Harapan Orion tidaklah muluk-muluk, ia ingin menjadi seorang suami yang baik untuk istrinya, anak yang berbakti pada ayahnya, serta ayah yang dapat diandalkan oleh anaknya kelak.Simple dan tidak banyak tuntutan. Akan tetapi, jika pasangannya memiliki kecenderungan, atau trauma di masa lalu, akan sulit bagi Orion mewujudkan impian nomor tiga. Namun, semua kembali kepada takdir Tuhan pada setiap insan-Nya.“Mas,” panggil Ama sambil mengusap wajahnya.Bibirnya ingin mengulas senyum tetapi begitu sulit, alhasil ia hanya menatap Ama dengan diam. Orion membiarkan saja wajahnya dikuasai oleh tangan sang istri. Lelaki itu mengunci tatapan mereka dan ia menemukan ketakutan dari manik sang istri ketika berkata akan menggugurkan kandungan.Semoga itu memang benar adanya.Jujur, ia sangat terkejut, bahkan di dalam hati kini tengah meronta, menyerukan protes akan pikiran bodoh Ama yang akan menggugurkan kandungan. Segila apa pun seorang ibu, tidak akan mungkin tega membunuh darah dagingnya sendir
“Mas Rion mana, sih? Kok, gak balik-balik.” Sudah tak terhitung lagi Ama melongok ke arah pintu dengan cemas. Tadinya, ia berniat membaca laporan dari Farah sambil menunggu kedatangan Orion. Akan tetapi, hingga pukul 11 malam lelaki itu tidak juga kembali ke kamar. “Apa Mas Rion masih marah sama aku, yah?” Ama menggigit kuku jarinya sendiri. Kepalanya menggeleng. “Gak! Gak mungkin Mas Rion marah sama aku. Mas Rion ‘kan udah cinta mati sama aku. Jadi, aku yakin dia cuma lagi ada urusan di ruang kerjanya.” Ia mengangguk sambil tersenyum lebar, menolak pikiran buruknya.Akan tetapi, perasaannya tak juga tenang. Alhasil, Ama beranjak dari kasur. Ia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil membuka ponsel untuk mencari kontak Orion. “Apa aku telpon aja, yah?” Wajahnya langsung berbinar cerah akan idenya. Namun, keceriaan itu hanya bertahan sebentar karena tetapi secepat kilat mimik wajah Ama berubah kesal. “Tunggu dulu! Seorang Amalthea gak mungkin mengemis cinta pada lelaki, dong. T
Ama menangis tergugu sambil menelungkupkan wajahnya di antara kedua lutut. Semalaman ia tak bisa tidur merindukan sang suami. Namun, ketika pagi ia justru diabaikan.Sakit sekali rasanya hati Ama, apalagi melihat Orion pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. “M–as, maafin Ama,” ujarnya di antara Isak tangis.Mungkin ini semua salahnya. Jika saja ia tidak berpikiran bodoh untuk menggugurkan kandungannya. Orion pasti tidak akan pernah mendiamkannya. “Oh, Tuhan. Kenapa kau berikan hambamu ini cobaan yang begitu berat? Hamba tak sanggup harus kehilangan orang yang hamba cintai lagi. Tolong … tolong bawa Mas Rion kembali pada hamba, Tuhan!” doanya dalam hati.“Maaf, Mas. Maafin aku ….” bisiknya sendu.“Berdirilah!”Mendengar suara Orion, tangis Ama seketika berhenti. Menyisakan sembab dan lelehan bening di wajah wanita hamil itu. Ia mendongak dan menemukan sang suami masih berdiri di depan pintu kaca.“M–mas,” panggil Ama. Wanita itu lantas berdiri sambil mengusap bekas air matanya.A
“Kamu sedang mengerjaiku?” Orion menatap telapak tangan Ama yang kosong. “Ini gak ada apa-apa, lho.”Wanita hamil itu terkikik.“Wah, bener-bener, nih, yah.” Orion mengusap rambutnya frustasi. “Yank….”“Apa sih, Mas? Makanya liat dulu!” Akhirnya, Orion kembali duduk dengan benar. Ia memperhatikan wajah istri yang masih saja terkikik di depannya. “Liahu apa, sih? Wong di tanganmu aja gak ada apa-apa,” balasnya ketus.“Dih, makanya lihat dulu. Nih, tingali!” Ama menadahkan tangannya. “Setiap manusia kan punya garis tangan, kan?”“Hem.”“Nah, garis tangan ini adalah aku yang tengah menuju kebahagian bersamamu, Mas,” ujar Ama sambil tersenyum malu.“Eh?” Orion bengong.Ama memukul dada bidangnya kesal, mungkin karena Orion berekspresi biasa saja. “Kan, emang begitu?”“Mas, ih masa gitu aja gak tahu?” Alamat ngambek istrinya. Orion mencoba berpikir dan merangkai semua apa yang dikatakan sang istri. Setelah itu, matanya membelalak. Ia yang baru menyadari jika Ama sedang menggombalinya s
Orion mendengkus mendengar tuduhan tak berarti itu. Ia melepaskan kaca mata bacanya dan mengalihkan perhatian dari laptop kepada si penanya. “Ama Sayang,” panggilnya sambil menopang dagu.“Iya, Orion Sayang.” Ama tampak menyeringai.Orion menggelengkan kepala karena melihat tingkah istrinya. “Sepertinya ada yang lagi cemburu, nih,” ledeknya.“Siapa? Aku!” Ama menunjuk dirinya sendiri, kemudian mendengkus. “In your dream, Mas!” tukasnya sinis.“Yes. It’s my dream!” Orion membalasnya dengan mengedip genit.Ama mendengkus.Orion tergelak sambil menepuk bagian perutnya. Istrinya memang kocak dan tidak pernah mau mengalah, tetapi ia suka. Lelaki itu justru makin bersemangat menggoda Ama. Ama yang bosan segera berkata, “Hentikan tawamu itu, Mas, sebelum aku melemparkan botol minuman ini!” ancam sang istri yang mungkin sudah bosan hampir 3 jam berada di ruangan Orion.“Ampun, Nyai! Hamba ngaku salah. Tolong ampuni hambamu yang penuh dosa ini!” tutur Orion menirukan dialog pengawal pada maji
Kenapa kamu nolak ngasih nomor kamu ke Bobi, sih, Rin?” Ameera yang mendengar cerita Kiki merasa tidak habis pikir. Kesempatan ada di depan mata, tetapi anaknya malah bersikap jual mahal. Apa bukan bodoh namanya, kalau begitu.Wanita paruh baya itu menghela napas, kemudian kembali melanjutkan ucapannya, “kamu tau, kan, kondisi kita sekarang kayak gimana, Rin? Kita miskin! Masa iya kamu gak mikir ke sono.”“Tapi, Ma. Karina cintanya cuma sama Mas Rion,” elak Karina. Ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain karena terus diceramahi ibunya. “Lagian, Mas Bobi juga gak mungkin tertarik sama aku!”“Rion lagi Rion lagi. Apa kamu lupa penolakannya kemarin?” Ameera ingin sekali membenturkan kepala si anak supaya ingat tentang penolakan Orion tempo dulu. Ia kemudian memegang kedua bahu anaknya dengan tatapan memohon.“Karina, please! Kamu itu cantik, pandai, juga berpendidikan. Jadi, jangan pernah stuck hanya pada satu lelaki,” pinta Ameera dengan sangat. “Kalau memang lelaki itu mencintaim
“Gila kamu, Rin. Gak, ah.” “Kok gitu, sih? Bukannya kemarin kamu bilang mau bantuin aku. Kenapa sekarang malah gak mau?” Karina kini tengah berada di cafe bersama seorang temannya. Ia sengaja mengajak bertemu Wenny untuk membahas masalah perdukunan kemarin. Namun, ketika mereka bertemu, si teman justru menolak memberi bantuan.“Kamu gak bisa gitu dong, Wen!”“Bukan gitu, Rin. Aku tuh sekarang udah tobat pakai begituan. Gak baik juga.” Ada ketakutan dalam setiap ucapan Wenny.Karina tidak langsung percaya begitu saja, apalagi ketika wajah Wenny yang tampak linglung seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ia pun semakin curiga hingga menguliknya. “Kasih tau dulu alasan kamu gak mau bantuin aku!” tuntutnya.Wenny menghela napas. Ia sedari tadi berusaha untuk bungkam, tetapi Karina terus mendesaknya. Akhirnya, ia pun mau buka mulut. “Aku kapok main dukun begitu, Rin.”“Why?”“Kamu gak tau yah, kalau apa yang kamu dapatkan dari jalan hitam tidak selamanya baik. Apalagi, kita juga
“Mas, kamu kenapa?” tanya Ama kaget ketika sang suami menubruk dirinya yang sedang berjalan. Untung saja mereka tak sampai jatuh ke tanah, bisa gawat nanti.“Sorry, Sayang. Ini sepatuku ternyata talinya belum diikat dengan benar.” Orion tersenyum minta maaf. “Tapi, kamu gak apa-apa, kan? Apa ada yang luka?” tanyanya kemudian sambil memeriksa keadaan sang istri. “Maaf, yah, aku gak sengaja.”Ama mengangguk. “Aku gak apa-apa, kok, Mas. Yaudah, kamu ikat dulu tali sepatu kamu. Biar aku tunggu di sini,” tuturnya perhatian.Orion pun kemudian mengikat tali sepatunya. Setelah selesai, ia pun menggandeng tangan sang istri dan membantu membawa keranjang makanan untuk di taruh di bagasi mobil. “Pelan-pelan, Sayang,” ujarnya sambil memegang bagian atas pintu agar Ama tidak terpaduk badan mobil..“Makasih, Mas.”Orion kemudian duduk di samping Ama, sedangkan sang supir mulai membawa mobil mereka untuk keluar halaman kediaman keluarga Thea. Tujuanya adalah Panti Asuhan Kasih Cinta, tempat di man