Sore itu, Elvira kembali berusaha mempengaruhi Arjun di ruang kerja mereka, suasana di dalamnya terasa tegang. Elvira tahu bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk melancarkan rencananya. Dengan wajah berusaha tenang, dia menatap suaminya yang sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya. “Arjun, kita perlu bicara,” ujarnya, suaranya terdengar berat, mencerminkan kepedihan yang dirasakannya. Arjun mengangkat kepala dan menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap istrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Ada apa, Elvira? Kamu terlihat sangat serius.” Elvira menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku khawatir tentang Olivia. Sepertinya dia punya niat buruk terhadap kita.” Dia berusaha menyampaikan ketakutannya dengan nada yang seolah peduli. “Dia selalu ada di sekitarmu, dan aku merasa dia mencoba merusak hubungan kita.” Arjun mengernyitkan dahi, merasa tidak nyaman dengan pernyataan istrinya. “Apa yang kamu maksud? Olivia tidak seperti itu. Dia hanya bekerja, dan dia
Elvira tiba di rumah keluarga Arvendra dengan wajah tegang dan langkah cepat. Dalam genggamannya, ada beberapa foto yang berhasil ia dapatkan sebagai bukti. Dalam hati, ia bertekad, ini saatnya semua orang tahu—terutama orang tua Arjun, yang selama ini tampak begitu memuja Olivia. Di ruang tamu, Arjun dan Olivia tengah duduk bersama orang tua Arjun, berbicara dengan santai. Wajah Arjun tampak ceria, sementara Olivia sesekali tertawa lembut, membuat suasana begitu hangat. Namun, saat Elvira muncul di ambang pintu, ekspresi semua orang berubah. Orang tua Arjun segera menyadari ketegangan di wajah menantu mereka. "Elvira, sayang, ada apa?" tanya ibu Arjun dengan khawatir. Elvira melangkah maju, menatap tajam ke arah Olivia yang langsung menegang begitu melihat tatapan itu. "Aku perlu bicara. Aku ingin kalian semua tahu apa yang sudah terjadi di belakang kita." Arjun mengernyit, tampak bingung. "Elvira, apa maksudmu?" Elvira menghela napas panjang sebelum mengeluarkan foto-foto
Olivia berhenti sejenak di ambang pintu, kemudian berbalik, menatap semua orang di ruangan dengan senyum penuh kemenangan. Dengan tenang, ia mengangkat tangan, menunjukkan sebuah map cokelat yang baru saja diberikan oleh asistennya. "Oh, hampir saja aku lupa," Olivia berkata dengan nada dingin, matanya menatap lurus ke arah Elvira yang mulai tampak gelisah. "Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, terutama kamu, Arjun." Arjun mengernyit, kebingungan dan masih diliputi emosi yang bergejolak setelah kata-kata menyakitkan Olivia tadi. Sementara Elvira mencoba menahan ketenangan, namun jelas ada kekhawatiran di wajahnya. "Elvira," Olivia melanjutkan, "aku rasa kau belum sepenuhnya jujur dengan semua orang di sini, ya?" Ia melambaikan map itu, seakan mengejek. "Apa maksudmu, Olivia?" Elvira berusaha mempertahankan nada suaranya agar terdengar tegar, tapi ada sedikit gemetar di ujung kata-katanya. "Jangan berpura-pura tidak tahu, Elvira," Olivia menyeringai. "Di dalam map ini
Arjun masuk ke kamarnya dengan langkah berat. Sesaat setelah pintu tertutup, amarah yang terpendam mulai memuncak. Ia memandangi sekeliling kamarnya yang kini terasa dingin dan kosong, mengingat setiap kenangan yang dulu ia anggap tulus, ternyata hanyalah kebohongan. Dengan gerakan penuh amarah, Arjun meraih vas di atas meja dan membantingnya hingga pecahan keramik berserakan di lantai. Kemudian, foto-foto dan barang-barang yang pernah ia simpan dengan hati-hati, satu per satu ia lempar hingga menimbulkan bunyi pecahan yang memecah keheningan. “Kenapa harus seperti ini?!” serunya, suara parau di tengah isak yang akhirnya tak bisa ia tahan lagi. “Apa semua ini hanya lelucon?!” Arjun menutup wajahnya dengan tangan, menahan air mata yang mengalir deras. Seorang pria yang biasanya kuat dan penuh wibawa kini menangis, merasakan kehancuran yang tak pernah ia duga akan terjadi padanya. Betrayal yang ia rasa menekan dada begitu berat, hingga napas terasa sesak. Sambil jatuh terduduk d
Olivia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap ke kota. Angin malam yang dingin berembus, tetapi itu tak mampu mengusir kebingungan dan rasa takut yang melilit hatinya. Bayangan Arjun muncul di benaknya, namun kali ini bukan sebagai sosok yang selalu membuatnya merasa istimewa, melainkan sebagai seseorang yang kini pasti membencinya setelah semua yang terjadi. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan denyut di perutnya yang kini menandakan kehidupan baru yang tumbuh. Air mata mengalir tanpa disadari. "Mungkin ini yang terbaik. Aku harus pergi. Arjun… dia tidak akan pernah menerima ini. Dia bahkan mungkin tidak mau melihatku lagi." Olivia bergumam pelan pada dirinya sendiri. Setelah merenung beberapa lama, Olivia memutuskan untuk membuat rencana baru. Dia akan meninggalkan kota ini, menjauh dari masa lalu yang kacau, dan memulai hidup baru di tempat yang tak seorang pun mengenalnya. Dengan begitu, dia bisa melindungi bayi dalam kandungannya dari
Pagi harinya, Olivia terbangun dengan sinar matahari yang lembut menyelinap melalui jendela kamarnya. Ada perasaan tenang yang baru baginya, tetapi juga rasa asing yang sulit ia jelaskan. Menatap perutnya yang masih rata, ia tersenyum kecil, merasakan kehadiran kecil yang tumbuh di dalamnya. "Aku akan baik-baik saja," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Kita akan baik-baik saja." Hari itu, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota kecil itu, menikmati suasana baru yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar dan segala drama yang ditinggalkannya. Ia berjalan melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi toko-toko lokal, beberapa orang menyapanya ramah, dan anak-anak bermain ceria di taman. Saat melintasi sebuah kedai kopi kecil, Olivia tergoda untuk masuk dan memesan secangkir kopi. Meski ia tahu bahwa kafein sebaiknya dihindari selama kehamilan, ia memutuskan untuk sesekali memanjakan diri dengan secangkir teh hangat saja. Setelah memesan, ia memilih duduk di deka
Di sisi lain, Elvira berada di kamarnya dengan wajah memerah, pandangan matanya menyala penuh amarah. Ia menggigit bibir, berusaha menahan erangan frustrasi yang sudah di ujung lidah. Namun, emosi itu terlalu besar untuk disembunyikan. Dengan sekali sentakan, ia menghempaskan bingkai foto di atas meja ke lantai hingga pecah berkeping-keping. “Kenapa bisa sampai begini?” geramnya sambil menatap pantulan wajahnya di kaca meja rias. “Olivia, perempuan licik itu! Dia tidak hanya menghancurkan rencanaku, tapi juga merusak semua yang sudah kupertahankan selama ini.” Elvira mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri, tetapi pikirannya berkecamuk. Ingatannya berputar pada setiap langkah yang telah ia rencanakan dengan teliti, semua demi memastikan Olivia tidak lagi berada di dekat Arjun. Namun, semua usahanya seakan berbalik, menghantamnya tanpa ampun. “Aku tidak akan tinggal diam!” suaranya rendah, penuh tekad. “Jika dia pikir dia bisa menang begitu saja, dia salah besar. Aku akan pa
Lima bulan telah berlalu sejak Olivia pergi, namun bayangannya masih menghantui Arjun di setiap sudut hidupnya. Dia memang sudah berusaha bangkit; fokus pada pekerjaannya, kembali berbaur dengan keluarga, dan menjalani rutinitas harian seperti biasa. Namun, di tengah kesibukannya, ada momen-momen tertentu yang membuatnya tersadar bahwa cintanya pada Olivia tidak pernah benar-benar hilang. Arjun duduk sendirian di balkon, memandang jauh ke arah kota yang terang di malam hari. Udara dingin menyelimutinya, tetapi hatinya terasa lebih dingin lagi. Ia teringat bagaimana Olivia tertawa di sampingnya, bagaimana ia bermanja, bagaimana setiap momen bersamanya terasa hidup. Saat itu, kemarahan dan kekecewaan yang pernah melanda mulai meredup, berganti dengan kerinduan yang semakin kuat. "Olivia... di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, memejamkan mata, dan membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa-masa saat ia masih bersam
Di sisi lain, Elvira duduk di meja kerja kecil di apartemennya yang kini jauh dari kemewahan mansion yang dulu ia tinggali bersama Arjun. Pandangannya tajam menatap layar laptop di depannya, sementara tangannya sibuk mengetik pesan-pesan singkat yang ia kirim ke beberapa kenalannya. Elvira bukan tipe wanita yang menyerah begitu saja. “Arjun mungkin mengira dia sudah menang,” gumamnya dengan senyum sinis. “Tapi dia lupa siapa aku. Aku nggak akan berhenti sampai semuanya hancur, termasuk dia dan Olivia.” Dia membuka folder di laptopnya, di mana ada beberapa dokumen lama tentang bisnis keluarga Arjun. Di sana terdapat beberapa laporan yang belum pernah ia gunakan sebagai senjata. Senyumnya semakin melebar. “Semua ini akan aku manfaatkan.” Telepon di mejanya berbunyi, mengalihkan perhatian Elvira. Dia menjawab dengan nada dingin, "Halo?" "Elvira, apa kau yakin dengan rencanamu ini?" suara seorang pria di ujung telepon terdengar ragu. "Jika ketahuan, ini bisa menghancurkanmu." El
Arjun menatap Olivia dengan intensitas yang dalam, matanya seolah ingin menyampaikan semua yang ada di hatinya tanpa kata. Dia mengangkat tangan, menyentuh wajah Olivia yang sembab, ibu jarinya menyapu lembut sisa air mata yang masih mengalir di pipinya. "Olivia," suaranya terdengar rendah, namun sarat emosi. "Kamu adalah istriku. Wanita yang kupilih untuk hidup bersamaku, untuk menjadi ibu dari anakku. Aku tahu masa lalu kita tidak sempurna, tapi aku juga tahu kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik ke depan." Olivia menggigit bibirnya, merasa hati kecilnya mencelos mendengar kata-kata itu. "Tapi, Arjun... aku menyakitimu. Aku... aku memanfaatkanmu. Bagaimana bisa kau tetap mencintaiku setelah semua itu?" Arjun tersenyum tipis, senyuman yang penuh luka namun juga kejujuran. "Karena aku tahu kamu lebih dari sekadar kesalahan itu. Aku tahu, Olivia, bahwa di balik dendammu, ada hati yang terluka. Dan di balik semuanya, aku melihat kebaikanmu. Kamu mencintai dengan cara yang
Di sisi lain, Elvira menonton video klarifikasi Arjun dengan wajah tegang. Tangannya gemetar saat memegang ponselnya, dan mata tajamnya menyipit penuh amarah. Suara Arjun yang tegas dalam video itu terasa seperti tamparan keras baginya, menegaskan bahwa ia telah kehilangan kendali atas narasi yang selama ini ia kuasai. “Beraninya dia,” desis Elvira dengan suara rendah namun penuh kemarahan. Ia melemparkan ponselnya ke atas sofa dan berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamunya yang luas dan mewah. Di sekitarnya, segala sesuatu terlihat sempurna, tetapi hatinya penuh kekacauan. “Arjun tak bisa lolos begitu saja, dan Olivia...” Elvira mengepalkan tangannya, ingatan tentang penghinaan yang ia terima di depan semua orang membuat darahnya mendidih. “Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia. Kalian pikir kalian sudah menang? Tidak semudah itu.” Ia segera meraih telepon lain di meja dan menekan nomor yang sudah dihafalnya. Suara seorang pria menjawab dari seberang sana. “Kau masih
Setelah beberapa saat terdiam, Olivia mengatur napasnya, berusaha mengontrol emosinya yang meluap setelah mendengar pernyataan Elvira. Suasana di ruang kerjanya terasa berat, dan pikirannya mulai mengembara pada segala hal yang telah terjadi. “Aku tahu kamu marah, Arjun,” kata Olivia dengan suara lebih tenang namun penuh makna. “Tapi kita tidak bisa membiarkan semua ini merusak apa yang sudah kita bangun bersama. Kita harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.” Arjun, yang berada di sisi lain telepon, terdiam sejenak. Bisa terdengar bagaimana nafasnya tertahan, seolah berat untuk mengatakan apa-apa lebih lanjut. “Aku tidak pernah menyangka akan sampai seperti ini,” ucapnya, suara penuh penyesalan. “Dia… dia yang dulu aku anggap sebagai pasangan hidupku, kini semua ini hancur karena wanita itu.” Olivia bisa merasakan emosi Arjun yang meluap, dan meskipun dia tahu betapa sulitnya keadaan ini, dia tetap berusaha memberikan dukungan. “Kamu tidak sendirian, Arjun. Aku ada di
Namun, di tempat lain, Elvira duduk di ruang tamu apartemennya yang suram. Wajahnya dipenuhi amarah yang mendidih di dalam hatinya. Ia memandangi foto Arjun di ponselnya, senyum mantan suaminya terasa seperti ejekan yang tak henti-henti mengganggu pikirannya. Di tangannya, secarik kertas dengan informasi yang baru saja ia dapatkan dari seseorang yang ia bayar mahal. “Olivia... kau pikir kau menang?” gumamnya, nada suaranya penuh kebencian. Ia menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah, menggenggam kertas itu erat seolah bisa menghancurkan lawannya hanya dengan kekuatan genggamannya. Ponselnya berbunyi, menampilkan nama seorang pria yang telah lama menjadi sekutunya dalam bayang-bayang. Dengan senyum miring, Elvira mengangkat panggilan itu. “Sudah kudapatkan semua yang kau minta, Elvira,” kata suara pria itu dari seberang. “Ini akan menghancurkan reputasinya habis-habisan.” “Bagus,” Elvira menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang melaju cepat. “Kirimkan
Arjun menatap Olivia yang berdiri di sampingnya. Wajahnya terlihat lelah namun berseri-seri. Sentuhan angin lembut menggoyangkan helai rambutnya yang jatuh di sekitar wajah. Arjun mendekat dan membenarkan rambut itu di belakang telinga Olivia. "Terima kasih sudah ada di sisiku, Olivia," ucap Arjun dengan suara dalam yang dipenuhi perasaan. Dia menggenggam tangan Olivia dengan erat. "Aku tahu perjalanan kita tidak mudah. Tapi, aku berjanji akan selalu ada untukmu dan anak kita." Olivia menatap Arjun dengan mata berkaca-kaca. Ada perasaan hangat yang menjalar di dalam dadanya. Selama ini, ia pikir kekuatan dan keteguhan hati yang ia miliki cukup untuk melindungi dirinya sendiri, namun bersama Arjun, ia merasa aman dengan cara yang tak pernah ia duga. “Aku juga berterima kasih, Arjun,” jawab Olivia dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku tahu awalnya aku salah, banyak hal yang kulakukan karena rasa sakit dan kemarahan. Tapi, kau tetap di sini, mencintaiku dengan segala keburukanku
Upacara berlangsung dengan khidmat, diiringi oleh alunan musik lembut yang mengisi seluruh ruangan. Beberapa tamu sudah menitikkan air mata haru, termasuk mama Arjun yang sesekali menghapus sudut matanya dengan saputangan putih. Arjun berdiri tegap di sisi Olivia, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemari wanita itu. Dia menyampaikan setiap kata dengan ketulusan yang mencerminkan cinta dan komitmennya. “Olivia, sejak hari pertama kita bertemu, aku tak pernah menyangka akan sampai di titik ini. Kau mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya, kau membuatku berani melawan rasa takut dan keraguan. Mulai hari ini, aku berjanji akan selalu melindungimu, menjagamu, dan mencintaimu tanpa syarat,” ucap Arjun dengan suara bergetar, matanya lurus menatap Olivia yang tampak menahan air mata. Olivia menghela napas, merasakan detak jantungnya berdegup cepat. Dia menatap Arjun dengan mata yang berbinar penuh emosi. “Arjun, kau adalah satu-satunya yang mengerti luka dan perihku, kau yang teta
Olivia duduk di sofa ruang tamu, tangannya mengusap lembut perut buncitnya yang semakin terlihat. Arjun duduk di sampingnya, merangkul pundaknya dengan penuh perhatian. Di seberang ruangan, mama Arjun tampak sibuk berdiskusi dengan para staf rumah tentang dekorasi, makanan, dan musik untuk pesta pernikahan yang akan digelar. “Aku tidak percaya, hanya tinggal beberapa hari lagi,” bisik Arjun sambil menatap Olivia dengan tatapan lembut. Matanya berbinar penuh kasih dan rasa syukur. Olivia tersenyum, meski ada sedikit kelelahan di wajahnya. “Ya, rasanya semua berjalan begitu cepat. Aku bahkan tak menyangka akan berada di sini, merencanakan pernikahan denganmu,” ujarnya, suaranya bergetar pelan. Arjun menggenggam tangan Olivia erat. “Ini nyata, Liv. Dan aku ingin memastikan semuanya sempurna untukmu dan bayi kita,” katanya tegas. Olivia tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. “Asal kita bersama, aku yakin semua akan baik-baik saja, Jun.” Mama Arjun melirik ke arah mereka b
Olivia meneguk jus buahnya perlahan, menikmati kesegaran yang membasahi tenggorokannya. Di sekelilingnya, suasana semakin akrab. Arjun duduk di sampingnya, sesekali meremas tangan Olivia dengan lembut, seolah memastikan kehadiran wanita yang dicintainya itu nyata. Papa Arjun yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Olivia, aku mengerti banyak hal telah terjadi di antara kita. Tapi aku berharap, mulai sekarang semuanya bisa berubah menjadi lebih baik. Demi Arjun, dirimu, dan... cucu kami." Olivia terdiam sejenak, menatap Papa Arjun dengan mata yang berkaca-kaca. "Saya mengerti, Pa. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik untuk keluarga ini dan untuk masa depan anak kami." Mama Arjun menyentuh lengan Olivia dengan lembut, memperkuat pesan suaminya. "Kami hanya ingin melihat Arjun bahagia, dan dari apa yang kami lihat sekarang, kamu juga membawanya kebahagiaan itu. Jangan pikirkan yang sudah-sudah, mari kita mulai lembaran baru." Arjun mengangguk pelan, menatap kedua orang