“Yes, dua pasang.”Richard Lynn meletakkan sepasang kartu sepuluh dan sepasang kartu delapan di atas meja. Wajah pria itu menyeringai nakal pada Isa. Isa duduk tenang, tersenyum sambil memeriksa kembali jejeran kartu di tangannya.“Itu artinya kamu harus menemaniku malam ini, Sayang,” ujarnya lagi dengan nada sensual.Isa tertawa kecil. Terhadap Richard Lynn, Isa selalu menang dan tak pernah kalah. Tapi karena dia memiliki tujuan lain, diam-diam dia mengambil kartu sepuluh dan sembilan dari tangannya dan meletakkannya di bawah tubuhnya.“Baiklah, kamu menang,” ujar Isa, menghamparkan kartu enam, tujuh dan delapan miliknya –dan sebenarnya memiliki kartu straight.“Tunggu, kenapa kartumu hanya tiga?” Richard mengernyit. “Kamu pura-pura mengalah, rupanya?” kata pria itu tidak senang.“Sudahlah. Lagipula tujuannya tetap sama.” Isa berdiri, duduk di atas meja formika dan dengan sengaja menyilangkan kaki hingga belahan gaunnya terlihat sampi ke pangkal pahanya yang mulus. “Aku memang sudah
Emmy tidak tahu bagaimana caranya dia bisa berada dalam ruangan sempit itu dan dimana dia berada sekarang. Begitu membuka mata, dia merasakan sakit di sepanjang lehernya dan pundak. Emmy mencoba duduk, mengingat-ingat kembali apa yang terjadi.Dia bertemu Isa dan juga keempat teman prianya yang berbadan kekar. Selanjutnya Isa mengatakan jika dia menginginkan kornea matanya, dan Emmy ingat dia menolak dan sempat adu mulut dengan Isa. Tapi setelah hantaman dari salah satu pria itu, Emmy jatuh pingsan dan tidak mengingat apa pun.Sekarang dia berada di sini, di dalam ruangan berukuran 2x1 meter, dan hanya memiliki satu ventilasi kecil di atas sana. Emmy berdiri, mencoba mengintip dari lubang pintu namun dia tidak bisa melihat apa pun. Berapa lama dia pingsan? Jam berapa sekarang?Emmy meraba-raba kantongnya, namun dia baru menyadari kalau ponselnya tidak ada bersamanya. Bagaimana sekarang caraku meminta bantuan, pikir Emmy lagi. Dia terus berjalan hilir mudik, hingga tiba-tiba pintu terb
Diane berjalan hilir mudik di sisi tempat tidur Simone. Dia melangkah dengan tenang walau dadanya terbakar amarah yang sangat besar. Dokter sudah menangani Simone dan sekarang Diane ada di rumah sakit yang sama dimana Dorothy dan Keenan dirawat bersamaan.Wanita itu menghela nafas, lalu menengok Simone. “Pria sialan,” sungutnya. “Untung saja aku sangat mencintaimu Kalau tidak, sudah ku biarkan kamu mati mengenaskan di sana.”Simone memang sudah mengkhianatinya, tapi entah kenapa Diane tidak bisa marah sama sekali pada pria itu. Itu sebabnya setelah mendorong Simone dari tangga, Diane tidak meninggalkannya. Dia diam sebentar, mengatur nafas dan emosi, lalu setelah memastikan efek jatuh itu sudah sangat parah pada Simone, barulah dia berteriak.“Aku dan dia memang sedang bertengkar karena dia ngotot ingin menikahkan puteriku dengan pria lain dan Simone tidak sengaja terjatuh. Kakinya terpeleset dan dia jatuh begitu saja,” aku Diane pada para perawat yang menolong Simone. Tentu saja Dian
Itu ide bagus dan brilian, ide paling mahal yang pernah Isa pikirkan selama dia hidup. Rasanya luar biasa jika dia dengan entengnya mengambil semua pengorbanan Emmy untuk kesekian kalinya. Kali ini, keluarga Achilles tidak akan mampu menolak dirinya lagi.Mereka tidak akan mendorong Isa lebih jauh, malah akan merasa semakin bersalah seumur hidupnya.“Itu bagus,” erang Isa, seiring dengan puncak yang menghantam mereka berdua.“Oh, terimakasih atas pujiannya, Sayang,” sahut Richard, memilih berbaring terlentang usai klimaks yang menggelenyar menerkamnya.Isa tertawa lagi. Pujian itu bukan untukmu, bodoh, batinnya. Itu untuk diriku sendiri yang sangat pintar ini. Dan Isa tertawa keras-keras setelahnya. Richard yang merasa kalau itu adalah ekspresi ungkapan rasa puas Isa merasa sangat menggebu-gebu. Dia adalah pria yang luar biasa, begitu pikir Richard.“Omong-omong, Babe. Operasi Keenan harus segera dilaksanakan sesuai prosedur. Bagaimana menurutmu?” tanya Richard, setengah berbaring men
Entah angin apa yang membawa tangan Josiah untuk mengendarai sedannya menuju sebuah daerah kosong, dekat dengan aliran sungai dan letaknya pun cukup jauh dari kota. Dia mendengar kabar kecelakaan Keenan begitu gencar diberitakan lewat radio. Semua saluran yang dia pilih hanya menyiarkan kabar tentang pria itu, dan itu membuat Josiah kesal luar biasa.Dia mengumpat ketika tiba-tiba dia sadar kalau sedannya melintas dari depan rumah-rumah kosong. Josiah menepikan mobilnya, marah pada dirinya sendiri karena dia begitu tidak konsentrasi. Dia ingin mencari Emmy, dan kenapa dia bisa tiba di sini?Josiah memegang perutnya yang berbunyi sangat keras. Dia belum makan malam, dan dia melewatkan sarapannya. Leher Josiah terasa begitu kaku, begitu pula tubuhnya. Josiah menurunkan sandaran kursinya, membaringkan tubuhnya sebentar dan mencoba memejamkan matanya.Dia tidak berusaha untuk tidur, namun dia sedang menerka-nerka, tempat mana yang sering dikunjungi Emmy. Josiah merasa bertanggung jawab pe
Tepat siang hari, matahari bersinar tepat di atas kepala. Liz mengintip ke dalam kamar dan menemukan Emmy masih tidur dengan lelap. Dia kembali lagi, duduk di samping Sophia yang sedang menggiling daun-daun yang sudah dikeringkan.“Mana daun yang ku suruh untuk kamu ambil pagi ini?” tanya Sophia tiba-tiba.Liz menaikkan satu kakinya ke atas kursi lalu merengut. “Bukankah nenek sudah tahu aku pulang membawa gadis itu? Mana bisa aku membawa pulang daun-daun itu lagi?”“Dasar bocah!” Sophia memukul kepala Liz dengan sendok dan mendengar suara ringisan dari mulut cucunya itu.“Nenek,” teriak Liz.“Ambil keranjangku sekarang juga!” perintah Sophia.“Tidak.” Liz menggeleng. “Lihat, matahari bersinar sangat panas. Nanti sore saja.”“Liz...”“Nenek.” Liz memohon. “Nanti saja,” bujuknya.“Sekarang. Keranjang itu sangat penting untukku,” kata Sophia dengan mata membelalak.Liz juga tahu itu. Ini bukan pertama kalinya kedunya berdebat masalah keranjang, padahal Liz sama sekali tidak bisa menem
Walau dengan tubuh yang didera kelelahan yang luar biasa, Josiah tetap ngotot untuk melihat wanita yang dimaksud Liz. Begitu melihat pintu kamar terbuka, Josiah terkesiap namun wajahnya langsung berbinar. Dua langkah saja dia mendekat, Josiah merasakan kepalanya berputar-putar dan tubuhnya seperti ringan bak kapas. Tubuhnya terayun jatuh ke lantai, lalu dia tidak mengingat apa-apa lagi.Liz setengah berteriak, cukup kaget saat melihat Josiah jatuh pingsan. Sophia buru-buru datang dan berdecak kesal, merengut pada Liz. “Kamu sungguh-sungguh menyulitkanku,” desis Sophia.Untung saja lantai kamar Liz dilapisi dengan sebuah tikar bulu sehingga mereka memutuskan untuk membiarkan Josiah istirahat di sana. Sophia meminta Liz membawakan segelas air dan sendok, lalu menyendoknya sedikit-sedikit ke mulut Josiah.“Dia juga sama,” gumam Sophia. “Sama-sama dehidrasi dan kelaparan.”“Jadi sebenarnya dia mencari gadis ini?” kata Liz, mencoba menarik benang merah dari dua kejadian itu. “Tahu begitu,
Begitu bangun, hal pertama yang dilihat Josiah adalah langit-langit rumah yang terbuat dari kayu. Sebuah kipas angin baling-baling sedang berputar tepat di atasnya dan itu menyadarkan Josiah kalau dia sedang tidak berada di apartemennya.Kesadarannya kembali penuh dan Josiah ingat pembicaraan terakhirnya dengan gadis asing yang menolongnya. “Emmy,” desis Josiah, lalu dia berdiri tiba-tiba.Di atas tempat tidur, Emmy terbaring diselimuti selimut berwarna abu-abu. Josiah mendekat dengan tubuh gemetar dan kebingungan yang meronta-ronta. Dia melihat bebat perban yang menutupi mata Emmy tapi dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padanya. Emmy masih mengenakan pakaiannya sebelum mereka berpisah dan ada beberapa tanda memerah di kulitnya.“Em.” Josiah duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Emmy erat. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu kenapa? Kenapa kamu bisa ada di sini?”Tidak ada jawaban, tidak ada respon. Josiah memaksa diri untuk membuka sendiri perban mata Emmy untuk menjaw
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany