Kedua bola mata Keenan menyipit, berusaha melihat lebih jauh ke dalam diri Emmy. Namun dia tidak melihat apa pun selain kesungguhan dan ketenangan yang justru membuatnya merasakan gelagak amarah yang berapi-api.“Apa katamu?” desis Keenan.“Ayo bercerai!”“Kamu gila?” teriak Keenan.“Ya, aku memang gila,” sahut Emmy, suaranya tak kalah bergema. “Kamu lihat dia.” Emmy menunjuk Isa yang berdiri di sisi Keenan. “Menikah saja dengan dia dan kalian berdua bisa hidup dengan bahagia.”“Emmy, tutup mulutmu,” pekik Keenan. “Sudah ku katakan berkali-kali kalau aku dan Isa adalah sahabat. Kenapa kamu tidak mengerti juga?”“Lalu kenapa kamu marah jika aku dekat dengan Josiah?” Emmy mengernyit. “Bukankah apa yang kulakukan adalah cerminan apa yang kamu lakukan? Kalau kamu sakit hati, maka ingatlah, aku jauh lebih sakit hati!”“Memangnya kamu dan Josiah bersahabat? Aku sudah bertemu Isa saat usiaku sembilan tahun, sedangkan kamu? Kenapa kamu membandingkan dirimu denganku?”“Kalau ku bilang akulah a
Baik Emmy atau Isa tidak menyangka kalau akan mendengar pengakuan blak-blakan dari Keenan. Bukan hanya mengakui perasaannya, Keenan juga terlihat menangis. Emmy mengerjap, menelengkan kepala menatap Keenan dalam-dalam.Apakah dia sungguh-sungguh? Atau, apakah dia hanya ingin membuat suasana hati Cecilia membaik?Emmy tak bisa menebak warna rona wajah Keenan karena terlalu banyak penampilan pura-pura yang ditunjukkan pria itu. Beberapa minggu yang lalu dia juga mengatakannya di depan Emmy, bahkan mereka tidur bersama hingga pagi. Tapi saat ada sedikit saja masalah, semua itu lenyap digantikan amarah yang membabi buta.Sulit mempercayai kata-kata yang keluar dari mulut Keenan, begitu pula membaca gerak geriknya. Ada terlalu banyak hal yang membuat Emmy enggan percaya lagi padanya, salah satunya adalah tamparan terakhir Keenan.“Mom.” Emmy mengalihkan pandangannya dari Keenan. “Tenanglah, jangan seperti ini.”“Jangan seperti ini katamu, Nak? Emmy, dia menyiksamu selama ini. Bagaimana seh
Simone mengangkat wajahnya menatap Frans, meminta pendapat sahabatnya itu tentang keluhan Isa. Frans memberi kode, mengangguk dengan kepalanya. Simone berdehem, lalu berkata, “Dimana kamu sekarang, Nak? Aku akan ke sana.”“Aku baru saja kembali dari kediaman Achilles. Aku tidak mau tahu, Dad. Bantu aku sekarang juga!”Dari ledakan amarah yang terdengar, Simone tahu terjadi sesuatu di sana. Dia hanya mengangguk, lalu sambungan mereka terputus. Pria itu terlihat mengepalkan tangan, rahangnya mengetat menahan semua rasa marah yang selama ini sudah dipendamnya.“Kita harus segera mengeluarkan Nikky dari sana,” ujar Frans, menyadarkan Simone kembali.“Aku tahu. Tapi bagaimana caranya?”Bagaimana cara mereka mengeluarkan Nikky tanpa ketahuan? Akhir-akhir ini, Diane selalu ada di rumah. Jika biasanya dia selalu bepergian menemui teman-temannya, sekarang dia yang mengundang teman-temannya datang ke rumah.Setiap hari dia di sana, seolah sudah menyadari kalau akan terjadi sesuatu pada Nikky. D
Isa mengipasi wajahnya yang memerah saat dia kembali teringat dengan perlakuan yang dia terima di rumah Keenan. Dia tidak sedang mempermasalahkan penolakan Keenan, karena dia yakin, Keenan sebenarnya menyukainya dan mencintainya sepenuh hati.Hanya saja pria itu sedang shock karena Emmy mengajukan cerai. Jadi Isa memutuskan untuk menunggu perasaan Keenan membaik lalu kembali datang padanya. Tapi Dorothy dan Cecilia? Apa-apaan mereka menghinanya dengan cara seperti itu?Harga diri Isa benar-benar tiris sampai habis, tergerus oleh sentilan panas dari kedua wanita itu. Isa menggeram, memukul meja cafe sampai beberapa pengunjung menoleh padanya. Isa tidak peduli. Sebaliknya, otaknya berpacu cepat, memikirkan cara menyingkirkan kedua wanita itu, dan harus dimulai dari yang paling berkuasa, yaitu Dorothy.Jika Dorothy mati, maka Cecilia akan kehilangan pegangannya. Selama ini, kiblat Cecilia adalah ibu mertuanya yang sudah bau tanah itu. Dia memiliki nyali hanya karena Dorothy memihaknya. D
“Tuan, Nyonya. Keluarga Matilda ada di depan,” seorang pelayan datang ketika keluarga Achilles sedang menyantap makan siang.Charles terlihat mengangkat alis. “Keluarga Matilda? Untuk apa mereka datang siang-siang begini?”Cecilia mendesah kasar. “Isa pasti sudah melaporkannya pada orangtuanya,” gumamnya.“Melaporkan apa?”“Bukankah tadi sudah ku katakan kalau Emmy menuntut cerai dari Keenan? Alasannya adalah Isa dan aku memarahinya tadi. Aku memintanya untuk menjaga sikap dan jarak dari Keenan. Hanya itu saja.”“Kalau hanya itu, untuk apa mereka ke sini?”“Apa lagi? Dia pasti merasa harga dirinya terinjak-injak,” sahut Dorothy santai. “Lanjutkan saja makan siangmu. Kalau mereka memang membutuhkan kita, maka mereka harus menunggu!”Si Pelayan membungkukkan tubuh, kembali bicara pada keluarga Matilda dan menyampaikan pesan Dorothy. “Maaf, tuan dan nyonya masih makan jadi mereka meminta kalian menunggu.”“Apa?” Diane membelalak marah, menyaksikan si pelayan pergi begitu saja. “Bisa-bisa
“Nona Emmy.”Madam Jill dan Madam Lory menerima pesan dari Emmy yang meminta mereka datang ke taman sekitar seratus meter dari kediaman Matilda. Walau keduanya tidak tahu tujuan Emmy meminta mereka bertemu di luar, keduanya tetap datang.Dan begitu melihat Emmy, mereka tak bisa menahan rasa harunya. Keduanya memeluk Emmy dengan erat dan menangis bersama-sama dengan gadis itu.“Kami merindukanmu, Nona. Apa kamu baik-baik saja? Kamu bahagia dalam pernikahanmu?”Emmy hanya mengangguk kecil. Dia memang sangat menyukai kedua pelayan itu karena hanya mereka yang peduli pada Emmy sejak Nikky jatuh sakit dan dinyatakan meninggal. Dengan tulus keduanya merawat setiap luka Emmy, dan menjaganya semalam suntuk kalau Emmy sakit.Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk nostalgia. Emmy memiliki misi khusus yang amat penting, yaitu menemukan ibunya dan membawanya pergi.“Aku tahu kalian berdua merindukanku dan aku juga sama. Tapi aku meminta kalian datang untuk membicarakan beberapa hal...”Dan Emmy me
Nikky yang mendengar nama Emmy tertegun. Bukannya keluar, dia malah mengelus wajah Emmy dengan tangannya yang kotor dan terlihat kusam karena jarang mandi. Kulitnya yang sudah mengerut terlihat kontras dengan kulit Emmy yang masih kencang dan putih seperti susu.“Emmy?” kata Nikky dengan suara bergetar.Emmy mengangguk, menghapus air matanya yang sedari tadi jatuh. “Ya, ini aku, Mom.”“Emmy?” kata Nikky lagi.“Ya, ini aku, Emmy, puterimu.”Josiah terlihat gusar di pintu. dia tahu keduanya pasti saling merindukan, namun waktu mereka juga terbatas. Bagaimana kalau tiba-tiba keluarga Matilda datang? Bagaimana kalau mereka justru terjebak di dalam rubanah ini?“Emmy.” Josiah mengingatkan lagi. “Kita tidak punya waktu banyak.”Emmy mengangguk cepat. Dia menggenggam tangan Nikky sembari menatap lekat ke kedua bola mata ibunya itu. “Mom, kita bisa bicara nanti. Tapi sekarang, kita benar-benar harus segera keluar. Ayo.”Emmy menggulung sisa rantai yang masih menggantung dari pergelangan tanga
Semua berjalan sesuai rencana Isa. Hanya menunggu sepuluh menit, Dorothy terlihat keluar dari ruangan dan berjalan menggunakan tongkatnya. Isa merogoh sebuah cermin kecil dari tasnya, mengangkatnya sebatas wajah dan pura-pura memperbaiki riasannya. Namun yang sedang dia lakukan adalah melihat bagaimana Dorothy akan jatuh.Sambil pura-pura memegang rambutnya, dia melirik Dorothy dari balik cermin. Semua emosi dalam dirinya bercampur aduk dan sudah mengunung, dan tak mampu dibendung lagi. Keberadaan Dorothy benar-benar mengacaukan semua rencana dan mematahkan semua keinginannya.Padahal dia hanya ingin menjadi pendamping Keenan, menjadi istri yang berbakti pada pria itu. Kenapa susah sekali bagi mereka untuk menerima Isa? Kenapa mereka lebih menyukai Emmy padahal jelas-jelas selama ini dialah yang menemani Keenan?Isa tersenyum licik saat Dorothy sudah sangat dekat ke tumpahan minyak. Wanita tua itu tidak memperhatikan jalannya, namun malah mengalihkan pandangannya pada taman bunga yang
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany