Amalthea yang baru saja kembali dari meeting sengaja mampir ke Cafe. Kata Farah, cake coklatnya sangat rekomendasi banget. Jadi, ia pun tergiur dan membelokkan mobilnya ke cafe tersebut. Siapa sangka, jika dirinya justru bertemu dengan sang suami, serta teman-temannya. Niat untuk menyapa pun dirungkan dan membiarkan Orion berkumpul. “Eh, siapa itu?” Baru saja ia hendak memesan, tetapi kehadiran seorang perempuan di antara keempat lelaki di sana membuat Ama terhenyak.Yang membuat Ama tak habis pikir adalah, kenapa wanita itu harus mendekati Orion? Bukankah 3 lelaki di sana masih jomblo dan halal untuk didekati, tetapi kenapa harus suaminya?“Ini gak bisa dibiarin,” ujar Ama. Ditinggalkan kasir itu oleh Ama untuk menghampiri meja sang suami dan teman-temannya. Ia kemudian berdiri di sisi meja suaminya berada. “Siapa dia, Mas?” tanyanya lagi. “Oh, hai, Amal. Duduk dulu, yuk!” Gino yang pengertian menyuruh Ama untuk duduk di kursinya “Maka– … eh?” Amalthea ingin mengucapkan terima k
Orion berkali-kali melihat ke arah Amalthea, tetapi wanita hamil itu mengabaikannya. Sang istri lebih memilih menatap ke jendela daripada wajah tampan milik si suami. Hela napas berat terembus dari bibir Orion. Tangannya ingin merangkul bahu Ama, tetapi istrinya berpura-pura menunduk sehingga ia hanya memeluk udara kosong. Orion meringis. Ditarik tangannya, lalu ditaruh di atas pangkuan sambil menatap ke arah jendela. Akhirnya, mereka berdua pun tak saling bertegur sapa di dalam mobil hingga membuat sang supir canggung.Sesampainya di rumah, Orion menatap punggung Amalthea yang berjalan terlebih dahulu hingga ia hanya bisa menatap punggung kecil milik sang istri dengan tatapan bingung.Orien tidak menyerah, ia lalu sedikit berlari untuk mengejar sang istri. Ketika sudah di sisi sang istri, lelaki itu mencoba untuk mengajak ngobrol. “Hari ini ada rapat dengan siapa, Sayang?”“Hanya rapat biasa saja kok,” jawab Ama pendek. “Aku duluan, Mas!”Ariana simpel berhenti di depan pintu utama
Orion datang ke toko bunga milik Azura siang itu. Dia yang didampingi oleh Amalthea, duduk di kursi yang disediakan oleh ibu Azura–Sarah. Sementara, yang bersangkutan katanya sedang membeli makan siang.Akhirnya, Ama dan Orion yang menunggu Azura sambil mengobrol dengan Sarah. “Jadi, Nak Ama ini adalah istri Nak Orion?” tanya Ibu Azura dengan ramah.“Benar, Bu.”Sarah tersenyum sambil melihat pasangan suami-istri itu dengan pandangan kagum. “Kalian memang begitu serasi. Cantik dan tampan,” pujinya tulus. Namun, tiba-tiba wanita paruh baya itu tersenyum getir. “Jika saja anak saya tidak mempunyai penyakit, pasti anak saya sudah bahagia seperti kalian.”Ama tersenyum kecil. Ia begitu sulit untuk berbicara dengan seorang ibu. Luka yang ditorehkan oleh ibu kandungnya seolah membuat ia sulit untuk berekspresi. Seolah-olah, ada tembok tinggi yang memisahkan mereka.“Suatu saat nanti, pasti akan ada lelaki yang baik menikahi anak ibu.” Suara Orion menimpali karena melihat sang istri tak ban
“Bu.”“Iya, Nak.”“Sakit, Bu ….”Sarah menangis berderai air mata di dekat ranjang anaknya. Kini, kondisi anaknya semakin memprihatinkan. Semua terjadi setelah kepulangan Orion dan Amalthea dari toko bunga Azura. Siapa sangka, 2 hari kemudian Azura justru memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan diri ke mobil yang tengah lewat. Namun, Tuhan tak segampang itu menarik nyama umatnya.Bukannya meninggal, melainkan cacat yang didapatkan oleh Azura. Kakinya patah sehingga harus dipasang pen. Tabungan yang selama ini akan digunakan untuk pernikahan anaknya, harus dibongkar untuk keperluan pengobatan.Sarah benar-benar tidak habis pikir dengan Azura. Kenapa anaknya harus bertindak bodoh hanya karena lelaki yang tidak mencintainya. “Sekarang, kamu rasakan sendiri apa yang telah kamu perbuat. Tidak hanya kakimu, tetapi hati ibumu pun hancur melihat anak ibu satu-satunya … benar-benar tidak bisa melakukan apa pun,” tutur Sarah menahan tangis.Azura memegang tangan ibunya yang be
“Kau gila!” Azura refleks berteriak pada Raffael. “Apa kau pikir menikah itu mudah? Hah!”Raffael menggaruk belakang kepalanya. Ia juga spontan saja tadi, tanpa memikirkan hal lain. Namun, ia tak menyesal telah menyatakan niatannya tadi. Jika memang diperlukan maka pemuda itu siap untuk menikah dengan Azura.“Maaf, Mbak. Mungkin bagi Mbak Zura itu terdengar main-main. Tapi, jika Mbak takut apa yang kukatakan adalah hanya bentuk rasa iba … itu salah. Saya memang baru pertama kali bertemu dengan Mbak. Tapi, saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya.” Sarah yang mendengar ucapan Raffael juga sama tidak percayanya dengan Azura. Apalagi melihat usia lelaki itu pasti lebih muda dari anaknya. “Maaf, Nak Raffa menyela pembicaraan kalian. Tapi, benar apa kata anak saya. Menikah itu bukanlah sebuah permainan. Menikah itu adalah ibadah yang antara dua insan Tuhan yang selalu diberkahi oleh Rahmat Allah. Jadi, tidak sepantasnya Nak Rafa berbicara seperti itu pada anak saya.”“Maaf, Tante.
"Hahhhhh, capeknya!” keluh Ama.Amalthea dan Orion baru saja pulang dari pernikahan Azura dan Raffael. Mereka diundang oleh Sarah karena wanita paruh baya itu merasa berhutang budi. Jadi, pasutri tersebut datang untuk menghormati.Orion yang baru saja kembali dari Bandung menyempatkan diri untuk kondangan. Jadi, kini tubuhnya terasa lelah luar biasa, apalagi ia tak memakai supir sehingga lelahnya double.“Hem. Sama, aku juga capek, Yank. Kamu mau makan lagi gak?” tanya Orion. Berusaha mengabaikan rasa lelahnya dan lebih mengutamakan sang istri. Jika boleh jujur, dua hari kemarin Orion hampir tumbang karena saking sibuknya ngurusin kerjaan dan istri. Bukan tidak ikhlas mengurusi istri, melainkan tubuh lelaki itu juga butuh istirahat. Amalthea yang sedang menaruh tas di atas meja segera menoleh pada sang suami. “Gak, Mas. Masih kenyang,” balasnya sambil mengusap perut yang sudah tampak gendut.Sekarang, usia kehamilan Amalthea sudah memasuki 5 bulan. Wanita itu sudah melewati trimeste
“MAS!” teriak Amalthea ketika melihat suaminya jatuh ke lantai. Saking paniknya, Ama tak sadar sudah berlari untuk menghampiri Orion. Beruntung, ia tak terpeleset, atau jatuh ke lantai hingga membahayakan nyawanya dan anak di dalam kandungan.“Mas! Kamu kenapa? Bangun, Mas!” Amalthea yang panik langsung menepuk-nepuk pipi sang suami dalam pangkuannya. Ia bahkan menangis keras karena usahanya sama sekali tak membuahkan hasil. “Bi! Bibi!” jerit Amalthea meminta bantuan.“Iya, Non.”Amalthea segera melihat ke arah kedua pembantu di sana. “Bi! Panggil Pak Supri buat antar Tuan ke rumah sakit. Sekarang juga!” titahnya pada si pembantu A.“Baik, Non.” Bibi A pun bergegas keluar kamar Nyonya dan menghampiri Supri yang berada di luar. Sementara itu, Bibi B masih menemani Ama dan Orion yang kini sudah tak sadarkan diri. “Non, Ini pakai minyak kayu putih coba. Mungkin bisa dibalurkan ke bagian tubuh Den Rion,” usulnya.Ama pun mengambil minyak tersebut, kemudian membalurkan ke perut hingga d
“Pengakuan apa, Nak?”Amalthea mendorong kotak makan yang baru saja dimakan sedikit. Nafsu makannya benar-benar sudah hilang hingga ia memilih untuk menyudahi. Erik kini sudah berjalan meninggalkan kursi kecil di samping Orion untuk menghampiri sang menantu. “Jangan bikin Papa penasaran dong, Nak!”Amalthea sedikit berdeham sambil menggeser duduknya lantaran Erik memilih untuk di space kosong di sampingnya. Tidak begitu dekat, tetap tidak berjarak jauh.Jujur, Ama takut jika ayah mertuanya akan marah jika mengetahui bahwa selama ini Orion banyak berkorban untuknya. Namun, ia juga tidak bisa menutupi rahasia itu selamanya. “Sebenarnya, Mas Rion udah banyak banget berkorban untuk kami,” ujar Ama sambil mengusap perutnya. “Kami pernah bertengkar dulu karena masalah anak ini,” akunya kemudian.Kening Erik mengernyit bingung. “Maksudnya gimana?” Lelaki paruh baya itu sampai memajukan posisi duduknya karena suara Ama cukup lirih hingga ia mendengarnya samar.Amalthea menarik napas sebenta
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni