Malam itu, setelah percakapan mereka yang penuh ketulusan, Elvira tetap merasa cemas. Meski Arjun sudah meyakinkannya dengan kata-kata hangat, perasaan takut dan bersalah masih membayanginya. Dia merasa ada banyak hal yang ia sembunyikan dari Arjun, dan perlahan-lahan, semua itu terasa semakin menyesakkan. Ketika Arjun akhirnya tertidur, Elvira terbangun dengan pikiran yang berkecamuk. Ia berjalan pelan-pelan keluar dari kamar, tak ingin membangunkan suaminya. Saat mencapai ruang tengah, ia terduduk di sofa sambil memandangi layar ponselnya. Dalam pikirannya, ada ketakutan bahwa rahasia masa lalunya bisa terungkap kapan saja. Elvira bergumam, mencoba menenangkan diri, “Aku tidak bisa terus seperti ini... aku harus menemukan cara agar semua ini tidak pernah terungkap.” Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang namanya membuat jantung Elvira berdetak lebih cepat. Itu adalah pesan dari mantan kekasihnya. Ia langsung merasa was-was, tetapi ra
Hari berikutnya, Olivia datang ke kantor dengan semangat baru, bertekad untuk memfokuskan diri pada pekerjaan dan mengesampingkan semua drama yang terjadi sebelumnya. Dia duduk di mejanya, menyusun laporan yang perlu diselesaikan, namun pandangannya tidak bisa tidak tertuju pada pintu ruangan Arjun. Saat dia melirik ke arah pintu itu, dia melihat Elvira berjalan dengan langkah percaya diri, menuju ruangan suaminya. Dengan senyuman nakal di wajahnya, Olivia memutuskan untuk menghampiri Elvira. Dia melangkah cepat, mengikuti jejak Elvira yang tampak tidak menyadari kehadirannya. Ketika Elvira membuka pintu dan hendak masuk ke dalam, Olivia menghentikannya dengan menaruh tangannya di pintu, memaksa Elvira untuk berhenti. “Elvira, tunggu!” seru Olivia, suaranya terkesan ceria namun ada nada menantang di dalamnya. Elvira menoleh dengan raut wajah bingung. “Ada apa, Olivia? Aku sedang terburu-buru,” jawabnya, mencoba menjaga kesan tenang meskipun dalam hatinya ia merasa tidak nyaman.
Sore itu, Elvira kembali berusaha mempengaruhi Arjun di ruang kerja mereka, suasana di dalamnya terasa tegang. Elvira tahu bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk melancarkan rencananya. Dengan wajah berusaha tenang, dia menatap suaminya yang sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya. “Arjun, kita perlu bicara,” ujarnya, suaranya terdengar berat, mencerminkan kepedihan yang dirasakannya. Arjun mengangkat kepala dan menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap istrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Ada apa, Elvira? Kamu terlihat sangat serius.” Elvira menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku khawatir tentang Olivia. Sepertinya dia punya niat buruk terhadap kita.” Dia berusaha menyampaikan ketakutannya dengan nada yang seolah peduli. “Dia selalu ada di sekitarmu, dan aku merasa dia mencoba merusak hubungan kita.” Arjun mengernyitkan dahi, merasa tidak nyaman dengan pernyataan istrinya. “Apa yang kamu maksud? Olivia tidak seperti itu. Dia hanya bekerja, dan dia
Elvira tiba di rumah keluarga Arvendra dengan wajah tegang dan langkah cepat. Dalam genggamannya, ada beberapa foto yang berhasil ia dapatkan sebagai bukti. Dalam hati, ia bertekad, ini saatnya semua orang tahu—terutama orang tua Arjun, yang selama ini tampak begitu memuja Olivia. Di ruang tamu, Arjun dan Olivia tengah duduk bersama orang tua Arjun, berbicara dengan santai. Wajah Arjun tampak ceria, sementara Olivia sesekali tertawa lembut, membuat suasana begitu hangat. Namun, saat Elvira muncul di ambang pintu, ekspresi semua orang berubah. Orang tua Arjun segera menyadari ketegangan di wajah menantu mereka. "Elvira, sayang, ada apa?" tanya ibu Arjun dengan khawatir. Elvira melangkah maju, menatap tajam ke arah Olivia yang langsung menegang begitu melihat tatapan itu. "Aku perlu bicara. Aku ingin kalian semua tahu apa yang sudah terjadi di belakang kita." Arjun mengernyit, tampak bingung. "Elvira, apa maksudmu?" Elvira menghela napas panjang sebelum mengeluarkan foto-foto
Olivia berhenti sejenak di ambang pintu, kemudian berbalik, menatap semua orang di ruangan dengan senyum penuh kemenangan. Dengan tenang, ia mengangkat tangan, menunjukkan sebuah map cokelat yang baru saja diberikan oleh asistennya. "Oh, hampir saja aku lupa," Olivia berkata dengan nada dingin, matanya menatap lurus ke arah Elvira yang mulai tampak gelisah. "Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, terutama kamu, Arjun." Arjun mengernyit, kebingungan dan masih diliputi emosi yang bergejolak setelah kata-kata menyakitkan Olivia tadi. Sementara Elvira mencoba menahan ketenangan, namun jelas ada kekhawatiran di wajahnya. "Elvira," Olivia melanjutkan, "aku rasa kau belum sepenuhnya jujur dengan semua orang di sini, ya?" Ia melambaikan map itu, seakan mengejek. "Apa maksudmu, Olivia?" Elvira berusaha mempertahankan nada suaranya agar terdengar tegar, tapi ada sedikit gemetar di ujung kata-katanya. "Jangan berpura-pura tidak tahu, Elvira," Olivia menyeringai. "Di dalam map ini
Arjun masuk ke kamarnya dengan langkah berat. Sesaat setelah pintu tertutup, amarah yang terpendam mulai memuncak. Ia memandangi sekeliling kamarnya yang kini terasa dingin dan kosong, mengingat setiap kenangan yang dulu ia anggap tulus, ternyata hanyalah kebohongan. Dengan gerakan penuh amarah, Arjun meraih vas di atas meja dan membantingnya hingga pecahan keramik berserakan di lantai. Kemudian, foto-foto dan barang-barang yang pernah ia simpan dengan hati-hati, satu per satu ia lempar hingga menimbulkan bunyi pecahan yang memecah keheningan. “Kenapa harus seperti ini?!” serunya, suara parau di tengah isak yang akhirnya tak bisa ia tahan lagi. “Apa semua ini hanya lelucon?!” Arjun menutup wajahnya dengan tangan, menahan air mata yang mengalir deras. Seorang pria yang biasanya kuat dan penuh wibawa kini menangis, merasakan kehancuran yang tak pernah ia duga akan terjadi padanya. Betrayal yang ia rasa menekan dada begitu berat, hingga napas terasa sesak. Sambil jatuh terduduk d
Olivia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap ke kota. Angin malam yang dingin berembus, tetapi itu tak mampu mengusir kebingungan dan rasa takut yang melilit hatinya. Bayangan Arjun muncul di benaknya, namun kali ini bukan sebagai sosok yang selalu membuatnya merasa istimewa, melainkan sebagai seseorang yang kini pasti membencinya setelah semua yang terjadi. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan denyut di perutnya yang kini menandakan kehidupan baru yang tumbuh. Air mata mengalir tanpa disadari. "Mungkin ini yang terbaik. Aku harus pergi. Arjun… dia tidak akan pernah menerima ini. Dia bahkan mungkin tidak mau melihatku lagi." Olivia bergumam pelan pada dirinya sendiri. Setelah merenung beberapa lama, Olivia memutuskan untuk membuat rencana baru. Dia akan meninggalkan kota ini, menjauh dari masa lalu yang kacau, dan memulai hidup baru di tempat yang tak seorang pun mengenalnya. Dengan begitu, dia bisa melindungi bayi dalam kandungannya dari
Pagi harinya, Olivia terbangun dengan sinar matahari yang lembut menyelinap melalui jendela kamarnya. Ada perasaan tenang yang baru baginya, tetapi juga rasa asing yang sulit ia jelaskan. Menatap perutnya yang masih rata, ia tersenyum kecil, merasakan kehadiran kecil yang tumbuh di dalamnya. "Aku akan baik-baik saja," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Kita akan baik-baik saja." Hari itu, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota kecil itu, menikmati suasana baru yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar dan segala drama yang ditinggalkannya. Ia berjalan melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi toko-toko lokal, beberapa orang menyapanya ramah, dan anak-anak bermain ceria di taman. Saat melintasi sebuah kedai kopi kecil, Olivia tergoda untuk masuk dan memesan secangkir kopi. Meski ia tahu bahwa kafein sebaiknya dihindari selama kehamilan, ia memutuskan untuk sesekali memanjakan diri dengan secangkir teh hangat saja. Setelah memesan, ia memilih duduk di deka
Arjun berdiri di balkon kamarnya, matanya menatap gelapnya malam. Pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan amarah. Ia tidak bisa membiarkan ancaman dari Elvira terus menghantui keluarganya. Olivia, yang sedang berada di kamar bayi bersama Regan, berjalan mendekat setelah melihat suaminya belum tidur. “Arjun,” panggil Olivia lembut sambil mendekati suaminya. “Kamu belum tidur?” Arjun menoleh, menarik Olivia ke dalam pelukannya. “Aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan semua ini, Olivia. Ancaman dari Elvira dan bagaimana aku harus memastikan kamu dan Regan aman.” Olivia mendongak menatapnya. “Kamu tidak sendirian. Aku di sini bersamamu. Jangan bebani dirimu sendiri terlalu berat.” Arjun mengusap pipi Olivia, senyumnya tipis namun penuh rasa sayang. “Aku tidak akan tenang sampai semuanya selesai. Aku sudah memutuskan untuk bertindak lebih tegas. Aku akan menggunakan semua koneksi dan kekuatanku untuk menghentikan Elvira. Kali ini, tidak ada ruang untuk kompromi.” Olivia mengangguk,
Beberapa hari kemudian, suasana di mansion Arjun perlahan kembali tenang setelah Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Arjun sangat protektif terhadap istrinya yang masih dalam masa pemulihan. Ia bahkan langsung memanggil seorang pengasuh berpengalaman untuk membantu Olivia merawat bayi mereka, Regan. "Bu Nia, saya percaya pada Anda untuk membantu Olivia," ucap Arjun tegas saat berbicara dengan pengasuh yang baru tiba di ruang keluarga. "Tugas Anda bukan hanya mengurus Regan, tetapi juga memastikan Olivia tidak terlalu lelah." Bu Nia mengangguk hormat. "Baik, Pak Arjun. Saya akan lakukan yang terbaik." Olivia yang duduk di sofa dengan Regan dalam pelukannya menghela napas panjang. "Aku masih bisa mengurusnya sendiri, Arjun. Aku hanya butuh waktu untuk pulih sepenuhnya." Arjun mendekat, menatapnya lembut sambil berlutut di hadapan istrinya. "Kamu baru saja melalui banyak hal, sayang. Biarkan aku meringankan bebanmu. Regan butuh ibunya sehat, dan aku butuh istriku kembal
Keesokan harinya, Olivia sudah diperbolehkan duduk di sofa kamar rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi senyum kecil di wajahnya mulai kembali. Di meja kecil di hadapannya, ada sepiring buah segar yang sudah dikupas rapi oleh Mama Arjun. Arjun masuk ke kamar dengan membawa Regan yang terlihat ceria. Si kecil tampak menggeliat di gendongan ayahnya, matanya yang bulat menatap ke arah Olivia. “Lihat siapa yang kangen sama mamanya,” kata Arjun dengan senyum lebar, mendekatkan Regan ke Olivia. Olivia langsung mengulurkan tangan, meski perlahan. “Sini, Mama mau peluk.” Arjun duduk di samping Olivia dan menyerahkan Regan ke pangkuannya. Si kecil langsung menggeliat nyaman di dekapan Olivia. Tatapan Olivia melembut, dan air matanya hampir jatuh lagi. “Mama kangen sekali, Nak,” bisiknya sambil mencium kening Regan. “Pelan-pelan, Liv,” ujar Arjun, tangannya menahan punggung Olivia agar tidak terlalu condong. “Kamu masih perlu istirahat.” “Aku baik-baik saja, Jun. Melihat Regan su
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel