Claudia menghela napas dalam melihat para pelayan yang tengah memindahkan barang-barangnya ke lantai satu. Gadis itu terpaksa tak lagi menempati kamarnya yang di samping kakaknya.
Tentu, Claudia tak ingin setiap malam terganggu mendengar suara desahan kakaknya. Oh, Tuhan! Claudia ingin sekali pergi dari rumah. Tinggal sendiri dan jauh dari Christian. Namun, itu adalah hal yang mungkin, karena kedua orang tuanya pasti tak mengizinkannya.
“Claudia, jam berapa kau ke kampus?” Grania melangkah menghampiri Claudia.
“Sebentar lagi, Mom,” jawab Claudia pelan. “Di mana Dad, Mom? Apa dia sudah berangkat bekerja?” tanyanya pelan ingin tahu.
“Daddy-mu sudah berangkat lebih awal. Dia memiliki meeting,” jawab Grania hangat sambil mencium kening Claudia. “Ya sudah, kau berangkatlah. Nanti kau terlambat.”
Claudia mengangguk, lalu hendak meninggalkan ibunya, namun langkah Claudia terhenti di kala melihat Ella menghampiri Claudia. Terlihat Claudia berusaha menampilkan senyuman yang dipaksakan, meski sebenarnya setiap kali dirinya melihat kakaknya itu, selalu saja Claudia merasakan seperti tengah melakukan sebuah dosa besar. Sebuah dosa yang dia tahu tak akan mungkin bisa termaafkan.
“Hai, Kak,” sapa Claudia hangat.
“Kau ingin berangkat kuliah, Claudia?” Ella bertanya seraya membelai pipi Claudia.
Claudia mengangguk. “Iya, Kak. Aku ingin berangkat kuliah. Ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengan dosen.”
“Hm, Claudia. Sepertinya hari ini kau tidak bisa menggunakan mobilmu,” ucap Ella yang ragu-ragu dan terlihat bersalah.
Kening Claudia mengerut dalam. “Kenapa, Kak?”
Ella mendesah panjang menatap Claudia merasa bersalah. “Kemarin aku memakai mobilmu tanpa izin. Lalu, aku tidak sengaja menabrak dinding di parkiran. Rencananya hari ini aku akan meminta sopir mengantar mobilmu ke bengkel. Kau berangkat kuliah bersama Christian saja, ya? Christian juga ingin berangkat kerja. Jadi kau bisa menumpang di mobilnya. Bagaimana?”
“Tidak!” Claudia menjawab cepat secara spontanitas. “A-aku memesan taksi saja.”
“Claudia, menelepon taksi membutuhkan waktu lama. Lebih baik kau diantar Christian saja,” bujuk Ella yang merasa berdosa pada adiknya. Ella tak enak, karena merusak mobil adiknya.
“Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa menggunakan taksi saja,” ucap Claudia lagi, menolak bujukan kakaknya. Sungguh, Claudia lebih baik naik taksi daripada satu mobil dengan Christian. Bertemu setiap hari di rumah saja, sudah membuat dirinya stress luar biasa.
“Claudia, apa yang dikatakan kakakmu benar. Lebih baik kau berangkat bersama dengan Christian saja,” kata Grania yang juga membujuk putri bungsunya. Grania mencemaskan Claudia. Dia takut kalau putrinya itu berangkat menggunakan taksi.
“Sayang?” Ella yang melihat Christian muncul, langsung menarik tangan sang suami, dan meminta suaminya itu untuk mendekat.
“Ada apa?” Christian menatap Ella.
“Sayang, kau mau berangkat ke kantor, kan?” tanya Ella memastikan.
Christian menganggukan kepalanya. “Ya, aku ingin berangkat ke kantor.”
Ella tersenyum. “Kau mau kan mengantar Claudia ke kampusnya?”
Mata Christian sedikit melebar mendengar permintaan sang istri.
“Iya, Christian. Kau keberatan atau tidak? Mobil Claudia harus masuk bengkel akibat kecerobohan Ella. Kemarin Ella meminjam mobil Claudia, dan menabrak dinding. Mommy khawatir kalau Claudia naik taksi,” ujar Grania lembut, membujuk menantunya.
“Mom, aku bisa sendiri. Aku ini sudah 20 tahun. Aku bukan lagi anak-anak. Kau jangan berlebihan seperti itu, Mom,” seru Claudia sedikit kesal, karena ibunya terlalu bersikap berlebihan.
Christian mengembuskan napas panjang. Dia ingin menolak, tapi tak mungkin, karena ibu mertuanya dan juga istrinya begitu meminta tolong padanya. Shit! Christian mengumpat dalam hati. Pria itu membenci di mana dirinya terjebak kerumitan seperti ini.
“Claudia, kau bisa ikut aku. Aku akan mengantarmu ke kampusmu,” ucap Christian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Claudia nyaris tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Christian. Rasa kesal, dan marah semuanya bercampur. Claudia tak menyangka kalau suami dari kakaknya itu akan menyetujuinya.
“Claudia, ayo sana ikut Christian. Nanti kau pulang akan dijemput sopir. Hari ini Mommy mau pergi dulu sebentar. Sopir akan mengantar Mommy, nanti sorenya sopir akan menjemputmu.” Grania mengecup pipi Claudia lembut.
Claudia terdesak, tak memiliki pilihan apa pun. Dengan terpaksa, Claudia melangkah pergi meninggalkan rumahnya mengikuti Christian yang sudah lebih dulu berjalan. Claudia merasa semakin berdosa. Ibunya dan kakaknya begitu menyayanginya, namun dirinya malah menggoreskan luka di hati ibu dan kakanya.
***
Claudia melihat ke luar jendela, tak mau sama sekali melihat ke arah Christian yang tengah melajukan mobil. Keheningan menyelimuti. Belum ada suara apa pun. Baik Claudia ataupun Christian sama-sama belum ingin berbicara.
“Christian, kau turunkan aku di pinggir jalan saja. Biar aku naik taksi,” ucap Claudia dingin dan datar, tanpa mau melihat Christian.
Christian melirik Claudia sekilas. “Lalu kalau kau diculik atau dicopet, aku yang akan disalahkan. Begitu maksudmu, Claudia?”
Claudia berdecak pelan. “Christian, aku bukan anak kecil. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Kau jangan seperti ibuku.”
Christian tak menggubris ucapan Claudia. “Aku akan menurunkanmu di depan kampusmu. Jika kau tetap keras kepala, aku akan memberi tahu ibumu kalau kau memaksa ingin turun di pinggir jalan.”
Mata Claudia melebar mendengar ucapan Christian yang tersirat memberikan ancaman padanya. Claudia ingin mengomel, namun dia memilih untuk mengurungkan niatnya. Gadis itu memejamkan mata singkat, merutuki hidupnya yang terus menerus bersangkutan dengan Christian.
Mobil Christian mulai memasuki gedung kampus Claudia.
“Thanks.” Claudia membuka seat belt-nya, dan segera turun dari mobil Christian dengan langkah yang terburu-buru. Lalu, tepat di kala Claudia turun dari mobil ada sosok pemuda tampan dan gagah menghampiri Claudia.
Mata Christian menyipit tajam melihat interaksi antara Claudia dengan pemuda itu. Interaksi yang nampak sangat akrab dan dekat. Bahkan pemuda itu mampu membuat Claudia tertawa.
Christian masih bergeming di tempatnya. Belum sama sekali beranjak dari sana. Mata pria itu seakan hanyut akan pemandangan di mana Claudia akrab dengan seorang pemuda yang belum pernah Christian lihat. Pun Claudia tak pernah membawa pemuda itu bertemu dengan kedua orang tua gadis itu.
“Shit!” Christian menepis pikirannya, merutuki dirinya yang malah memikirkan urusan yang bukan urusannya, dia segera mengemudikan mobil meninggalkan lobby kampus Claudia. Raut wajah pria itu dingin, nampak menutupi kekesalan—yang entah bersumber dari mana.
Di sisi lain, Claudia lega melihat mobil Christian sudah pergi. Gadis itu benar-benar merasa tak nyaman setiap kali berada di dekat Christian. Bagi Claudia; Christian adalah dosa terbesar yang pernah ada di hidupnya.
“Claudia, kenapa kau malah melamun. Ayo kita masuk ke dalam,” ajak Gilbert—teman kampus Claudia.
“Ah, iya, maaf. Ayo, Gilbert.” Claudia tersenyum hangat, lalu dia melangkah masuk ke dalam kampus bersama dengan Gilbert.
Tanpa Claudia sadari, mobil Christian berhenti tepat di depan gerbang kampus. Tatapan Christian kini menatap tajam Claudia masuk ke dalam kampus bersama dengan pemuda itu. Nampaknya, mata pria itu memancarkan rasa penasaran dan ingin tahu mendalam—yang tak bisa ditahan-tahan.
“Claudia, ini minumlah. Air es bisa membuatmu sedikit merasa segar.” Gilbert memberikan orange juice yang sudah dia pesan untuk Claudia yang duduk melamun di kantin sendirian.Cluadia menatap Gilbert dan tersenyum sambil menerima orange juice pemberian teman itu, dan meminum perlahan. “Thanks, Gilbert.”Gilbert duduk di samping Claudia dengan senyuman tulus di wajahnya. “You’re welcome. Claudia, wajahmu terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya.”“Hm? Berbeda bagaimana?” Claudia berusaha bersikap normal, meski banyak sekali beban pikiran yang mengusik ketenangannya.“Apa kau memiliki masalah?” tanya Gilbert mencemaskan keadaan Claudia. Pemuda itu khawatir kalau Claudia memiliki masalah yang dipendam. Pasalnya, biasanya Claudia selalu ceria. Tidak seperti sekarang ini.Claudia kembali meminum orange juice-nya. “Tidak, Gilbert. Aku tidak memiliki masalah. Aku hanya lelah saja. Belakangan ini banyak sekali yang harus aku kerjakan.” Claudia memang sekarang ini membutuhkan tempat untuk be
Claudia terlelap pulas, di dalam kamarnya yang gelap gulita. Angin berembus pelan, memasuki sela-sela jendela, membuat Claudia tidur semakin lelap. Rambut panjang gadis berparas cantik itu sedikit berantakan, membuatnya begitu cantik di tengah-tengah kegelapan.Tiba-tiba gelegar petir terdengar cukup keras hingga membuat Claudia terperanjat terkejut. Dia langsung membuka mata terbangun paksa dari tidurnya akibat gelegar petir yang keras.“Hujannya besar sekali,” gumam Claudia pelan sambil menyibak selimut, menutup rapat gordennya yang bergerak-gerak.Claudia merasakan tenggorokannya kering, dia hendak mengambil minuman yang ada di atas meja, namun Claudia langsung berdecak di kala teko di atas meja yang biasanya penuh terisikan air, malah sekarang kosong.“Pasti pelayan lupa mengisi teko,” gumam Claudia sedikit kesal.Claudia bisa saja menghubungi pelayan untuk membawakan minuman padanya, namun Claudia tak tega kalau membangunkan pelayan yang pasti sudah tertidur di tengah malam sepe
Claudia tak mengira kalau dirinya akan terjebak dalam situasi yang rumit. Berkali-kali dia berusaha menghindar, tapi tetap saja dirinya tak mampu untuk melangkah jauh. Layaknya berada di lingkaran api, yang telah menjeratnya.Setiap harinya, Claudia selalu merasa bersalah, seperti tengah melakukan sebuah dosa besar, namun jika dirinya menghindari dosa besar itu, malah yang ada membuatnya semakin ditarik layaknya magnet yang tak bisa lepas.Claudia ingin hidup bebas, seperti sebelumnya, tak merasakan lagi rasa bersalah, tapi semua itu adalah hal yang tak mungkin. Dia telah terjebak oleh kerumitan yang seharusnya tak terjadi.Hari ini adalah hari di mana Claudia akan bekerja di perusahaan Christian. Claudia sengaja mengambil jurusan kuliah interior design, karena Claudia ingin mandiri, tidak bergantung dengan perusahaan keluarganya. Tapi, maksud dari mandiri Claudia bukan malah bergantung pada perusahaan Christian.“Claudia, apa kau sudah siap, Sayang? Ini sudah siang. Christian sudah b
“Nona Claudia, perkenalkan di depan Anda adalah Tuan Hansen Beall, rekan kerja Anda. Anda akan banyak dibantu oleh Tuan Hansen. Nantinya Tuan Hansen akan memperkenalkan Anda dengan teman-teman Anda yang lain. Di sini bekerja dalam team. Jadi Anda bisa meminta bantuan teman-teman Anda, jika Anda mengalami kesulitan.” Addy berucap sopan pada Claudia sekaligus memperkenalkan sosok pria tampan bernama Hansen Beall yang ada di hadapan Claudia.Claudia mengangguk. “Thanks, Addy. Aku mengerti.”“Baiklah, saya permisi. Kalau Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa memanggil saya,” ucap Addy lagi.Claudia kembali mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Addy.”Addy pun tersenyum, lalu pamit undur diri dari hadapan Claudia.“Hi, Claudia.” Hansen mengulurkan tangannya ke hadapan Claudia. Pun Claudia menyambut uluran tangan Hansen dengan wajah yang amat ramah.“Hi, Hansen.” Claudia menjawab hangat.“Wow, aku tidak menyangka akan memiliki rekan kerja secantik dirimu. You’re so damn beautiful, Claudia.
Claudia duduk di kantin menikmati makan siang bersama dengan Hansen. Beberapa perempuan yang duduk di seberang sana seperti tengah berbisik-bisik membicarakannya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Claudia memilih untuk bersikap acuh dan tak peduli.“Bagaimana, makanan di kantin ini enak, kan?” ujar Hansen bertanya seraya menatap hangat Claudia yang duduk di hadapannya.Claudia mengangguk. “Iya, ini sangat enak.”Dalam hati, ini pengalaman Claudia pertama kali makan di kantin karyawan. Di perusahaan ayahnya pun memiliki kantin karyawan. Yang mana para karyawan juga bisa mengakses makanan secara gratis tak sama sekali harus membayar. Namun, Claudia tak pernah ke kantin karyawan ayahnya. Hansen tersenyum. “Besok aku akan mengajakmu makan di kafe langgananku dekat Hastings Group. Di sana juga makanannya enak.”“Kau seperti mengajak turis, Hansen,” ucap Claudia seraya mengulum senyumannya.Hansen terkekeh pelan. “Kau karyawan baru, jadi banyak hal yang belum kau ketahui. Tidak salah
Christian duduk di ranjang seraya menyandarkan kepala di kepala ranjang. Pria itu berkutat dengan iPad di tangannya, berusaha memfokuskan otaknya pada pekerjaannya meski hari sudah malam.“Sayang, maaf aku pulang terlambat.” Ella melangkah masuk ke dalam kamar, membawa banyak sekali barang-barang belanjaan. Seharian ini, Ella memang bertemu dengan teman-temannya. Terlalu asik berbelanja, sampai membuatnya lupa waktu.Christian mengalihkan pandangannya menatap Ella. “Tidak apa-apa. Mandilah. Setelah itu kita tidur. Ini sudah malam.”Ella mendekat pada sang suami, dan mengecup bibir suaminya itu. “Aku ingin memberikan kejutan untukmu.”“Kejutan apa?” Christian menatap Ella.“Nanti kau akan tahu, Sayang.” Ella membelai rahang Christian, lalu dia melangkah dengan anggun menuju ke dalam kamar mandi.Christian kembali fokus pada iPad di tangannya, di kala Ella sudah masuk ke dalam kamar mandi. Ada sesuatu hal yang mengusik pikiran Christian. Entah hal apa. Yang pasti hal yang benar-benar me
“Morning, Sayang.” Grania menyapa putri sulung dan menantunya, yang tengah memasuki ruang makan. Senyuman hangat menyambut putri sulung dan menantunya itu.“Morning, Mom.” Ella dan Christian duduk di kursi meja makan mereka. Lalu, pelayan pun segera menghidangkan makanan ke hadapan Ella dan Christian.“Mom, di mana Claudia?” tanya Ella di kala tak melihat keberadaan adiknya.Grania mendesah panjang. “Dia ada di kamar. Dari tadi Mommy sudah memintanya untuk sarapan bersama, tapi malah belum juga muncul.”“Sayang, mungkin putri kita sedang berias. Tunggulah sebentar,” sambung Benny meminta Grania untuk bersabar.Grania menatap Benny. “Sayang, putri bungsu kita itu tidak seperti putri sulung kita yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk berias.”Benny tersenyum samar.“Mom, kau menyindirku,” tukas Ella jengkel di kala mendapatkan sindiran dari ibunya. Sejak dulu memang Claudia selalu menjadi anak emas. Anak yang paling disayang, karena lembut dan tak pernah membuat aneh-aneh. Berbeda deng
“Claudia? Kau sudah pulang?” Grania tersenyum hangat dan begitu senang melihat putrinya sudah pulang bekerja. Wanita paruh baya itu memeluk erat putri bungsunya, dan memberikan kecupan di pipi putrinya itu.“Iya, Mom. Tadi aku langsung pulang. Hari ini tidak terlalu banyak yang aku pelajari,” jawab Claudia pelan dan memberikan senyuman hangat di wajahnya.Grania membelai pipi Claudia. “Tapi kau terlihat lelah sekali, Sayang.”“Jangan khawatir, Mom. Aku baik-baik saja,” jawab Claudia menenangkan ibunya.Grania mengangguk. “Ya sudah, ayo kau coba dulu salad buah buatan Mommy. Tadi Mommy membuat salad buah. Kau pasti suka.”Claudia menurut, lalu dia melangkah bersama dengan ibunya menuju ke dapur. Tepat di kala dirinya dan ibunya sudah tiba di dapur—ibunya itu mengeluarkan salad buah dari kulkas dan memberikan pada Claudia. Tentu, Claudia langsung memakan salad buah buatan ibunya itu.“Claudia, Mommy lupa memberi tahumu. Rencananya Mommy dan Daddy akan membeli mansion di Las Vegas. Mansi