Claudia menatap barang-barang yang akan dia bawa untuk camping. Jauh dari dalam lubuk hati Claudia, dia tak ingin ikut camping. Akan tetapi, jika dirinya bersikeras tak ikut, maka pasti akan mengecewakan kakaknya. Maka, mau tak mau Claudia harus tetap bersedia ikut camping.Claudia mendesah panjang. Dulu di kala kakaknya belum menikah, pasti Claudia akan antusias jika diajak jalan-jalan. Namun semuanya berubah setelah dirinya terjebak dalam hubungan rumit dengan kakak iparnya.Sungguh, Claudia membenci keadaan ini. Claudia sekarang selalu merasa berdosa setiap kali melihat wajah kakaknya. Padahal, tak pernah terbesit sedikit pun, Claudia ingin melukai hati kakak kandungnya sendiri.“Nona Claudia?” sang pelayan melangkah menghampiri Claudia.Claudia menatap sang pelayan yang melangkah menghampirinya. “Iya,” jawabnya dengan embusan napas panjang.“Nona, Anda sudah ditunggu Tuan Benny, Nyonya Grania, Nyonya Ella, dan Tuan Christian. Mereka sudah siap untuk berangkat,” jawab sang pelayan
Angin berembus cukup kencang membuat Claudia merasa kedinginan. Gadis itu sudah memakai coat tebal dan celana jeans, tapi tetap saja kencangnya angin begitu amat menusuknya—membuatnya menggigil.Waktu menunjukan pukul delapan malam. Tenda telah terpasang sempurna. Claudia turut membantu Christian. Bukan hanya Claudia saja, namun Benny pun turut membantu. Sedangkan Grania tak mengerti cara memasang tenda. Lalu Ella, lebih memilih untuk merias wajah agar saat foto-foto hasil wajah Ella tetap sempurna. Jika Ella sibuk merias wajah, lain halnya dengan Claudia yang malah tak memakai riasan sedikit pun. Cuaca dingin membuat Claudia benar-benar enggan untuk merias wajah. Gadis itu hanya memakai pelembab bibir agar bibirnya tidak kering. Pun rambut diikat messy bun acak.Namun, meski tak merias wajah, tetap saja Claudia sangat cantik. Gadis itu memiliki kulit putih bersih, tanpa satu pun jerawat atau noda di wajahnya. Hal itu yang membuat Claudia tetap percaya diri meski tanpa memakai riasan
“Ella, kenapa kau hanya sendiri? Di mana Christian dan Claudia?” Grania melangkah menghampiri Ella bersama dengan Benny, namun seketika kening wanita paruh baya itu mengerut bingung melihat wajah Ella yang nampak muram dan cemas.“Ella, ada apa?” Benny pun mulai merasa ada yang aneh dengan putri sulungnya itu.Ella menggigit bibir bawahnya, menatap kedua orang tuanya takut. “Christian sedang menyusul Claudia masuk ke dalam hutan. Tadi aku menyuruh Claudia sendirian masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar. Maafkan aku, Dad, Mom.”“Ya Tuhan, Ella. Kenapa kau menyuruh Claudia masuk ke hutan sendirian? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada adikmu, Ella?! Kau tahu dia masih sangat kecil!” bentak Grania emosi.“Mom, Claudia sudah 20 tahun. Dia bukan lagi bayi,” jawab Ella sedikit kesal dengan ibunya yang terlalu menganggap Claudia masih anak-anak. Meski Ella juga khawatir, tapi dia tak suka jika ibunya terlalu berlebihan.“Mommy tidak peduli! Sekarang bagaimana ini? Di mana Claudia?” G
Christian berdiri melihat Claudia yang terbaring lemah di ranjang dari balik kaca ruang rawat Claudia. Satu jam lalu, Benny membawa Grania dan Ella untuk makan. Wajah Grania dan Ella sangat pucat. Itu yang membuat Benny akhirnya membawa Grania dan Ella mencari makan. Sedangkan Christian bertugas untuk menjaga Claudia. Hanya saja, Christian belum masuk ke ruang rawat gadis itu. Christian hanya mengawasi Claudia dari balik jendela. Christian tak mengerti ada apa dengan hatinya. Ketika melihat Claudia terluka, membuatnya panik dan begitu takut terjadi sesuatu hal buruk pada adik iparnya itu. Christian ingin bersikap tak peduli, tapi entah kenapa hatinya merasa sesuatu. Sesuatu di mana memaksanya untuk peduli pada kesehatan Claudia.Christian bergeming di tempatnya. Dia memutuskan untuk berjaga di depan kamar Claudia saja. Namun, tiba-tiba tatapan Christian teralih pada Claudia yang sedikit bergerak-gerak. Raut wajah Christian terkejut. Pria itu langsung masuk ke dalam ruang rawat Claud
Ella melihat ke samping mendapati ranjangnya kosong, tak ada siapa pun di sampingnya. Kening wanita itu mengerut dalam—tatapannya teralih pada jam dinding—waktu menunjukkan pukul dua belas malam.“Di mana Christian?” gumam Ella bingung di kala sang suami tak ada di sampingnya. Seharusnya sang suami ada di sampingnya, tapi kenapa malah tidak ada? Apa mungkin Christian menghubungi asistennya?Ella menghela napas dalam, dia menyambar ponselnya yang ada di atas meja, hendak menghubungi sang suami, namun di kala baru saja ingin menghubungi suaminya itu—suara pintu kamarnya terdengar. Refleks, Ella mengalihkan pandangannya, pada sumber suara itu—menatap Christian baru saja masuk ke dalam kamar.“Sayang? Kau dari mana?” Ella bangkit berdiri, melangkah menghampiri Christian.“Aku menghubungi asistenku,” jawab Christian berdusta. Sialnya, entah kenapa dia tadi meninggalkan sang istri, dan malah menemui Claudia di rumah sakit. Akan tetapi, tentu Christian tak mungkin menceritakan itu pada Ella.
