangat menyukai bola-bola coklat pemberian Bibinya—Estefania.“Tapi jangan banyak-banyak, Mom bisa marah. Sebaiknya sekarang minum dan kumur-kumur! Ayo!” ajak El sambil menggendong Al ke dapur.Ketika El tengah sibuk menyeka mulut putr
“Bagaimana bisa lukanya infeksi begini?” cerca Livy sambil mondar-mandir dalam kamar.Bahkan tubuh El demam, suhunya mencapai 40 derajat celcius. Bukan hanya itu saja, tetapi, pria ini juga menggigil, gemetaran. Saat mengetahui luka di punggung mengeluarkan cairan kekuningan pekat. Livy hendak membopong tubuh kekar El ke dalam mobil, sayangnya menolak. El bersikukuh tetap di dalam kamar, menyatakan cukup istirahat dan semua akan baik-baik saja. Akan tetapi Livy dilanda cemas, akhirnya menghubungi dokter pribadi.Sekarang, dokter itu tengah membersihkan luka sembar mencemooh pasangan suami istri. “Iya bisa, suamimu, si bodoh ini melakukan hal receh tapi serius. Sudah tahu bekas lukanya belum tertutup sempurna, dia malah bermain air hujan,” gerutu dokter sekaligus sepupu jauh El.Langkah kaki Livy berhenti, atensinya tertuju pada kaos kemeja hitam sang suami di dalam keranjang baju kotor. Tadi sewaktu ia menaruh kaos hitam, tak sengaja melihat beberapa pakaian basah miliknya dan El.“
“Toko roti?” Livy tercenung, netra coklatnya menatap lekat-lekat senyum manis nan lembut sang suami. “Aku mau, malah itu mimpiku memiliki toko roti besar bukan … aku ingin menjalani pekerjaan sesuai hobiku,” harapnya.El menaikan sebelah alis. “Lalu?” Ia menjulurkan tangan, meraih bahu Livy dan membawanya dalam pelukan hangat, El berujar, “Mimpimu masih bisa jadi nyata Mi Amor. Aku ingin istriku bahagia.”Livy menjauhkan kepala, ia mendongak, menyelami kedua iris biru safir. Kening wanita ini tampak mengerut dalam, ia berpikir keras lalu pandangannya teralih pada undakan tangga yang mengarah ke lantai dua.“Tapi … aku tidak memiliki waktu Kak. Al dan Gal bagaimana? Belum lagi, aku harus mengurus FG,” adu Livy melepas keganjalan dalam hati.Telapak tangan lebar El mengusap sepanjang tulang punggung, lantas melabuhkan kecupan basah di dahi. Lelaki ini menangkup pipi Livy, kemudian El mengedikkan dagu pada jam digital.“Ada 24 jam dalam sehari. Kamu hanya perlu sesekali mengawasi, jadi ma
“Diam Alonso! Sebaiknya sampaikan nanti setelah aku menghukum dua anak ini!” seru Dad Leon.Mendapat ultimatum dari tuannya, Alonso segera beranjak. Kebetulan Mom Pamela dan para menantu menghimbau Alonso makan siang bersama. Sehingga asisten pribadi itu melangkah melewati ketiga manusia konyol di depannya.“Selamat siang, Paman Leon,” teriak seseorang dari arah depan. “Apa yang kalian lakukan?!” Diego memelotot melihat El meringis.“Kamu?!” tunjuk El, melebarkan mata. “Untuk apa datang ke sini? Seenaknya saja masuk rumah orang tanpa izin!” sergahnya tak suka karena Diego pasti curi-curi perhatian Livy.“Aku yang menyuruhnya ke sini, ada berkas untuk ayahnya. Sudahlah, sebaiknya kalian makan! Dan jangan bertengkar! Kepalaku pusing.” Dad Leon melepas tangan dari daun telinga dua anaknya.Buru-buru El berlari meninggalkan ruang keluarga, lelaki ini membawa Livy-nya mengambil posisi terbaik—jauh dari Diego. Bahkan ia menaruh serbet di atas paha Livy, menuangkan jus untuk istri. El juga m
Livy tak bisa berkata-kata saat dua orang yang dikenalnya turun dari lantai dua sembari membawa kue ulangtahun. Lelehan bening kian berderai, karena tanpa jawaban El pun ia sudah tahu, siapa pemilik toko ini.“Selamat ulang tahun Bu Livy, kami siap membantu Ibu di toko ini,” kata dua pengawas toko roti.“Terima kasih … aku ….” Livy mengipas wajah dengan jemari lentiknya. Ia terharu karena mantan pegawai, kini menjadi karyawannya lagi, dan tetap mengingatnya.“Bu Livy pantas bahagia.” “Terima kasih ilmu yang Ibu berikan.” Kompak kedua pengawas itu.Dulu, selepas toko roti bangkrut, keduanya berusaha menciptakan peluang, dengan berbisnis makanan kecuali roti. Sebab merasa tidak enak hati sudah diberikan modal, apa iya harus menggunakan resep pemberian Livy.El merangkul pundak istri. Ia berseru pada semua orang, “Sekarang, nikmati pestanya!” “Sayang, ini toko rotinya langsung buka?” tanya Livy dengan air muka terkejut sekaligus bahagia.“Tentu saja, khusus tujuh hari ini semua pengunju