Begitu bangun, hal pertama yang dilihat Josiah adalah langit-langit rumah yang terbuat dari kayu. Sebuah kipas angin baling-baling sedang berputar tepat di atasnya dan itu menyadarkan Josiah kalau dia sedang tidak berada di apartemennya.Kesadarannya kembali penuh dan Josiah ingat pembicaraan terakhirnya dengan gadis asing yang menolongnya. “Emmy,” desis Josiah, lalu dia berdiri tiba-tiba.Di atas tempat tidur, Emmy terbaring diselimuti selimut berwarna abu-abu. Josiah mendekat dengan tubuh gemetar dan kebingungan yang meronta-ronta. Dia melihat bebat perban yang menutupi mata Emmy tapi dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padanya. Emmy masih mengenakan pakaiannya sebelum mereka berpisah dan ada beberapa tanda memerah di kulitnya.“Em.” Josiah duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Emmy erat. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu kenapa? Kenapa kamu bisa ada di sini?”Tidak ada jawaban, tidak ada respon. Josiah memaksa diri untuk membuka sendiri perban mata Emmy untuk menjaw
Keenan terbangun dari tidur panjangnya setelah tiga hari pasca kecelakaan. Begitu membuka mata, pandangannya sedikit terhalang dan cenderung kabur. Dia tidak bisa melihat dengan begitu jelas, namun penciumannya yang mengenali bau desinfektan yang khas menjawab semua rasa penasarannya.Dia sedang ada di rumah sakit!Ingatan terakhir Keenan berhenti di saat dia sedang keluar mencari Emmy dan mengalami kecelakaan fatal di jalan. Setelah itu, dia tidak tahu apa-apa lagi. Sekarang, seluruh tubuhnya sakit, terlebih kaki dan juga lengannya. Rasa sakit itu menyadarkannya kalau dia masih hidup.“Emmy,” desis Keenan, antara sadar dan tidak sadar.Tenggorokannya kering, sekering dataran tandus yang tak dihujani oleh air selama berabad-abad. Ketika dia hendak duduk, seluruh pinggangnya seperti mati rasa. Keenan memutuskan untuk terus berbaring, menunggu, apakah seseorang ada di dekatnya.Dan dia berharap itu Emmy.Dalam mimpi buruknya selama da tidak sadar, Keenan kehilangan Emmy. Mimpi itu teru
Atas permintaan Emmy, Josiah membuat alasan pada Lily dengan mengatakan kalau dia sedang tidak sehat dan khawatir itu akan mempengaruhi kondisi Nikky, maka Emmy memilih tidak tinggal bersama Nikky. Walau Lily protes dan mengatakan kalau dia tidak percaya, Josiah tetap bersikukuh kalau itu adalah kebenaran hingga Lily berhenti bertanya padanya.Selama tiga hari terakhir, Emmy tinggal di rumah Liz dan neneknya, Sophia. Josiah bolak balik antara menemui Nikky, mengurus pekerjaannya lalu kembali menengok Emmy. Walau Emmy sudah berkali-kali mengatakan agar dia tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya, Josiah tetap tidak mau meninggalkannya.Dan jauh dalam lubuk hati Emmy, dia sama sekali tidak bisa menerima keadaannya saat ini. Berbagai pertanyaan terus terlintas di otaknya. Kenapa, kenapa dan kenapa. Kenapa harus dia? Kenapa Isa harus menjadi bagian dari hidupnya? Kenapa Isa tak pernah membiarkannya tenang dan bahagia sekalipun dia sudah melepaskan Keenan?Kenapa harus dirinya?Air mata Emm
“Aku juga ingin mengatakan satu hal lagi pada kalian,” kata Emmy tiba-tiba tanpa berbalik pada keduanya. “Jangan mencari masalah dengan siapa pun. Karena aku sudah memutuskan untuk mempercayai kalian, maka aku hanya ingin hidup dengan tenang. Aku tahu kalian dendam dan marah, tapi kita tidak memiliki bukti dan menyerang secara personal malah akan membuatku kehilangan kalian. Bisakah kalian berjanji tentang hal itu padaku?”Wajah Leo terlihat mengetat, pun Josiah. Tepat ketika keduanya menginginkan balas dendam dan melihat darah segar menetes dari tubuh Isa, Emmy malah menyodorkan opsi lain yang tidak disukai oleh mereka. Mereka sama-sama mengatupkan rahang rapat-rapat sembari memikirkan hal lain sebagai jawaban, sesuatu yang bisa meyakinkan Emmy.“Aku sudah menganggap kalian saudaraku,” kata Emmy, membuat Josiah dan Leo lagi-lagi saling bertukar pandang. “Aku sudah kehilangan banyak hal, dan aku tidak mau kehilangan apa pun lagi. Bisakah kalian berjanji padaku?”“Aku bisa memikirk
