“Mas Rion mana, sih? Kok, gak balik-balik.” Sudah tak terhitung lagi Ama melongok ke arah pintu dengan cemas. Tadinya, ia berniat membaca laporan dari Farah sambil menunggu kedatangan Orion. Akan tetapi, hingga pukul 11 malam lelaki itu tidak juga kembali ke kamar. “Apa Mas Rion masih marah sama aku, yah?” Ama menggigit kuku jarinya sendiri. Kepalanya menggeleng. “Gak! Gak mungkin Mas Rion marah sama aku. Mas Rion ‘kan udah cinta mati sama aku. Jadi, aku yakin dia cuma lagi ada urusan di ruang kerjanya.” Ia mengangguk sambil tersenyum lebar, menolak pikiran buruknya.Akan tetapi, perasaannya tak juga tenang. Alhasil, Ama beranjak dari kasur. Ia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil membuka ponsel untuk mencari kontak Orion. “Apa aku telpon aja, yah?” Wajahnya langsung berbinar cerah akan idenya. Namun, keceriaan itu hanya bertahan sebentar karena tetapi secepat kilat mimik wajah Ama berubah kesal. “Tunggu dulu! Seorang Amalthea gak mungkin mengemis cinta pada lelaki, dong. T
Ama menangis tergugu sambil menelungkupkan wajahnya di antara kedua lutut. Semalaman ia tak bisa tidur merindukan sang suami. Namun, ketika pagi ia justru diabaikan.Sakit sekali rasanya hati Ama, apalagi melihat Orion pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. “M–as, maafin Ama,” ujarnya di antara Isak tangis.Mungkin ini semua salahnya. Jika saja ia tidak berpikiran bodoh untuk menggugurkan kandungannya. Orion pasti tidak akan pernah mendiamkannya. “Oh, Tuhan. Kenapa kau berikan hambamu ini cobaan yang begitu berat? Hamba tak sanggup harus kehilangan orang yang hamba cintai lagi. Tolong … tolong bawa Mas Rion kembali pada hamba, Tuhan!” doanya dalam hati.“Maaf, Mas. Maafin aku ….” bisiknya sendu.“Berdirilah!”Mendengar suara Orion, tangis Ama seketika berhenti. Menyisakan sembab dan lelehan bening di wajah wanita hamil itu. Ia mendongak dan menemukan sang suami masih berdiri di depan pintu kaca.“M–mas,” panggil Ama. Wanita itu lantas berdiri sambil mengusap bekas air matanya.A
“Kamu sedang mengerjaiku?” Orion menatap telapak tangan Ama yang kosong. “Ini gak ada apa-apa, lho.”Wanita hamil itu terkikik.“Wah, bener-bener, nih, yah.” Orion mengusap rambutnya frustasi. “Yank….”“Apa sih, Mas? Makanya liat dulu!” Akhirnya, Orion kembali duduk dengan benar. Ia memperhatikan wajah istri yang masih saja terkikik di depannya. “Liahu apa, sih? Wong di tanganmu aja gak ada apa-apa,” balasnya ketus.“Dih, makanya lihat dulu. Nih, tingali!” Ama menadahkan tangannya. “Setiap manusia kan punya garis tangan, kan?”“Hem.”“Nah, garis tangan ini adalah aku yang tengah menuju kebahagian bersamamu, Mas,” ujar Ama sambil tersenyum malu.“Eh?” Orion bengong.Ama memukul dada bidangnya kesal, mungkin karena Orion berekspresi biasa saja. “Kan, emang begitu?”“Mas, ih masa gitu aja gak tahu?” Alamat ngambek istrinya. Orion mencoba berpikir dan merangkai semua apa yang dikatakan sang istri. Setelah itu, matanya membelalak. Ia yang baru menyadari jika Ama sedang menggombalinya s
Orion mendengkus mendengar tuduhan tak berarti itu. Ia melepaskan kaca mata bacanya dan mengalihkan perhatian dari laptop kepada si penanya. “Ama Sayang,” panggilnya sambil menopang dagu.“Iya, Orion Sayang.” Ama tampak menyeringai.Orion menggelengkan kepala karena melihat tingkah istrinya. “Sepertinya ada yang lagi cemburu, nih,” ledeknya.“Siapa? Aku!” Ama menunjuk dirinya sendiri, kemudian mendengkus. “In your dream, Mas!” tukasnya sinis.“Yes. It’s my dream!” Orion membalasnya dengan mengedip genit.Ama mendengkus.Orion tergelak sambil menepuk bagian perutnya. Istrinya memang kocak dan tidak pernah mau mengalah, tetapi ia suka. Lelaki itu justru makin bersemangat menggoda Ama. Ama yang bosan segera berkata, “Hentikan tawamu itu, Mas, sebelum aku melemparkan botol minuman ini!” ancam sang istri yang mungkin sudah bosan hampir 3 jam berada di ruangan Orion.“Ampun, Nyai! Hamba ngaku salah. Tolong ampuni hambamu yang penuh dosa ini!” tutur Orion menirukan dialog pengawal pada maji
Kenapa kamu nolak ngasih nomor kamu ke Bobi, sih, Rin?” Ameera yang mendengar cerita Kiki merasa tidak habis pikir. Kesempatan ada di depan mata, tetapi anaknya malah bersikap jual mahal. Apa bukan bodoh namanya, kalau begitu.Wanita paruh baya itu menghela napas, kemudian kembali melanjutkan ucapannya, “kamu tau, kan, kondisi kita sekarang kayak gimana, Rin? Kita miskin! Masa iya kamu gak mikir ke sono.”“Tapi, Ma. Karina cintanya cuma sama Mas Rion,” elak Karina. Ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain karena terus diceramahi ibunya. “Lagian, Mas Bobi juga gak mungkin tertarik sama aku!”“Rion lagi Rion lagi. Apa kamu lupa penolakannya kemarin?” Ameera ingin sekali membenturkan kepala si anak supaya ingat tentang penolakan Orion tempo dulu. Ia kemudian memegang kedua bahu anaknya dengan tatapan memohon.“Karina, please! Kamu itu cantik, pandai, juga berpendidikan. Jadi, jangan pernah stuck hanya pada satu lelaki,” pinta Ameera dengan sangat. “Kalau memang lelaki itu mencintaim
“Gila kamu, Rin. Gak, ah.” “Kok gitu, sih? Bukannya kemarin kamu bilang mau bantuin aku. Kenapa sekarang malah gak mau?” Karina kini tengah berada di cafe bersama seorang temannya. Ia sengaja mengajak bertemu Wenny untuk membahas masalah perdukunan kemarin. Namun, ketika mereka bertemu, si teman justru menolak memberi bantuan.“Kamu gak bisa gitu dong, Wen!”“Bukan gitu, Rin. Aku tuh sekarang udah tobat pakai begituan. Gak baik juga.” Ada ketakutan dalam setiap ucapan Wenny.Karina tidak langsung percaya begitu saja, apalagi ketika wajah Wenny yang tampak linglung seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ia pun semakin curiga hingga menguliknya. “Kasih tau dulu alasan kamu gak mau bantuin aku!” tuntutnya.Wenny menghela napas. Ia sedari tadi berusaha untuk bungkam, tetapi Karina terus mendesaknya. Akhirnya, ia pun mau buka mulut. “Aku kapok main dukun begitu, Rin.”“Why?”“Kamu gak tau yah, kalau apa yang kamu dapatkan dari jalan hitam tidak selamanya baik. Apalagi, kita juga
“Mas, kamu kenapa?” tanya Ama kaget ketika sang suami menubruk dirinya yang sedang berjalan. Untung saja mereka tak sampai jatuh ke tanah, bisa gawat nanti.“Sorry, Sayang. Ini sepatuku ternyata talinya belum diikat dengan benar.” Orion tersenyum minta maaf. “Tapi, kamu gak apa-apa, kan? Apa ada yang luka?” tanyanya kemudian sambil memeriksa keadaan sang istri. “Maaf, yah, aku gak sengaja.”Ama mengangguk. “Aku gak apa-apa, kok, Mas. Yaudah, kamu ikat dulu tali sepatu kamu. Biar aku tunggu di sini,” tuturnya perhatian.Orion pun kemudian mengikat tali sepatunya. Setelah selesai, ia pun menggandeng tangan sang istri dan membantu membawa keranjang makanan untuk di taruh di bagasi mobil. “Pelan-pelan, Sayang,” ujarnya sambil memegang bagian atas pintu agar Ama tidak terpaduk badan mobil..“Makasih, Mas.”Orion kemudian duduk di samping Ama, sedangkan sang supir mulai membawa mobil mereka untuk keluar halaman kediaman keluarga Thea. Tujuanya adalah Panti Asuhan Kasih Cinta, tempat di man
Orion baru saja tiba di taman setelah mengambil makanan untuk sang istri. Namun, keningnya langsung mengernyit ketika melihat Ama sedang bersama orang lain, bahkan mereka terlihat akrab. Lelaki itu pun menghampiri dua orang itu.“Hei, Jagoan. Apa yang sedang kamu lakukan? Hm.” Ama menyerahkan satu kotak makanan kepada Am yang sudah dibukanya. Sementara dirinya menatap anak lelaki itu dengan pandangan menyelidik. “Kamu lagi godain istriku, yah?”“Makasih, Mas. Kamu udah makan?” tanya Ama yang dijawab senyuman oleh Orion. “Kalau gitu kita bareng aja?” lanjutnya karena ia tahu sang suami belum makan.“Oh, hai, Paman Baik.” Suara anak kecil itu membuat Orion segera mengurungkan niat menjawab pertanyaan sang istri. “Kamu ngapain di sini?” tanyanya lagi pada si anak kecil.Anak kecil yang bernama Beni itu segera mencium punggung tangan Orion. Ia tahu jika lelaki itu adalah orang yang selama ini sudah berbaik hati menyisihkan hartanya untuk panti asuhan yang ditinggalinya. “Ini, Paman. Kaka
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni