“Morning, pengantin baru.” Grania menggoda putrinya yang kini telah resmi menikah dengan Christian Hastings. Tampak Ella malu-malu di kala ibunya menggoda di tengah-tengah keluarga yang berkumpul.
Saat ini seluruh keluarga berkumpul di ruang makan VIP hotel di mana Ella dan Christian melangsungkan resepsi pernikahan. Memang seluruh keluarga menginap di hotel itu, sengaja agar bisa lebih dekat satu sama lain.
Ella dan Christian duduk tepat di hadapan Claudia. Terlihat Claudia mengabaikan keberadaan Christian yang ada di hadapannya. Claudia tetap menikmati sarapan tanpa mau melihat ke arah Christian.
“Ella, Christian, kapan kalian akan berbulan madu?” tanya Benny—ayah Ella dan Claudia—menanyakan tentang bulan madu pada pengantin baru.
“Aku dan Ella belum bisa berbulan madu dalam waktu dekat ini. Project-ku sangat banyak. Belum bisa aku tinggalkan,” jawab Christian datar, namun tersirat sopan.
“Christian, harusnya kau ambil libur dan serahkan pekerjaanmu pada asistenmu,” ujar Daisy—ibu Christian—memberikan nasihat pada Christian.
“Mom, Dad, tidak apa-apa. Aku mengerti kesibukan Christian. Sebelum kami menikah, Christian sudah bilang padaku kalau harus menunda bulan madu kami. Banyak project yang Christian tangani,” ujar Ella mengerti.
Ya, Ella mengerti akan posisi Christian yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Terlebih baru-baru ini, Christian memiliki project yang banyak. Ella diharuskan mengerti walau sebenarnya dia sedikit kesal. Pun Ella cukup mengenal sifat Christian. Jika dipaksa terus menerus, Christian pastinya akan sangat marah.
“Ya sudah, nanti kalian atur saja waktu kalian untuk berbulan madu. Mommy ingin sekali segera menimang cucu,” sambung Grania sambil tersenyum-senyum, membayangkan dirinya akan menimang cucu.
Ella tersenyum dan mengangguk merespon ucapan ibunya. Pun keluarga tak lagi ada yang menanyakan tentang bulan madu antaranya dan Christian. Keluarga tak memaksa, karena Ella yang menjadi istrinya Christian saja sangat mengerti akan posisi Christian yang tengan sibuk. Maka para keluarga diharuskan untuk memahami kondisi yang ada.
Claudia tetap menikmati sarapannya, tanpa memedulikan percakapan yang dia dengar. Namun, Claudia tak menyadari kalau selama dia makan—Christian sedikit mencuri-curi pandang melihgat gadis itu.
“Claudia.” Tadeo—ayah Christian—memanggil Claudia.
Claudia mengalihkan pandangannya, menatap Tadeo. “Iya, Paman?” jawabnya sopan.
“Paman dengar kau kuliah mengambil jurusan Interior Design?” ujar Tadeo bertanya memastikan.
Claudia mengangguk sopan. “Iya, Paman. Aku mengambil jurusan Interior Design.”
“Kapan kau lulus, Claudia?” tanya Tadeo lagi memastikan.
“Tahun ini adalah tahun terakhirku, Paman,” jawab Claudia sopan.
“Great.” Tadeo mengangguk-anggukan kepalanya. “Lalu, apa kau sudah memiliki rencana? Perusahaan keluargamu bergerak di bidang perdagangan, tidak sesuai dengan jurusan yang kau ambil.”
Claudia tersenyum samar. Gadis itu memang memilih sendiri jurusan kuliahnya. Dia enggan untuk terlibat dalam perusahaan keluarga. Rasa cintanya pada dunia desain terutama dalam menata ruangan—itu yang membuat Claudia mengambil jurusan Interior Design.
Sebenarnya, Claudia pernah mendapatkan tantangan dari kedua orang tuanya tentang jurusan yang dirinya ambil, namun akhirnya kedua orang tua Claudia menuruti keinginan Claudia, di kala gadis itu tetap bersikukuh pada pendiriannya.
“Mungkin setelah aku lulus kuliah nanti, aku akan mencoba melamar pekerjaan di perusahaan yang cocok dengan jurusan kuliahku,” jawab Claudia pelan dan sopan.
“Claudia sedikit keras kepala, Tadeo. Dia ingin menggapai impiannya dengan usahanya sendiri. Dia tidak mau terlibat di perusahaanku,” sambung Benny dengan senyuman tipis di wajahnya.
Tadeo pun tersenyum. “Kalau begitu setelah Claudia lulus kuliah, dia bisa bergabung dengan perusahaan yang Christian pimpin. Christian memegang alih perusahaan arsitektur. Dia pasti sangat membutuhkan seorang Interior design.”
Mata Claudia sedikit melebar mendengar ucapan Tadeo. Wajahnya memucat akibat rasa terkejutnya. Jantungnya seolah ingin berhenti berdetak mendengar tawaran Tadeo. “T-tidak usah, Paman. A-aku bisa sendiri mencari pekerjaan.”
“Claudia, impianmu sudah sangat bagus ingin mandiri, tapi kalau kau memulai benar-benar dari nol, pasti akan sangat lama jika kau ingin berada di posisi atas. Lebih baik kau memulai karirmu dari perusahaan Christian. Nanti kalau kau merasa mampu, kau bisa membuka jasa Interior Design sendiri,” ujar Tadeo menasihati.
“Sayang, apa yang dikatakan Paman Tadeo benar. Tidak ada salahnya kau bergabung dengan perusahaan milik Christian,” sambung Grania membujuk putri bungsunya.
“Iya, Claudia. Setelah lulus kuliah, kau bergabung saja dengan perusahaan Christian. Nanti aku bisa menitipkanmu pada Christian. Aku tidak ingin ada pria sembarangan mendekatimu,” kata Ella hangat dan lembut, lalu dia menatap sang suami dengan tatapan hangat dan penuh cinta. “Sayang, kau setuju, kan kalau adikku bergabung di perusahaanmu? Kau tidak keberatan, kan?”
Christian sejak tadi diam, menahan semua rasa campur aduk yang menguasai dirinya. Pria itu ingin menolak, tapi kedua orang tuanya sekalis mertuanya kini menatapnya dengan tatapan serius. Shit! Christian mengumpat dalam hati. Dia membenci berada di posisi terjepit—hingga sulit mengambil sebuah keputusan.
“Baiklah, setelah selesai kuliah, Claudia bisa bekerja di perusahaanku.” Akhirnya Christian menuruti keinginan semua orang. Pria itu tak bisa menolak jika sudah dalam keadaan seperti ini.
Ella mencium rahang Christian. “Thank you, Sayang.”
Claudia menatap Christian dengan tatapan kesal dan gelisah. Claudia ingin komplen pada Christian yang menerima, tapi dia tak mungkin komplen di tengah-tengah keluarga. Ya Tuhan! Jika seperti ini, Claudia semakin merasa bersalah dan berdosa.
Claudia bukan hanya menyakiti hati kakaknya, tapi dia pun melukai hati kedua orang tuanya. Sungguh, hati Claudia merasa tersiksa dalam kondisi seperti ini.
***
“Christian, aku ingin menelepon asistenku sebentar. Kau masuk duluan saja ke kamar.” Ella mengecup bibir Christian, meninggalkan sang suami tepat di depan kamar hotel. Lantas, Christian segera masuk ke dalam kamar hotelnya, namun …
“Christian, tunggu.” Claudia berlari, dan langsung menahan lengan Christian. Mata gadis itu sedikit mengendar, memastikan bahwa tidak ada yang lihat. Napas Claudia sedikit lega karena tak ada siapa pun di sana.
Christian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Cladia. “Kenapa kau ke sini?” serunya seraya menyingkirkan tangan Claudia yang menyentuh lengannya.
Claudia pun memberikan tatapan dingin pada Christian. “Kenapa kau menyetujui keinginan kedua orang tuaku dan kedua orang tuamu?” tanyanya kesal. Yang Claudia inginkan tadi adalah Christian menolak tegas dirinya bekerja di kantor pria itu.
Christian melangkah mendekat, dan menatap tajam Claudia. “Kau pikir aku suka dengan keinginan orang tuamu dan orang tuaku? Kalau saja bukan karena keadaan mendesak, aku tidak akan mungkin menerimamu bekerja di perusahaanku!”
Claudia berdecak pelan. “Christian, lakukan sesuatu. Aku tidak ingin—”
“Kau pikir aku ingin ada yang tahu tentang kita?” Christian menyela ucapan Claudia. Pria itu menghunuskan tatapan tajam, penuh amarah pada Claudia.
“Kalau kau juga tidak ingin ada yang tahu, maka tolak tawaran tentang aku harus bekerja di perusahaanmu, Christian. Jangan membuat lubang lagi di tanah yang sudah hampir merata,” seru Claudia tak habis pikir dengan jalan pikiran Christian.
Christian melangkah mendekat mengikis jarak di antaranya dan Claudia. Sontak, Claudia terkejut ketika Christian mendekat ke arahnya. Gadis itu sampai menelan saliva susah payah akibat jaraknya dan Christain sangat dekat. Sialnya, aroma parfume di tubuh Christian seolah berhasil membuat sekujur tubuh Claudia tidak bisa berkutik sama sekali.
“Tidak akan ada yang tahu tentang kita, jika kau bersikap seperti biasa, Claudia. Sudah aku katakan padamu, kau tidak usah mengingat lagi kejadian malam sialan waktu itu. Anggap saja itu tidak pernah ada!” Christian menekankan—lalu melangkah pergi meninggalkan Claudia yang masih bergeming di tempatnya.
Raut wajah Claudia begitu gelisah melihat Christian lenyap dari pandangannya. Debar jantungnya semakin berpacu kencang. Bagaimana mungkin dia melupakan begitu saja kejadian malam itu? Sekeras apa pun Claudia berusaha untuk melupakan, tetap tidak akan pernah mungkin bisa lupa.
“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” gumam Claudia dengan wajah gelisah dan penuh rasa cemas serta takut.
Claudia menghela napas dalam melihat para pelayan yang tengah memindahkan barang-barangnya ke lantai satu. Gadis itu terpaksa tak lagi menempati kamarnya yang di samping kakaknya.Tentu, Claudia tak ingin setiap malam terganggu mendengar suara desahan kakaknya. Oh, Tuhan! Claudia ingin sekali pergi dari rumah. Tinggal sendiri dan jauh dari Christian. Namun, itu adalah hal yang mungkin, karena kedua orang tuanya pasti tak mengizinkannya.“Claudia, jam berapa kau ke kampus?” Grania melangkah menghampiri Claudia. “Sebentar lagi, Mom,” jawab Claudia pelan. “Di mana Dad, Mom? Apa dia sudah berangkat bekerja?” tanyanya pelan ingin tahu. “Daddy-mu sudah berangkat lebih awal. Dia memiliki meeting,” jawab Grania hangat sambil mencium kening Claudia. “Ya sudah, kau berangkatlah. Nanti kau terlambat.”Claudia mengangguk, lalu hendak meninggalkan ibunya, namun langkah Claudia terhenti di kala melihat Ella menghampiri Claudia. Terlihat Claudia berusaha menampilkan senyuman yang dipaksakan, mes
“Claudia, ini minumlah. Air es bisa membuatmu sedikit merasa segar.” Gilbert memberikan orange juice yang sudah dia pesan untuk Claudia yang duduk melamun di kantin sendirian.Cluadia menatap Gilbert dan tersenyum sambil menerima orange juice pemberian teman itu, dan meminum perlahan. “Thanks, Gilbert.”Gilbert duduk di samping Claudia dengan senyuman tulus di wajahnya. “You’re welcome. Claudia, wajahmu terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya.”“Hm? Berbeda bagaimana?” Claudia berusaha bersikap normal, meski banyak sekali beban pikiran yang mengusik ketenangannya.“Apa kau memiliki masalah?” tanya Gilbert mencemaskan keadaan Claudia. Pemuda itu khawatir kalau Claudia memiliki masalah yang dipendam. Pasalnya, biasanya Claudia selalu ceria. Tidak seperti sekarang ini.Claudia kembali meminum orange juice-nya. “Tidak, Gilbert. Aku tidak memiliki masalah. Aku hanya lelah saja. Belakangan ini banyak sekali yang harus aku kerjakan.” Claudia memang sekarang ini membutuhkan tempat untuk be
Claudia terlelap pulas, di dalam kamarnya yang gelap gulita. Angin berembus pelan, memasuki sela-sela jendela, membuat Claudia tidur semakin lelap. Rambut panjang gadis berparas cantik itu sedikit berantakan, membuatnya begitu cantik di tengah-tengah kegelapan.Tiba-tiba gelegar petir terdengar cukup keras hingga membuat Claudia terperanjat terkejut. Dia langsung membuka mata terbangun paksa dari tidurnya akibat gelegar petir yang keras.“Hujannya besar sekali,” gumam Claudia pelan sambil menyibak selimut, menutup rapat gordennya yang bergerak-gerak.Claudia merasakan tenggorokannya kering, dia hendak mengambil minuman yang ada di atas meja, namun Claudia langsung berdecak di kala teko di atas meja yang biasanya penuh terisikan air, malah sekarang kosong.“Pasti pelayan lupa mengisi teko,” gumam Claudia sedikit kesal.Claudia bisa saja menghubungi pelayan untuk membawakan minuman padanya, namun Claudia tak tega kalau membangunkan pelayan yang pasti sudah tertidur di tengah malam sepe
Claudia tak mengira kalau dirinya akan terjebak dalam situasi yang rumit. Berkali-kali dia berusaha menghindar, tapi tetap saja dirinya tak mampu untuk melangkah jauh. Layaknya berada di lingkaran api, yang telah menjeratnya.Setiap harinya, Claudia selalu merasa bersalah, seperti tengah melakukan sebuah dosa besar, namun jika dirinya menghindari dosa besar itu, malah yang ada membuatnya semakin ditarik layaknya magnet yang tak bisa lepas.Claudia ingin hidup bebas, seperti sebelumnya, tak merasakan lagi rasa bersalah, tapi semua itu adalah hal yang tak mungkin. Dia telah terjebak oleh kerumitan yang seharusnya tak terjadi.Hari ini adalah hari di mana Claudia akan bekerja di perusahaan Christian. Claudia sengaja mengambil jurusan kuliah interior design, karena Claudia ingin mandiri, tidak bergantung dengan perusahaan keluarganya. Tapi, maksud dari mandiri Claudia bukan malah bergantung pada perusahaan Christian.“Claudia, apa kau sudah siap, Sayang? Ini sudah siang. Christian sudah b
“Nona Claudia, perkenalkan di depan Anda adalah Tuan Hansen Beall, rekan kerja Anda. Anda akan banyak dibantu oleh Tuan Hansen. Nantinya Tuan Hansen akan memperkenalkan Anda dengan teman-teman Anda yang lain. Di sini bekerja dalam team. Jadi Anda bisa meminta bantuan teman-teman Anda, jika Anda mengalami kesulitan.” Addy berucap sopan pada Claudia sekaligus memperkenalkan sosok pria tampan bernama Hansen Beall yang ada di hadapan Claudia.Claudia mengangguk. “Thanks, Addy. Aku mengerti.”“Baiklah, saya permisi. Kalau Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa memanggil saya,” ucap Addy lagi.Claudia kembali mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih, Addy.”Addy pun tersenyum, lalu pamit undur diri dari hadapan Claudia.“Hi, Claudia.” Hansen mengulurkan tangannya ke hadapan Claudia. Pun Claudia menyambut uluran tangan Hansen dengan wajah yang amat ramah.“Hi, Hansen.” Claudia menjawab hangat.“Wow, aku tidak menyangka akan memiliki rekan kerja secantik dirimu. You’re so damn beautiful, Claudia.
Claudia duduk di kantin menikmati makan siang bersama dengan Hansen. Beberapa perempuan yang duduk di seberang sana seperti tengah berbisik-bisik membicarakannya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Claudia memilih untuk bersikap acuh dan tak peduli.“Bagaimana, makanan di kantin ini enak, kan?” ujar Hansen bertanya seraya menatap hangat Claudia yang duduk di hadapannya.Claudia mengangguk. “Iya, ini sangat enak.”Dalam hati, ini pengalaman Claudia pertama kali makan di kantin karyawan. Di perusahaan ayahnya pun memiliki kantin karyawan. Yang mana para karyawan juga bisa mengakses makanan secara gratis tak sama sekali harus membayar. Namun, Claudia tak pernah ke kantin karyawan ayahnya. Hansen tersenyum. “Besok aku akan mengajakmu makan di kafe langgananku dekat Hastings Group. Di sana juga makanannya enak.”“Kau seperti mengajak turis, Hansen,” ucap Claudia seraya mengulum senyumannya.Hansen terkekeh pelan. “Kau karyawan baru, jadi banyak hal yang belum kau ketahui. Tidak salah
Christian duduk di ranjang seraya menyandarkan kepala di kepala ranjang. Pria itu berkutat dengan iPad di tangannya, berusaha memfokuskan otaknya pada pekerjaannya meski hari sudah malam.“Sayang, maaf aku pulang terlambat.” Ella melangkah masuk ke dalam kamar, membawa banyak sekali barang-barang belanjaan. Seharian ini, Ella memang bertemu dengan teman-temannya. Terlalu asik berbelanja, sampai membuatnya lupa waktu.Christian mengalihkan pandangannya menatap Ella. “Tidak apa-apa. Mandilah. Setelah itu kita tidur. Ini sudah malam.”Ella mendekat pada sang suami, dan mengecup bibir suaminya itu. “Aku ingin memberikan kejutan untukmu.”“Kejutan apa?” Christian menatap Ella.“Nanti kau akan tahu, Sayang.” Ella membelai rahang Christian, lalu dia melangkah dengan anggun menuju ke dalam kamar mandi.Christian kembali fokus pada iPad di tangannya, di kala Ella sudah masuk ke dalam kamar mandi. Ada sesuatu hal yang mengusik pikiran Christian. Entah hal apa. Yang pasti hal yang benar-benar me
“Morning, Sayang.” Grania menyapa putri sulung dan menantunya, yang tengah memasuki ruang makan. Senyuman hangat menyambut putri sulung dan menantunya itu.“Morning, Mom.” Ella dan Christian duduk di kursi meja makan mereka. Lalu, pelayan pun segera menghidangkan makanan ke hadapan Ella dan Christian.“Mom, di mana Claudia?” tanya Ella di kala tak melihat keberadaan adiknya.Grania mendesah panjang. “Dia ada di kamar. Dari tadi Mommy sudah memintanya untuk sarapan bersama, tapi malah belum juga muncul.”“Sayang, mungkin putri kita sedang berias. Tunggulah sebentar,” sambung Benny meminta Grania untuk bersabar.Grania menatap Benny. “Sayang, putri bungsu kita itu tidak seperti putri sulung kita yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk berias.”Benny tersenyum samar.“Mom, kau menyindirku,” tukas Ella jengkel di kala mendapatkan sindiran dari ibunya. Sejak dulu memang Claudia selalu menjadi anak emas. Anak yang paling disayang, karena lembut dan tak pernah membuat aneh-aneh. Berbeda deng
Pagi buta Claudia sudah terbangun. Kedua anaknya sudah menunggu di depan semangat karena akan diajak jalan-jalan. Entah jalan-jalan ke mana. Claudia tak tahu, karena Christian tidak bilang padanya. Yang pasti Claudia percaya bahwa sang suami akan membawanya ke tempat yang indah.Barang-barang yang dibawa telah dimasukan ke dalam mobil. Claudia dibantu pelayan untuk packing. Untungnya dia mendapatkan bantuan dari pelayan. Jika tidak, maka pastinya dia akan sangat kerepotan. Namun memang selama ini Claudia selalu dibantu oleh pelayan.“Claudia, apa kau sudah siap?” tanya Christian sambil memakai arloji.Claudia mengoleskan lipstick di bibirnya. “Sudah, Sayang. Aku sudah siap.”“Kita keluar sekarang. Anak-anak sudah menunggu kita.” Christian merengkuh bahu Claudia—mengajak sang istri ke luar kamar.“Mommy, Daddy, ayo kita jalan-jalan.” Caleb dan Cambrie memekik kegirangan tak sabar.Christian dan Claudia tersenyum samar. “Oke, let’s go. Kita berangkat sekarang.”Christian menggendong Cam
Mansion Claudia dan Christian dipuji oleh Nicole. Mansion megah yang telah didesain khusus oleh Claudia. Mansion ini adalah hadiah dari Christian untuk Claudia. Pria itu mencuri gambar rumah megah yang pernah digambar oleh Claudia. Sekarang hasil curian gambar itu, telah menjelma menjadi sebuah mansion mewah.Saat ini Claudia dan Christian tengah duduk di ruang tengah bersama dengan Nicole, Oliver, Ella, dan Elan. Mereka baru saja selesai makan siang bersama. Anak-anak mereka tengah bermain di taman belakang. Tentunya diawasi oleh para pengasuh mereka. “Claudia, rumahmu benar-benar indah. Rumah ini kau yang desain, kan?” tanya Nicole lembut—dan direspon anggukkan oleh Claudia.“Iya. Aku yang merancang rumah ini. Tadinya aku ingin mengumpulkan uang dari hasil kerja kerasku dan membangun rumah ini.” Claudia tersenyum malu.“Tapi akhirnya suamimu yang membangun rumah indah yang ada di kertas gambarmu.” Nicole menjawab lembut. Sebelumnya, dia sudah pernah diceritakan tentang gambar Clau
*Claudia, aku dan Oliver serta anak-anak kami siang ini akan main ke tempatmu. Apa kau ada di rumah?* Claudia yang baru saja membuka mata, di kala pagi menyapa, dikejutkan dengan pesan yang dikirimkan oleh Nicole. Detik itu juga, Claudia menyibak selimut—turun dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya. “Christian, Christian.” Claudia memanggil sang suami, karena suami tercintanya itu tidak ada di ranjang. Itu menandakan sang suami sudah bangun.“Iya, Claudia.” Christian melangkah keluar dari walk-in closet—tengah memakai dasi. Pria tampan itu sudah bersiap ingin ke kantor.Claudia mendekat dan melepaskan dasi Christian. Sontak, Christian terkejut akan tindakan Claudia—yang melepas dasinya begitu saja.“Claudia, apa yang—”“Hari ini kau tidak usah ke kantor. Nicole, Oliver, dan dua anaknya datang.”“Claudia, aku ada meeting penting.”“Kau CEO dari Hastings Group. Kau memiliki kuasa. Aku yakin kau bisa mengatur meeting dilain waktu.”Suara dering ponsel Christian terdengar. Buru-bu
“Oh, Tuhan. Elyana! Efraim! Kenapa bisa kalian merusak lukisan Mommy yang sudah Mommy pesan untuk Grandma?” Ella mengomel seraya memijat keningnya merasakan pusing luar biasa. Anak perempuan dan anak laki-lakinya merusak lukisan yang baru saja dia pesan di pelelangan seni. Lukisan harga fantastis itu sengaja Ella beli untuk dia hadiahkan pada ibunya.“Mommy, aku tidak salah. Efraim yang salah. Aku tidak salah.” Elyana membela diri, karena tidak mau disalahkan oleh ibunya. Pun dia memang tak sepenuhnya salah. Efraim—adiknya yang terlibat.Efraim mendelik, menatap tajam sang kakak. “Kak, kenapa kau menyalahkanku? Kau yang berlari mengejarku sampai wine jatuh ke atas lukisan Mommy.”Elyana berdecak kesal. “Kau menyembunyikan barbie yang dibelikan Grandpa!”“Aku tidak menyembunyikannya.”“Kau bohong! Kau menyembunyikan barbie pemberian dari Grandpa.” “Astaga! Kenapa kalian sekarang berdebat? Ini bagaimana lukisan Mommy? Besok Mommy akan memberikan lukisan ini pada Grandma Grania. Tapi ka
Caleb duduk di ranjang sambil memeluk bantal dengan raut wajah kesal. Bocah laki-laki itu kesal dengan Oscar, dan juga kesal dengan ibunya yang tak membelanya. Yang dia inginkan adalah ibunya membelanya. Tapi sayang, ibunya malah tak membela dirinya. “Sepertinya, kau baru saja melalui hari buruk.” Christian masuk ke dalam kamar putra sulungnya—dan duduk di samping putranya itu. Dia sudah melihat raut wajah Caleb menunjukkan jelas rasa kesal.Caleb mengembuskan napas kesal. “Dad, aku sudah diomeli Mom. Jika kau datang hanya ingin mengomeliku juga, lebih baik kau keluar kamarku saja. Aku pusing. Tidak ada yang mau mengerti diriku.”“Tujuanku datang ke sini bukan memerahimu.” Christian menjawab dengan tenang.Caleb mengalihkan pandangannya, menatap Christian. “Kau tidak memerahiku?”Christian menggelengkan kepalanya. “Nope. Aku tidak memerahimu.”Caleb merasa curiga. “Jangan-jangan kau langsung memberikanku hukuman?”Christian tersenyum samar. “Apa pernah aku sekejam itu padamu, Caleb?
“Mommy, kapan kita kan kembali ke London? Aku rindu Grandpa dan Grandma.”Olivia memeluk boneka kecil, menghampiri ibunya, mengajak bicara, bertanya kapan kembali ke London. Karena dia sudah cukup lama berada di New York. Itu kenapa sekarang gadis kecil itu bertanya kapan bisa kembali ke kotanya sendiri.Nicole menunduk, menatap penuh kasih sayang putri kecilnya. “Mommy belum tahu, nanti Mommy tanya Daddy dulu. Sekarang kau masuk ke kamarmu, Nak. Kau istirahatlah.”Olivia mengerjap beberapa kali. “Mommy, masih marah pada Oscar?”Nicole menghela napas dalam. “No, Honey. Mommy tidak marah pada Oscar. Kau masuklah ke kamar. Istirahat. Jangan bermain games.”Olivia memilih mengangguk patuh. Gadis kecil itu pun sudah lelah karena sejak tadi bersepeda. Dia masuk ke dalam kamarnya. Tepat di kala Olivia sudah masuk ke dalam kamar, Nicole segera menghubungi Oliver.“Oliver?” panggil Nicole kala panggilan terhubung.“Nicole, aku sedang sibuk bersama client-ku. Nanti aku akan menghubungimu,” uja
Lima tahun berlalu … “Caleb, kenapa kau bertengkar dengan Oscar? Ya Tuhan, Nak. Oscar itu anak Bibi Nicole—kakak ipar Mommy.” Claudia menatap kesal Caleb yang baru saja turun dari mobil. Tampak jelas raut wajah wanita itu sangat lelah.Bagaimana tidak? Hari ini Claudia baru saja mengadakan meeting dengan asisten pribadi Shawn. Ada project baru Geovan Group yang sedang ditangani Claudia. Tapi di tengah-tengah meeting berlangsung—Claudia mendapatkan kabar Caleb dan Oscar bertengkar. Pun kebetulan Oscar sedang berada di New York. Caleb dan Oscar bertengkar di taman bermain. Claudia dan Nicole langsung datang ke taman itu. Perkelahian berhasil terhenti karena pengawal Caleb dan pengawal Oscar sama-sama merelai perkelahian.“Oscar yang salah. Dia mendekati gadis yang aku suka, Mom.” Caleb berjalan menuju kamar, namun buru-buru Claudia menghalangi putranya itu.Claudia merasa ini belum selesai. Dia membutuhkan penjelasan sejelas-jelasnya. Dia tidak mau sembarangan apalagi asal-asalan dal
Usia Caleb memasuki enam bulan. Tubuh bayi laki-laki itu sangat gemuk dan sehat. Kulit putih. Pipi tembam. Mata bulat. Membuat Caleb benar-benar seperti boneka laki-laki yang sangat tampan dan menggemaskan.Bayi laki-laki tampan itu kerap menjadi pusat perhatian. Tidak heran kalau banyak sekali tawaran Caleb menjadi model bayi. Tapi sayang Christian dan Claudia tidak mengizinkan anak mereka menjadi seorang model.Segala bentuk penawaran menjadi model, pastinya ditolak oleh Christian ataupun Claudia. Alasannya tentu mereka tidak ingin kehidupan anak mereka terlalu menjadi sorotan di media.Selain itu, kisah masa lalu Christian dan Claudia, pastinya akan membuat Caleb menjadi pusat perhatian dari segi kehidupan. Itu yang membuat Caleb tidak akan nyaman di masa depan nanti.Suara tangis Caleb begitu keras di kala sudah selesai menyusu. Claudia yang tengah menimang putranya itu, nampak terkejut dan panik melihat putranya menangis. Dia pikir putranya ingin minum susu lain, tapi ternyata ti
Christian seperti orang gila marah-marah pada dokter. Pria itu menuntut dokter untuk membuat sang istri tidak lagi merintih kesakitan. Dia tidak tega melihat istrinya terbaring di ranjang seraya meringis kesakitan.“Kau ini dokter kandungan benar atau bohongan?! Kenapa kau tidak mampu menghilangkan rasa sakit istriku?” Christian marah-marah pada sang dokter yang malah membiarkan istrinya berteriak kesakitan.Sang dokter tersenyum memaklumi rasa takut Christian. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Rasa sakit istri Anda adalah wajar. Setiap ibu yang melahirkan anak pasti akan merasakan sakit.”Christian mengusap wajahnya kasar. Kecemasan dan rasa panik melingkupi pria itu. “Jadi, istriku akan melahirkan sambil berteriak kesakitan?”Sang dokter menyentuh bahu Christian. “Tuan Hastings, itu adalah tugas seorang ibu. Proses melahirkan akan segera dimulai. Temani istri Anda, Tuan.” Christian bingung dengan perasaan campur aduk. Dia mendengar suara istrinya itu yang terus menjerit. Dia memutu