Emmy mereka-reka senja di halaman belakang properti Liz akan seperti apa. Dia memejamkan mata, mendengar suara kicauan burung-burung yang berada cukup dekat dengannya. Dia merasakan kulitnya dibelai lembut oleh angin dan membuat rambut yang digerai diterbangkan perlahan-lahan. Juga, cahaya matahari mengenai kulitnya. Sangat hangat dan tenang.Josiah membelikan tongkat khusus baginya, dan Emmy mulai belajar menggunakannya. Tapi jujur saja, Emmy belum bisa menerima apa yang sudah dialaminya kini. Dia buta, tidak bisa melihat dan kemungkinan akan begini selamanya.Kemana perginya warna-warni yang dulu dia sukai? Kemana perginya matahari yang bersinar cerah dengan kilaunya yang kemerahan? Kemana perginya semua cahaya itu?Emmy tidak sanggup jika harus memikirkannya. Di hadapan Josiah, dia berpura-pura kuat. Tapi jauh dalam hatinya, Emmy tidak pernah siap menerima semua ini. Dia tidak kuat, tidak sama sekali. Buliran air mata Emmy jatuh, satu-dua-tiga bulir, lalu buliran berikutnya merangs
Josiah tiba dengan gelagapan dan ketakutan yang mendera ketika dia mendengar kabar dari Sophia jika Emmy menghilang. Leo berada selangkah di belakangnya, terlihat wajah mereka sama-sama penuh ketakutan.Begitu melihat Emmy dan Liz terbaring di atas tanah, Josiah menyerbu turun ke tepian sungai. Dia langsung mendekap Emmy hingga membuat gadis itu terkesiap, dan pelukan berikutnya dari Leo membuatnya nyaris tak bisa bernafas.Liz menelengkan kepala dengan tatapan marah. Dengan kesal dia mendorong tubuh Josiah dan Leo menggunakan kakinya lalu duduk. “Aku susah payah menyelamatkannya tapi kalian malah membuatnya hampir mati lagi.”Josiah dan Leo hendak menyahut, namun mereka lalu diam, menyadari kalau yang dikatakan Liz benar adanya. Emmy terlihat mengulum senyum dengan tubuhnya yang masih terlentang. Dia tertawa, semakin lama tawanya semakin menggema dan terdengar nyaring, dan anehnya Liz malah ikut tertawa.Josiah dan Leo akhirnya ikut tertawa dan mereka tertawa terbahak-bahak bersama d
Leo terperanjat kaget ketika dia masuk, di ruang tengah Sophia sedang bicara dengan Lily. Lily menatap Leo dengan linangan air mata, lalu tatapannya beralih pada Emmy yang sedang digendongnya. Lily tidak bodoh. Ketika Josiah tidak pernah di rumah, Leo selalu sibuk, dan Emmy tak kunjung pulang, Lily mulai curiga.Dia sengaja mengikuti SUV Leo diam-diam ketika dia dan Josiah pergi. Dan dugaannya benar. Emmy tidak seperti yang mereka gambarkan dalam alasannya selama ini. Kurang sehat? Di rumah sakit? alasan macam apa itu?“Apa kita sudah sampai?” tanya Emmy, menyadari Leo tidak bergerak sama sekali. “Kalau begitu turunkan aku.”Leo menurut. Begitu menurunkan Emmy yang basah kuyup, dia langsung menangkap tangannya saat Emmy hendak jatuh. Lily menelengkan kepala, melihat lebih jelas dengan mata kepalanya sendiri dan membuktikan apakah perkataan Sophia itu benar.Emmy buta?“Apa yang terjadi padanya?” Sophia menatap keduanya heran, dan semakin bingung saat Liz tiba bersamaan dengan Josiah d
“Jadi, Keenan benar-benar tidak tahu?” gumam Axel, keduanya duduk di taman rumah sakit.Isa mengangguk pelan, tersenyum menengadahkan matanya ke langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. “Aku tahu ini keputusan yang sangat berani, tapi tahukah kamu kalau ini adalah keputusan terbaik yang pernah ku lakukan?”Axel tidak menyahut. Sebaliknya, dia merasa dirinya mendadak cengeng. Bisa-bisanya dia ingin menangis karena tahu pengorbanan Isa amatlah luar biasa. Seseorang bisa mencintai dengan tulus, tapi dengan mengorbankan sesuatu yang amat berharga seperti kornea, tidak semua orang bisa melakukannya.“Kamu gila,” gumam Axel dalam suaranya yang bergetar.Isa tertawa, mengangguk setuju. “Bukankah cinta memang membuat manusia gila? Aku bisa melakukan ini karena aku mencintai Keenan, walau aku tahu aku tidak akan pernah mendapatkannya.”Itu lebih menyakitkan lagi untuk didengar. Hubungan mereka rumit, pikir Axel. Bagaimana pun juga, Emmy masih adik tiri Isa, dan Keenan adalah suami Emmy. Den
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany