“Claudia, ini minumlah. Air es bisa membuatmu sedikit merasa segar.” Gilbert memberikan orange juice yang sudah dia pesan untuk Claudia yang duduk melamun di kantin sendirian.
Cluadia menatap Gilbert dan tersenyum sambil menerima orange juice pemberian teman itu, dan meminum perlahan. “Thanks, Gilbert.”
Gilbert duduk di samping Claudia dengan senyuman tulus di wajahnya. “You’re welcome. Claudia, wajahmu terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya.”
“Hm? Berbeda bagaimana?” Claudia berusaha bersikap normal, meski banyak sekali beban pikiran yang mengusik ketenangannya.
“Apa kau memiliki masalah?” tanya Gilbert mencemaskan keadaan Claudia. Pemuda itu khawatir kalau Claudia memiliki masalah yang dipendam. Pasalnya, biasanya Claudia selalu ceria. Tidak seperti sekarang ini.
Claudia kembali meminum orange juice-nya. “Tidak, Gilbert. Aku tidak memiliki masalah. Aku hanya lelah saja. Belakangan ini banyak sekali yang harus aku kerjakan.”
Claudia memang sekarang ini membutuhkan tempat untuk bercerita, meluapkan perasaannya yang kacau. Akan tetapi, tidak mungkin dia memberi tahukan Gilbert tentang yang dia rasakan saat ini. Pun dia tidak bisa berbagi masalah pada Gilbert.
“Kau yakin?” tanya Gilbert memastikan.
Claudia tersenyum. “Sangat yakin. Kau jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing karena banyak sekali yang harus aku kerjakan.”
Gilbert manggut-manggut. “Memang menjelang lulus kuliah, pasti banyak sekali yang harus dikerjakan. Oh, ya, aku lupa bertanya, tadi pagi kau diantar siapa?”
“Kakak iparku,” jawab Claudia pelan.
“Kenapa kau tidak membawa mobilmu, Claudia?”
“Mobilku masuk bengkel. Kakakku kemarin membawa mobilku dan menabrak dinding.”
“Harusnya kau menghubungiku. Aku bisa menjemputmu.”
“Tidak usah, Gilbert. Aku tidak mau merepotkanmu.” Claudia menolak sopan dan lembut. Gadis itu tak ingin menyusahkan Gilbert.
“Sama sekali tidak merepotkan.” Gilbert tersenyum. “Nanti pulang dari kampus, biar aku saja yang mengantarmu. Oke?”
“Gilbert—”
“Come on, Claudia. Biar aku saja yang mengantarmu.” Gilbert membujuk Claudia.
Claudia menghela napas panjang. “Baiklah. Terima kasih.”
Gilbert menatap Claudia dengan tatapan hangat. “Tidak usah terima kasih. Aku senang mengantarmu pulang. Bahkan aku senang bisa selalu ada di dekatmu.”
***
Ella duduk di ruang tengah seraya menikmati salad yang baru saja diantar oleh sang pelayan. Baru menikah, membuat Ella sedikit malas untuk bekerja. Wanita itu lebih memilih untuk bersantai di rumah.
Terkadang, malah yang Ella lakukan adalah pergi berbelanja sepauasnya. Sekarang ini dia memiliki suami hebat yang memberikannya banyak sekali uang, tanpa perlu harus bekerja. Itu kenapa Ella kerap terlena dengan uang yang dimanjakan oleh Christian.
“Ella, apa kau memiliki rencana untuk berlibur dengan Christian? Maksud Mommy setelah project Christian selesai.” Grania menghampiri Ella.
“Hm, mungkin iya, Mom. Tapi aku harus bertanya dulu pada Christian. Dia selalu sibuk. Aku tidak mau dia malah marah padaku karena aku egois,” jawab Ella sambil menguyah salad.
Grania membelai rambut Ella. “Iya, kau ajak bicara Christian pelan-pelan. Bagaimanapun, kau dan Christian kan baru menikah. Jadi kalian sangat wajib menikmati masa bulan madu kalian.”
Ella tersenyum dan mengangguk merespon ucapan sang ibu. “Oh, ya, Mom apa sopir sudah menjemput Claudia?”
“Tadi Claudia mengirimkan pesan pada Mommy, dia bilang akan diantar temannya,” jawab Grania sambil mengambil cangkir teh yang ada di hadapannya, dan menyesap teh yang dibuatkan pelayan secara perlahan.
Ella menatap Grania lekat. “Siapa, Mom? Ah, atau jangan-jangan pemuda yang waktu itu aku lihat selalu di dekat Claudia.”
Grania tersenyum. “Memangnya Claudia sedang dekat dengan seorang pria?”
“Waktu itu aku pernah mengantar Claudia ke kampus. Lalu dia seperti akrab dengan pemuda tampan yang satu kuliah dengannya. Hm, tapi, Mom, aku lupa nama pemuda itu.” Ella menepuk keningnya pelan. “Astaga, aku ini belum tua tapi sudah pelupa. Aku hanya ingat wajahnya, tapi tidak dengan namanya.”
Grania menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sudahlah, Claudia itu masih kecil. Dia belum waktunya memiliki kekasih.”
Sebelah alis Ella terangkat. “Are you kidding, Mom? Claudia sudah 20 tahun. She’s not a baby anymore.”
Grania meletakan cangkir teh ke atas meja. “Bagi Mommy, adikmu itu masih bayi. Lebih baik dia tidak usah mengenal pria. Nanti Mommy akan pilihkan jodoh untuknya. Seperti Mommy dan Daddy yang menjodohkanmu dengan Christian.”
Ella mendesah panjang. Ya, Ella sudah lima tahun dijodohkan oleh Christian. Tepatnya di ulang tahunnya kemarin memasuki angka 30 tahun, dia dan Christian akhirnya memutuskan menikah. Ella dan Christian memiliki usia yang sama. Itu yang membuat mereka kerap saling memahami satu sama lain.
Suara langkah kaki terdengar. Refleks, Ella dan Grania mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu—tampak senyuman di wajah Ella terlukis melihat Christian pulang lebih awal.
Ella bangkit berdiri dan memeluk sang suami, dengan pelukan hangat. “Sayang, kau pulang lebih awal?” tanyanya pada sang suami.
Christian mengecup kening Ella. “Iya, aku pulang lebih awal. Aku akan melanjutkan pekerjaanku di rumah.”
Ella tersenyum riang.
Suara mobil baru datang terdengar…
“Ella, sepertinya adikmu sudah pulang,” ujar Grania hangat.
“Ayo kita temui Claudia. Aku ingin tahu siapa yang mengantar adikku.” Ella berkata begitu senang, lalu dia menarik tangan Christian, mengajak sang suami untuk ke depan rumah.
Raut wajah Christian berubah terkejut di kala Ella mengajaknya begitu antusias. Christian ingin menolak, namun sulit karena Ella menarik-narik tangannya, seakan memaksa dirinya untuk ikut ke depan.
“Bye, Gilbert.” Claudia melambaikan tangannya, di kala mobil Gilbert mulai pergi meninggalkan rumahnya. Wajah cantik Claudia melukiskan senyuman indah dan manis.
“Ehm!” Ella berdeham, menghampiri Claudia bersama dengan suami dan ibunya.
“Kalian di sini?” Claudia berbalik, menatap terkejut Ella bersama Christian dan juga ibunya ada di hadapannya. Claudia sama sekali tak menyadari kalau ada yang datang.
Ella tersenyum-senyum sengaja menggoda adiknya. “Kau tadi diantar siapa?”
“Temanku, Kak,” jawab Claudia pelan.
Grania mendekat dan merengkuh bahu putri bungsunya. “Hanya teman, kan, Sayang?”
“Iya, teman, Mom.” Claudia sedikit menunduk, dia merasa kalau Christian menatapnya. “Kak, Mom. Aku ingin masuk ke kamar dulu. Aku lelah.” Lalu, Claudia mengecup pipi ibunya dan kakaknya—melangkah pergi menuju ke kamarnya. Gadis itu sengaja menghindar, karena selain tak ingin banyak ditanya, dia pun tak ingin melihat Christian.
“Ah, Mom. Claudia menghindar. Dia sepertinya tidak ingin memberi tahu kita. Padahal aku ingin sekali tahu siapa pria yang mengantarnya pulang.” Ella melipat tangan di depan dada, menatap kesal Claudia yang pergi begitu saja.
Grania tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Ella, Mommy yakin itu pasti teman. Kau tahu kan Claudia itu selalu menceritakan apa pun pada kita. Dia tidak mungkin menyembunyikan sesuatu dari kita.”
Ella mendesah pelan. “Tapi selama ini Claudia belum pernah menceritakan tentang pria. Aku sangat ingin sekali memberikan saran padanya tentang pria. Aku ingin Claudia mendapatkan pria yang terbaik. Seperti aku mendapatkan Christian.”
Grania membelai pipi Ella. “Kau tenang saja. Akan tiba waktunya Mommy dan Daddy memperkenalkan Claudia dengan pria yang baik.”
“Mom, tapi kalau Claudia menolak dijodohkan bagaimana? Mungkin saja dia memiliki kekasih pilihannya sendiri,” ujar Ella seraya menatap Grania.
Grania kembali tersenyum. “Kau tenang saja, Sayang. Mommy akan tetap mengutamakan kebahagiaan Claudia. Yasudah lebih baik kita masuk. Kau tidak usah pikirkan Claudia. Kau pikirkan saja dirimu. Mommy tidak sabar ingin menimang cucu.”
Pipi Ella tersipu malu, dan langsung memeluk lengan Christian. “Iya, Mom. Doakan saja aku dan Christian bisa segera memberikan cucu untukmu.”
Ella bersama dengan ibu dan suaminya masuk ke dalam rumah. Tampak raut wajah Christian berubah menjadi dingin. Sejak tadi Christian hanya diam mendengar percakapan antara Ella dan Grania. Namun, entah kenapa percakapan itu sangatlah mengusik ketenangannya.
Christian mengumpat dalam hati di kala percakapan istri dan mertuanya terngiang di benaknya. Percakapan bukan tentang kehidupan rumah tangganya dengan Ella, melainkan percakapan tentang Claudia.
Claudia terlelap pulas, di dalam kamarnya yang gelap gulita. Angin berembus pelan, memasuki sela-sela jendela, membuat Claudia tidur semakin lelap. Rambut panjang gadis berparas cantik itu sedikit berantakan, membuatnya begitu cantik di tengah-tengah kegelapan.Tiba-tiba gelegar petir terdengar cukup keras hingga membuat Claudia terperanjat terkejut. Dia langsung membuka mata terbangun paksa dari tidurnya akibat gelegar petir yang keras.“Hujannya besar sekali,” gumam Claudia pelan sambil menyibak selimut, menutup rapat gordennya yang bergerak-gerak.Claudia merasakan tenggorokannya kering, dia hendak mengambil minuman yang ada di atas meja, namun Claudia langsung berdecak di kala teko di atas meja yang biasanya penuh terisikan air, malah sekarang kosong.“Pasti pelayan lupa mengisi teko,” gumam Claudia sedikit kesal.Claudia bisa saja menghubungi pelayan untuk membawakan minuman padanya, namun Claudia tak tega kalau membangunkan pelayan yang pasti sudah tertidur di tengah malam sepe
Claudia tak mengira kalau dirinya akan terjebak dalam situasi yang rumit. Berkali-kali dia berusaha menghindar, tapi tetap saja dirinya tak mampu untuk melangkah jauh. Layaknya berada di lingkaran api, yang telah menjeratnya.Setiap harinya, Claudia selalu merasa bersalah, seperti tengah melakukan sebuah dosa besar, namun jika dirinya menghindari dosa besar itu, malah yang ada membuatnya semakin ditarik layaknya magnet yang tak bisa lepas.Claudia ingin hidup bebas, seperti sebelumnya, tak merasakan lagi rasa bersalah, tapi semua itu adalah hal yang tak mungkin. Dia telah terjebak oleh kerumitan yang seharusnya tak terjadi.Hari ini adalah hari di mana Claudia akan bekerja di perusahaan Christian. Claudia sengaja mengambil jurusan kuliah interior design, karena Claudia ingin mandiri, tidak bergantung dengan perusahaan keluarganya. Tapi, maksud dari mandiri Claudia bukan malah bergantung pada perusahaan Christian.“Claudia, apa kau sudah siap, Sayang? Ini sudah siang. Christian sudah b
“Nona Claudia, perkenalkan di depan Anda adalah Tuan Hansen Beall, rekan kerja Anda. Anda akan banyak dibantu oleh Tuan Hansen. Nantinya Tuan Hansen akan memperkenalkan Anda dengan teman-teman Anda yang lain. Di sini bekerja dalam team. Jadi Anda bisa meminta bantuan teman-teman Anda, jika Anda mengalami kesulitan.” Addy berucap sopan pada Claudia sekaligus memperkenalkan sosok pria tampan bernama Hansen Beall yang ada di hadapan Claudia.Claudia mengangguk. “Thanks, Addy. Aku mengerti.”“Baiklah, saya permisi. Kalau Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa memanggil saya,” ucap Addy lagi.Claudia kembali mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Addy.”Addy pun tersenyum, lalu pamit undur diri dari hadapan Claudia.“Hi, Claudia.” Hansen mengulurkan tangannya ke hadapan Claudia. Pun Claudia menyambut uluran tangan Hansen dengan wajah yang amat ramah.“Hi, Hansen.” Claudia menjawab hangat.“Wow, aku tidak menyangka akan memiliki rekan kerja secantik dirimu. You’re so damn beautiful, Claudia.
Claudia duduk di kantin menikmati makan siang bersama dengan Hansen. Beberapa perempuan yang duduk di seberang sana seperti tengah berbisik-bisik membicarakannya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Claudia memilih untuk bersikap acuh dan tak peduli.“Bagaimana, makanan di kantin ini enak, kan?” ujar Hansen bertanya seraya menatap hangat Claudia yang duduk di hadapannya.Claudia mengangguk. “Iya, ini sangat enak.”Dalam hati, ini pengalaman Claudia pertama kali makan di kantin karyawan. Di perusahaan ayahnya pun memiliki kantin karyawan. Yang mana para karyawan juga bisa mengakses makanan secara gratis tak sama sekali harus membayar. Namun, Claudia tak pernah ke kantin karyawan ayahnya. Hansen tersenyum. “Besok aku akan mengajakmu makan di kafe langgananku dekat Hastings Group. Di sana juga makanannya enak.”“Kau seperti mengajak turis, Hansen,” ucap Claudia seraya mengulum senyumannya.Hansen terkekeh pelan. “Kau karyawan baru, jadi banyak hal yang belum kau ketahui. Tidak salah
Christian duduk di ranjang seraya menyandarkan kepala di kepala ranjang. Pria itu berkutat dengan iPad di tangannya, berusaha memfokuskan otaknya pada pekerjaannya meski hari sudah malam.“Sayang, maaf aku pulang terlambat.” Ella melangkah masuk ke dalam kamar, membawa banyak sekali barang-barang belanjaan. Seharian ini, Ella memang bertemu dengan teman-temannya. Terlalu asik berbelanja, sampai membuatnya lupa waktu.Christian mengalihkan pandangannya menatap Ella. “Tidak apa-apa. Mandilah. Setelah itu kita tidur. Ini sudah malam.”Ella mendekat pada sang suami, dan mengecup bibir suaminya itu. “Aku ingin memberikan kejutan untukmu.”“Kejutan apa?” Christian menatap Ella.“Nanti kau akan tahu, Sayang.” Ella membelai rahang Christian, lalu dia melangkah dengan anggun menuju ke dalam kamar mandi.Christian kembali fokus pada iPad di tangannya, di kala Ella sudah masuk ke dalam kamar mandi. Ada sesuatu hal yang mengusik pikiran Christian. Entah hal apa. Yang pasti hal yang benar-benar me
“Morning, Sayang.” Grania menyapa putri sulung dan menantunya, yang tengah memasuki ruang makan. Senyuman hangat menyambut putri sulung dan menantunya itu.“Morning, Mom.” Ella dan Christian duduk di kursi meja makan mereka. Lalu, pelayan pun segera menghidangkan makanan ke hadapan Ella dan Christian.“Mom, di mana Claudia?” tanya Ella di kala tak melihat keberadaan adiknya.Grania mendesah panjang. “Dia ada di kamar. Dari tadi Mommy sudah memintanya untuk sarapan bersama, tapi malah belum juga muncul.”“Sayang, mungkin putri kita sedang berias. Tunggulah sebentar,” sambung Benny meminta Grania untuk bersabar.Grania menatap Benny. “Sayang, putri bungsu kita itu tidak seperti putri sulung kita yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk berias.”Benny tersenyum samar.“Mom, kau menyindirku,” tukas Ella jengkel di kala mendapatkan sindiran dari ibunya. Sejak dulu memang Claudia selalu menjadi anak emas. Anak yang paling disayang, karena lembut dan tak pernah membuat aneh-aneh. Berbeda deng
“Claudia? Kau sudah pulang?” Grania tersenyum hangat dan begitu senang melihat putrinya sudah pulang bekerja. Wanita paruh baya itu memeluk erat putri bungsunya, dan memberikan kecupan di pipi putrinya itu.“Iya, Mom. Tadi aku langsung pulang. Hari ini tidak terlalu banyak yang aku pelajari,” jawab Claudia pelan dan memberikan senyuman hangat di wajahnya.Grania membelai pipi Claudia. “Tapi kau terlihat lelah sekali, Sayang.”“Jangan khawatir, Mom. Aku baik-baik saja,” jawab Claudia menenangkan ibunya.Grania mengangguk. “Ya sudah, ayo kau coba dulu salad buah buatan Mommy. Tadi Mommy membuat salad buah. Kau pasti suka.”Claudia menurut, lalu dia melangkah bersama dengan ibunya menuju ke dapur. Tepat di kala dirinya dan ibunya sudah tiba di dapur—ibunya itu mengeluarkan salad buah dari kulkas dan memberikan pada Claudia. Tentu, Claudia langsung memakan salad buah buatan ibunya itu.“Claudia, Mommy lupa memberi tahumu. Rencananya Mommy dan Daddy akan membeli mansion di Las Vegas. Mansi
Claudia menatap barang-barang yang akan dia bawa untuk camping. Jauh dari dalam lubuk hati Claudia, dia tak ingin ikut camping. Akan tetapi, jika dirinya bersikeras tak ikut, maka pasti akan mengecewakan kakaknya. Maka, mau tak mau Claudia harus tetap bersedia ikut camping.Claudia mendesah panjang. Dulu di kala kakaknya belum menikah, pasti Claudia akan antusias jika diajak jalan-jalan. Namun semuanya berubah setelah dirinya terjebak dalam hubungan rumit dengan kakak iparnya.Sungguh, Claudia membenci keadaan ini. Claudia sekarang selalu merasa berdosa setiap kali melihat wajah kakaknya. Padahal, tak pernah terbesit sedikit pun, Claudia ingin melukai hati kakak kandungnya sendiri.“Nona Claudia?” sang pelayan melangkah menghampiri Claudia.Claudia menatap sang pelayan yang melangkah menghampirinya. “Iya,” jawabnya dengan embusan napas panjang.“Nona, Anda sudah ditunggu Tuan Benny, Nyonya Grania, Nyonya Ella, dan Tuan Christian. Mereka sudah siap untuk berangkat,” jawab sang pelayan