Tak mau memusingkan ucapan Orion, Ama kemudian menjelaskan maksud dan tujuan dari ucapannya. “Jadi gini, Mas. Ketika besok kamu mau memberikan bantuan kepada panti asuhan itu, aku bakalan nambahin sedikit.”“Serius?” Orion menatap Ama dengan shock. Ama mengangguk. “Sebenarnya aku udah ada beberapa tempat yang sering aku bantu. Tapi, nambah satu lagi juga aku malah seneng. Seenggaknya, aku ingin bisa berguna bagi orang lain, Mas.”Ama menghela napas sambil memainkan ujung kukunya. “Lagian, aku yakin Ayah juga bakalan setuju dengan rencanaku ini!” Akhirnya, bibir itu mengulas senyum. Lelaki yang ada di kursi samping seketika merasa terharu hingga membawa tubuh Ama ke dalam pelukan. “Masya Allah! Terima kasih, Sayang!” Dikecupnya kening sang istri lama.Setelah itu, ia menyatukan kening mereka. “Ayah pasti senang banget punya putri cantik dan sebaik kamu, Sayang. Ayah juga bakalan berterima kasih sama kamu karena harta yang selama ini dia cari bisa digunakan untuk berbuat hal yang bai
“Bahkan satpam pun tidak berjaga malam ini. Apa mereka semua sedang mengerjaiku?” Orion mendengkus melihat bagaimana gedung kantornya yang kosong melompong, bahkan satu security pun tidak ada.Merasa tidak berguna jika hanya ngoceh sendiri, akhirnya Orion memutuskan untuk menghubungi sang sekretaris. Namun, hingga panggilan ketiga belum juga diangkat membuat lelaki itu makin jengkel.“Ini si Didi ke mana, sih? Apa itu orang bener-bener lagi ngerjain aku?” Sambil berkacak pinggang, Orion memunggungi jalan. Lelaki itu sengaja menghadap ke arah kaca, bukan untuk melihat penampilannya, melainkan menghindar dari kegelapan yang disajikan. Walaupun keadaan di jalan depan ramai dan terang, tetapi jika berdiri di depan gedung kosong, serta gelap sendirian tentu saja membuat siapapun merinding, termasuk Orion.“Halo, Bos,” sapa Didi di seberang telepon.“Kamu di mana? Bukankah kamu bilang kita ada rapat? Terus, kenapa lampu-lampu di kantor pada mati? Dan, ke mana semua penjaga malam ini? Apa k
“Mas, ih! Udah, ah!” Ama terkikik sambil menarik tangan suaminya. Wanita hamil itu tidak mau jika sampai ada yang koid di dalam mobil. Gak lucu, dong, kalau acara ulang tahun Orion berubah menjadi ajang pertarungan antar sahabat? Mau jadi apa dirinya jika sampai itu terjadi.“Tapi, Mal! Itu si Han nyebelin banget,” adu Orion pada sang istri. Ia masih memandang sinis Farhan yang kini tengah terbatuk di depan. “Udah, ya, Sayang! Sabar … tarik napas … terus, keluarkan lewat mulut.” Ama mengusap punggung suaminya perlahan. “Gak usah marah-marah terus. Malu sama anak kita, Mas!”“Noh, istrimu aja tahu, kalau suaminya malu-maluin!” celetuk Farhan dari depan.“Ngomong apa kamu barusan?” Orion hendak kembali mendekati si teman, tetapi dicegah oleh sang istri.“Mas!” Ama menggeleng sambil terkikik. “Kalian ini udah gede, lho. Kenapa masih aja bertingkah seperti anak TK yang rebutan cilok,” sindirnya kemudian.“Mal, bagai–” “Mal-Mal-Mal … woi, Han Jelek! Itu panggilan khusus buat istriku se
“Lo gak nyusulin istri lo, Bray?” Wajah Kirun yang biasanya tampak cengengesan, kini hilang berganti menjadi Kirun si pemilik cafe yang cool. Pria itu, tidak tampak seperti orang yang hobinya bercanda ataupun memiliki beban dalam hidup. Kirun memang akan menempatkan diri sebagai orang lain, atau si mood booster dalam lingkup pertemanan mereka.Amalthea sendiri adalah nama yang tidak asing bagi 4 sekawan itu. Orion selalu berkabar akan progres kedekatan mereka dengan si doi. Itu dulu ketika masih zaman penjajakan. Kalau sekarang, Orion jarang nimbrung karena beberapa hal.Akan tetapi, Gino, Farhan, Kirun adalah sosok yang paling bahagia ketika mendengar kabar pernikahan Orion dan Ama. Walaupun mereka tidak bisa mengucapkan selamat secara langsung, tetapi ketiga pria itu tetap mengirimkan kado atas pernikahan Orion dan Ama.“Kalian gak apa-apa gue tinggal?” Orion melihat ketiga temannya, sedangkan Didi sudah pulang duluan karena ada perlu. Kini, hanya ada mereka berempat di ruangan itu
Amalthea menatap suaminya dengan pandangan malu dan sedikit malu. Matanya melirik ke arah sekitar di mana masih ada beberapa orang lalu-lalang sehingga membuat ia memutuskan untuk menarik tubuh sang suami ke arah parkiran.“Loh, kamu mau bawa ke mana aku, Sayang? Sabar, dong! Pelan-pelan!” ujar Orion seolah-olah menunjukkan jika dirinya menjadi pihak yang sudah ngebet.“Gak usah banyak cincong, deh, Mas! Kamu ini juga gak usah sok manja di depanku, deh!” Ama tak menggubris ledekan sang suami di belakang. “Lagian, aku juga udah ngantuk banget, Mas. Jadi, jangan salahkan aku jika kita hanya pulang, terus tidur!”“Aish! Tau gitu mending aku di dalam aja, kalau situ cuma mau tidur,” dumel lelaki di belakangnya.Amalthea hanya mendiamkan, lalu ia pun masuk ke dalam mobil dengan sang suami sebagai supir. Ia tak banyak bertanya karena memang sedang kelelahan. Sedari pagi hingga kini pukul setengah 11 malam ia belum menyentuh bantal dan kasur. Jadi, wajar saja ketika ia justru terlelap di dal
Seharian lelaki bernama Orion Setiawan terlihat begitu bahagia. Jika biasanya, ia akan berpusing-pusing ria menghadapi banyaknya tumpukan berkas di tas meja, sekarang Orion tampak begitu enjoy. Didi yang melihat kelakuan aneh bosnya sempat bingung. Jelas terlihat waktu rapat tadi siang. Bagian pemasaran memberi laporan yang berbeda dari biasnaya. Namun, Orion justru mengabaikannya.Jelas hal itu membuat Didi bertanya-tanya. Akan tetapi, ia tak berani mengganggu masa bahagia si bos. Justru, itu dijadikan sebuah kesempatan bagi karyawan lagi segera membenahi kinerja mereka.Didi yang sudah tidak tahan menahan rasa penasarannya, segera bertanya. “Kenapa, Bos? Apa ada sesuatu hal yang terjadi? Atau, jangan-jangan dirimu baru menang lotre?”Jam pulang kerja telah usai setengah jam yang lalu. Namun, mereka harus tertahan sebentar karena ada hal yang perlu dibahas mengenai kontrak kerja sama dengan perusahaan asing. Jadi, dua lelaki itu kini tengah berdiri di dalam lift menuju lobbyn hanya
Orion masih diam sambil melihat wanita yang diketahui sebagai pemilik toko bunga. Niat hati ingin memberikan kejutan untuk sang istri dengan membelikan bunga. Namun, siapa sangka jika ia harus bertemu dengan sosok teman si masa kuliahnya dulu.“Maaf, sepertinya saya lupa. Tapi, saya datang ke sini untuk membeli bunga,” ujar Orion to the point. “Istriku tidak ter–”“Istri?” Wanita itu tapak terkejut setelah mendengar ucapan Orion. “Ba–gaimana bisa kamu sudah memiliki istri, Bang?”Dalam hati Orion berkata, “maksud ini orang apa, sih? Apa aku gak pantas memiliki istri hingga dia tampak terkejut mendengar statusku?”“Bang,” panggil Azura. “Bukankah kamu udah janji sama aku, kalau suatu saat nanti kita akan menikah?”Edan! “What?” Orion langsung menatap Azura dengan tatapan horor. “Sepertinya, Anda emang salah orang, Mbak. Karena saya bukanlah tipe orang yang akan mengumbar janji kepada siapapun,” jelasnya cepat.Wanita di hadapannya pasti sedang mengada-ngada. Orion kembali melanjutkan
Orion gelagapan. “Gak, kok, Sayang. Iya, nanti kita ke rumah papa naik motor. Ok!”“Yes!” pekik Ama di seberang telepon. “Pokoknya Ama sayang sama Mas Rion. Muachhhh!”“Ma– … lah, kok, dimatiin?” Orion melihat layar ponselnya dengan bingung. Namun, sedetik kemudian bibirnya melengkung tipis sambil menggelengkan kepala. “Istriku ini emang suka lupa diri, kalau udah seneng,” sambungnya.Setelah telepon usai, kini Orion terdiam di dalam mobil sendirian. Sementara perjalanan ke rumah perkiraan masih 10 menit lagi sehingga fokusnya kembali pada Azura. Lelaki itu jelas mengingat akan ucapan wanita paruh baya tadi. Katanya, Azura memiliki riwayat penyakit jantung lemah. Jujur, Orion merasa terganggu. Sebagai sesama manusia yang diciptakan oleh Allah, mereka jelas diajarkan untuk saling tolong-menolong. Jadi, apa yang dilakukannya hari ini tidaklah salah. Walaupun demikian, Orion masih saja kepikiran kondisi Azura. Bagaimanapun, wanita itu jatuh pingsan setelah didorong olehnya. Karena itul
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni