Amalthea menatap antara suaminya dan wanita yang baru saja datang. Ia melihat penampilan wanita itu dengan kernyitan di dahi. “Apa kalian saling kenal?” “Gak!”“Iya.”Jawaban dari Orion dan wanita bernama Neni Anggraeni saling berseberangan jingga membuat Amalthea mengernyit bingung. Tatapan Amalthea kini tertuju pada sang suami yang sedang menatapnya balik. “Maksudnya gimana, Mas?” Orion menggeleng sambil mengangkat kedua jari membentuk tanda ‘V’. “Aku berani bersumpah, Sayang. Kalau aku emang gak kenal sama wanita itu!”Mulut Amalthea hendak menyahuti ucapan Orion, tetapi sebuah tangan tiba-tiba menarik lengannya hingga kini mereka saling berhadapan.“Hei, Mbak. Situ Siapa?” tanya wanita di depan dengan sinis. “Kamu gak usah deket-deket, deh, sama calon suamiku, deh!”“Calon suami?” Sudut bibir Amalthea tertarik ke atas, lalu melihat ke arah Orion. “Apa dia benar calon istri keduamu, Mas? Serius kamu mau dia jadi maduku?”“Gal, Mal. Aku berani bersumpah, kalau aku gak kenal sama
“Sayang!”“Kkkk. Iya, Mas. Masa gitu doang aja ngambek.” Amalthea tak bisa menghentikan senyumnya kala melihat sang suami merajuk. “Kamu, sih, yang mancing-mancing,” dumel Orion yang tidak mau dikira ngambek. “Ayo, buka mulutnya! Aa ….” Akhirnya, mereka pun makan siang dengan tentram. Orion bahkan dengan senang hati menerima suapan Amalthea, dan sebaliknya. Dua orang tersebut terlihat menikmati makanan yang ada di atas meja hingga habis.Orion memang sengaja membeli makanan yang sesuai selera mereka sehingga tidak ada makanan yang mubazir. Akan sangat disayangkan jika sampai mereka membuang makanan. “Pulang, yuk, Mas!” ajak Amalthea.“Yuk. Bentar yah, Yank. Aku mau ke toilet dulu.”Amalthea mengangguk. Setelah sang suami selesai dengan urusannya di toilet, kini mereka sudah berada di dalam mobil. Perjalanan lancar, tidak ada drama macet, apalagi sampai ngomel-ngomel karena mobil disalip. “Aku langsung ke kantor yah, Yank. Kamu beneran gak apa-apa aku tinggal?” tanya Orion denganb
Note: Ini nomorku, Sayang. 08xxxx“Cih!” Orion langsung membuang note kecil yang diberikan oleh Neni ke tong sampah menuju parkiran mobil. Sekretaris dari Bambang itu benar-benar sudah membuatnya kesal, tetapi ia tidak mungkin ngamuk di tempat tersebut. “Berani sekali itu perempuan godain aku,” ujarnya menyeringai jijik.“Ada apa, Tuan?” Orion menggeleng masih dengan kakinya yang melangkah. “Apa jadwalku setelah ini?” Keinginannya untuk bertemu dengan sang istri membuat lelaki tersebut ingin segera pulang, lalu menghabiskan waktu bersama sang pujaan hati. “Setelah ini, Anda ada makan malam dengan Tuhan Shikamaru.”Orion lalu melihat jam di tangannya, pukul 16.15 wib. “Jadi, setelah ini saya kosong?” tanyanya pada sang sekretaris. Tangannya segera merogoh saku jas dan melihat kontak nama si istri. “Tidak ada, Tuan. Setelah ini Anda bisa ke kantor, mungkin mengecek beberapa laporan yang sudah dibuat oleh bagian pemasaran, juga proposal dari perusahaan QiuQiu.”“Perusahaan QiuQiu?”
“Aduh!” Amalthea yang hendak mengambil ponsel di atas nakas, justru tidak sengaja menyenggol pigura berisi fotonya dan sang suami. Benda itu jatuh hingga kacanya berserakan. Amalthea hendak membersihkannya, tetapi jarinya justru tertusuk pecahan beling tersebut. “Sshhhh!” Ia meringis perih, lalu memasukkan jarinya ke dalam mulut. Tidak terlalu sakit hanya perih. Namun, setitik darah masih saja keluar dari ruas-ruas jarinya.“Kenapa aku jadi kepikiran Mas Rion, ya?” Amalthea kemudian melihat ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 05.30 sore. Namun, sang suami belum juga pulang hingga membuatnya khawatir. “Ini lagi, kenapa Mas Rion belum balik juga, yah?”Amalthea lalu bangun dari jongkoknya dan melihat ke arah ponsel miliknya yang tergeletak di lantai. “Ckckck!” Tidak ada pesan ataupun panggilan dari sang suami membuat hatinya semakin gundah gulana. Ia pun memutuskan untuk memanggil bibi. “Bi, Bibi!” panggil Amalthea sambil berjalan menuju sofa. Ia tak mau jika sampai kakinya meng
“Kalau dirimu belum bisa membahagiakanku, jangan pernah berharap bisa pergi dariku!” Kata-kata itu terus saja dirapalkan oleh Amalthea kepada suaminya yang belum juga keluar diperiksa oleh dokter. Dia bahkan berkali-kali harus mengecek ke arah pintu, sudah terbuka atau belum. Namun, sosok berwibawa yang ditunggu tak jua muncul. “Sebenarnya apa yang sedang dilakukan dokter di dalam? Kenapa begitu lama memeriksa satu orang saja. Apa mereka tidak tahu jika diriku begitu cemas menunggunya di sini,” gerutu Amalthea. Wanita hamil itu kemudian berdiri, ia berjalan ke kanan dan ke kiri, mencoba mengurangi perasaan takutnya. Akan tetapi, rasa itu masih saja bergejolak setelah hampir 30 menit menunggu. “Apa aku telpon papa, yah?” Amalthea menggigit kuku jarinya sendiri. “Tapi, papa kan lagi ada di Kalimantan. Gak mungkin juga aku ganggu beliau.” Amalthea pun memutuskan untuk tidak memberitahu papa mertuanya dulu. Mungkin jika keadaan Orion sudah membaik, barulah ia hubungi Erik. Untuk kali
Pria yang mengenakan kemeja polos dan celana jeans itu trerlihat tersenyum di depan seorang wanita cantik. “Iya, ini aku Kirun,” jawabnya.Farah tersenyum, hampir seperti dengkusan. Rasa lelahnya tiba-tiba naik lagi setelah melihat Kirun berada di hadapannya. Ya, walaupun ada perasaan senang, tetapi ia tidak akan memperlihatkannya. “Maaf, aku sedang sibuk,” tolak Farah. “Tapi, Far–”Wanita itu langsung balik badan, melangkah menuju ruang administrasi di mana ia harus melengkapi berkas dari suami bosnya. Mengabaikan keberadaan Kirun di belakang yang ternyata mengikutinya. “Bukankah aku harusnya senang bertemu dengannya? Tapi, aku juga masih takut jika hanya dijadikan candaan saja,” gumam Farah.Sesekali, ia mengintip dari balik bulu mata lentiknya ke arah samping, di mana Kirun berdiri di sisi kanan. Farah sendiri tengah mengisi data dari Orion di bagian administrasi. “Kamu ngapain masih di sini?” tanya Farah tanpa melihat Kirun.“Aku akan menunggumu, Far,” sahutnya keras kepala. H
“Dasar gila!” “Loh? Farah! Kok, kamu malah pergi?” Kirun menatap punggung gadis yang disukainya dengan bingung. Dia tak langsung mengejar gadis itu, tetapi justru menggaruk belakang kepala. Kirun menelengkan kepala sambil mendesis bingung. “Bukankah tadi dia sendiri yang minta gue buat datangi ke rumahnya, yah? Terus, giliran gue sanggupi malah dikira gila? Jadi, ini gue yang gila beneran, atau emang gue yang salah tangkep? Jadi, bingung gue!” Kirun celingukan ke area sekitar dan seketika matanya melotot dengan bulu kuduk yang meremang. “Lah, kok, suasananya jadi horor gini, yah? Anjrut!” umpatnya.“Mending gue ke dalam, deh. Bisa jatuh pamor gue, kalau sampai ada yang liat seorang Kirun di parkiran lagi teriak-teriak ketakutan gegara diculik sama mbak Kunti!” Pria itu menutup mulutnya shock dengan tubuh menggelinjang ngeri.“Farah!” Kirun langsung memanggil gadis itu. Namun, ternyata Farah sudah jauh, bahkan hampir masuk ke dalam pintu samping. “Ayank! Tungguin gue!” Farah yang m
“Ada yang ketawa dengerin kita ngobrol,” bisik Kirun sambil menunjuk ke arah Farah dengan isyarat dagu.Orion melihat ke arah tunjuk Kirun, tetapi tatapannya justru bertabrakan dengan sang istri. Ia hendak mengulas senyum, tapi Amalthea justru melengos. Ia pun menghela napas dengan pasrah. Siapa, sih, orang yang akan tahan diabaikan oleh pujaan hatinya? Menurut Orion tidak ada. Karena separuh napasnya ada dalam Amalthea. Peduli setan dengan penilaian orang yang mengatakan lebay. Toh, ia berkata jujur dari dalam hatinya.Kedua alis Kirun hampir menyatu melihat temannya diam saja, bahkan melamun pada saat diajak ngobroil. Ia berdecak kesal. “Wah, si kampret in,” ujarnya menahan kentut. “Woi! Gue masih hidup di sini, anying! Kok, lo malah nyuekin gue, sih?” Orion balas menatap Kirun tak akan sengit “Apaan, sih? Lagian, emang lo yakin, kalau Farah itu lagi ngetawain lo?” Ingin rasanya ia mengusir teman kampretnya itu pergi dari ruang rawat. Sungguh, ia ingin sendiri, ah, bukan sendiri,