Senyuman ramah di wajah Claudia terlukis melihat Gilbert di hadapannya. Gadis itu sama sekali tak mengira kalau Gilbert yang datang. Pasalnya mobil yang dipakai Gilbert bukanlah mobil yang kerap dipakai pemuda itu.“Hi, Claudia.” Gilbert tersenyum menatap Claudia. Tak lupa pemuda itu memberikan sapaan sopan pada kedua orang tua Claudia, dan Ella serta Christian. Sayangnya senyuman Gilbert sama sekali tak dibalas oleh Christian. Malah Christian memasang wajah dingin dan tak bersahabat melihat kehadiran Gilbert.“Ehm! Claudia, siapa pemuda tampan ini? Kenapa kau belum bercerita pada Daddy?” Benny langsung menginterogasi putri bungsunya, meminta putri bungsunya itu untuk bercerita padanya.Claudia tersenyum hangat. “Ini Gilbert Dario, teman kuliahku, Dad.” “Gilbert, di hadapanmu adalah Daddy dan Mommy-ku. Lalu di sampingnya adalah Kak Ella, kakakku dan Christian—kakak iparku.” Claudia memperkenalkan satu persatu anggota keluarganya pada Gilbert.Gilbert tersenyum sopan menatap kedua ora
“Shit!” Christian mengumpat kasar, menyambar wine di atas meja, dan menenggak hingga tandas. Tampak raut wajah Christian membendung rasa kesal, marah, dan emosi yang membakarnya. Umpatan dan makian sejak tadi tak henti lolos di bibirnya.Christian memejamkan mata singkat. Pria itu berada di ruang kerjanya, belum ke kamar. Christian sengaja tak langsung ke kamar, karena demi mengendalikan emosi yang tak jelas ini. Christian enggan mendapatkan pertanyaan dari sang istri.Christian mengatur napasnya di kala kemarahan semakin melahapnya. Pria itu tak mengerti, ada apa dengan dirinya sampai semurka ini. Padahal Claudia ingin bertemu dengan siapa pun, bukanlah menjadi urusannya.“Christian?” Ella melangkah masuk ke dalam ruang kerja Christian, lalu seketika wanita itu terkejut di kala melihat raut wajah Christian nampak sangat marah. “Sayang, ada apa?” tanyanya bingung dan cemas.Christian berusaha merubah raut wajah untuk bersikap biasa. “Ada apa kau ke sini?”Ella mendekat, dan memeluk le
Claudia duduk sofa kamar sambil memeluk lututnya, dan menangis pilu. Perasaannya begitu campur aduk dan tak menentu. Claudia membenci dirinya berada di dalam sebuah lingkaran rumit.Claudia ingin lari menjauh dari semua hal yang menyiksanya, tapi dia tak bisa ke mana pun, karena sudah terbelenggu di dalam sebuah jurang. Sungguh, Claudia membenci keadaan ini.Claudia sudah sekeras mungkin menjauh dari Christian, namun alih-alih menjauh malah Claudia semakin diseret mendekat pada pria itu. Andai saja Christian adalah orang lain, maka keadaan tak akan seperti ini. Berada di dekat Christian, membuat Claudia terus menerus merasa bersalah pada kakaknya. Claudia tak ingin menyakiti kakaknya. Seburuk-buruk dirinya, tidak mungkin dirinya tega mengkhianati kakaknya. Apalagi Christian adalah pria yang sangat dicintai dan diinginkan oleh kakaknya.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Claudia menyeka air matanya, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Hatinya sesak luar biasa. Lagi dan lagi