“Nona Emmy.”Madam Jill dan Madam Lory menerima pesan dari Emmy yang meminta mereka datang ke taman sekitar seratus meter dari kediaman Matilda. Walau keduanya tidak tahu tujuan Emmy meminta mereka bertemu di luar, keduanya tetap datang.Dan begitu melihat Emmy, mereka tak bisa menahan rasa harunya. Keduanya memeluk Emmy dengan erat dan menangis bersama-sama dengan gadis itu.“Kami merindukanmu, Nona. Apa kamu baik-baik saja? Kamu bahagia dalam pernikahanmu?”Emmy hanya mengangguk kecil. Dia memang sangat menyukai kedua pelayan itu karena hanya mereka yang peduli pada Emmy sejak Nikky jatuh sakit dan dinyatakan meninggal. Dengan tulus keduanya merawat setiap luka Emmy, dan menjaganya semalam suntuk kalau Emmy sakit.Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk nostalgia. Emmy memiliki misi khusus yang amat penting, yaitu menemukan ibunya dan membawanya pergi.“Aku tahu kalian berdua merindukanku dan aku juga sama. Tapi aku meminta kalian datang untuk membicarakan beberapa hal...”Dan Emmy me
Nikky yang mendengar nama Emmy tertegun. Bukannya keluar, dia malah mengelus wajah Emmy dengan tangannya yang kotor dan terlihat kusam karena jarang mandi. Kulitnya yang sudah mengerut terlihat kontras dengan kulit Emmy yang masih kencang dan putih seperti susu.“Emmy?” kata Nikky dengan suara bergetar.Emmy mengangguk, menghapus air matanya yang sedari tadi jatuh. “Ya, ini aku, Mom.”“Emmy?” kata Nikky lagi.“Ya, ini aku, Emmy, puterimu.”Josiah terlihat gusar di pintu. dia tahu keduanya pasti saling merindukan, namun waktu mereka juga terbatas. Bagaimana kalau tiba-tiba keluarga Matilda datang? Bagaimana kalau mereka justru terjebak di dalam rubanah ini?“Emmy.” Josiah mengingatkan lagi. “Kita tidak punya waktu banyak.”Emmy mengangguk cepat. Dia menggenggam tangan Nikky sembari menatap lekat ke kedua bola mata ibunya itu. “Mom, kita bisa bicara nanti. Tapi sekarang, kita benar-benar harus segera keluar. Ayo.”Emmy menggulung sisa rantai yang masih menggantung dari pergelangan tanga
Semua berjalan sesuai rencana Isa. Hanya menunggu sepuluh menit, Dorothy terlihat keluar dari ruangan dan berjalan menggunakan tongkatnya. Isa merogoh sebuah cermin kecil dari tasnya, mengangkatnya sebatas wajah dan pura-pura memperbaiki riasannya. Namun yang sedang dia lakukan adalah melihat bagaimana Dorothy akan jatuh.Sambil pura-pura memegang rambutnya, dia melirik Dorothy dari balik cermin. Semua emosi dalam dirinya bercampur aduk dan sudah mengunung, dan tak mampu dibendung lagi. Keberadaan Dorothy benar-benar mengacaukan semua rencana dan mematahkan semua keinginannya.Padahal dia hanya ingin menjadi pendamping Keenan, menjadi istri yang berbakti pada pria itu. Kenapa susah sekali bagi mereka untuk menerima Isa? Kenapa mereka lebih menyukai Emmy padahal jelas-jelas selama ini dialah yang menemani Keenan?Isa tersenyum licik saat Dorothy sudah sangat dekat ke tumpahan minyak. Wanita tua itu tidak memperhatikan jalannya, namun malah mengalihkan pandangannya pada taman bunga yang
“Kamu membawanya?” tanya Emmy begitu dia bertemu dengan Leo di pinggiran sungai.Agar tak ketahuan Keenan, Emmy sengaja meminta bertemu di luar. Jika Keenan melihat Leo, maka dia akan mengajukan banyak pertanyaan dan kalau ketahuan, bukan tidak mungkin Keenan akan merusak rencananya. Leo mengangguk, menyerahkan satu buah map bersampul abu-abu. Emmy membuka dan membaca sebentar sementara Leo masih berdiri di depannya.“Kamu yakin ingin bercerai dari Tuan Keenan?”“Kenapa?” Emmy mengangkat wajah. “Kamu menyesal sudah ku minta tolong untuk membuat surat cerai?”“Bukan begitu. Aku hanya ingin kamu benar-benar sudah memastikan langkah ini dan tidak akan menyesalinya seumur hidupmu. Ingat, sekali kamu menandatanganinya, maka statusmu akan segera berubah.”Emmy menghela nafas, menatap matahari yang mulai bersiap kembali ke peraduannya. Dia melirik lampu taman yang mulai dinyalakan. Cahaya kemerahannya belum terlalu nampak karena masih kalah oleh sinar matahari yang belum sepenuhnya terbenam.
Simone pergi ke arah pintu darurat diam-diam. Sambil menengok ke belakang dan memastikan tak ada yang mengikutinya, dia membuka pintu dan masuk bersandar di dinding menuju tangga darurat. Sampai sekarang, dia belum menerima kabar apa pun baik dari Emmy atau dari Josiah.Apakah mereka sudah berhasil menemukan Nikky? Apakah mereka sudah keluar dari rumah itu? Diane tidak mungkin selamanya tinggal di rumah sakit. Sebentar lagi, dia pasti akan meminta diantar kembali ke rumah.Panggilannya terhubung ke ponsel Emmy, namun gadis itu tidak mengangkatnya sama sekali. Simone melakukannya lagi, menunggu, dan kali ini diangkat. Namun alih-alih mendengar suara Emmy, Simone malah mendengar suara Josiah dari seberang sana.“Aku pikir ini ponsel Emmy,” gumam Simone.“Memang ponselnya. Emmy pergi melakukan sesuatu dan ponselnya tertinggal di mobil. Ada apa?” tanya Josiah, sikapnya masih juga tidak berubah pada Simone.“Aku ingin bertanya, apakah kalian sudah berhasil mengeluarkan Nikky dari rumah? Ak
“Yes, dua pasang.”Richard Lynn meletakkan sepasang kartu sepuluh dan sepasang kartu delapan di atas meja. Wajah pria itu menyeringai nakal pada Isa. Isa duduk tenang, tersenyum sambil memeriksa kembali jejeran kartu di tangannya.“Itu artinya kamu harus menemaniku malam ini, Sayang,” ujarnya lagi dengan nada sensual.Isa tertawa kecil. Terhadap Richard Lynn, Isa selalu menang dan tak pernah kalah. Tapi karena dia memiliki tujuan lain, diam-diam dia mengambil kartu sepuluh dan sembilan dari tangannya dan meletakkannya di bawah tubuhnya.“Baiklah, kamu menang,” ujar Isa, menghamparkan kartu enam, tujuh dan delapan miliknya –dan sebenarnya memiliki kartu straight.“Tunggu, kenapa kartumu hanya tiga?” Richard mengernyit. “Kamu pura-pura mengalah, rupanya?” kata pria itu tidak senang.“Sudahlah. Lagipula tujuannya tetap sama.” Isa berdiri, duduk di atas meja formika dan dengan sengaja menyilangkan kaki hingga belahan gaunnya terlihat sampi ke pangkal pahanya yang mulus. “Aku memang sudah
Emmy tidak tahu bagaimana caranya dia bisa berada dalam ruangan sempit itu dan dimana dia berada sekarang. Begitu membuka mata, dia merasakan sakit di sepanjang lehernya dan pundak. Emmy mencoba duduk, mengingat-ingat kembali apa yang terjadi.Dia bertemu Isa dan juga keempat teman prianya yang berbadan kekar. Selanjutnya Isa mengatakan jika dia menginginkan kornea matanya, dan Emmy ingat dia menolak dan sempat adu mulut dengan Isa. Tapi setelah hantaman dari salah satu pria itu, Emmy jatuh pingsan dan tidak mengingat apa pun.Sekarang dia berada di sini, di dalam ruangan berukuran 2x1 meter, dan hanya memiliki satu ventilasi kecil di atas sana. Emmy berdiri, mencoba mengintip dari lubang pintu namun dia tidak bisa melihat apa pun. Berapa lama dia pingsan? Jam berapa sekarang?Emmy meraba-raba kantongnya, namun dia baru menyadari kalau ponselnya tidak ada bersamanya. Bagaimana sekarang caraku meminta bantuan, pikir Emmy lagi. Dia terus berjalan hilir mudik, hingga tiba-tiba pintu terb
Diane berjalan hilir mudik di sisi tempat tidur Simone. Dia melangkah dengan tenang walau dadanya terbakar amarah yang sangat besar. Dokter sudah menangani Simone dan sekarang Diane ada di rumah sakit yang sama dimana Dorothy dan Keenan dirawat bersamaan.Wanita itu menghela nafas, lalu menengok Simone. “Pria sialan,” sungutnya. “Untung saja aku sangat mencintaimu Kalau tidak, sudah ku biarkan kamu mati mengenaskan di sana.”Simone memang sudah mengkhianatinya, tapi entah kenapa Diane tidak bisa marah sama sekali pada pria itu. Itu sebabnya setelah mendorong Simone dari tangga, Diane tidak meninggalkannya. Dia diam sebentar, mengatur nafas dan emosi, lalu setelah memastikan efek jatuh itu sudah sangat parah pada Simone, barulah dia berteriak.“Aku dan dia memang sedang bertengkar karena dia ngotot ingin menikahkan puteriku dengan pria lain dan Simone tidak sengaja terjatuh. Kakinya terpeleset dan dia jatuh begitu saja,” aku Diane pada para perawat yang menolong Simone. Tentu saja Dian